"Kamu janji, kan, gak bakalan ninggalin aku?"
Angin malam berembus cukup kencang, seperti kesedihan yang mereka alami sekarang. Desiran arus sungai dibawah mereka bergerak tenang dan menghanyutkan suasana. Yaa ..., Ani dan Rian, mereka berdua sedang menatap bulan, tepat di jembatan yang menghubungkan jarak antar rumah mereka.
Di seberang sungai, mobil-mobil sudah mengangkut dan mengemasi barang-barang Rian. Ia akan pindah ke New York malam ini, sehingga ia harus meninggalkan temannya, Ani.
Ani menatapnya dengan tatapan sedih, ia tidak mau kehilangan seseorang lagi diusianya yang masih sangat muda.
Setelah kepergian ayahanda dan ibundanya saat ia masih balita, haruskah ia kehilangan seseorang yang amat berarti bagi dirinya? Siapakah pelaku dibalik semua ini yang berani menghancurkan isi hatinya? Ia tidak tahu. Tidak ada seseorangpun yang mengetahuinya. Mungkin fakta ini sangat mengherankan, tetapi ia sedikit ketakutan jika ditinggal pergi oleh seseorang.
"Iya, Ni. Aku janji gak bakalan ninggalin kamu, kita kan...." Rian menggantung kata-katanya karena tak tega melihat Ani yang sedang menahan air mata. Bibirnya bergelombang serta menggeleng-gelengkan kepala pelan. Seperti tak mau menerima takdir.
"Kita kan, sahabat, Ani. Kamu gak usah khawatirin aku, aku selalu ada disisi kamu." sambung Rian agar Ani tak cepat salah paham. Ia memegang pundak kanan Ani dan tersenyum seraya memamerkan giginya yang berkilauan diterpa sinar bulan.
Ani mengelap air mata, kemudian mengangguk dengan lemah. Iris cokelat gelapnya menatap netra hitam milik Rian. Ada rasa tulus dalam mata hitamnya yang sangatlah indah, apalagi jika dipandang dalam cahaya yang meredup seperti sekarang ini. cahaya sebagai saksi alam atas perpisahan mereka.
Bulan yang memancarkan sinar cahayanya, ada arti kesetiaan di bawahnya. Seseorang yang terus bersama, akan berpisah. Namun, siapapun yang pergi, akan datang kembali dalam wujud yang berbeda, kan?
"Ani! Pulang! Kak Akira nungguin kamu di rumah! Cepetan pulang!" suruh Reezal–kakak laki-laki Ani dari kejauhan. Nada suaranya terdengar seperti tak suka jika Ani sedang ada bersama Rian.
"Pulang sekarang juga!" perintahnya lagi sambil berdecak kesal. Ia berdiri didekat jembatan.
“Iy-iya kak!" balas Ani. Ia mengelap air mata yang sukses menuruni pipi manisnya.
Rian mengangguk-ngangguk pelan, seperti sedang memikirkan lantunan kata-kata untuk Ani dengarkan. Ia tak mau gadis kecil yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri itu larut dalam kesedihan hanya karena dia pergi. Tidak mau dan tidak akan pernah mau. Sungguh.
Ani tampak tak sabar untuk mendengarkan potongan kalimat dari bibir Rian. Rian tertawa sejenak, tapi masih memikirkan apa yang harus dia ucapkan. Beberapa menit kemudian, dia sudah mendapatkan gambaran tentang kata-katanya.
"Kenapa, Rian?" tanya Ani.
"Rian Abram William, ingat nama itu,"
"Orang yang dapat membuatmu bahagia, setelah kedua kakakmu. Eh, enggak deh. Orang yang suka bikin masalah, hehe-"
"Dengarkan aku, Arthila Andriani,"
Rian mengeluarkan sebuah kalung berwarna biru berlian yang mengkilap bertuliskan 'Bestfriend'. Ia mengusap pelan benda itu, lalu menyodorkannya kepada Ani. Bermaksud menyuruhnya untuk memakai kalung yang
diberikannya.
Ani sempat melongo tak percaya, tapi pada akhirnya ia menerima pemberiannya. Ani memakai kalung itu dengan senyum getir, karena bagaimanapun juga Rian tetap orang yang terbaik untuknya,
Sebagai sahabat.
