NovelToon NovelToon

Hidupku Seperti Dongeng

Bab 1 Hidupku Seperti Dongeng

..."What we know is a drop, what we don't know is an ocean," --Isaac Newton--...

..."Apa yang kita ketahui hanyalah setetes, sedangkan apa yang tidak kita ketahui adalah lautan."...

...♡♡♡...

Di jalanan pagi yang ramai.

Sebuah mobil mewah dengan warna hitam enamel meluncur di jalanan kota. Melaju penuh sesak bersama kendaraan-kendaraan lain di jalan kota yang tengah bertransformasi menjadi metropolitan baru. Kota Surakarta.

~Ngooeeenggg~

Bak kereta istana yang megah dari zaman dahulu. Warna hitamnya memberi kesan elegan dan menawan.

Penulis pun berkisah,

Di zaman dongeng peri, hanya Ibu Peri yang mampu mengubah labu menjadi kendaraan ajaib yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Kereta labu itu, mengantar seorang putri bernama Cinderella.

Berkat sihirnya, Cinderella menjadi putri yang anggun dan cantik, berbalut gaun yang mempesona. Kecantikan dan keanggunan Cinderella tidak ada tandingannya.

Kisah Cinderella adalah dongeng klasik yang tak lekang oleh waktu, menginspirasi banyak orang untuk bermimpi. Berharap kehidupan mereka akan berubah bak sihir yang indah.

"Kamu menceritakan kisah Cinderella, apa hidupku seperti dia, Kak Penulis?"

Sebuah pertanyaan memecah ditengah-tengah cerita. Percakapan pun dimulai.

"Menurutmu?"

"Yah, terserah."

"Hidupmu memang seperti Cinderella."

"Naif banget kalo hidup gue seperti Cinderella. Emang sih, keluarga gue toxic semua."

"Kau tidak bisa hidup bahagia sebab kedua sepupumu sering mengintimidasimu dan orang tua angkatmu tidak menyayangimu."

"Hm. Tapi, setidaknya gue bisa hidup bebas di sekolah. Dan juga di mobil ini..."

"Mau gak aku kasih keajaiban?"

"Emang ada?"

Mobil mewah dari Mercedes Benz itu berkilauan di

bawah sinar matahari pagi, memantulkan bayangan gedung-gedung tinggi di sekitaran.

Di dalamnya, dialah pemuda tampan yang baru saja mengeluhkan kehidupannya kepada Penulis. Duduk sambil menatap jalan yang penuh dengan lalu lalang kendaraan.

Pandangannya melamun karena melihat aktifitas yang selalu monoton dan membosankan.

Dia menghela nafas panjang, mencoba mengusir kehampaan yang terus menghantuinya. Baginya, kehidupan mewahnya tak banyak membuatnya bahagia.

"Haaah..." keluhnya.

"Tuan Rui, sebelum kita sampe di sekolah, Tuan harus menemui Tuan Kakek dulu. Sebagai pewaris perusahaan, Tuan harus selalu ingat posisi itu," kata sang sopir, yang sudah seperti sekretaris pribadi, menengok ke arahnya.

"Iya." Jawab pemuda itu malas, memotong kata-kata yang tak ingin didengar lagi.

Pada pagi yang sama, seorang gadis SMP sedang mengayuh sepeda kecilnya menuju sekolah. Penampilannya sangat sederhana, hanya memakai seragam putih-biru, sepatu warior dan rambut pendek yang dikuncir dua.

Dia memiliki wajah manis dan fotogenik. Matanya bagai galaksi yang berbinar penuh semangat. Setiap kayuhan seolah menggambarkan kebebasan dan harapan yang segar di pagi itu.

"Apa kabar Pagiiii?!!" Teriaknya.

Pemandangan yang tak biasa, membuat lamunan pemuda itu tersentak saat gadis itu berani 'lepas stang' dan menengadahkan wajahnya ke langit, seolah menyambut cahaya yang jatuh dari sana.

"Pagi ini ceraaah, membuat hidupku bahagiaaah!!" Gadis itu berteriak gembira, suaranya seperti melodi yang menyentuh hati pemuda itu, mengusik kehampaan yang selama ini ia rasakan.

