NovelToon NovelToon

Istri Kontrak Pak AL

Tawaran Tak Terduga di Cafe Glossy

Cahaya hangat masuk melalui celah-celah, membuat nuansa Cafe Glossy terkesan menenangkan, pengunjung memadati kafe, namun tidak berisik karena luasnya ruangan dan jarak antara setiap meja berjauhan.

Cika duduk pada salah satu bangku yang tersedia di sana. Di belakangnya terdapat tembok, di samping kiri terdapat jendela besar menghadap keluar, dan di depan meja Cika, terdapat dua orang laki-laki sedang berdiskusi.

Tempat yang Cika pilih sangat strategis untuk memantau keseluruhan ruangan.

Cika sesekali menatap seorang laki-laki yang duduk di meja depannya, karena salah satu laki-laki itu terlihat sangat familiar. Cika membahas hal ini dengan Syifa, temannya, melalui obrolan chat. Berdasarkan percakapan dan gerak-gerik pria itu, Cika menggambarkan sosoknya untuk Syifa. Syifa kemudian ikut membantu Cika untuk menebak siapa laki-laki tersebut.

Percakapan mereka terdengar sayup-sayup oleh Cika. Walaupun tidak ingin menguping, namun lelaki yang sering disebut Pak Al ini sangat menarik perhatiannya. Untung saja, keduanya menghadap jendela besar dan tidak memperhatikan Cika sama sekali.

Cika terus membaca dan melihat foto-foto orang-orang kaya muda yang Syifa kirim kepadanya. Foto Pak Al muncul di sana, dengan informasi yang membuat Cika tercengang. Alfa Zelian adalah pendiri sekaligus CEO dari marketplace YukBelanja. Al memulai perjalanan menjadi pengusaha muda dari nol berawal dari kecintaannya terhadap teknologi sejak usia SD. Meskipun sempat tinggal di daerah pelosok tanpa listrik, semangat Al dalam mempelajari pemrograman tidak pernah surut. Ia pun berhasil masuk menjadi mahasiswa ITB jurusan Teknik Informatika pada tahun 2004.

Cika mulai menelusuri biodata Al dan menemukan banyak rumor tentangnya. Salah satunya adalah dugaan bahwa Al menyukai sesama jenis, karena di usianya yang ke tiga puluh, ia belum pernah ditemani oleh lawan jenis.

Cika mulai tertarik pada kekayaan dan ketampanan Al. Ia melirik Al dan kaget saat pandangan mereka bertemu. Cika merasa gugup, segera mengambil kopi, dan berpaling ke arah lain untuk mengatasinya.

Cika kembali mengintip dan melihat seorang gadis seksi, yang ia kenal karena sering muncul di feed TikTok-nya, menghampiri meja Al dan teman yang dikatakan oleh Syifa sebagai asisten pribadi Al. Cika kembali terkejut saat mendengar pengakuan Al tentang perasaannya terhadap asistennya di depan gadis itu. Percakapan mereka mulai memanas, namun saat ini perut Cika tidak mendukung keinginannya untuk menonton drama yang terjadi di depan dirinya. Ia bergegas menuju kamar mandi.

Setelah kembali dari kamar mandi, Cika melihat Ghea Hanif pergi sambil menangis. Cika menyesal tidak bisa mendengarkan percakapan mereka sebelumnya. Kembali duduk di tempatnya, Cika menguping lagi pembicaraan Al dan asistennya, Marvin Setiawan.

Cika menjadi tertarik saat mendengar Marvin menyarankan Al mencari istri agar dia tidak diganggu oleh cewek lain dan menyelesaikan permintaan orangtuanya. Cika merasa gugup dan ingin sekali menyela percakapan mereka dan mengajukan dirinya.

Gerakan Cika terhenti, sebuah ide gila muncul di benaknya. Cika menatap pekerjaannya lalu melirik Al, dan membuat sebuah keputusan gila dalam hidupnya.

Cika bangkit dan menghampiri meja Al dan Marvin, "Permisi, bolehkah saya duduk di sini? Maaf telah menyela."

