NovelToon NovelToon

Luka Yang Mendalam

Prolog

Setiap manusia pasti akan merasakan yang namanya sebuah cinta. Mungkin, masing-masing orang mengartikan sebuah perasaan cinta kepada seseorang berbeda-beda. Bagiku, perasaan suka kepada seseorang, bisa membuat kita nyaman, merasa bahagia, dan mengerti tentang kita. Maka itulah cinta, itu sih menurutku? Bagaimana dengan kalian??

Baiklah, aku akan menceritakan kisahku. Ketika untuk pertama kalinya tuhan mempertemukanku dengan seorang laki-laki yang menurutku aneh.

Saat itu, setelah memutuskan untuk melanjutkan sekolah di pesantrenan. Aku begitu sangat bahagia sekali. Aku berkeinginan ingin sekolah di Cairo. Sehingga, guru-guruku maupun teman-teman menyarankan agar melanjutkan sekolah dulu di pesantrenan untuk menggali ilmu agama lebih dalam lagi.

 

Keinginanku masuk pesantrenan tercapai. Walau pun penuh perjuangan agar bisa masuk. Allah memberikan jalan. Dan keinginan seseorang sering kali tidak sesuai dengan realita.

Awal masuk di Pesantrenan itu sungguh menyakitkan. Harus rela jauh dari orang tua dan jauh dari kampung halaman.

 

Namun, semua itu bisa teratasi saat aku berusaha sebisa mungkin menyesuaikan diri dengan teman\-teman baru. Aku juga ingat dengan keinginan dan cita\-citaku. Sehingga tidak butuh waktu lama aku merasa nyaman dan bisa menyesuaikan diri di dalam pondok Pesantren.

 

 

Oke, beberapa bulan di Pesantren. Tiba-tiba saja Allah mempertemukanku dengan seorang laki-laki yang berbadan tinggi dan memiliki postur badan yang lumayan tampan. Jika kalian melihatnya, beliau mirip seperti laki-laki Arab. Tidak lupa juga, ia memiliki hidung mancung dan berkulit putih.

 

Yang aku sebut ini tidak lain adalah ustazku sendiri atau guru yang mengajar di Pesantren tempatku menggali ilmu. Namanya ustaz Aris yang sekaligus adalah putra pimpinan pondok tempatku sekolah tersebut.

 

Awal pertemuan kami biasa-biasa saja. Tapi ... entah kenapa, ustaz Aris memperlakukanku berbeda dengan santriwati yang lainnya. Hingga, teman-teman pun sering sekali bilang kalau Ustaz Aris menyukaiku.

Olokan teman-teman yang sering menyatukan kami menjadi sebuah kenyataan. Ustaz Aris yang dulunya hanyaku anggap seorang guru kini menyatakan cintanya kepadaku.

Sebuah perasaan yang dirasakan oleh kedua insan tidak serta merta membuat hubungan itu langsung di restui atau tidak. Di dalam kehidupan ini, banyak cinta yang tak di restui. Dan itu realitanya, aku merasakan hal tersebut.

Yang dulunya, ingin mengejar cita-cita agar bisa melanjutkan sekolah ke Cairo punah. Hubunganku dan ustaz Aris yang di dengar oleh berbagai pihak juga tidak lupa menyakiti hati ibuku. Beliau begitu sangat kecewa, saat tau anak semata wayangnya gagal mengejar cita-citanya hanya karena sebuah cinta yang untuk pertama kalinya aku rasakan.

Pengkhianatan juga untuk pertama kalinya aku rasakan jua. Kepercayaan kepada seorang laki-laki yang sangat kita cintai di runtuhkan oleh orang-orang terdekat.

Ustaz Aris pun terpaksa harus menikahi seorang ustazah yang tidak lain beliau juga adalah guruku. Karena keinginan abi dan uminya, ustaz Aris lebih memilih perintah orang tuanya dari pada harus menikahiku.