~aaaaaaaaaaaa~

Sungguh menyentuh perasaan. Aura gadis itu membawa kehangatan yang sudah lama tidak dia rasakan. Sesederhana itu, kehadirannya sejenak menarik perhatiannya.

"Berhenti di depan gadis itu," perintah pemuda itu dengan nada tegas. Sang sopir menuruti, dan mobil hitam itu berhenti perlahan di depan gadis SMP tersebut.

Gadis itu terkejut, kebahagiaannya seketika dia ubah menjadi ekspresi datar, dingin, dan tak bersahabat. Ia mengatur wajahnya, seperti yang diajarkan oleh ayahnya, untuk menghadapi siapa pun yang mencoba mendekatinya.

Tapi, pemuda itu bingung, setelah gadis SMP itu menjadi diam, ternyata wajahnya sangat berbeda dari ekspresi yang baru saja dia lihat. "Kok langsung kicep?" Pemuda itu menyunggingkan senyumannya, penasaran.

Wajah yang menutup segala ekspresi yang ada di dalamnya sangat misterius. Matanya seperti galaksi yang menyimpan banyak misteri. Ada sesuatu yang tak akan mudah diungkapkan dengan kata-kata.

Sang pemuda turun dari mobil, matanya menatap gadis itu dengan penuh perhatian. Penampilannya membuat gadis itu sejenak terpana.

"Apa dia seorang Pangeran?" Pikir gadis itu.

Seorang pemuda tinggi, berpenampilan rapi, keluar dari mobil. Seragam SMAnya tampak sempurna. Kemeja putih bersih dengan dasi hitam yang tergantung rapi di lehernya, dan blazer yang menambah kesan elegan.

Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan namun tetap menawan, memberikan kesan kasual yang memikat. Matanya, tajam namun penuh ketenangan, langsung tertuju pada gadis yang berdiri terpaku menatapnya.

Wajah pemuda itu begitu sempurna, dengan rahang tegas dan senyuman tipis yang nyaris tidak terlihat.

"Tapi, aku harus terlihat membosankan supaya dia segera pergi," batin gadis itu mencoba untuk tetap tampak tak tertarik.

Hatinya berdebar berirama dengan kedua matanya saat Pemuda itu berjalan mendekat. Pemuda itu mengulurkan tangan. Sorot matanya begitu teduh. Dia memperkenalkan dirinya dengan lembut, "Aku Rui Naru. Siapa namamu?"

Gadis itu masih terpaku. Meski hatinya terus berdegup, dia tetap memilih menutup semua ekspresi di wajahnya, memberi tanda bahwa dia tidak tertarik dengan perkenalan yang diberikan pemuda tampan tersebut.

Rui mengernyit, merasa sedikit kecewa oleh dinginnya sikap gadis itu. "Oke, aku akan pergi. Tapi, beritahu dulu siapa namamu?"

Setelah jeda yang terasa abadi, gadis itu menjawab dengan suara yang nyaris tak terdengar, "Nuha. Namaku, Inara Nuha."

Gadis SMP itu tidak mau memberikan wajahnya lagi sampai akhirnya pemuda SMA itu sudah tidak terlihat.

"Tuan, kita harus cepat sebelum kakek Tuan marah besar." kata sopir mengingatkan waktu yang ada di pergelangan tangannya.

Sejenak timbul perasaan kecewa, gadis SMP itu menggigit bibirnya. "Ah, sudahlah."

Setelah pemuda itu pergi, sesuatu tergeletak di tanah. Benda yang lucu, mirip dengan kaki kucing. "Apa dia menjatuhkannya?" pikirnya.

Seperti Cinderella yang kehilangan sepatu kacanya, Nuha kini memegang benda yang mungkin bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru dan tak terduga dalam hidupnya.

Inara Nuha, gadis SMP kelas tiga yang baru selesai menjalani ujian akhir nasional, sebentar lagi akan menjadi pelajar SMA seperti pemuda yang baru saja dijumpainya. 