"Kita akan berjumpa suatu hari nanti" Rian menatap langit yang semakin lama semakin menggelap dimakan awan. Tenang sekali rasanya menghirup bau segar dari pohon disekitarnya.
"Di kota california."
Riani....
Ketika dua insan yang telah lama berpisah, di pertemukan kembali di kota California, Amerika Serikat.
Kringgg!! Kringg!!
“oh ya? Besok udah dapat mengambil ijazahnya? Baik pak, makasih banyakkk"
Tuttt!
Gadis tadi berjalan turun melewati tangga yang tersusun rapi dan melingkar. Perasaan senang, senang, dan senang bercampur aduk dikepalanya. Persoalan dengan kepala sekolah tadi masih terbayang-bayang dikepala. Bahkan, Ia tak percaya akan lulus secepat ini. Ia masih membayangkan awal bisa masuk ke SMK swasta sampai lulus seperti sekarang. Semua ini berlalu dengan cepat.
“lulus ya?“ tanya kakak dari gadis itu dari dapur. Gadis kecil yang baru lulus SMK tadi bernama ani, ia langsung termenung sambil duduk dianak tangga bagian paling bawah tanpa melanjutkan langkah kakinya kearah dapur. Rasa bahagia membuncah hatinya saat ini. Jika diizinkan, ia ingin berguling-guling dilantai. Sayangnya, ia tahan niat itu untuk menjaga harga diri dan nama baiknya sebagai anak teladan di SMK sewaktu dulu.
"Iya, kak, IYA!" jawabnya berapi-api dan penuh semangat. Ia mengepalkan tangannya lalu diangkat keatas—terlalu bersemangattap
"Selamat ya! Adikku udah gede lagi aja” sahut kakak laki lakinya dari belakang ani—ia baru saja keluar dari kamar. reezal, sedang tersenyum sungging di belakangnya sambil memainkan ponsel. Mendengar itu, ani langsung membalikkan badannya. Ia menatap lekat netra merah terang milik kakak laki-lakinya itu, kemudian menyugingkan senyuman juga. Khas dengan gigi gingsulnya yang terlihat manis.
“iya, kak. Besok udah harus ngambil ijazah” sahut ani seraya membalikkan badan lagi menuju dapur. Lalu melompat-lompat disetiap langkahnya. Bahkan reezal saja kebingungan, jarang sekali ia melihat ani bersenang-senang seperti ini.
Sesampainya di depan dapur, ia langsung mematung dan memeluk pintu sambil Melihat kakak perempuannya yang sedang menyiapkan makanan di atas meja.
“kamu kenapa senyam-senyum? Ditelepon siapa tadi?” tanya kakak gadis itu. Akira, tanpa melihat langsung wajahnya yang tidak dapat ditebak sama sekali. Ia hanya sibuk menata makanan.
“kak..., aku gak percaya kalau aku lulus..., aku gak percaya, kak....” jawab ani menahan air matanya. Suasana canggung membuatnya ingin mengeluarkan air mata kebahagiaan, Sekaligus lebay.
“yaudah kalo gak percaya. Gak ada yang namanya guru berbohong sama muridnya. Apalagi masalah kelulusan," sangkal akira dengan tegas. Ia melepas apron yang melekat ditubuh dan meletakannya dibalik pintu dapur.
Dengan perasaan bahagia, ani melompat ke tempat duduk disamping kanan akira. Ia juga mencomot apel yang tersajikan secara langsung dimeja. Rasa manis dari buah tersebut membuat perasaannya semakin senang tak terkira.
Reezal langsung terheran-heran didepan pintu ketika melihat adiknya memakan apel seraya tersenyum dengan pandangan kosong, padahal sedang tidak ada yang lucu di sana. Yang ada? Hanyalah akira yang sedang memasak, burung yang bertengger dijendalanya, dan bau hangat dari roti yang baru saja di-oven.
“pssst! Akira! Napa tu?” bisik reezal seraya memajukan pelan kepalanya kearah ani yang mungkin sedang berkhayal aneh-aneh.
“auk” jawabnya pelan.