Seorang wanita yang pernah dicintainya, kini di tinggalkan begitu saja. Padahal, kedekatan kami yang begitu erat. Membuat kami berdua berjanji untuk menikah. Karena kami tau itulah jalan terbaik agar terhindar dari dosa yang tidak kami inginkan. Perjanjian itu pun seketika gagal saat hubungan kami tidak restui. Dan aku lebih memilih keluar dari pesantrenan setelah begitu malunya menerima pengkhinaan dari kedua orang tua ustaz Aris yang tidak menyetujui hubungan kami.

Sangat sakit. Teramat sakit. Aku tidak tau harus dengan apa mengutarakan rasa sakit ketika dikhianati.

Air mata rasanya tidak ada artinya walau terus mengalir. Rasa sakit yang ada di dalam hati melebihi apa pun.

Dengan berbagai cara aku berusaha membuka lembaran baru dan melupakan sosok laki-laki yang masih tetap ada di dalam hati. Walau di sakiti, tetap saja ia selalu terngiang dalam pikiran.

Dan ... beberapa lama kemudian. Allah mempertemukan kami lagi. Apakah rencana tuhan? Aku juga bingung?? Setiap kali menghindar. Setiap kali kami harus di pertemukan lagi. Lagi dan lagi.

Hingga, kami di pertemukan lagi oleh Allah di suatu tempat. Pertemuan itu begitu sangat sakit saat melihat ia harus bergandengan tangan dengan perempuan lain. Sekeras apapun cara menghilangkan sakit tetap saja sakit di dalam hati semakin menggebu.

Aku mencoba untuk melupakan dan menghapus semua kenanganku. Karena aku tidak ingin menjadi manusia pembenci mau pun pendendam. Usaha itu berhasil sedikit demi sedikit. Ketika ustazah Nisa tiba-tiba saja bersikap baik kepadaku.

Bahkan, ia begitu sangat baik kepadaku. Seingatku, ia begitu tidak suka kepada diri ini. Sampai-sampai ia melarangku dulu untuk tidak dekat dengan ustaz Aris. Tidak pernah tau apa maksud dan tujuan sikap baik mereka.

 

Satu hal yang akan kalian tau. Sungguh mengejutkan! Saat ustaz Aris tiba\-tiba saja mengajakku untuk menikah. Apa reaksi seorang wanita ketika di lamar oleh seorang laki\-laki yang sudah mempunyai istri.

 

Jujur, jantungku seketika berhenti berdetak rasanya. Kakiku terasa tidak bisa bergerak. Mulutku terasa kaku.

Apa maksudnya mengajakku menikah? Sebegitu gampangkah seorang laki-laki melamar perempuan tanpa ia harus berfikir panjang dulu.

 

Saat aku menjawab. Maka jawabku adalah tidak. Siapa pun wanita tidak akan pernah rela untuk berbagi hati kepada wanita lain. Apalagi harus dijadikan kedua. Mau ditaruh dimata harga diri ini. Dan aku tidak akan pernah mau jika dianggap sebagai perebut suami orang.

Yang paling mengejutkan lagi. Ternyata, ustazah Nisa pun juga menyetujui ustaz Aris kalau menikah denganku.

Dengan rasa percaya diri. Di saat usiaku sudah memasuki 21 tahun lebih. Aku berusaha menjawab dengan dewasa dan tenang.

 

"Bahwa, aku tidak mau menyakiti wanita lain jika harus menikahimu. Cukup kita menjadi sahabat saja. Masa lalu biarlah berlalu. Jangan ungkit semua kesalahanmu. Memaafkanmu adalah kewajiban yang harus saya lakukan sebagai hamba Allah. Jika Allah maha pemaaf. Maka setiap hambanya harus seperti itu pula."

 

Yah. Itulah jawabanku. Harapanku saat itu adalah perkataan yang telah ku lontarkan adalah jawaban terakhir. Namun, nyatanya tidak. Aku berusaha menghindar, tapi ia tetap saja mencari. Sebegitu besarkah cintanya kepadaku.