Meskipun ia telah mencoba tampil membosankan, Nuha tidak bisa menahan perasaan yang muncul saat melihat pemuda itu.

Nuha terpana akan penampilan pemuda tersebut. Penampilan yang dia dambakan karena sebentar lagi dia juga akan menjadi pelajar SMA. Menjadi seorang gadis SMA yang bisa bahagia dan menjalani kehidupan dengan menyenangkan.

"Moga-moga, aku masih bisa ketemu dengannya. Tapi, sepertinya aku telah memberikan kesan yang gak menarik dan membosankan. Dia pasti langsung melupakanku. Hff. Ya sudahlah. Karena itulah yang kumau," keluh Nuha seraya menatap kembali kepergiaannya.

Benda yang pemuda itu tinggalkan juga membuat perasaan Nuha menjadi gelisah. Seperti putri Cinderella yang kehilangan sepatu kacanya. Sang Pangeran yang menemukannya pun mencarinya dan mengembalikan lagi ke pemiliknya.

"Aku akan menjaganya dengan baik."

Nuha mengingat kisah yang pernah diceritakan ayahnya kepadanya ketika masih kecil. Cinderella. "Ayah, aku melihat Cinderella. Tapi, dia seorang cowok," bisik Nuha dalam hati, sambil tersenyum kecil mengingat dongeng masa kecilnya itu.

Namun, jika Nuha mengharapkan ingin bisa bertemu lagi, maka sesuatu yang berbeda akan mulai terjadi. Seperti apa dilema yang akan Nuha hadapi? Lanjut lagi yuk :')

Bab 2 Hidupku Seperti Dongeng

Senja itu begitu indah...

Cahaya matahari oranye menerobos celah-celah daun pepohonan, berkilauan di balik awan. Cahayanya, memantulkan siluet seorang pria yang sedang berada di atas pohon mangga.

-NARAYA MUHA-

Kakak laki-laki, berusia 21 tahun. Memiliki tinggi badan 180cm. Warna kulit kuning langsat. Rambut hitam Wolf-cut dan mata yang sangat tajam. Seorang mahasiswa tahun ke 4.

Sibuk memetik buah mangga yang sudah matang. Sementara di bawah, adiknya -INARA NUHA- menunggu dengan tangan terentang, siap menangkap dengan mata melamun.

Suasana tampak berbeda. Biasanya, suara ceria Nuha yang cerewet akan menghiasi sore mereka, tapi kini menjadi sunyi. Kak Muha merasa ada yang aneh.

"Nuha!" teriaknya, "Apa kau sakit gigi?! Monster kecil biasanya berisik setiap hari!"

Nuha mendesah panjang. Dengan wajah sebal dan pipi menggembung sebelah, dia melirik kakaknya. "Aku gak sakit gigi, kak Muha jelek!! Aku cuma lagi mikirin sesuatu!"

Muha tertawa kecil dari atas pohon. "Kalau begitu jangan melamun! Kejatuhan mangga baru tau rasa kamu!"

"Berani kakak menimpukku?! Aku akan naik ke atas dan menghajarmu!"

"Wah, monster kecil mau ngamuk nih! Hati-hati aja, jangan sampai kau naik dan malah jatuh, Nuha!" ledek Muha sambil tertawa terbahak.

"Kak Muha!!" Nuha semakin kesal, wajahnya memerah. Dia tahu kakaknya hanya menggoda.

Sementara itu, dari kejauhan, ayah mereka tersenyum sambil memegang iPad besarnya. Rambut gondrong pirangnya diikat sedikit, tampak seperti seorang seniman. Istrinya duduk di sampingnya, menyiapkan kue dan teh.

-MAHESA DHISWA-

Usia 47 tahun. Pekerjaan Ilustrator online international. Sangat ramah dan penuh kasih sayang. Pandai menyembunyikan rahasianya sendiri.

-INAYA PUTRI-

Usia 44 tahun. Seorang ibu rumah tangga yang sangat pandai memasak.

Mereka tertawa kecil, melihat tingkah anak-anaknya yang semakin besar, namun tetap tak lepas dari keceriaan dan kebersamaan.

