NovelToon NovelToon

ARGRAVEN

1. >>Buang sampah?

HAPPY RËÄDING

Buang sampah?

****

Suara kendaraan berlalu-lalang terdengar dengan jelas dari dalam sebuah kafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari jalan raya.

Kafe tersebut memang sepi pengunjung. Namun, pada malam hari tidak jarang juga didatangi oleh pelanggan setianya. Contohnya dua pria yang sekarang sedang menikmati pemandangan orang yang berlalu-lalang. Lebih tepatnya hanya satu orang yang menikmati.

"Oooiiikk!" teriak seorang pria bertubuh atletis yang memakai kaos putih polos. Tangannya berusaha menggapai sesuatu yang berada di meja depannya.

"Hm," deham pria lain dengan masker hitam menutupi sebagian wajahnya.

"Bro! Bantuin ambilin rok, eh, rokok itu!" pinta pria tersebut sambil menunjuk-nunjuk rokok yang tinggal beberapa senti saja dari tangannya.

"Tangan lo mau gue potong?" balasnya dengan sarkas.

Dengan cepat pria atletis itu menarik tangannya kembali. Walau kesadarannya hanya tersisa setengah, ia masih dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh temannya. Pria itu sedang mabuk, itu sebabnya apa yang ia lihat seperti menjadi dua. Termasuk rokok yang berjarak dua senti saja dari tangannya, tapi terlihat sangat jauh dari penglihatannya.

Sebelum ia kehilangan organ yang bisa membantunya untuk makan dan bertahan hidup, lebih baik ia tidak usah meminta bantuan kepada teman minus akhlak dalam berbicara, seperti teman yang duduk di depannya sekarang.

"Sadis bener," cibir pria tersebut dengan lirih.

"Gue cabut," ujar pria bermasker tersebut dengan tiba-tiba. Kemudian pria itu beranjak dari duduknya dan hendak pergi. Namun, saat mendengar ocehan temannya yang tidak jelas, membuat pria bermasker tersebut terpaksa kembali berbalik.

"Eh, Bang Rav? Mau kemane? Gue jangan! Jangan gue!" racau pria itu tidak jelas.

"Ada sampah berkeliaran, mau gue buang," jawab pria tersebut dengan suara intimidasi miliknya.

"Ikut jangan! Ayo, ikut jangan bantuin lo gue,"balas pria mabuk itu sambil berdiri dengan sempoyongan.

"Yaak, boleh pasti--"

"GALVA!" sentak pria tersebut dengan tajam. Seketika pria yang diketahui bernama Galva itu langsung berdiri tegak dengan mata melotot.

"SIAP!" jawabnya dengan gaya hormat.

Dengan malas pria bermasker tersebut membawa Galva menuju mobil miliknya yang terparkir. Pria itu berniat mengantarkannya ke rumah. Jika dibiarkan ditinggal, dapat dipastikan pria itu akan tidur di jalanan sampai pagi. Selalu seperti itu.

Setelah menempuh waktu kurang lebih 17 menit, mereka akhirnya sampai di depan salah satu rumah bernuansa Eropa. Pria itu langsung mengeluarkan Galva dari dalam mobilnya. Setelah itu ia letakkan begitu saja di depan gerbang rumah tersebut. Diketahui rumah itu adalah rumah milik pria yang bernama Galva.

Pria bermasker tersebut langsung melajukan mobilnya tanpa membantu Galva untuk masuk ke dalam rumah.

Diantar sampai depan rumah saja, Galva harus banyak-banyak bersyukur.

...

"Mau ikut dengan saya?"

Seorang gadis kecil sedang berjalan di bahu jalan dengan wajah dipenuhi memar. Ia mendongak untuk melihat siapa yang mengajaknya berbicara.

"Kakak siapa?" tanyanya dengan polos. Tangannya mulai bergetar karena takut. Orang yang memakai masker hitam itu hanya menatap datar ke arah anak kecil tersebut.

Karena tidak mendapat jawaban, anak kecil itu hendak pergi. Namun, orang yang mengajaknya berbicara sudah lebih dulu menarik kerah baju belakangnya.

"Jawab pertanyaan saya."

Gadis kecil itu bingung, lantas bertanya, "Pertanyaan apa?" Di dalam benak gadis kecil itu mengira bahwa laki-laki itu ingin menculiknya.

"Hidupmu bahagia?"

Dengan takut-takut anak perempuan itu mengangguk dengan ragu-ragu.

Laki-laki itu melengos. Ia tidak suka dibohongi. "Katakan dengan jujur!" tegasnya.

"Iya, aku bahagia. Aku sangat bahagia, Kak," jawabnya cepat.

Lagi-lagi laki-laki itu mendengus kasar. "Bulshitt! Malam-malam begini kenapa berkeliaran di jalanan? Katakan di mana rumahmu?"

"Kakak mau apa? Di rumahku ada anjing galak!" jawab gadis kecil itu panik.

Laki-laki itu tersenyum miring dibalik masker hitamnya. Ia tau siapa yang dimaksud anjing galak oleh gadis kecil di depannya. Bahkan lebih dari tau. Ia hanya mencoba, apakah gadis itu akan mengeluh atau tidak. Nyatanya gadis itu justrumenutupi semuanya.

"Baiklah. Sekarang pulanglah!"

Dengan tersenyum gadis itu mengangguk. "Terimakasih, Kakak!"