Jikalau bisa, rasanya ingin menghilang dari muka bumi ini supaya ia tidak terus mencariku. Bagaimana bisa, seorang laki\-laki yang sudah mempunyai istri dan dipanggil seorang ustaz harus mengejar perempuan lain.

Ia lagi dan lagi melamarku dengan berbagai cara. Jelas saja, aku tidak akan pernah mau untuk dijadikan istri kedua. Apalagi poligami. Tidak akan pernah mungkin.

Semua apa yang dilakukan oleh ustaz Aris diketahui juga oleh ibu. Pastinya. Ibuku tidak akan pernah mau melihatku menikah dengan laki\-laki yang sudah mempunyai istri. Karena itu adalah hal yang akan sangat sakit untuk aku rasakan. Begitulah kata ibuku.

 

Penasaran dengan ceritanya? Tetap pantengin update dari saya sahabat muslimah. Apakah jawaban seorang Manda, ketika ustaz Aris tidak ingin menyerah untuk bisa menjadikannya seorang istri. Akan banyak lika-liku dalam cerita ini.

Tetap pantengin teruss 😊😊

Syukron 😊😊 untuk para sahabat yang sudah berkenan mau membaca cerita saya ini.

Kelulusan Sekolah

Aku berdiri bersama siswa dan siswi yang lainnya di bawah terik sinar matahari. Menaruh sebelah tangan kanan di atas dahi, sebagai tedeng untuk menghindari silaunya sinar matahari yang menyengat.

Aku merupakan anak tunggal dari ibu Fatimah dan nama bapakku bernama Muhammad.

Hari ini aku menunggu pengumuman kelulusan sekolah. Di mana aku menggali ilmu di sekolah menengah atas atau di sebut SMA Nusa Bangsa. Menunggu kelulusan sampai siang membuatku dan teman-teman lainnya kesal. Karena harus menunggu berjam-jam untuk sebuah kelulusan sekolah. Di tahun 2000 yang masih sangat jauh dari kata kecanggihan, aku berharap suatu saat pengumuman sekolah diumumkan secara cepat dan tidak harus membuat para pelajar menunggu lama dan kepanasan.

Setelah menunggu lama, aku dan teman-teman lainnya akhirnya mendengar bahwa semua siswa dan siswi kelas dua belas lulus seratus persen. Semua siswa siswi SMA Nusa Bangsa sangat bahagia, begitu pula denganku yang loncat kegirangan karena bahagia bisa lulus.

Tanpa menunggu lama, aku bergegas cepat untuk pulang memberitahu ibu yang berada di rumah. Dengan memakai sepeda sederhana, kugayuh sepeda dengan cepat agar sampai rumah.

Rumahku lumayan jauh jaraknya dengan sekolah. Sehingga harus menggunakan sepeda untuk berangkat sekolah. Untung saja ibu baik hati mau membelikan sepeda.

Rumahku terletak di Lombok. Yang Desanya jauh dari keramaian. Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di rumah. Dan pastinya, harus berangkat pagi-pagi untuk ke sekolah.

Terlihat jelas, sesampainya aku di depan rumah berdinding pagar bambu. Pagar bambu yang sudah mulai lapuk dan rumah sederhana yang membuat aku dan ibu merasa nyaman untuk berteduh.

Aku seorang gadis berasal dari Lombok yang hanya tinggal bersama ibu. Ayahku pun sudah meninggal lima tahun lalu karena mengalami kecelakaan.

Kejadian yang tidak pernah diinginkan harus terjadi kepada laki-laki yang sangat kuhormati tersebut, tetapi kepergian ayah sudah menjadi ketentuan Allah yang tidak bisa diubah oleh siapa pun jua. Aku dan ibu harus menerimanya dengan lapang dada tanpa harus bersedih berkepanjangan.

“Assalamu’alaikum,” ucapku seraya menaruh sepeda di depan teras rumah.

“ Wa’alaikumsalam,” jawab ibuku.

“Ibu ... Ibu. Ibu di mana?”

“Iya, ada apa, Nak?” Ibu pun keluar ketika aku berteriak memanggilnya.