Akira langsung menyajikan tiga piring nasi goreng, lengkap dengan bawang goreng dan telur dadar yang begitu menggugah selera makan. Wangi semerbak nasi goreng pun langsung sampai ke hidung ani yang tengah berkhayal.
“yey makan!” serunya sambil menarik pelan piring nasi goreng itu kehadapannya. Berhalusinasi juga butuh tenaga. Diikuti oleh
akira dan reezal yang duduk disampingnya.
“aku mikir tentang kuliah, kak. Enaknya dimana, ya?” tanyanya seraya memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.
“yang paling dekat aja. Institut tekhonologi bandung? Universitas gajah mada?” balas reezal sambil menegak air putih. Kebetulan, reezal lulusan universitas gajah mada.
“kamu kan, pintar bahasa inggris, kenapa gak kuliah di luar negeri aja? Sayang, 'kan, kalo capek-capek belajar bahasa inggris tapi gak digunain?” celetuk kak akira pelan.
Di saat yang sama, ani sedikit tersedak nasi goreng. Lantas, ia langsung meminum air putih yang berada di sebelahnya. Beberapa teguk setelah itu, kedaannya kembali normal.
“kak, aku takut banget kalau berada jauhhhhh dari kalian,” sahut ani kesal.
Benar saja, ani lulus dengan nilai bahasa inggris terbaik di SMK-nya. Namun, meski sudah dewasa, ia masih takut untuk hidup sendiri. Ini semua karena kekangan dari kedua kakaknya!
“katanya mau kerja di luar negeri” tukas reezal sinis. Dengan buru-buru, ani langsung menghabiskan sarapan paginya dan menuju ke tempat cuci piring. Wajah kesal terukir di muka ani. Bibir berwarna peachnya dimonyongkan ke depan, malah membuat kesan imut dimata yang lain.
“iya-iya. Besok kakak daftarin di universitas pilihan kakak” sahut reezal terkikik, ia tak mampu membuat adik kesayangannya cemberut dalam waktu yang lama. Mendengar itu juga ani membalikkan badannya dengan semangat dan antusias.
“beneran kak? Makasih kakak! Carinya yang sesuai oleh bakat ani, ya?” ani memastikan agar kakaknya yang satu ini sedang tidak bercanda. Jika kalian ingin tahu, reezal memang suka bercanda yang bisa membuat humor seseorang pecah seketika. Tapi jangan salah! Jika dia marah, dunia serasa hancur berkeping-keping.
Ani mengambil roti yang baru saja di oven oleh akira dan memakannya lahap.
“emang, ani berbakat dalam bidang apa?” tanya kak akira seraya meneguk teh manis.
“Ani sukanya ngitung uang. hobi, hehe” jawab ani terkekeh. Sementara kedua kakaknya memasang wajah datar.
Sebuah chat masuk dari aplikasi whatsapp ani. Dan saat ia buka, ternyata aya yang mengirimi dia pesan. Lantas, ia langsung membuka pesan tersebut dan munculah perkataan online dari aya
* * *
...In private chat...
...08.09...
-Ayaaa-
"ni, kamu mau ke cafe
gak? Please lah, anterin
Aku...."
-You-
"Kenapa, ya?"
-Aya my bestie-
"kamu mau bahas tentang
kuliah kan? Ayo ama Aku! aku juga
mau lanjut kuliah, Nih!
-You-
"Oke, otw"
-Aya my bestie-
"Aku jemput kamu 10 menit
lagi" Read ✔✔
* * *
“wih, mau diskusi bareng aya tentang kuliah. Bisa aja aku kuliah di tempat yang sama dengan aya.” Harap ani sambil menggigiti kuku jarinya.
Kakinya bergerak kearah kamar akira untuk meminta izin pergi keluar rumah. akira dan reezal biasanya mengurung dia di rumah dengan alasan kalau di luar sana sangat berbahaya, sehingga itu membuat ani terlalu takut untuk menginjakkan kaki ke dunia luar. Tapi ani yakin, kalau ia sudah cukup umur seperti sekarang, ia bisa menjadi lebih pemberani. jadi dia memutuskan untuk minta izin berpergian ke kafe bersama aya.
Tokk tokk tokk!