Al dan Marvin menoleh ke arah Cika. Marvin tersenyum, dan dengan persetujuan Al, pergi meninggalkan mereka berdua saat Cika mengungkapkan keinginannya untuk berbicara dengan Al berdua saja.

Cika menyerahkan sebuah proposal yang sudah disusun seminggu ini kepada Al. Di dalamnya terdapat sebuah perjanjian yang telah dipikirkannya selama sebulan ini.

Al mengangkat alisnya dan menerima proposal itu. Cika berdehem, dan setelah Al selesai membacanya, dia bertanya, "Bagaimana? Kamu butuh istri dan saya butuh uang serta tempat tinggal. Saya berjanji tidak akan menganggu hidupmu dan kita bisa bernegosiasi lainnya."

Cika menatap Al dengan pandangan mantap, yakin dengan pilihannya. Pekerjaannya saat ini berantakan karena salah seorang karyawan yang berselingkuh dengan bos iri padanya, juga tempat tinggalnya kini tidak bisa diperpanjang karena ibu kos tidak suka padanya. Padahal, suaminya yang menyukai Cika dan mengganggunya. Nasibnya kini kacau, dia yatim piatu dan merantau di kota orang serta sangat kekurangan uang.

Melihat banyak drama serta novel, dan pengalaman teman-temannya, dia mempertimbangkan untuk menjadi istri kontrak.

Selama sebulan terakhir, dia memikirkan ide ini dengan matang dan merasa itu adalah solusi menguntungkan yang sangat mudah, terutama karena Al sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.

"Kontrak bisa ditambah, kita bisa berdiskusi. Jika bisa, segera!" Cika menegaskan saat tidak mendapat jawaban dari Al. Hampir menyerah, Cika segera beranjak bangkit, namun tidak lupa menyerahkan kartu namanya pada Al sebelum meninggalkannya.

"Kuharap kamu mau memikirkannya."

Cika kembali ke mejanya dan membereskan peralatannya, sambil melirik ke arah Al yang tidak memperhatikannya.

Cika pergi dengan lesu, dia melihat bahwa Marvin telah kembali.

"Apa dia akan menganggap ku gila? Kenapa dia tidak merespon?"

Cika berbicara dengan Syifa di jalan menuju angkutan umum.

"Menyerah saja, kamu cari yang lain. Besok kembali ke restoran tadi, di sana banyak orang-orang seperti Al. Jangan berpatokan di situ saja."

Cika mendengar bujukan Syifa, dia melirik mobile banking nya yang semakin menipis lalu pada jalanan.

Cika termenung, besok mungkin surat pengunduran dirinya disetujui, dan lusa dia resmi menjadi pengangguran. Hidup di Jakarta sangat membebani, tidak seperti di kampungnya. "Di sini, makan pun susah," keluhnya.

Cika mengakhiri percakapannya. Tepat jam sembilan malam, dia tiba di kosannya. Kotak-kotak kardus sudah tersusun di sudut ruangan yang berisi barang-barangnya. Hanya seminggu lagi sebelum sewa berakhir, dan dia bahkan belum menemukan tempat tinggal yang baru, sangat sulit untuk mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik dari kosnya yang sekarang.

Cika ingin menangis. Mau pulang kampung pun, uangnya tidak cukup untuk membeli tiket pesawat. Jika dia tahu akan seperti ini, dia tidak ingin mendengar bujukan bibinya. Cika merasa tertipu, bibinya berjanji akan mengurus segalanya, tetapi hingga hari ini dia tidak juga menerima uang sewa rumah yang ada di kampungnya. Selain itu, ladangnya juga tak diketahui siapa yang mengurusi.

"Argh! Sangat membuat frustasi, hidup kok ngenes amat, sih? Amat tidak beruntung banget."

Cika merebahkan diri di atas ranjang, "Bagaimana kedepannya? Sudah enam bulan di sini, katanya gaji di Jakarta tinggi, tetapi hidup kok susah, bayar ini dan itu. Ya Tuhan, apakah hamba-Mu akan menjadi pengemis di sini?"

Cika melirik WhatsApp, tetapi pesan dari bibinya tidak datang-datang. "Tuhan... Gimana ini? Sudah enam bulan uang sewa tidak juga dikirim, padahal perjanjiannya tidak seperti ini."