Mahesa menatap putrinya dengan rasa haru. Ada kekhawatiran mendalam yang selalu menghantuinya tentang masa depan Nuha. Ingatannya terbang kembali ke masa lima belas tahun yang lalu.

**(Flashback on)**

"Apa kau yakin ingin mendengar kutukan ini?" suara nenek tua itu terdengar parau, tetapi tegas, menghantui pikiran Mahesa.

Waktu itu, mereka bertiga —Mahesa, Inaya, dan Muha kecil— sedang liburan di pantai. Inaya sedang hamil besar dan Muha berusia enam tahun saat itu berlari-lari kecil di sekitar mereka.

Seorang nenek penjual cinderamata ajaib, tiba-tiba mendekati mereka. "Istri Anda sedang hamil ya?" tanya nenek itu sambil mengelus perut Inaya yang membuncit. Tatapan matanya terasa menusuk.

Mahesa mengangguk sopan. "Iya, Nek," jawabnya singkat.

Nenek itu melanjutkan, "Apa kalian sudah tahu jenis kelamin anak ini?"

Inaya menggeleng, sementara Mahesa tersenyum dan berkata, "Kami belum ingin tahu, Nek. Kami hanya berharap anak kami selalu sehat."

Tetapi kemudian, pertanyaan nenek itu berubah, suaranya seolah membawa hawa dingin di tengah teriknya pantai. "Apa kau bersedia menukar nyawamu, jika anak yang lahir nanti perempuan?"

Seketika, Mahesa merasakan ketegangan menjalar di tubuhnya. Dia mencoba bersikap tenang, tapi kata-kata nenek itu seperti membekukan hatinya. "Apa maksudnya?" tanyanya dengan nada takut, mulai menggenggam erat tangan istrinya.

Nenek itu tersenyum, tapi senyum itu dingin. "Anak perempuan yang kau harapkan akan membawa kebahagiaan. Dia akan lahir dengan kutukan. Kebahagiaan yang dia bawa hanya akan dirasakan oleh keluarganya. Tapi untuk orang lain, kebahagiaan itu akan terasa seperti jarum yang menusuk hati mereka."

Mahesa menelan ludah, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia menoleh ke istrinya yang juga tampak cemas. Mereka tidak menjawab. Dalam hening, mereka berpamitan cepat dari nenek itu, mencoba melupakan kata-katanya.

Namun, malam itu, saat Mahesa tidur, mimpi buruk datang. Kata-kata nenek terus berulang di kepalanya, seperti mantra jahat yang tak bisa hilang.

"Anak itu akan hidup bahagia, tapi kebahagiaannya akan melukai orang lain. Anda harus menemukan cara untuk membebaskannya dari kutukan itu, atau bersiaplah menemui ajal sebelum putrimu berusia 17 tahun."

**(flashback end)**

Mahesa menatap Nuha sejenak, rasa khawatirnya terpendam dalam senyuman kecil. "Nuha," panggilnya lembut, "kemarilah."

Nuha yang sedang asyik melamun, menoleh, sedikit terkejut, kemudian melangkah mendekati ayahnya. "Ada apa, Yah?" tanyanya sambil duduk di samping ayahnya.

Mahesa menarik napas dalam-dalam, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. "Nuha, ayah sudah memikirkannya. Ayah mengizinkanmu untuk punya pacar."

Nuha terperanjat, matanya melebar. "Eh? Pacar?" suaranya terdengar kaget, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Iya. Kamu sudah besar sekarang, Nuha. Ayah ingin kamu bisa bahagia, tanpa ada yang terluka. Seperti cerita-cerita dongeng yang pernah ayah ceritakan padamu…"

Nuha mendengus, tak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan hidupnya dengan dongeng. "Seperti Princess Aurora yang dikutuk tertidur? Atau yang harus diselamatkan pangeran?" Dia menggeleng pelan, ekspresinya datar. "Tapi, ayah, dunia nyata tak seindah itu. Mana ada pangeran yang bisa datang menyelamatkan Nuha dari kutukan ini?"