Ani mengetuk pintu kamar kakak perempuannya dengan lemas sampai penghuni kamar keluar. Ia gugup, takut jika akira tidak mengizinkannya pergi dari rumah.
“kenapa dek?” tanya kak akira kebingungan.
“kak..., boleh ga, ani pergi bareng aya ke kafe? Mau bahas masalah kuliah, siapa tau selera kuliah ani dan aya sama,” jawab ani lirih. Sesudah ini, pasti akira tidak akan mengizinkan ia pergi dari rumah berbulan-bulan.
Tapi dugaannya keluar dari batas. Akira tersenyum, lalu membelai pelan kepala ani yang sedang gagap.
“boleh. Sekarang kau sudah cukup umur dan dewasa. Jadi silahkan pergi, nona,” balas kak akira sambil mencubit pelan pipi ani yang agak chubby.
“hah? Beneran, kak?”
“iya, dong"
Ani sangat senang mendengar kata kata itu. "Makasih kak!" ujarnya.
Dirinya pun langsung melesat kearah kamar miliknya dan mengobrak-abrik pakaian di dalam lemari. Ia ingin terlihat sedikit fashionist didepan temannya,
Oke hanya sedikit.
“hmmm... cocoknya yang mana, ya?” pilih ani bingung sambil menimang-nimang antara hoodie atau pakaian simple dengan bawahan rok berwarna merah.
Tak lama, ani merasa bahwa keadaan agak aneh. Suasana lebih sunyi daripada biasanya. Jendela terbuka secara tiba-tiba. Perasaan tidak enak muncul di benak ani. Otaknya malah memikirkan hal yang tidak-tidak. Walau begitu, Ia tetap bersikap positif.
Ani melempar gantungan baju hoodie dan pakaian simplenya kearah kasur. untuk mengecek, siapakah makhluk yang berani mengganggu saat-saat indahnya.
Biasanya, hewan yang mendengar suara bantingan akan terkejut. Tetapi yang ini tidak.
Ani mencoba untuk mendekati jendela tadi. Dia menyibakkan tirai kamar, dan melihat sosok tadi sedang menundukkan kepala. Ani membelalakan matanya.
"Kamu 'kan......."
...Ani mencoba untuk mendekati jendela tadi. Dia menyibakkan tirai kamar, dan melihat sosok tadi sedang menundukkan kepala....
..."Kamu 'kan......."...
"Iya aku, Ayanna lucasildo. Kalo kamu lupa, berarti kamu pikun. Hehe. Kasian ya, mana masih muda," lanjutnya sambil berusaha berdiri. Rencananya untuk mengagetkan ani tidak berjalan mulus. Dia menyibakkan rambut dan menyelipkan beberapa helaiannya ke telinga. Ani berusaha mengingat-ngingat, sampai pada akhirnya ia tertawa geli karena kelupaan.
“ehehe, maaf, aku lupa" tukas ani cengengesan. Nama orang itu aya, teman ani semasa SMP dan SMK. Dia keturunan orang yang cukup berada. Namun, itu bukanlah alasan bahwa ani ingin sekali berteman dengan aya. Ia ingin berteman karena ia suka karakteristik aya yang humoris dan penyemangat.
"Btw kamu kenapa gak lewat pintu aja?" tanya ani.
Ia keheranan, tidak biasanya gadis yang memiliki tinggi 152 cm didepannya ini izin masuk kerumah seseorang melewati jendela kamar. Untung dia sudah tahu betul sifat aya. Kalau itu maling? Tidak ada kata selamat bagi barang-barang berharganya. Apalagi, ia sering tidak mengunci jendela kamar. Ceroboh.
“ga-pa-pa kok, aku cuma merasa kalau lewat pintu terlalu mainstream. Ngomong-ngomong, kamu udah siap?” tanya aya. Pandangannya menyapu seluruh penglihatan, mulai dari bagian atas sampai bawah tubuh ani. Kemudian matanya kembali menatap ani. Aya memang ahli dalam bidang fashion, meski menjadi model bukanlah cita-citanya.
“itu udah bagus, kok. Ayo kita pergi!” ajaknya sambil menarik tan gan ani menuju jendela tempat aya masuk tadi. Itu membuat perasaan ani sedikit lega, karena ia tidak perlu susah susah mencari pakaian yang bagus.