Setelah gadis kecil itu pergi, laki-laki itu membuka masker hitamnya dan menampilkan wajahnya yang sangat tampan. Namun, sangat jarang ia perlihatkan kepada orang-orang. Hanya kepada keluarga, sahabat dan targetnya, lah, ia mau menunjukkannya.

"Let's play with me," gumamnya menyeringai. Laki-laki itu kembali memakai maskernya.

Langkahnya kembali menuju mobil yang ia tinggalkan sedikit jauh dari posisinya saat menemui gadis kecil tadi.

Mobilnya mulai melaju dengan kecepatan sedang. Tujuannya sekarang adalah tempat bersenang-senang di mana para manusia menabung dosa.

Setelah beberapa menit, akhirnya laki-laki itu sampai di tempat tujuannya yaitu Aerglo Club. Salah satu club terkenal yang terdapat di kota tempat yang ia tinggali sekarang.

Bukan tanpa alasan laki-laki itu menginjakkan kakinya ke tempat itu. Tentu saja ada misi yang ia tuju di sana. Yang jelas ia ingin menyenangkan dirinya sendiri.

Nama laki-laki itu adalah AGRAVEN KASALVORI. Ingat baik-baik nama itu. Kerap dipanggil Raven oleh orang-orang terdekatnya. Nama Raven seakan-akan telah mendeskripsikan bagaimanaseorang Raven. Hitam bagaikan gagak.

Langkah dari kaki jenjangnya mulai memasuki kawasan yang penuh dengan hiruk-pikuk musik dan orang-orang di dalamnya. Tatapan tajam miliknya menelusuri seluruh area dance floor yang dipenuhi oleh orang yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya. Bahkan setiap sudut sudah dipenuhi oleh manusia yang sedang sedang bercumbu. Cih, ingin rasanya laki-laki itu muntah melihatnya. Sangat menjijikan.

Setelah menemukan target yang sudah direncanakan untuk memuaskannya malam ini, Agraven tersenyum menyeringai dibalik masker hitamnya.

Langkah kakinya perlahan mendekati si target. Masker yang semula masih terpasang, segera ia lepas. Hanya melihat wajahnya, si target akan dengan mudah jatuh ke dalam perangkapnya. Seperti biasa yang telah lalu.

"Ekhem!" Agraven berdeham untuk menghentikan aktivitas panas di depannya.

Kedua orang yang semulanya bercumbu panas, langsung berhenti karena ada yang berani mengganggu mereka.

"Siapa, lo? Pergi, jangan ganggu!" usir si laki-laki berambut gondrong, sedangkan perempuan di depannya terdiam. Lebih tepatnya terpana melihat ketampanan laki-laki asing yang berani mengganggu kesenangannya. Siapa lagi laki-laki itu kalau bukan Agraven Kasalvori.

"Anda yang siapa? Beraninya bermain dengan milik saya," jawab Agraven menekankan kata milik dan mengaku-ngaku bahwa perempuan didepannya adalah miliknya. Kita lihat saja, respon dari perempuan itu.

"Benar ini pacar, lo?" tanya laki-laki berambut gondrong kepada perempuan itu.

"Iya! Dia pacar gue!" jawab perempuan itu dengan cepat. Tepat dengan dugaan Agraven. Karena ini bukan untuk pertama kalinya. Dengan hanya melihat ketampanannya, bitch itu sudah masuk ke dalam perangkapnya. Dasar bitch bodoh, pikir Agraven.

"Nih, ambil! Gue udah nggak butuh!" ketus laki-laki gondrong itu, lalu berlalu pergi meninggalkan Agraven dengan perempuan yang diketahui bernama Eira.

Setelah laki-laki itu pergi, Eira langsung menggandeng lengan Agraven dengan agresif.

"Tangan menjijikkan, segera ucapkan selamat tinggal kepada pemilik bodohmu itu!" batin Agraven mendesis.

"Nama kamu siapa? Kamu tergoda sama aku, ya? Makanya kamu ngaku-ngaku sebagai milikku?" tanya Eira dengan nada dibuat sensual. Menjijikan.

Dasar bodoh!

"Mau bermain dengan saya?" tanya Agraven langsung. Sudah pasti pemikiran wanita itu menuju ke perbuatan setan yang menurutnya adalah surga dunia.

"Tentu saja. Hanya untukmu sayang. Pakai saja tubuhku sepuasnya," jawabnya menggoda.

"Ikut saya." Agraven menarik tangan Eira dengan lembut. Dengan senang hati Eira mengangguk.

"Kita mau ke mana? Kamu mau bawa aku ke hotel yang---"

"Hm," potong Agraven cepat. Sangat malas mendengar suara yang mendayu-dayu itu.

Eira tersenyum. "Aku pastikan nanti kamu akan memanggil-manggil namaku dengan desa--"

"Iya." Lagi-lagi Agraven memotong. Telinganya panas mendengar kata-kata menjijikkan yang keluar dari mulut Eira.

Tidak beberapa lama mereka sampai di depan sebuah rumah yang tidak bisa dikatakan hanya besar saja, tetapi juga mewah.

"Wow! Ini rumah kamu?" tanya Eira takjub.

"Hm, dan akan menjadi rumah 'terakhir' untuk kau nantinya," jawab Agraven dengan santai, tetapi penuh dengan makna.

Eira yang mendengar itu terbawa perasaan. Ia sudah kepalang senang. Apa ia akan menjadi Nyonya di rumah besar di hadapannya sekarang?