Cika kesal karena pesan dari bibinya tidak kunjung datang sejak dia minta dibelikan tiket pulang ke Sumatra, ke kampung halamannya.

Cika ingin menangis rasanya.

Esok harinya, Cika kembali mendatangi Cafe Glossy, tempat yang ia kunjungi kemarin dan tempat yang selama seminggu ini dia datangi dengan harapan mendapat suami kontrak.

Cika melirik ke dalam tas yang berisi dua proposal perjanjian. "Tidak bisa menyerah, Tuhan bantu saya!"

Cika duduk di tempat kemarin, seperti biasa, dia memesan segelas jus dan cake yang paling murah di sana. Hari ini, dia sudah mendapat persetujuan pengunduran diri dari kantor tempat dia bekerja, gajinya cukup untuk hidup sebulan di Jakarta. Jam baru menunjukkan pukul 12.00 siang.

Perutnya sudah keroncongan. Cika melirik ke sekeliling kafe namun tidak menemukan calon yang diinginkannya. Dia berusaha fokus menulis serta mengirim surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan lain.

Dua hari berlalu, Cika belum mendapat pekerjaan baru atau calon yang lebih cocok seperti Al.

Dalam dua hari ini, dia terus mencari, namun Al sudah menarik perhatiannya. Dia tidak bisa memilih yang lain, tetapi Al tidak menghubunginya hingga kini. Cika mulai ragu dan sangat bingung.

Cika menunggu dengan gusar. Dia memasuki gedung perusahaan "YukBelanja" yang mengirimkan email agar dia datang untuk wawancara.

Cika keluar dari ruang wawancara setelah mengucapkan terima kasih pada Sofyan, karyawan yang membimbingnya.

"Semangat, Cika."

Cika mengucapkan terima kasih dan berjalan ke arah lift setelah berpamitan dengan Sofyan.

Terdapat dua lift, satu untuk eksekutif perusahaan dan yang lain untuk karyawan. Cika menekan tombol lift karyawan, sambil menunggu lift, lift di sebelah terbuka. Cika refleks melirik ke arah lift dan melihat Al keluar dari sana bersama Marvin. Cika sangat malu, dia menunduk dan menutupi wajahnya dengan rambut.

Al dan Marvin melewati Cika. Al melirik Cika tanpa menghentikan langkahnya.

Cika merasa bersalah dan malu mengingat kelakuannya.

Cika tidak sabar menunggu lift lagi, dia melangkah ke tangga darurat seolah melarikan diri.

Cika terpeleset di anak tangga terakhir karena hak tinggi yang ia kenakan. Cika menangis kalau saja tidak takut menarik perhatian dia ingin menangis lebih keras.

Cika melepas hak tinggi dan melihat kakinya tergores dan lebam akibat benturan.

"Sial sekali hidupku! Tuhan, kenapa tidak kau ambil saja aku!"

Cika memeluk lututnya, dia terisak karena rasa sakit di kaki serta frustasi karena masalah dalam hidupnya tidak kunjung usai.

"Tinggal tiga hari lagi... belum juga ketemu kos, pekerjaan apalagi. Uang sewa rumah dan ladang juga sampai sekarang tidak kunjung datang. Huhu... kenapa hidupku sangat menyedihkan! Sudah sebatang kara, sebatang asa pula."

Suara pintu terbuka menginterupsi pikiran dan keluhan Cika. Cika dengan cepat menyapu wajahnya dengan lengan kemeja.

"Sedang apa?"

Cika mendongak saat mendengar pertanyaan itu. Dia melihat Al berdiri di pintu sambil bersandar dengan tatapan tertuju ke arahnya.

Gerakan Cika terhenti, dia menatap Al dengan tatapan tidak percaya dan bingung.

Jangan Menyesalinya

Marvin masuk ke ruangan Al, dia melihat Al sedari tadi tidak fokus pada pekerjaan yang sedang dilakukannya, yang tidak seperti biasanya.

Al menghentikan gerakannya, dia menyahuti Marvin dan menyuruhnya keluar setelah mengambil berkas yang dia bawa. Matanya selalu tertuju pada sudut meja di mana sebuah proposal yang diterima dari Cika berada.