"Ayah tahu, mencari pangeran itu sulit. Tapi… tidak berarti kamu harus menjalani semuanya sendiri." Ayah menunduk, pikirannya berkelana ke masa lalu, ketika kutukan itu pertama kali disampaikan. "Ayah akan terus berusaha mencari cara agar kamu bebas dari kutukan itu."

Nuha menghela napas, suaranya tiba-tiba berubah lembut. "Ayah... Nuha tahu apa itu pacar. Tapi dengan keadaan Nuha yang seperti ini, Nuha takut akan menyakiti orang yang Nuha sayangi."

Mahesa tersenyum tipis, menahan rasa sakit yang dirasakannya karena tak bisa berbuat banyak. "Kalau begitu," jawabnya, "mungkin kamu tidak perlu pacar. Tapi setidaknya, milikilah sahabat."

"Sahabat? Hehe... Sahabat juga bisa kusakiti, ayah. Nuha ini aneh, kan?" Senyum Nuha tampak santai, tapi matanya memancarkan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

"Ayah tahu, Nuha," bisik ayah dalam hati, sambil berusaha tetap tenang. "Ayah tahu betapa beratnya beban yang kamu pikul."

"Ayah?" suara Nuha tiba-tiba berubah serius, "Kenapa sih, Nuha harus berbeda dari orang lain? Kenapa Nuha nggak bisa normal seperti mereka?"

Sedikit kaget mendengar pertanyaan itu, Mahesa menarik napas panjang, menyentuh tangan Nuha dengan lembut. "Kamu masih punya keluarga yang sangat mencintaimu, Nuha. Dan kamu berhak untuk bahagia, meskipun kutukan itu ada."

Nuha menunduk, matanya terpaku pada bayangan mereka yang memanjang di tanah. "Iya, ayah. Terima kasih." Jawabannya pelan, seolah mengandung rasa syukur yang dipaksakan.

Di bawah cahaya matahari senja yang mulai memudar, Nuha hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dia benar-benar bisa membebaskan dirinya dari kutukan itu.

Sementara itu, Kak Muha yang masih memetik mangga dari pohon, kembali berusaha mengganggu adiknya dari atas sana. "Monster kecil mau punya pacar? Yang ada dia bakalan jadi monster besar lagi. Ih, takut..."

Nuha menengadah, setengah tersenyum. "Baguslah kalo aku bisa jadi monster besar. Akan aku injak kakak sampe penyet!!"

Muha tertawa dari atas pohon. "Monster kecil mau ngamuk nih! Siap-siap kena serangan Nuha!"

"KA-K MUHAA!!" Nuha berteriak, setengah tertawa meski perasaannya masih terpendam.

Nuha mendengus-dengus tajam dengan kepulan asap di atas kepalanya sedangkan Kak Muha masih asik menertawainya.

Bab 3 Hidupku Seperti Dongeng

Di tengah suasana hangat hari kelulusan...

Nuha tampak sibuk berfoto dengan teman-teman dan gurunya. Mereka tertawa, mengabadikan momen yang akan dikenang sepanjang masa.

Setelah itu, Nuha, Ayah, Ibu serta Kak Muha mulai bersiap untuk berfoto bersama. Kak Muha memeriksa posisi kamera yang berdiri di atas tripod, lalu mulai menghitung mundur.

"Tiga... dua... satu... Cekrek!"

Nuha tersenyum, merasakan kehangatan yang jarang bisa dia nikmati diluar rumah. "Ini fotonya bakal jadi favorit aku," katanya sambil menatap layar kamera yang memperlihatkan hasil fotonya.

"Harusnya dong," balas Kak Muha sambil mengacak rambut adiknya. "Kita kan keluarga paling bahagia."

Sementara itu, beberapa teman Nuha yang berdiri tak jauh dari sana, memperhatikan momen bahagia tersebut.

"Lo liat deh keluarga Nuha, kayaknya mereka selalu bahagia, ya? Gue pengen punya keluarga kayak gitu."

"Iya, bener. Gue juga pengen temenan sama Nuha. Tapi entah kenapa, setiap kali deketin dia, gue ngerasa suasana hati jadi aneh." Teman yang lain menimpali, ekspresi kebingungan tergambar jelas di wajahnya.