"Ini nggak mimpi? kalau ini mimpi jangan bangunin gue!" teriak Eira dari dalam hati. Jika saja ia tau, maka ia akan berharap ini semua adalah mimpi buruk dan memohon agar segera dibangunkan

"Ayo!" Agraven menghancurkan lamunan Eira. Dengan antusias Eira mengangguk dan mengikuti langkah Agraven.

Lagi-lagi Eira terpana melihat dekorasi di dalam rumah, err lebih tepatnya mansion tersebut. Belum selesai rasa kagumnya ia tersentak saat Agraven menarik tangannya ke sebuah ruangan. Ia pikir itu adalah sebuah kamar. Namun, kenyataannya ruangan itu lebih dari sebuah kamar. Di dalamnya sangat luas. Terdapat ranjang, lemari-lemari dan terdapat tiga pintu lagi di dalam ruangan itu. Entah itu ruangan apa.

Agraven mendorong Eira sehingga perempuan itu jatuh terlentang di atas kasur king size miliknya.

"Kamu sudah tidak sabar rupanya," ujar Eira tersenyum menggoda. Dengan gerakan sensual ia melepas dress mini yang sedang ia pakai dan hanya meninggalkan kain tipis yang menutupi tubuhnya.

"Jangan terburu-buru bitch," ujar Agraven lalu menindih tubuh Eira. Nanti kau akan menyesal lanjut Agraven dalam hati.

Eira tidak mempermasalahkan panggilan bitch untuk dirinya. Memang itu kenyataannya, 'kan?

Eira tersenyum. Tangannya mulai bergerilya di dada Agraven. "Kamu begitu tampan," ungkap Eira mengagumi paras Agraven. Tangannya perlahan membuka kancing atas kemeja yang Agraven kenakan.

"Apa kamu mau mengikat tanganku?"

"Tidak. Saya lebih menyukai mainan saya bebas agar lebih leluasa," jawab Agraven menyeringai. Tentu saja ada maksud lain.

Eira perlahan mencium tulang selangka Agraven.Laki-laki itu mendesis. "Bitch sialan. Setelah ini berteriaklah dengan nikmat!" batin Agraven dengan smirk di bibirnya.

"Now get the fuck off me," pinta Agraven dengan berbisik.

"Tidak akan! Bahkan kamu belum menikmati tubuhku yang indah ini, dan aku juga belum melihat milikmu, jadi aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Aku sudah berada di rumahmu, jadi nikmatilah," jawab Eira cepat. Ia tidak akan melepaskan Agraven begitu saja.

Tanpa Eira tau, ia sudah menolak tawaran untuk tetap hidup.

"Oke, penawaran bagus dari saya, sudah kau tolak, sayang. Jadi nikmatilah permainannya," balas Agraven dengan smirk-nya.

Pipi Eira merona saat dipanggil sayang oleh Agraven. Tangannya semakin gencar menyentuh tubuh Agraven, tetapi laki-laki itu tetap diam dengan wajah datarnya.

"Apa kau sudah menikah?" tanya Agraven. Bertanya sesuatu yang telah ia ketahui.

"B-belum--"

"Tidak usah berbohong. Saya tau," potong Agraven.

"Tapi suami aku udah mati. Kamu tenang--"

"Kau penyebab kematiannya?"

"Enggak! Dia mati karena keracunan makanan, bukan aku--"

"Kau yang meracuninya, bukan?" Eira menegang. Melihat itu Agraven terkekeh. "Tenang, saya tidak peduli tentang hal itu. Pertanyaan kedua, apa kau mempunyai anak?"

"Enggak--"

"Lalu siapa gadis kecil yang setiap malam kau pukuli, lalu kau suruh mengemis malam-malam, hm?" Eira menjadi gugup. Bagaimana mungkin laki-laki tampan di atasnya ini tau tentang kehidupannya?

"Kau tenang saja. Saya tidak peduli itu, cukup nikmati setiap permainan dari saya. Mengerti?" kata Agraven. Eira kembali tersenyum dan mengangguk. Ia kira akan gagal untuk menikmati tubuh Agraven.

"Teriak sekeras-keras yang kau bisa, di rumah ini hanya ada kita dan ruangan ini kedap suara, jadi tidak ada satupun yang dapat mendengarnya. kalau seandainya sakit, silahkan teriak nama iblis ini. Namanya Raven," bisik Agraven.

Diam-diam dia sudah memegang benda kesayangannya. Benda yang menemani kemanapun ia pergi. Benda yang menjadi sahabatnya. Pisau lipat yang terdapat ukiran burung gagak di bagian pangkalnya. Benda berharga bagi Agraven Kasalvori.

Jleb

"Aaaaakkhhh! Apa yang kau lakukan? ini sakit!" teriak Eira kesakitan. Sesuatu yang tajam menembus kulit bagian pinggang di sebelah kirinya.

"Main-main, bitch!" jawab Agraven terkekeh sinis.

Eira memegang pinggang kirinya. Darah? pikirnya.

Belum sempat ia bangun, Agraven lebih dulu mendorong mainannya dengan kasar ke lantai. Membaca gerakan target sudah hafal diluar kepala oleh Agraven. Ia mendekati Eira yang tersungkur di lantai. Laki-laki itu berjongkok di depan targetnya.

Plak

Plak

plak

Bugh

"Shhh, sakit."

Agraven menampar kiri-kanan pipi Eira. Bahkan tanpa rasa kasian ia menendang perempuan itu.