“sebentar, aku chat kakakku dulu“ izin ani seraya menepis pelan tangannya dan mengeluarkan handphone miliknya dari balik saku.
* * *
in privacy chat
08.31
-You-
"Kak, ani pergi sama
aya dulu, ya?"
-Kak akira-
"Yaudah, sana gih.
Tapi, kok kakak gak liat
Kamu di depan pintu?"
-You-
"Ani di jemputnya lewat
jendela Kamar. Ani pergi dulu,
ya?"
-Kak akira-
"oke, pulang sebelum
petang, mengerti?"
-You-
"Oke" Read ✔✔
* * *
“aku udah minta izin. Ayo keluar!” panggil ani sambil menepuk pelan bahu aya yang seperti sedang memikirkan sesuatu.
Saat ia terkejut, betapa manis wajah aya yang sedang terkaget-kaget. Tak heran, betapa banyak laki-laki yang gigih memperjuangkannya walau tidak satupun ia terima. Ia bukanlah tipe orang yang membutuhkan cinta. Ia hanya fokus, bagaimana ia bisa membanggakan bibi kesayangannya itu.
kebetulan mobil aya sudah terparkir rapi di depan jendela kamarnya. Lantas, ani dan aya langsung menaikinya dan tancap gas kearah kafe yang paling dekat dengan rumah ani.
Disepanjang jalan, mereka bercengkerama dan membahas hal-hal kecil. Tawa girang selalu menghiasi mobil aya yang terkesan mewah. Meski dari golongan menengah keatas, aya menganggap bahwa sifat sombong bukanlah budaya yang harus diikuti. Malah, ia sangat tak suka memamerkan hartanya. Namun, dia agak narsis soal penampilan.
Saat mereka sudah sampai di parkiran kafe, mereka turun dari mobil lamborghini milik aya. Bahkan, banyak mulut yang menggosipkan tentang dua remaja berlanjut wanita ini saat turun dari mobil. Entah itu memuji, mencaci-maki, dan lainnya. Aya tidak peduli dan langsung menggandeng ani kedalamnya. Tatapan sinis selalu ia tunjukkan keseluruh orang yang melihatnya. Namun, mata itu berubah menjadi sangat lembut ketika menatap ani.
Starbuck.
Itulah isi dari papan yang terpampang jelas diluar cafe. Yang ani pikirkan ketika membeli minuman dari tempat ini adalah mahal. Tapi kata itu tidak berlaku bagi dompet aya yang selalu tebal,
Bukan tebal karena bon hutang.
“aku gak cuma ngajak kamu aja. Bahkan, aku ngajak satrio dan mahes untuk minum kopi disini!“ tukas aya sambil menarik cepat tangan ani untuk masuk.
“ada yang lain? Baguslah kalo gitu!” jawab ani. Sesampainya di dalam, aya langsung menarik ani dan mencari, kemana dua pria kontras itu duduk. Starbuck tergolong warung kopi mahal, dan teman-temannya pasti di traktir. Hanya mahes, satrio, dan ani saja. Tidak yang lain. Apakah itu yang disebut murah hati? Tentu, pada sebagian orang.
“mereka udah duduk disana! Ayo!” ajak aya seraya menunjuk sofa di pojok kiri. Yang satu sibuk menuliskan sesuatu dibuku, dan yang satunya lagi asik bermain gawai.
“eh, kalian dateng juga. Gue sama mahes panik banget waktu di tanya mbak-mbak tentang tarif. Padahal, kita cuma duduk dan blom pesan apa-apa. Tapi udah di tagih duluan” kesal satrio sambil menepuk-nepuk sofa di sampingnya, memberi isyarat agar aya duduk di sebelahnya. Entah kenapa satrio bisa lebih dewasa jika berada didekat aya.
“maaf, jalanan agak macet, dan bensin mobil aku abis ditengah perjalanan kesini” Jawab aya beralasan. Padahal, ia bisa berterus terang bahwa aya sangat-sangat mempertimbangkan pakaia yang akan ia pakai. Karena tak kuat berdiri terlalu lama, ia pun duduk disebelah satrio sambil menyesuaikan posisi duduknya.