Ponselnya terus berbunyi sampai ia menyerah lalu mengangkatnya.

"Halo, Pa? Kenapa?"

"Kenapa lambat sekali kamu angkat? Sedari tadi Papa telepon, Mama juga telepon kamu. Kamu sibuk sekali sampai untuk mengangkat telepon saja tidak sempat?"

Suara bernada kesal itu membuat Al mengerutkan dahi. Dia mengusap kepalanya yang berdenyut.

"Em, Al agak sibuk, kenapa, Pa?" tanyanya, menyela omelan yang tidak akan berhenti.

"Minggu depan, Papa tidak mau tahu. Kamu harus membawa Sherly, Cheryl, atau siapapun itu ke rumah! Papa sudah tua, dan kamu tidak muda lagi! Apa gosip yang Papa dengar, kalau kamu gay itu beneran? Jika sampai minggu depan kamu belum juga mendapat pasangan, Papa pastikan mantan gila kamu itu akan menjadi pasanganmu atau jodoh yang mana pun kamu pilih. Papa gak mau tahu, Papa mau kamu membawa pasanganmu minggu depan!"

Al sakit kepala mendengar perkataan sang papa, "Em, nanti Al pikirkan, jangan bawa mantan gila Al atau siapapun itu. Al akan membawa menantu untuk Papa dan Mama!" ujarnya sembari melirik proposal di sudut meja.

"Oke, Papa tunggu!" Dengan itu, sambungan terputus.

Al merebahkan punggungnya ke belakang, bersandar di kursi dengan kepala menatap langit-langit ruangan.

Empat hari kemudian, Al mengunjungi ruang administrasi dan berpapasan dengan Cika, gadis yang beberapa hari ini menghantui pikirannya dengan perkataannya.

Kartu nama Cika yang tersembunyi di kantong celananya ia remas kuat, namun langkahnya mantap melewati gadis yang gugup saat melihatnya.

Al menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan mencari Cika. Lift terbuka, namun di lobi tidak terlihat keberadaan gadis itu.

Al bertanya pada karyawan yang menjaga lobi dan mengetahui jika Cika belum pergi. Al berjalan ke arah toilet yang berdekatan dengan tangga darurat, langkah Al berhenti saat sayup-sayup mendengar isak tangis dari sana.

Al mendekat, dia membuka pintu dan mendapati Cika terduduk di anak tangga terakhir dengan kaki terjulur. Al dengan cepat mengatur ekspresinya.

"Sedang apa?"

Mendengar suara Al, Cika yang tersadar, dia berpaling lalu dengan cepat menghapus air matanya.

"Kemari lah, sepertinya kita perlu bicara."

Al membantu Cika berdiri dan membawanya ke ruangannya, mengabaikan pandangan karyawan lain yang menatap ke arah mereka.

Cika menjadi gugup saat mendapati perhatian dari karyawan kantor. Dia menyembunyikan wajahnya dengan rambut panjangnya di bahu Al dan mengikuti Al masuk ke dalam lift.

Sepanjang perjalanan, Al dan Cika tidak berbicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, suasana menjadi canggung. Namun, Al terus memapah Cika hingga ke ruangannya.

"Duduklah, tunggu sebentar." Setelah membantu Cika duduk di sofa ruangannya, Al mencari alat P3K dan mengobati kaki Cika yang terluka. "Sakit?"

Cika menggeleng. Dia menatap gerakan Al yang menjadi lebih lembut saat tadi Cika meringis kecil.

"Terima kasih," ucap Cika setelah Al selesai mengobati dirinya.

"Em." Al menyimpan peralatan P3K lalu duduk di depan Cika.

"Apa kamu serius dengan proposal yang kamu ajukan?" tanya Al setelah lama terdiam dan saling menatap.

Cika mengangguk dengan yakin.

"Kenapa saya?" tanya Al lagi dengan nada datar, seolah tidak tertarik.

Cika menatap Al dan kembali mengatakan alasan seperti lima hari yang lalu.

"Kamu butuh uang dan tempat tinggal? Dan karena saya paling cocok?" Al mengangguk saat melihat Cika setuju dengan pernyataannya.