"Gimana, hm?" Agraven terkekeh sinis. Dagu Eira ia tarik dengan kasar.

"Ini belum seberapa bitch!!" desis Agraven. Tangannya menyentak kasar tangan Eira.

Krek

Suara tulang patah memasuki indra pendengaran Agraven. Ia tersenyum senang. "Tangan ini sudah lancang menyentuh tubuh Agraven Kasalvori."

Entah dari mana Agraven mendapatkan palu besar di tangannya. Dengan santai ia memukul kepala Eira dengan palu itu. Darah mulai bercucuran dari kepala perempuan itu.

Bughh

"AAAKKKKΚΗΗΗΗ SAKIT!! TOLONG!"

Jeritan kesakitan Eira memenuhi isi kamar.

"Berteriaklah! Sebut nama saya. Bukankah tadi saya sudah mengatakannya, hm? Di rumah ini hanya ada kita berdua. Sangat romantis, bukan?" kata Agraven lalu tertawa.

"Kepala dan otak mending hancur dari pada tidak kau pakai," lanjutnya sinis.

Setelah puas memukul kepala Eira yang hampir pecah, Agraven pindah ke leher Eira

Srrkk

"Arrghh! Hiks sakit! Tolong lepas--akkkhhh, aku mohon--" Agraven tersenyum senang mendengar teriakkan memohon dari targetnya malam ini. Pisau kesayangan yang ia beri nama Blaze itu menancap sempurna di leher Eira.

"Sshhh, apa tujuan kamu hiks, apa s-salahku-"

"Ini yang dirasakan gadis kecil itu setiap malamnya. Setiap kau siksa. Rasanya sakit."

"Aku--"

"DIAM! Jangan bicara lagi! Kau cukup teriak menikmati rasa itu!" sentak Agraven.

Agraven tidak berhenti mengukir karyanya di setiap inci tubuh Eira, dari perut, paha, lengan, pipi dan bagian lainnya. Pisau lipat kesayangannya terus saja ia goreskan membentuk pola abstrak.

Agraven memposisikan pisau lipat kesayangan di atas kenala Eira. Dengan sadis ia mengulitikepala Eira. Bahkan tulang tengkorak perempuan itu sampai kelihatan dan kepalanya sudah tidak berbentuk. Deru napas Eira mulai melemah. Darahnya sudah banyak keluar di setiap inci tubuhnya.

"Jangan mati dulu. Saya belum puas, Bitch!" umpat Agraven.

Dengan santai Agraven memotong tangan dan jari-jari lentik milik Eira. Tangan yang ringan saat memukul anaknya, tangan yang pernah meracuni suaminya sendiri, dan jari-jari yang sudah lancang menyentuh dirinya,.

"Ckk, bitch lemah!"

"Mainan malam ini kurang menggairahkan," keluhnya.

Drrrrt drttt

"Setan mana yang berani mengganggu Agraven Kasalvori!" desis Agraven karena ponselnya yang berbunyi.

"Bitch!! ckk, mati," decak Agraven.

Dengan santai Agraven menyeret jasad Eira ke salah satu pintu. Jika pintu itu terbuka, pemandangan hijau langsung menyapa indra penglihatan jika di siang hari. Siapapun akan kagum melihat pemandangan itu, tidak tau saja bahwa di sana ada hewan yang mampu mengantarkannya ke surga ataupun ke neraka.

Agraven meletakkan jasad Eira di tengah-tengah padang rumput hijau. Laki-laki itu memanggil peliharaan kesayangannya. Tidak lama seekormacan yang sangat besar datang mendekatinya.

"Hei, Elder!" sapa Agraven sambil mengelus hewan buas di depannya. Sesuai namanya, Elder yaitu antusias. Hewan itu sangat berantusias jika Agraven datang membawa makanan untuknya.

"Silahkan menikmati makan malam Anda, Tuan Elder Kasalvori!" ujarnya terkekeh.

Setelah melihat Elder yang sudah memangsa jasad Eira, Agraven kembali ke dalam rumahnya.

Saat kembali ke ruangannya, ponselnya masih berbunyi.

"Setan," desisnya. Tak urung ia tetap menjawab panggilan itu.

"AGRAVEN KASALVORI!!!"

Tbc

2. »Azalea Kananta

>>>>>Sendiri itu sepi, sepi itu menyakitkan, menyakitkan itu seperti kenikmatan, kenikmatan tersendiri saat sepi yang menemani<<<<<

Azalea Kananta

***

Seperti yang sering ia lakukan pada malam-malam sebelumnya. Seorang gadis bernama lengkap Azalea Kananta yang kerap dipanggil Aza itu sedang menatap buku harian yang mulai lusuh, lalu pandangannya beralih menatap banyak bintang di langit melewati sela-sela jendela kamar kecilnya.

Setelah merasa bosan, ia kembali menatap buku harian lusuh miliknya. Terdapat beberapa untaian kata di dalam sana. Ia sangat ingat kapan ia menulis itu. Sekitar tiga tahun lalu, tepatnya saat ia menginjak kelas XI SMA. Pada saat itu ia benar-benar ingin menyerah dengan kehidupannya. Untungnya ada sosok sahabat bernama Vanna dan kekasihnya yang bernama Rafka yang setia menemani hari-harinya, selalu perhatikan dan pengertian kepadanya semenjak kelas X hingga sekarang. Saat itulah Aza kembali bersemangat menjalani beratnya hidup tanpa satupun sosok keluarga di sisinya.