“Ibu. Aku lulus ...” ucapku langsung memeluk wanita yang sangat kusayangi tersebut dengan kegirangan.

“Ya Allah, Nak. Alhamdulillah. Ibu sangat bahagia sekali kamu akhirnya lulus juga,” kata ibu seraya memberikan belaian lembut kepadaku. Suatu belaian yang diberikan oleh seorang ibu kepada putrinya dengan penuh kasih sayang. “Sekarang, kamu ganti baju terus makan, ya.”

“Iya, Buk. Aku ganti baju dulu. Oh ya, Buk. Emmm... aku jadi tidak, sekolah di pondok?” tanyaku kini menatap lekat netra ibu.

Namun, alih-alih ibu menjawab. Beliau hanya terdiam mendengar pertanyaan dariku.

“Mmm ... Nanti ibu usahain, sekarang tugas kamu belajar dan terus belajar.”

Aku hanya mengangguk saat ibu memberikan semangat agar tetap rajin belajar. Walau pun terlihat, beliau seperti bingung saat menjawab pertanyaanku untuk sekolah di pesantrenan.

Sejujurnya, aku takut jika ibu akan kesulitan dengan permintaanku nantinya. Meski pun tau betapa inginnya ibu bisa melihatku yaitu putri satu-satunya ini menjadi orang sukses kelak nanti.

Bagaimana pun juga, aku hanya harapan satu-satunya apalagi setelah ayah telah tiada. Ibu tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain diriku.

Sementara, aku yang mendengar jawaban beliau hanya mengangguk mengiyakan seraya pergi ke kamar untuk mengganti baju. Aku tau, jika ibu sangat bingung. Terlihat jelas raut pada wajahnya. Belum lagi beliau sangat kesulitan dalam hal biaya.

Jika beliau nantinya tidak bisa menyekolahkanku di pesantrenan, maka aku tidak ingin memaksa. Atau pun membuat beliau terbebani dengan keinginanku. Karena setauku ibu sangat terlalu lelah selama ini membiayai sekolah dan kebutuhan kami sehari-hari.

 

Ibuku adalah seorang buruh tani, yang kehidupannya serba kesulitan. Makan pun sangat sulit untuk setiap harinya. Kadang kala, aku harus membantunya jika bekerja di sawah orang, meski panas sangat menyengat hingga terasa membakar kulit. Tapi ... ibu tidak pernah mengeluh.

Sehingga, semua itu terasa nikmat untuk dilakukan dan semua karena demi mencari sebuah rizki. Meski melelahkan, ibu tetap sabar melakukannya. Katanya, semasi pekerjaan itu halal dan sabar untuk kita jalani. Maka akan terasa nikmat untuk kita lakukan.

 

******

“Kamu potong pisangnya dulu. Ibu mau keluar beli minyak goreng,” kata ibu yang akan keluar ke warung.

“Iya, Buk.”

Sebelum ibu balik, aku fokus memotong pisang yang disuruh. Dan tidak butuh waktu lama, hanya sepuluh menit ibu datang membawa minyak goreng yang sudah dibeli. Selain bekerja sebagai buruh tani, jika ada waktu ia juga berjualan gorengan.

Namun, berjualan gorengan keliling sangat jarang dilakukan. Hanya saja kalau ada waktu senggang baru ibu membuat jajanan kecil-kecilan untuk di jual supaya ada uang tambahan untuk kehidupan sehari-hari.

“Kamu sudah selesai?” tegur ibu mendekatiku.

“Iya, Buk. Sudah selesai,”

“Kamu tuang dulu minyaknya,” kata ibu mengajariku, “nanti Ibu buat adonannya, Nak.”

Aku lalu menuangkan minyak goreng ke dalam wajan. Sebelum minyaknya panas, aku membantu mengaduk adonan yang sudah dibuat. Beberapa menit kemudian, minyak mulai panas. Dan aku mulai memasukkan adonan satu per satu yang sudah siap untuk di goreng.