"Apa dia punya kutukan atau semacamnya?" tanya salah satu dari mereka.

"Eh, jangan sembarangan ngomong soal kutukan. Mana ada kutukan di zaman sekarang."

"Sudahlah, ini hari terakhir kita ketemu Nuha. Lebih baik kita doakan semoga dia bahagia dan bisa punya banyak teman di masa depan."

Mereka semua mengangguk.

Di sisi lain, Kak Muha melirik adiknya, seolah memahami apa yang terjadi dibalik senyum kecil Nuha. Dalam diam, dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketidaksukaan teman-teman Nuha.

Sudah beberapa kali dia melihat Nuha berada di posisi sulit, dan sebagai kakak, Kak Muha sering kali tiba-tiba muncul untuk melindungi adiknya.

"Nuha, kamu udah pikirin mau lanjut sekolah di mana?" tanya Kak Muha ketika mereka tengah membereskan barang-barang usai acara.

Nuha mengangkat bahu. "Belum tahu. Ayah sama Ibu bilang terserah aku. Tapi aku, masih bingung."

"Menurut kakak, kamu mending masuk SMA Samudera Pelita aja. Sekolahnya gede, fasilitasnya lengkap. Kamu pasti bakal seneng di sana."

Nuha menatap Kak Muha sedikit kaget, "Samudera Pelita? Yang di pusat kota itu?"

Kak Muha mengangguk. "Iya, sekolah terbesar di Kota Surakarta. Ada lapangan basket, taman, kebun, perpustakaan gede, bahkan lab komputer canggih. Kalau kamu masuk sana, kamu bisa ambil jurusan yang kamu suka. Ada jurusan Bahasa, MIPA, Multimedia, Seni, sama Olahraga."

"Pengennya seni, tapi multimedia kayaknya menarik. Aku suka gambar, kayak Ayah."

"Pas banget! Kamu bisa kembangin bakat kamu di sana. Siapa tau nanti kamu jadi desainer grafis yang hebat."

"Iya."

"Tenang aja, Nuha. Kakak selalu ada buat kamu kok. Apa pun yang terjadi nanti, kita bisa hadapin bareng-bareng." Kak Muha tersenyum hangat, membuat Nuha merasa sedikit lebih lega.

Nuha merasakan dukungan dari kakaknya yang selalu ada di sisinya. Meski masih ada bayang-bayang kutukan yang menghantui, dia merasa sedikit lebih percaya diri menghadapi masa depan.

Hari pertama masuk sekolah pun tiba. Kak Muha mengantar Nuha, tapi tetap menjaga jarak untuk mengamati kesan pertama yang akan didapat adiknya.

"Nuha, kamu yakin nggak butuh ditemenin? Kalau ada apa-apa—"

"Kak, serius deh," potong Nuha sambil menoleh cepat. "Aku udah bilang, Kakak nggak boleh ikut campur. Aku udah gede, aku bisa hadapin sendiri masalahku."

Kak Muha menghela napas, tapi senyumnya tak luntur. "Iya, iya, kamu selalu ngomong gitu tiap kali aku nganter. Tapi tenang aja, Kakak cuma mau lihat dari jauh kok."

Nuha memutar bola matanya, sedikit jengkel. "Jangan sampai Kakak malah bikin aku tambah gugup, ya."

"Siap, Kapten!" jawab Muha santai.

Nuha kemudian melangkah memasuki gerbang sekolah, berbaur dengan para siswa berseragam putih abu-abu. Senyum tipis terbit di wajahnya melihat suasana ceria di sekelilingnya.

Tiba-tiba, seorang cowok tak sengaja menyenggol Nuha hingga ia jatuh.

"Aduh! Sorry banget!" seru cowok itu buru-buru, tangannya terulur membantu Nuha berdiri.

Namun Nuha tetap membisu. Sebelum cowok itu sempat berkata lebih jauh, seorang gadis tomboy melompat dan langsung menindihnya dengan gerakan cepat. "Bruk!" Gadis itu menjepit cowok tersebut ke tanah dan menodongkan fountain pen ke lehernya.