"Kamu tidak takut?"

Cika menggeleng. Alasannya, dia mengira Al tidak akan menyukainya dan Al juga orang yang terkenal, maka tindak tanduknya pasti akan dijaga, namun Cika tidak mengatakan pikirannya.

"Tidak."

Al merebahkan tubuhnya ke sofa dan menatap Cika dengan tatapan lekat.

"Saya harap kamu tidak menyesal."

Cika menatap Al dengan tatapan tegas, seolah sangat yakin akan keputusannya.

"Besok temui saya di KUA jam sepuluh pagi, dan kamu masih punya waktu untuk memikirkan ulang keputusan mu."

Cika mengangguk. Al beranjak ke meja kerja dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tanpa mengusir atau memberi perintah pada Cika.

Cika melirik Al yang mulai sibuk lalu pandangannya melihat seluruh ruangan. Ruangan kantor berdinding hitam putih bernuansa minimalis itu menarik perhatiannya, tidak seperti kantor presiden atau CEO di drama. Kantor Al sangat kecil untuk kantor yang dijabarkan di novel atau drama; ruangannya pun hanya dilengkapi satu set meja kerja, satu set sofa, serta satu set alat elektronik komputer. Dekorasinya juga sangat sederhana, Cika hanya melihat sebuah kamar mandi dan ruang ganti di pojok ruangan.

Ruangan Al juga tidak terletak di lantai paling atas. Di lift, angka hanya ada 20 lantai dan kantor Al terletak di lantai 15. Dari sofa, Cika bisa melihat pemandangan kota dari dinding kaca yang menghadap keluar.

Cika berpaling saat tanpa sengaja matanya dan mata Al bertemu. Dia menunduk dan pandangannya tertuju pada kaki yang terbalut perban.

Cika berdehem, dia bangkit dan berpamitan setelah tidak mendapat respon dari Al.

Al mendongak saat pintu tertutup, dia menatap ke arah pintu lalu menghela nafas berat.

Keesokan harinya, Cika mendatangi kantor KUA yang telah ia dan Al sepakati. Cika melirik jam tangannya dan melihat ke arah Al yang sudah berdiri di depan pintu KUA. 'Sangat cepat,' batinnya, karena Al datang sepuluh menit lebih awal dari waktu janjian.

Cika menghampiri Al.

"Jangan menyesalinya, karena setelah kita masuk, keputusan ada di tangan saya."

Cika mengangguk, dia menatap Al dengan pandangan yakin.

Dua jam kemudian, Al dan Cika keluar dari KUA dengan masing-masing memegang buku nikah yang baru mereka dapatkan. Cika menatap buku nikah di tangannya dengan tatapan bingung, sangat tidak nyata, sampai suara Al menginterupsi pikirannya.

"Mau diantar kemana?" tanya Al sembari mengeluarkan kunci mobilnya.

Cika hendak menolak, namun pandangannya tertuju pada buku nikah yang Al pegang.

"Antar ke kosan, ambil barang-barang."

Al mengangguk, mereka berjalan ke arah mobil sedan hitam milik Al dan masuk.

Cika memandang pemandangan jalanan lewat kaca mobil.

Al melirik Cika dan tidak mengatakan apa-apa.

Dua puluh menit kemudian, Al dan Cika sampai di kosan Cika. Siang hari, penghuni kosan terlihat di pekarangan.

"Eh, Neng Cika dari mana atuh? Tumben pulang siang," sapa Sri, pemilik kos yang sedang duduk bersama beberapa penghuni kos lain di bangku pos jaga.

"Iya, biasanya kan malam, ya? Itu di belakang siapa, Neng? Cowok baru ya? Neng jadi pindah? Syukur deh udah dapat tempat tinggal baru ya? Semoga jangan ulangi lagi ya," ujar salah seorang penghuni yang berpakaian seksi yang adalah sepupu si pemilik kosan.

Cika hanya menanggapi seadanya. Dia menarik Al ke dalam agar tidak menghiraukan perkataan mereka.

Al hanya diam, mengabaikan mereka dan mengikuti Cika ke dalam.