Hari ini, ibu harus membuat makanan berupa gorengan yang disuruh oleh orang tempat ia selalu bekerja sebagai buruh tani. Jika aku tidak ada kegiatan, seperti: Les atau ekstrakurikuler lainnya.

Maka aku membantu bekerja di sawah tempat ibu biasa bekerja. Gorengan yang dibuat pun sangat sederhana, hanya sebuah pisang goreng.

Oh, iya, ada suatu hal yang sering ibu lakukan yaitu membuat pagar bambu. Sebagai orang sasak di Desaku selain masyarakat kebanyakan berprofesi sebagai petani. Sebagian orang juga berprofesi sebagai pembuat pagar yang dibuat dari bambu yang sudah di pilah dan dibersihkan.

******

“Buk ... panas?” ucapku dengan wajah yang mulai memerah karena sinar matahari yang begitu menyengat.

“Kalau kamu capek, istirahat saja,” jawab ibu dengan wajah sedih dan merasa kasihan melihatku. Di saat merengek di depannya aku melihat jelas beliau sebenarnya tidak tega.

“Tidak, Buk. Nanti kalau berhenti kerja, aku tidak dapat banyak metik cabenya. Dan ... kalau cabenya kurang, upahku sedikit nanti, Buk.”

“Hmm. Ya sudah, tapi jangan terlalu paksakan diri. ‘Kan Ibu kerja juga. Kalau kamu lelah, istirahat ya,” ujar ibu lagi dengan mengembangkan senyuman lebar di depanku.

Ibu dan aku meneruskan kembali memetik cabe. Sebenarnya aku tidak tahan jika harus memetik cabe di bawah sinar matahari yang begitu menyengat. Seringkali wajahku memerah jika pulang dari sawah sehabis membantu ibu. Aku bahkan sering kali merasa sedih dengan keadaan kami yang seperti ini. Harus bekerja keras dengan upah yang tidak seberapa.

Di umurku yang sudah 18 tahun ini aku membantu ibu jika saat libur sekolah. Dan ... hanya bisa membantu ibu jika memang aku pulang sekolah cepat.

Aku tinggal di sebuah gubuk yang jauh sekali dari keramaian. Tidak perlu menyebut nama gubuknya, intinya aku dan ibu tinggal di salah satu Desa yang berada di Lombok atau sering disebut dengan pulau seribu masjid.

Di Desaku kebanyakan orang bekerja sebagai petani mau pun buruh tani. Bagiku, bekerja di sawah itu menyenangkan. Walau harus panas-panasan, tetap saja itu pekerjaan yang sangat mulia. Jadi, jangan pernah remehkan orang yang bekerja di sawah! Semasih itu halal, maka akan tetap diridhai oleh Allah.

Saat di perjalanan akan pulang, setelah seharian bekerja di sawah membantu ibu. Ibu menasehati agar menjadi orang yang tetap bersyukur dan tidak menjadi orang yang cepat mengeluh. Karena seberat apapun cobaan hidup, jika di jalani dengan lapang dada, tetap bersyukur dan sabar maka akan nikmat untuk dilewati segala kepedihan yang menghampiri. Dan tetap yakinlah, Allah mempunyai rencana indah untuk setiap hambanya. Walau Allah menguji hambanya terlebih dahulu dengan berbagai macam lika liku, tetapi Allah mempunyai setiap lembaran tertentu untuk hambanya. Karena aku seorang muslim, maka aku pun percaya dengan kebesaran dan ketentuan yang Allah sudah tentukan.

Masuk pesantrenan

Beberapa hari kemudian, aku diajak ke salah satu pesantrenan oleh ibu. Pondok pesantren yang sudah banyak dikagumi oleh beberapa orang.

Pondok pesantren yang terletak di Lombok Barat. Pesantrenan itu pun cukup jauh, tetapi ibu tidak perduli seberapa jauhnya asalkan putri sulungnya ini bisa sekolah di pesantrenan tersebut.