“ani kemana?” tanya mahes dengan wajah datar. Matanya masih tidak dapat mengalihkan pandangannya ke layar smartphone di tangannya. Bahkan, wajah tampan milik mahes kini bagai diterangi cahaya dari surga. Sungguh, keterangan cahaya dismartphone mahes melebihi batas. Namun anehnya, ia tak pernah merasa sakit mata.
“disini. Ehek”
Mahes melonjak kaget saat mengetahui bahwa ani duduk di sebelahnya. Kepalanya juga condong ke layar handphonenya seperti mengecek sesuatu layaknya stalker handal.
“kenapa?” tanyanya kebingungan.
“gak ada,"
Mahes di kenal sebagai sosok yang pendiam dan dingin wataknya. Tetapi, di samping itu, ia adalah seorang yang cerdas dan sangat-sangat ramah, meski sifat itu tidak ditujukan ke semua orang. Sedangkan satrio, adalah yang paling baik, alias good guy
di SMK mereka. Humoris dan ceria adalah watak aslinya. Ia teman dekat mahes. Kadang mereka berkomplot untuk memajukkan nilai dengan cara belajar. Tidak ada persaingan secara fisik maupun batin diantara mereka meski berbeda sifat.
“kalian mau pesan apa?” datanglah waiters, menanyakan pesanan mereka.
"Terserah," jawab mahes ketus.
"Saya ini waiters, bukan pacar kamu...."
“kopi gula 1, capucinno 3,” Aya menyangkal perkataan mahes. Benar-benar diluar batas!
Ia tahu betul selera teman temannya. Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka
berbincang kecil sampai topik yang ani tunggu-tunggu muncul,
Masalah perkuliahan.
“nanti mau kuliah di mana?” tanya satrio. Sebelum membalas pertanyaan satrio, minuman sudah di hidangkan. Bahkan, mahes sudah menegak kopi gula yang aya pesan untuknya. Ia terlalu rakus jika meminum kopi.
“pokoknya gw mau kuliah di luar negeri!” jawab mahes sambil memonyongkan bibirnya kearah gelas capucinno dan menyeruputnya. Dia masih tidak bisa berhenti menulis dibuku yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.
“kita semua harus satu universitas” tukas satrio. “kenapa?" tanya mereka serempak.
"BIAR KITA GAK KEPISAH DAN SALING MELUPAKAN! 'KAN, GAK ENAK BANGET!" jawabnya dengan alay seraya menggebrak meja hingga seluruh pasang mata melirik meja mereka. Memalukan.
“pada bisa bahasa inggris, 'kan?” satrio bertanya lagi, namun dalam keadaan yang lebih tenang. Lantas, semua kepala menganggung. SMK mereka di kenal sebagai SMK swasta yang tak luput dari pelajaran bahasa inggris walaupun hanya beberapa menit saja.
“gimana..., kalo kita masuk universitas di luar negeri aja?” usul aya memberi pendapat. Wajah mereka datar, mengingat biayanya yang setinggi langit. Belum tentu juga mereka dapat hafal nama nama jalan dari negara tempat kampus mereka nanti.
“pake jalur beasiswa aja.” Tambahnya lagi.
“negara mana nih? Kalau misalkan ke negara eropa atau benua amerika kan, pakai VISA, takut kalian pada gak lolos! 'Kan, ghibah is your passion everyday. Takut ketauan” seru satrio memanas manaskan suasana. Memang apa sih, yang membuat satrio menjadi malu? Urat malunya sudah putus sejak dini. "Apa hubungannya sih, ghibah sama VISA" sahut Aya tetapi diacuhkan.
“universitas di california sangat mendukung. Selain pembahasannya yang lugas, banyak destinasi wisata yang menarik di sana. Banyak juga kuliner-kuliner yang cukup berkesan“ mahes berucap dengan suara agak serak karena dia masih berjuang untuk menelan bubuk-bubuk kopi gula yang mungkin tidak teraduk dengan sempurna. Wajahnya di terangi cahaya handphone yang sedari tadi ia gulirkan layarnya. Sepertinya mahes sedang mencari informasi digoogle saat menyimak pembicaraan mereka.
“ide bagus! Stanford university bisa menjadi pilihan yang amazing!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!