Aza tinggal sendirian di salah satu kontrakkan yang sangat kecil di sebuah gang Violet. Aza mulai memutuskan untuk tinggal sendiri semenjak ia kelas X. Sebelumnya Aza tinggal di salah satu panti asuhan.

Aza menghela napas lelah. Baru menginjak hari kelima ia bekerja di sebuah toko bunga, tetapi tadi siang ia kembali dipecat. Ia tidak mengerti, kenapa selalu saja sial dalam bekerja.

Tangannya meraih sebuah ponsel keluaran lama dengan layar sedikit retak. Ia bersyukur masih mempunyai ponsel itu, setidaknya ia masih bisa menghubungi sahabat dan kekasihnya. Padahal Vanna dan Rafka sudah berkali-kali menawarinya ponsel baru. Namun, dengan lembut Aza menolaknya.

Tangannya bergerak menggulir layar ponselnya. Tujuannya mencari kontak Vanna.

VANNA

ANDA

Vanna!

VANNA

Ada apa bestihh?

ANDA

Aku boleh cerita nggak?

VANNA

Heh, Jaenab! Cerita tinggal cerita, kek ama siapa aja lo

ANDA

Hmm...

Vanna, Aza dipecat

Vanna

WHAT THE FUCK!

ANDA

Ih, Vanna nggak boleh ngomong gitu

VANNA

Lo kenapa dipecat Yupiiiiii

ANDA

Aku difitnah

VANNA

Sebulan ini udah berapa kali dipecat Maemun?! Sebulan ini udah berapa kali dipecat Maemun!!

ANDA

4 kali, Kenapa aku sial, ya? Kapan aku bisa makan ayam rendang lagi

VANNA

Cari sugar Daddy aja jalan pintasnya Maemun. Lo kan cantik

ANDA

Vanna jahat

VANNA

Beneran ini Za! Kalo lo jadi sugar baby, jangan lupa teraktir mie pangsit Pak Yoma

Aza memberengut sebal. Vanna memang menyebalkan, tapi hanya sahabatnya itu yang bisa membuatnya kembali tersenyum.

Aza membaringkan tubuhnya di kasur tipis miliknya. "Pa, Ma, Aza nggak boleh sedih, 'kan?" ujarnya menatap nanar langit-langit kamar. Lelah dengan semua itu, Aza memilih menutup matanya untuk tidur. Ia harap hidupnya kedepan akan menjadi lebih baik.

Semoga saja.

Pagi hari seperti biasanya, Rafka sudah berada di depan kontrakan kecil milik Aza.

"Afka udah lama nunggunya?" tanya Aza setelah mengunci pintu kontrakannya.

"Enggak juga, baru dua menit," jawab Rafka sambil tersenyum. Tangannya mengusap puncak kepala Aza setelah berdiri di sampingnya.

Aza mengangguk lucu. "Ayo kita berangkat!" seru Aza. Rafka mengangguk, kemudian laki-laki itu memasang helm motif Doraemon kepada Aza. Helm yang ia pesan khusus untuk Aza yang penyuka salah satu anime asal Jepang tersebut.

Di atas motor, Aza tidak memudarkan senyumannya sedikitpun. Gadis itu sangat senang jika berada di atas motor bersama dengan Rafka.

"Aza udah sarapan?" tanya Rafka.

Aza yang kurang jelas mendengarnya kembali bertanya, "Afka ngomong apa?"

"Aza udah sarapan?" ulang Rafka bertanya.

"Ooo sarapan. Udah, Aza udah sarapan tadi," jawabnya.

"Sama apa?"

"Sama telur mata kambing," jawab Aza terkekeh. Rafka tertawa, dari dulu Aza selalu mengganti nama telur mata sapi menjadi telur mata kambing.

Mereka berdua telah sampai di parkiran luas di ASKALA UNIVERSITY.

Dua orang sejoli itu masih menginjak semester 3. Kenapa Aza bisa berkuliah di kampus se-elite ASKALA UNIVERSITY? Jawabannya karena beasiswa. Sedangkan Rafka tentu saja tidak. Laki-laki itu termasuk berasal dari keluarga kalangan atas, begitu juga dengan Vanna. Berbeda dengan Aza. Walau begitu, Rafka dan Vanna tidak pernah membeda-bedakan kasta di antara mereka.

Rafka itu salah satu cowok yang populer di kampus mereka. Tidak sedikit dari kakak tingkat mereka yang gencar mendekati cowok itu. Namun, Rafka sudah stuck dengan satu orang gadis yaitu Aza. Cinta pertamanya dari SMA.

Oleh karena itu, Aza sering menjadi bahan ejekan dari kating karena berpacaran dengan Rafka. Namun, Aza tidak peduli itu.

"AZAAAAAAA!!" teriak Vanna dari sebuah kursi taman yang ia duduki.

Aza tersenyum, lantas menoleh ke arah Rafka. "Afka, aku ke Vanna dulu, ya," pamit Aza. Rafka mengangguk. Sebelum Aza pergi, Rafka sempat mengacak rambut Aza dengan gemas.

"Kenapa Vanna? Kamu udah kayak Tarzan teriak-teriak," tanya Aza saat sudah berada di hadapan Vanna, lalu ia duduk di sebelah Vanna.