Dengan memakai angkutan umum, butuh perjalanan lama agar bisa sampai ke pesantrenan yang akan dituju. Karena, Lombok Barat dengan Lombok Utara lumayan jauh. Jadi, butuh waktu berjam-jam untuk sampai di kota Mataram.

Aku merasa sangat senang sekali selama perjalanan aku melihat suasana di luar. Setelah lulus sekolah, ini ke dua kalinya aku akan menginjakkan kaki di kota Mataram. Yang penuh dengan keramaian dan banyak sekali pusat-pusat perbelanjaan yang kulihat.

“Kenapa kamu tidak kuliah saja?” tanya ibu kepadaku ketika sedang berada di dalam angkutan umum.

“Aku akan kuliah, Buk. Tapi ... Manda ingin menggali ilmu agama lebih mendalam lagi. Makanya milih sekolah dua tahun dulu di pondok. Nanti kalau sudah jadi Hafizah, semoga bisa melanjutkan kuliah di Universitas Cairo. Doakan, ya, Buk.” Aku berusaha tersenyum lebar menjawab ibu yang duduk di dekatku.

“Amin ya Allah. Semoga cita-cita muliamu bisa terwujud, anakku,” ujar ibu seraya mengelus lembut punggung tanganku.

Empat jam lebih berada di perjalanan untuk sampai di pondok pesantrenan Ar-Rahman cukup melelahkan. Di karenakan Lombok Utara ke Lombok Barat cukup jauh. Belum lagi aku dan ibu memakai angkutan umum sehingga harus lama berada di perjalanan.

Sesampai di pondok pesantren, aku pun menunggu ibu yang masuk untuk menemui pengurus pondok, membicarakan biaya yang akan di gunakan supaya bisa sekolah di sana.

Pesantrenan yang ingin aku masuki ini lumayan luas. Dan santri juga banyak, banyak sekali orang yang mengagumi pesantrenan itu. Banyak yang aku dengar, lulusan pesantren sini banyak yang bisa melanjutkan sekolah di Cairo. Aku yakin tidak ada yang tidak mungkin jika Allah memang berkehendak. Aku harus bisa menggapai mimpiku untuk sekolah di luar negeri sana. Betapa inginnya aku menjadi seorang hafizah dan menjadi seorang Ustazah.

Setelah lumayan lama duduk sendiri menunggu ibu, tiba-tiba saja ibu keluar dengan wajah murung. Tanpa basa basi, ibu langsung mengajakku pulang tanpa berkata apa pun dan hanya diam seperti memikirkan sesuatu. Aku yang melihat ibu seperti terasa tidak berani untuk bertanya. Aku hanya mengangguk saat beliau mengajak untuk pulang. Dan rasanya ragu untuk menegur beliau.

“Ibu. Ibu, kenapa?” tanyaku saat perjalanan untuk pulang.

“Tidak ada,” jawab ibu cepat dengan wajah murung dan seperti menyembunyikan sesuatu.

Rasanya berat untuk sekedar menegur beliau. “Ibu, tadi bicarain apa di dalam sama pengurusnya?” tanyaku lagi dengan penasaran.

“Bicarain bagaimana caranya supaya kamu bisa masuk di sekolah pesantrenan itu." Terlihat jelas ibu seperti berusaha menyembunyikan beban dalam dirinya, “kamu tenang saja, semuanya Ibu yang pikirkan.”

Mendengar perkataan ibu aku hanya bisa berusaha tersenyum di depan wanita yang memakai kerudung coklat itu seraya mengiyakannya. Di dalam pikiranku, apakah biaya masuk pesantrenan itu mahal atau tidak? Aku takut, jika harus membebani ibu gara-gara kemauanku.

Karena, jika ibu terbebani dengan kemauanku. Maka aku akan merasa sangat bersalah kepada ibu.

Di sisi lain aku merasa bingung dengan sikap Ibu, yang hanya diam semenjak pulang dari pondok pesantren Ar-Rahman. Di dalam pikiranku terus dikelilingi pertanyaan apakah biayanya mahal masuk sekolah pesantren? Apakah gara-gara itu ibu terus saja diam tanpa berkata apa-apa??