Keduanya tidak berbicara. Al membantu membawa satu kotak kardus serta satu koper Cika ke dalam mobil. Cika mengikuti dengan dua tas kecil dan satu koper kecil di belakangnya.

Cika menghampiri pemilik kos dan menyerahkan kunci padanya.

"Terima kasih untuk enam bulan ini, Bu."

Sri hanya mengangguk.

Cika menarik nafas panjang lalu berjalan ke arah mobil Al.

"Sudah?" tanya Al, dan mengambil barang yang Cika pegang.

Cika mengangguk. Mereka masuk ke mobil dan melaju pergi. Walaupun sayup-sayup, Cika masih mendengar percakapan Sri dan yang lain tentang dirinya.

Cika melihat ke belakang lalu menghembuskan nafas pelan. Dia menutup mata dengan tangan yang meremas rok selutut nya.

Cika tidak tahu kenapa mereka sejahat itu padanya, saat dia tidak melakukan kesalahan fatal.

Pekerjaannya sering mengadakan lembur , dia jadi sering pulang malam beberapa Minggu kebelakang, beberapa kali dia bertemu suami ibu kos, Pak Adi di jalan karena itu tetangga yang melihat salah paham, juga dia hanya menyapa lalu bergegas pergi tanpa berbincang dengan Pak Adi, tapi gosipnya melebar luas dan menjadi lebih buruk lagi.

Juga beberapa kali Arya atau Ardi teman kerjanya mengantar Cika pulang yang kebetulan tempat mereka tinggal tidak jauh dari sini, dan itu menimbulkan gosip yang lebih besar.

Cika jadi merasa bersalah karena gosip dia pun sering pulang dengan taksi atau ojol agar tidak menimbulkan gosip lain.

Namun karena kejadian beberapa itu semuanya memburuk. Cika menghela nafas berat sambil memandang keluar jendela.

Al menoleh melirik ke arah Cika sebelum kembali berpaling dan fokus mengemudi.

Bersama di Bawah Langit yang Sama

Setengah jam kemudian, Cika sampai di apartemen Al yang terletak beberapa kilometer dari kantor Al. Cika dan Al meletakkan barang-barang di tengah ruangan. Dia memperhatikan apartemen Al dengan seksama.

Apartemen ini berbentuk minimalis dengan satu kamar yang memiliki luas sekitar 30-40 meter persegi. Interiornya di desain sangat efisien dan fungsional, sehingga meskipun ukurannya kecil, tetap terasa nyaman dan tidak terlalu sempit.

Cika sangat puas.

Cika memandang sekeliling dengan pandangan merenung. Di dalam apartemen terdapat satu kamar tidur yang dilengkapi dengan satu tempat tidur queen size, lemari baju, dan meja kerja. Selain itu, terdapat pula ruang tamu yang dilengkapi dengan sofa, meja kecil, dan TV. Dapur berada di satu sisi ruangan dan dilengkapi dengan peralatan memasak seperti kompor, kulkas, dan peralatan makan, serta meja kopi dan satu set meja makan empat kursi.

Cika mulai berkeliling ditemani oleh Al untuk mengenalkan seluruh ruangan. Kamar mandi dilengkapi dengan shower, wastafel, dan toilet yang terletak di luar kamar, di dekat dapur dan kamar tidur, sebuah lemari besar yang menyatu dengan dinding terletak di dalamnya.

Al membuka lemari kayu yang ternyata banyak sekali rak yang kosong, lebih dari 3/4 rak itu kosong, "kamu bisa mengatur pakaian mu disini," ujar Al sembari menunjukan 1/3 bagian lemari yang telah dia isi dengan pakaian dan perlengkapan nya.

Cika mengangguk setuju, Al membantu Cika menaruh koper serta bawaan di depan lemari.

Apartemen ini juga dilengkapi dengan balkon kecil yang bisa digunakan untuk menyimpan tanaman atau duduk-duduk menikmati pemandangan sekitar. Namun, Cika tidak menyangka untuk seorang Al mengurus balkon dengan baik. Cika melihat satu set kursi santai serta rak sayuran dan beberapa pot tanaman di balkon.