"Kayak nggak tau Vanna Fiorenza aja, lo cebol!" jawab Vanna mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Vanna kan tau kalau Aza lebih tinggi dari kamu, Na. Jadi yang cebol itu Vanna, bukan Aza," sanggah Aza.

Vanna langsung mendengkus kasar karena yang diucapkan Aza sesuai fakta.

"Pokoknya lo yang cebol!" protes Vanna tidak terima.

"Ya sudahlah, Aza waras, jadi Aza ngalah," jawabnya nyengir.

Vanna hendak membalas ucapannya, tetapi terhenti saat menangkap kejadian yang membuatnya tertawa terbahak-bahak.

"Bhahaha! Yupi, liat itu si Rafka lagi digoda sama si Ariana grandong!" seru Vanna masih tertawa. Aza mengikuti arah yang ditunjuk Vanna.

Aza pun ikut tertawa melihat pacarnya digoda oleh kating bernama Ariana. Gadis berperawakan tinggi dengan tubuh yang sangat kurus. Gadis itu sering mengejar Rafka. Walau sudah digertak berkali-kali oleh cowok itu, ia tetap keras kepala.

Terlihat gadis yang sering Vanna sebut dengan Ariana grandong itu tersungkur ke lantai karena disenggol sedikit saja oleh bahu Rafka yang hendak memasuki gedung kampus.

Tawa Vanna semakin menjadi-jadi. "Hahaha Ariana grandong, si sapu lidi! Ditiup angin dikit aja tubuhnya langsung terbang!"

"Hush, Vanna nggak boleh ngejek orang kayak gitu. Kayak tubuh kamu berisi aja, kamu sama Kak Ariana cuma beda tipis tau, bedanya dia tinggi, kamu pendek," ujar Aza jujur.

"Heh, tusuk gigi! Barusan apa namanya? Lo juga ngejek tubuh gue!" balas Vanna kesal. Aza lantas menyengir.

Suara mahasiswa kembali heboh. Vanna dan Aza mencari sumber keributan terjadi. Pemandangan yang sering terjadi di ASKALA UNIVERSITY.

Seorang gadis cantik, dengan tubuh bak model turun dari mobil mewah bersama dengan sang kakek. Dia adalah Ludira dan sang kakek yang bernama Alferd. Pemilik ASKALA UNIVERSITY.

Semua orang yang menatap Ludira tidak akan cukup hanya menatapnya dengan sekilas. Bahkan Aza dan Vanna sudah melongo di tempatnya.

"Kak Ludira sangat cantik," gumam Aza.

"Bahkan satu kampus mengagumi dia," imbuh Vanna.

Ludira adalah gadis yang terkenal dengan kecantikan, keanggunan, dan keramahannya di seantero kampus. Ditambah lagi ia seorang cucu dari Alferd sang pemilik ASKALA UNIVERSITY.

"Kenapa Kak Ludira nggak punya kekasih, ya, Na? Padahal dia tinggal pilih. Semua laki-laki akan jatuh cinta kepadanya," ujar Aza masih memperhatikan Ludira yang sedang berjalan sambil memamerkan senyumannya menyapasetiap orang yang ia lewati. Sudah cantik, ramah, pintar, baik, kurang apa gadis itu? Pikir Aza sangat kagum.

"Gue nggak tau, Yupi. Katanya, sih, Kak Ludira sering nyamperin si misterius ASKALA," jawab Vanna.

"Misterius?" beo Aza. Matanya masih betah memperhatikan setiap langkah dari primadona kampus itu. tidak sengaja ia menangkap tatapan Ludira yang berhenti ke salah satu titik yang mengarah ke seseorang yang cukup jauh dari mereka. Vanna dan mahasiswa yang memperhatikan Ludira mungkin tidak menyadari itu, tetapi Aza menyadarinya.

"Apa itu si misterius yang Vanna katakan," gumam Aza.

Lamunan Aza buyar saat Vanna menggeplak lengannya. "Kak Ludira bakal lewat di depan kita," bisik Vanna. Aza tersenyum antusias. Aza salah satu gadis yang mengagumi gadis seperti Ludira.

"Adik kamu masih belum mau?"

"Belum, Kek. Dia itu sangat keras kepala."

Samar-samar Aza dan Vanna mendengar percakapan Alferd dan Ludira saat melewati mereka.

"Kak Ludira punya adek?" tanya Aza kepada Vanna setelah Ludira dan sang Kakek sudah jauh dari mereka.

"Gue aja shock dengernya! Setahu gue cucu Pak Alferd cuma Kak Ludira!" balas Vanna heboh.

"Cowok apa cewek, ya? Wih! kalo cowok pasti gantengnya meresahkan!" sambung Vanna.

Aza hanya diam. Pikirannya kembali ke cowok misterius yang ditatap oleh Ludira.

"Dia adiknya kak Ludira atau cowok yang disukai Kak Ludira, ya?" batin Aza.

To be continue....

3. >>Si misterius

Si misterius

***

Azalea atau kerap disapa Aza, gadis itu sedang berjalan sendirian menuju perpustakaan kampus. Sahabatnya Vanna sedang menjalankan hukuman dari dosen, karena gadis itu tidak mengumpulkan tugasnya yang minggu lalu.

Sebelum ia sampai pada tujuannya, dua orang gadis yang sudah biasa mengusiknya, tiba-tiba menghadang jalannya. Aza menggerutu di dalam hati.Dua gadis itu adalah Ariana dan Naja sahabatnya.