Ketika malamnya saat aku akan ke dapur untuk mengambil air, kulihat ibu duduk di teras depan rumah.

Aku masih bingung melihat ibu. Dengan perasaan ragu, aku mencoba memberanikan diri dan bertanya. Langkahku terasa berat.

“Buk,” tegurku memecahkan lamunan ibu yang sedang duduk di teras rumah.

Dengan wajah sedikit kaget, ibu seperti berusaha memasang wajah biasa-biasa saja di depanku.

“Loh, kenapa kamu belum tidur?” tanya ibu mendongaku.

“Seharusnya aku yang tanya? kenapa ibu belum tidur juga?” Aku kini duduk mendekatinya.

“Tidak ada, Nak. Ibu tidak bisa tidur.”

“Ya sudah, aku nemenin Ibu di sini.”

“Jangan. ini sudah malam, kamu tidur sana?” kata ibu lagi menyuruhku untuk tidur duluan.

“Nggak mau, Buk. Ibu kenapa? Cerita sama Manda, Buk.” Aku memegang ke dua tangan ibu yang terasa dingin.

“Hemmm ...” Ibu menarik nafas pelan melihatku. “Baik, Ibu akan cerita sama kamu.”

Namun, ibu pun terdiam lagi, karena seperti ada keraguan untuk mengatakan sesuatu di hadapanku. Sikap beliau semakin membuatku penasaran.

“Kok Ibu diam lagi?” tanyaku dengan sedikit kesal.

“Biaya di pondok pesantren itu ... mahal. Ibu bingung? Dari mana akan dapat uang untuk biaya kamu agar bisa sekolah di sana.” Terlihat wajah sedih dari ibu ketika menjelaskan semuanya kepadaku.

Aku yang melihat ibu sedih, merasa bersalah gara-gara ingin sekolah di pesantrenan membuatnya menjadi terbebani karena keinginanku.

“Maaf, Buk. Manda sudah buat Ibu sedih. Gara-gara ingin sekolah di pesantrenan,” ucapku seraya menunduk merasa bersalah kepada ibu.

“Heh, kamu tidak usah minta maaf. Kamu tidak salah apa-apa, ini sudah jadi kewajiban Ibu untuk membiayaimu.”

Tapi alih-alih ibu putus asa. Bahkan beliau berusaha meyakinkanku agar tetap yakin bahwa aku bisa sekolah di pondok. Walau pun sebenarnya berat untuk ia tanggung.

“Buk, kalau gara-gara ini buat Ibu sedih. Manda nggak apa-apa kok, nggak usah sekolah di pondok. Aku akan sekolah di sini-sini aja,” ucapku sedih di hadapan ibu.

“Eh, kamu jangan sedih. Ibu tidak mau lihat kamu sedih seperti ini.”

“Manda nggak sedih, Buk. Tapi ...”

“Ya, sudah. Ayok kita masuk,” ajak Ibu menghentikan ucapanku. “Intinya, insya Allah Ibu akan tetap usahakan agar kamu bisa masuk di pesantren sana.

Ibu pun mengajakku untuk masuk dan tidur karena sudah larut malam.

Jelas sekali ibu berusaha agar tidak membahas masalah biaya sekolah bersamaku. Aku tau karena ia tidak ingin jika aku harus ikut merasakan sedih seperti apa yang dirasakan. Orang tua mana pun, pasti akan tetap berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya. Kebahagian seorang anak juga kebahagiaan orang tua.

Begitu pula, jika seorang anak terluka maka orang tua pun akan merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya.

******

Mentari pagi yang begitu cerah, ibu keluar entah kemana tanpa memberitahuku. Aku yang sendiri di rumah, pagi-pagi sudah mencuci baju-baju kotor. Dengan perlahan dan hati-hati aku mencuci baju yang kotor satu persatu.

“Manda ... Manda!” terdengar suara ibu yang memanggilku dari luar.