Cika mengangguk setuju dengan tempat tinggalnya kini. Selain itu, apartemen terletak di tempat yang praktis, dekat dengan pusat kota, dan tidak memerlukan banyak ruangan.

Namun, yang jadi masalahnya sekarang bagaimana pembagian tempat tidur - apakah mereka akan tidur seranjang? Atau haruskah dia tidur di sofa?

Cika melirik buku nikah yang kini tersembunyi di dalam tas kecilnya. Dia tidak berani membahas mengenai pembagian tempat tidur untuk sekarang jika Al tidak memulai duluan, karena dia sudah berjanji setelah keluar dari KUA tadi, Al akan mengambil alih keputusan untuk mereka.

"Bagaimana? Ini adalah tempatku. Untuk pembersihan, dilakukan oleh petugas kebersihan setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Kamu tidak perlu repot." Al menyerahkan kartu ATM kedua miliknya pada Cika, "Ini untukmu, gunakan semaunya. Dan lusa, bersiaplah bertemu dengan orangtua serta keluargaku."

Cika mengangguk dan mengambil ATM yang Al serahkan sambil menatap Al dengan tatapan tidak bisa berkata-kata, karena pengaturan Al yang di luar ekspektasinya.

Cika dan Al duduk berhadapan. Di atas meja di antara mereka terdapat proposal yang pernah ia beri pada Al.

"Saya sudah menandatanganinya. Mulai sekarang, selamat bekerja sama."

Cika mengangguk. Dia menjabat uluran tangan Al, "Selamat bekerja sama."

Cika menatap Al dan menunggunya mengungkit pembagian tempat tidur atau kamar. Namun, dari ruangan satu kamar ini, dia jadi tidak yakin apakah mereka akan tidur seranjang dan berbagi kamar atau harus tidur di sofa.

Al melupakannya sampai ia keluar dari apartemen. Dia tidak mengungkit masalah itu sama sekali, dan hanya mengingatkan Cika untuk bertemu orangtua serta keluarganya pada hari Minggu sebelum pergi sekali lagi.

Cika mendesah pelan sambil menatap ruangan berdinding putih dengan peralatan yang didominasi oleh warna krem, coklat, dan hitam dengan helaan nafas panjang.

"Jadi, kami tidur seranjang? Dan berbagi kamar mulai sekarang? Tapi, bukannya dia mengakunya gay? Atau dia sebenarnya tidak gay? Hanya alasan untuk cewek yang waktu itu di kafe? Bagaimana ini?" Cika sangat bingung, jujur saja, dia tidak pernah siap dengan pernikahan ini. Jika tidak terdesak dan terjebak di kota ini, dia mungkin akan melajang sampai beberapa tahun ke depan.

"Mungkin dia hanya tidak ingin dicurigai oleh orangtuanya? Jadi, coba berpikir positif, Cika!"

Cika mengatur perasaan serta pikirannya selama beberapa saat, lalu mulai membereskan barang-barangnya, memasukan baju dan perlengkapan kedalam lemari.

Pakaiannya tidak banyak, dia hanya membawa beberapa baju dari kampung yang lain dia tinggalkan di rumahnya, lalu selama berada di jakarta dia membeli enam pasang baju kerja lagi.

Menurut pengaturannya Cika meminta pada sang bibi untuk menyewakan tiga kamar saja dan menyisakan kamar dia dan orangtuanya.

Agar barang-barang mereka tidak hilang, juga menutup gudang belakang yang isinya peralatan rumah lamanya dan mengosongkan ruang tamu serta dapur dan ruangan lain yang akan disewakan.

Sebelum pergi untungnya dia telah membereskan nya, kunci kamar berada ditangannya, namun itu percuma saja dia tidak bisa pulang.

Cika bersyukur sertifikat tanah ada di tangannya dan semua surat berharga serta barang-barang berharga telah ia simpan di bank di kampungnya.

Cika kembali menghembuskan nafas kesal sembari melanjutkan acara beberesnya.

***

Jam 11 malam, Al pulang. Dia memasuki apartemen seperti biasa, melepas dasi serta pakaiannya dengan santai, berjalan di sekitar ruangan dengan celana pendek serta bertelanjang dada.