"Ada apa, Kak? Kakak mau minta nomor WhatsApp Afka lagi?" tanya Aza sopan. Walau bagaimanapun, mereka tetap kakak tingkatnya.

"Cih, jijik banget. Dia itu Rafka! bukan Afka!" hina Ariana sambil berdecih.

Aza lantas mendongak untuk melihat wajah Ariana. "Emang kenapa kalau Aza panggil pacar Aza sendiri dengan panggilan khusus?" tanya Aza dengan berani. "Kata Afka, itu panggilan kesayangan," lanjut Aza lagi. Dalam hati ia ingin sekali tertawa melihat raut wajah Ariana yang terlihat kesal.

"Berani lo jawab omongan gue?"

Aza tersenyum, lantas menjawab, "Aza udah dikasih mulut untuk ngomong, jadi ngapain diam saat lawan bicara sedang bertanya. Nggak sopan tau, Kak, kalau Aza cuma diam kalau Kakak nanya," balas Aza lagi.

"Bacot, lo!" ketus Naja ikut kesal karena Aza selalu menjawab ucapan Ariana.

"Pokoknya gue nggak mau tau, lo harus jauhin Rafka! Dasar cewek nggak punya harga diri!" caci Ariana. Tangannya sudah terangkat ingin menampar pipi Aza. Namun, tangan seseorang lebih dulu menahannya, sehingga tangan Ariana terbebas di udara.

"Wow! Kating kurus kering! Mau main tangan sama sahabat gue, huh?" sembur Vanna yang baru datang. Tangannya mengehempas kasar tangan Ariana yang tadi ingin menampar Aza.

"Jaga omongan lo! Gue nggak ada urusan sama lo!"

"Kalau lo berurusan dengan Aza, maka itu akan menjadi urusan gue," balas Vanna tersenyum miring.

"Kalau dia juga urusan lo, kasih tau ke dia yang nggak punya harga diri-"

"Aza emang nggak punya harga diri, Kak. Karena diri Aza memang nggak dijual, jadi diri Aza nggak ada harganya. Emangnya harga diri kakak berapa?" Aza memotong ucapan Ariana dengan polos.

Vanna menahan tawanya. Terkadang mulut si polos Aza bisa juga membuat orang terjungkal kerena kata-katanya.

"Harga diri dia murah, Za! Makanya si Ariana grandong ini ngejar-ngejar Rafka kayak Melon Teh!" sindir Vanna.

"Melon teh?" tanya Aza bingung.

"Hooh, Melon Teh yang sering mejeng di dekat lampu merah," jawab Vanna tertawa.

"Emang melon teh ada dijual dekat lampu merah, Na?" Vanna spontan menepuk jidatnya kesal.

"Ralat, Za. Maksudnya melon teh itu ada juga dijual di club, di sana ada banyak jenis melon teh," jelas Vanna. Ia hampir lupa dengan kapasitas otak Aza yang minim dengan kata-kata merusak.

"Lo yang lonte!" marah Ariana tidak terima.

"Utututu ... sana pergi hush-hush!" usir Vanna karena mulai malas meladeni kedua orang itu.

"Kita kakak tingkat lo kalau lup-"

"Nggak lupa, kok! Kakak Najong dan kak Ariana grandong, 'kan?" jawab Vanna memamerkan giginya.

Ariana lantas menghentakkan kakinya kesal, lalu pergi diikuti oleh Naja.

"Kak Ariana itu aneh, ya, Na. Masa minta WA Afka langsung minta ke pacarnya," cerita Aza sambil menggandeng tangan Vanna untuk melanjutkan tujuannya ke perpus.

"Cewek gila sekarang memang gitu, Za. Bahkan mereka tanpa malu rebut cowok orang lain, jadi hati-hati Rafka direbut cewek lain," jawab Vanna seperti ibu mengingatkan anaknya.

"Aza takut, Na. Yang suka sama Afka, kan, banyak... gimana kalau Afka ninggalin Aza?"

Vanna menghentikan jalannya, lalu menghadap ke arah Aza. "Menurut gue itu nggak mungkin, karena kita udah kenal Rafka sejak SMA. Dia itu cinta banget sama lo, Za," kata Vanna. Aza lantas tersenyum bahagia.

Mereka kembali melanjutkan jalan. "Mungkin nggak Na, kalo Aza yang direbut cowok lain dari Afka?" tanya Aza nyeleneh. Vanna langsung tertawa.

"Fixed! Cowok itu gila," jawab Vanna cepat dengan sisa tawanya.

"Ih, kenapa gitu, Na? Aza, kan, cantik. Kalau ada yang suka sama Aza wajar, dong!" balas Aza percaya diri dengan bibir mengerucut.

"Iya, sih, lo memang cantik, tapi cowok mana selain Rafka yang mau sama, lo?"

Aza mengusap keningnya, lalu tertawa. "Iya juga, sih. Aza itu lemot, Aza itu miskin, Aza itu sendirian nggak ada orang tua, Aza nggak punya siapa-siapa kecuali Vanna dan Afka, Aza selalu sial dalam bekerja-"

"Udah, nggak usah dijabarin satu-satu," potong Vanna merangkul bahu Aza yang sedikit lebih tinggi darinya.

Di lain tempat, tepatnya di sebuah ruangan khusus di ASKALA UNIVERSITY, ruangan yang tidak diketahui oleh mahasiswa. Hanya empat orang, lah, yang tau tempat itu. Memang dibuat khusus.