“Iya, Buk ...” Aku pun melepas cucian untuk menghampiri ibu yang berada diluar.

“Ada apa, Buk?” tanyaku yang melihat ibu berdiri didekat pintu.

“Nak, kamu tau. Besok ... kamu jadi sekolah di pesantrenan,” ucap ibu dengan senyuman lebar.

Aku menatap lekat netra ibu, dan bingung dengan perkataannya.

“Loh, kenapa bisa?” tanyaku lagi dengan heran dan bingung.

“Pokoknya, kamu tenang saja. Tugas kamu sekolah dan belajar yang rajin supaya apa yang kamu cita-citakan bisa terwujud.”

“Maksud ibu apa?”

“Intinya, kamu jadi sekolah di pesantren itu. Dan ibu sudah di beri tahu tadi. Pihak sana menghubungi ibu."

“Ibu beneran! Ibu nggak ngarang ‘kan. Aku bahagia sekali dengar semua ini, Buk.” Aku memeluk erat ibu. Karena betapa bahagianya aku akhirnya bisa sekolah di pesantrenan juga.

Semenjak berita yang kudengar akan jadi sekolah di pondok pesantren membuatku begitu sangat bahagia. Dari sanalah aku mulai mengurus berbagai macam surat-surat yang akan diperlukan untuk masuk di pesantrenan.

Dua hari setelah mengurus semua persyaratan, aku pun di antarkan oleh Ibu ke Lombok Barat, di mana tempatnya berdiri pesantrenan Ar-Rahman.

*****

Aku sangat sedih ketika tau akan jauh dari ibu dan jarang bertemu. Namun, dibalik kesedihan juga ada rasa bahagia ketika ibu bisa melihatku sekolah di pesantren menjadi kenyataan.

“Ibu pulang dulu, kamu baik-baik di sini, ya?” kata ibu kepadaku sebelum pulang.

“Iya, Buk. Hati-hati dan Ibu jaga kesehatan juga. Tidak usah khawatirin Manda. Aku ‘kan sudah besar,” ucapku lagi meyakinkan ibu.

“Ya sudah, Ibu pulang dulu. Ingat! belajar yang rajin supaya kamu bisa jadi hafizah dan bisa sekolah di Cairo yang kamu inginkan.”

“Iya, Buk. Pasti,” jawabku lagi dengan yakin.

Pertama masuk di pesantrenan, aku merasa asing dan hanya terdiam duduk di kamar. Karena belum aktip belajar, aku hanya diam di kamar tanpa adanya teman yang kukenal.

Maklum saja, karena aku santriwati baru. Sehingga aku juga merasa malu untuk menyapa duluan. Tapi ... saat duduk sendirian, tiba-tiba saja ada seorang gadis yang datang menghampiri dan seumuran denganku pastinya.

“Hai, nama kamu siapa?” tanya salah satu santriwati dengan ramah yang berada di pesantren mendekatiku.

Aku mendonga gadis bermata bulat yang berdiri menghampiriku penuh ramah. Dan dengan cepat aku membalas sapaan ramah dari gadis itu.

“Imanda, atau panggil saja Manda,” jawabku seraya bangun dari dudukku.

“Namaku Salsa,” jawabnya lagi dengan tersenyum lebar melihatku. Lalu menjulurkan tangan dihadapan untuk mengajak bersalaman.

“Oouhh ... nama kamu Salsa, ya, Kamu dari mana?”

“Aku dari Lombok Barat. Nggak terlalu jauh sih dari pondok ini,” jawab Salsa ramah kepadaku.

“Baguslah, rumah kamu nggak jauh dari sini.”

“Kalau kamu dari mana?” tanya Salsa lagi.

“Aku dari Lombok Utara,” jawabku singkat.

“Berarti jauh banget, ya,” kata Salsa lagi.

Semenjak perkenalan itu, Aku dan Salsa bersahabat dengan baik. Aku juga selalu bersama Salsa dan berbagi bersama satu sama lain. Salsa merupakan teman pertama yang kukenal ketika masuk di pesantrenan itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!