"Gerak sedikit aja, luka lo makin lebar," ancam gadis itu dengan tatapan tajam.

Darah segar mengalir dari goresan kecil di leher cowok tersebut. "AO! Gila lo!" Cowok itu meringis, menepis tangan gadis tersebut. "Apa-apaan sih lo bikin gue berdarah begini!"

Gadis itu mendengus dan menjilat darah yang menempel di penanya. "Lelaki itu serigala. Sekeren dan seramah apapun, tetep aja serigala berbulu domba. Jangan sampai lo tertipu." Tatapannya beralih tajam pada Nuha, seakan mengingatkannya.

Nuha menatap gadis itu dengan mata membulat, bingung sekaligus terpana. "Siapa dia...?"

Setelah mengucapkan kata-katanya, gadis tomboy itu berdiri dengan sikap tak acuh, menarik hoodie besar yang hampir menutupi seluruh wajahnya, lalu berlalu begitu saja.

Sementara itu, Nuha masih berdiri terpaku, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

"Hebat banget..." pikirnya.

-ASA TANTRI-

Gadis tomboy. Tinggi badan 155cm. Warna kulit sawo matang. Teman sekelas di 10F Multimedia. Galak dan Membenci cowok.

Tak lama kemudian, seorang gadis lain mendekati Nuha dengan senyuman lebar. "Hai, kamu juga dari kelas ini kan? Gue Sifa, Sifa Zifara," sapanya penuh percaya diri.

-SIFA ZIFARA-

Gadis cantik dengan pipi chubby dan rambut terurai panjang. Tinggi badan 160cm. Warna kulitnya putih dan sangat wangi. Humble dan penyuka cowok.

Nuha tertegun sejenak, merasa tak biasa dengan keramahan seperti itu. "Aku... Nuha. Panggil Nuha aja," jawabnya pelan.

"Nice to meet you, Nuha!" Sifa tersenyum cerah, lalu melompat-lompat kecil sambil masuk ke kelas. Kilauan parfumnya yang wangi menyeruak di udara, membuat beberapa siswa langsung berbisik-bisik.

"Astaga, wanginya semerbak banget!"

"Dia anak orang kaya, ya? Liat deh gayanya."

"Manis banget! Cantik lagi,"

Sifa tanpa ragu duduk di samping Asa, mencoba merangkulnya dengan santai. "Hai! Kita duduk bareng, yuk!" katanya riang.

"Lo akrab banget sih, baru kenal udah sok-sokan bestie," gumam Asa tajam, menepis tangan Sifa.

"Hihi, gue emang gitu orangnya. Lagian, kita kan bakal temenan lama. Bestie deh pokoknya!"

Asa mendengus, tak menggubris lebih jauh. "Terserah lo deh..."

Dua gadis ini membuat Nuha terkesan. Asa dengan keberaniannya dan Sifa dengan keramahannya. "Asa dan Sifa ya. Semoga suatu hari nanti aku bisa dekat sama mereka," batin Nuha penuh harap.

Nuha duduk di teras kelas. Sejenak tenang menikmati suasana. Di tangannya, penghangat berbentuk paw kucing yang ditemukannya semakin terasa hangat. Ia memandang benda itu dengan tatapan ragu.

"Bolehkah aku berharap bertemu dengannya lagi? Cowok pemilik benda ini..." pikirnya dalam hati.

Bel sekolah berbunyi. Nuha duduk di bangku belakang, tepat di belakang Asa dan Sifa. Sifa segera menyapa lagi, "Hai, Nuha! Duduk di belakang gue, ya? Bestian yuk!"

"Eh... iya," jawab Nuha gugup sambil berpura-pura mencari buku di dalam tasnya, berusaha menutupi kecanggungan. Ia takut kutukannya akan menyakiti hati Sifa jika ia terlalu dekat.

Sifa hanya mengangkat bahu, tidak ambil pusing, lalu menatap ke depan. Guru pun memasuki kelas dengan diikuti seorang siswa di belakangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!