Dua orang laki-laki itu sedang menikmati rokok milik mereka masing-masing. Tidak ada pembicaraan, hanya ada keheningan.

Sampai salah satu dari laki-laki itu yang membuka suara.

"Lo masih sering buang sampah?" tanya laki-laki dengan menekankan kata sampah. Dia Galva.

"Hm." Jawaban singkat mampu membuat Galva merinding sekaligus kesal secara bersamaan.

"Nggak ada niatan pensiun jadi pemungut sampah gitu, Rav?" tanya Galva lagi. Orang yang ditanya itu adalah Agraven.

"Tanya sekali lagi, gue bakar mulut lo." balas Agraven sambil melirik tajam ke arah Galva.

Galva beringsut mundur karena Agraven menodong korek api yang menyala ke wajahnya. "Ampun Bang jago!" seru Galva nyengir.

Kembali terjadi keheningan. Galva sangat tidak betah jika mulutnya diam. Ingin sekali Galva memukul kepala sahabatnya itu, tapi ia masih sayang tangan.

"Rav, lo nggak ada niatan pacaran gitu?" tanya Galva akhirnya mengeluarkan suara emasnya lagi. Namun, tidak mendapat jawaban dari Agraven. Biasanya diam berarti iya, tetapi untuk Agraven Kasalvori diam itu jawabannya TIDAK.

"Nggak ada niatan buka identitas gitu?" tanya Galva lagi.

"Indentitas gue banyak." Akhirnya Agraven menjawab pertanyaan Galva dengan penuh makna di dalam perkataanya. Agraven menginjak sisa rokoknya yang tinggal setengah, lalu berdiri dari duduknya.

"Di kampus ini! lo itu adalah-"

"Nggak minat."

"Setidaknya nggak usah pakai masker! Tampang ganteng nggak dipamerin itu sangat disayangkan, Rav!" ujar Galva.

"Mending kita tukeran wajah!" lanjut Galva sambil menaik-turunkan alisnya.

Agraven terkekeh sinis. "Mau tukeran wajah? sini!" balas Agraven sambil mengeluarkan blaze si pisau kesayangannya dari dalam kantong hoodie-nya.

Galva langsung lari ke dalam kamar mandi yang terdapat di ruangan itu.

"NGGAK JADI, RAV! MENDING GUE PUNYA WAJAH JELEK DARI PADA GANTI!" teriak Galva dari kamar mandi.

Agraven mengedikkan bahunya tidak peduli. Blaze kembali ia masukan ke dalam kantong hoodie-nya.

Sedangkan Galva mengelus dadanya dibalik pintu kamar mandi. "Huh, resiko punya sahabat saiko emang gini, Gal! Tiap detik tiap menit menguji adrenalin," gumam Galva.

Setelah beberapa menit, Galva akhirnya keluar dari kamar mandi. Ia melihat sekeliling ruangan. Tidak ada Agraven, lalu di mana laki-laki itu?

Terdengar suara besi beradu di salah satu ruangan yang terdapat di dalam ruangan itu. Dapat dipastikan bahwa Agraven ada di dalam sana.

"Bang Raven psiko gila! Mending cari pacar, deh, biar lo bisa anget jadi manusia, nggak dingin mulu!" kata Galva sedikit berteriak. Siapa sangka bahwa Agraven dapat mendengarnya.

"Gue bukan Psycho!" sanggah Agraven berdiri di ambang pintu. Di tangannya terdapat blaze yang berlumuran darah.

"Oemjiii! Rav! Lo bunuh orang di sini?" kaget Galva menutup mulutnya dengan heboh. Agraven tidak menjawab.

"Makanya cari pacar, biar jiwa psiko lo berkurang!" sambung Galva lagi

"Gue bukan psikopat!" tekan Raven tajam. Galva nyengir.

"Iya Rav iyaaa! Lo cuma pembunuh, bukan psikopat, kan, ya," ujar Galva meralat. "Kalo psikopat nggak punya hati, sedangkan Bang Rav masih punya yakan, masih bisa jatuh cinta, yakan!" sambung Galva. "Dasar psiko menolak sadar," lanjutnya lagi di dalam hati.

"Gue bunuh tikus," ujar Agraven dengan santai nan datar. Kakinya menendang mayat tikus yang sudah tidak berbentuk ke arah Galva.

Galva spontan berteriak dan naik ke atas sofa dengan histeris. "AAARRGHHHHH! SINGKIRIN RAVEN BANGSAT! GUE GELI SAMA TIKUS ANJING BABI!" teriaknya.

Agraven tidak peduli.

"Pliiis Rav, singkirin tikus babi itu!!"

"Oke, gue nggak akan bilang lo psikopat lagi, deh!" ucap Galva. "Gue juga nggak akan ikut campur tentang cinta-cintanya lo lagi," lanjutnya dengan memelas.

"Nggak semua hal itu bisa diceritakan kepada sahabat, contohnya soal asmara," ujar Agraven dengan datar. Cowok itu akhirnya menyingkirkan tikus mati dari depan Galva.

Galva akhirnya bernapas lega. Cowok itu turun dari atas sofa. Bersamaan dengan itu pintu ruangan terbuka menampilkan seorang gadis cantik.

"RAVEEEEN" teriaknya, lalu berjalan ke arah Agraven dan langsung memeluk cowok itu erat. Agraven hampir terjungkal ke belakang, jika ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.

Agraven membalas pelukan itu.

"Kenapa ke sini, hm?"

To be continue....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!