Sepuluh menit kemudian, dia keluar dari kamar mandi hanya dengan selembar handuk melilit pinggangnya. Al merasa aneh dan seolah telah melupakan sesuatu, sampai suara batuk kecil menginterupsi pikirannya. Dia berpaling ke arah meja makan dan melihat Cika berdiri mematung dengan segelas air dipegang olehnya yang tinggal setengah.

Keduanya saling memandang, keterkejutan tampak di mata masing-masing, namun Al dengan cepat tenang. "Kamu terbangun?"

Cika berpaling ke arah lain, lalu mengangguk.

"Itu, aku kembali ke kamar!" Setelah mengatakan itu, Cika berjalan dengan kaku ke arah kamar, seolah kabur dari suasana ambigu.

Al menggaruk hidungnya dengan perasaan malu, dia melupakan orang tambahan di rumahnya, yaitu istri kontraknya.

Al melihat sekeliling, dia mendapati beberapa barang tambahan di rumahnya, dan tersadar bahwa kini dia tidak sendirian lagi. Ruangan ini memiliki pemilik baru yang akan berbagi dengannya.

Al membereskan kekacauan di pikirannya dengan cepat.

Cika menarik selimut sampai ke dadanya, dia mencoba menutup mata dan menenangkan pikirannya.

Al muncul dengan piyama hitam dan celana selutut, Al melirik ke arah ranjangnya lalu pada Cika yang sudah menutup mata seolah tertidur. Al ingin sekali mengutuk dirinya.

Dia lupa mengenai pembagian tempat tidur. Dulu dia pikir dengan memiliki apartemen kecil ini cukup untuknya, lagipula dia tidak sering beraktivitas di sana. Namun, ruangan yang dia rasa cukup menjadi tidak pasti sekarang.

Al melirik ke arah seluruh ruangan. Selain ranjang yang berukuran agak besar dengan jarak yang cukup untuk memisahkan mereka, benda lain di ruangan tidak cukup nyaman untuknya. Sofa kecil untuk dia yang memiliki panjang 178 cm bahkan kakinya saja tidak muat untuk berselonjoran di sana. Tidur di kursi kerja? Pasti tidak. Al memusatkan perhatian pada balkon di mana satu set kursi santai terletak, namun niat itu dia urungkan karena di luar pasti banyak nyamuk dan lain-lain. Dia tidak ingin menyakiti badannya sementara besok dia harus bekerja.

Lagipula, dia tidak bisa selamanya tidur di sofa atau kursi selama mereka masih menikah, dan pasti akan ada kesempatan untuk mereka harus tidur bersama. Jika dipikir, toh hal itu juga akan terjadi, mau sekarang atau nanti, mereka bisa membiasakannya saja. Setelah memikirkan itu, Al dengan tenang berjalan ke sisi ranjang dan tidur di samping Cika.

Sebuah bantal guling menjadi pembatas untuk mereka, walau masih ada jarak yang cukup diantara mereka.

Al pikir dia tidak akan bisa tidur karena itu, namun dia meremehkan badannya yang lelah karena seharian bekerja. Tidak lama, alam bawah sadar menyambutnya.

Cika menghembuskan nafas lega saat mendengar deru nafas Al yang sudah stabil. Dia membuka matanya dan melirik ke samping.

Al terlelap di sisi Cika, dia kira Al akan mempermasalahkan masalah tidur bersama, namun sampai sekarang tidak terjadi. Cika pikir Al setidaknya akan mengungkitnya setelah lama berpikir, ternyata dugaannya kembali salah. Apa Al memang berniat begini? Agar mereka tidur bersama?

Cika membalikkan badannya perlahan menghadap ke arah Al sambil menatap wajah tidurnya.

"Tampan juga," gumamnya, "tidak seperti di internet, dia lebih tampan di aslinya," bisiknya lagi.

Cika tersenyum. Untungnya Al mau menerima proposalnya, atau dia tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin dia akan menyerah dan menyetujui rencana mantan bosnya untuk menjadi simpanan, atau menjadi gelandangan setelah menghabiskan semua sisa gajinya.

"Terima kasih, aku akan berusaha membuatmu tidak menyesali pilihanmu," bisiknya sambil tersenyum dengan tekad di matanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!