NovelToon NovelToon

Istri Warisan Adik

Istri yang di wariskan

"Tidurlah di kamarmu karena semua orang sudah pulang." seru Amar pada Mahira yang baru ia nikahi pagi tadi.

Tidak memiliki daya dan keberanian, Mahira hanya tertunduk patuh mengambil kembali barang-barang yang sebelumnya sudah ia bawa ke kamar Amar.

Adik ipar yang kini menjadi istri Amar itu dengan kerepotan membuka pintu karena kedua tangannya membawa barang-barangnya.

Merasa tidak sampai hati melihat itu, Amar bergegas membukakan pintu untuknya.

"Terimakasih," ucap Mahira menatap sekilas pria yang terlihat garang dan dingin itu.

Tidak menjawab apa yang Mahira katakan, Amar membiarkan Mahira keluar dari kamarnya.

Sebetulnya hati kecilnya tidak tega membiarkan istri mendiang Adiknya ia perlakukan seperti itu, tapi Amar benar-benar merasa belum siap jika harus menjalani pernikahan dengan sempurna seperti keinginan Amir.

Amar menutup pintunya rapat-rapat, menyandarkan kepalanya di belakang pintu, hatinya terasa sesak mengingat bagaimana ia menggenggam tangan sang adik di detik-detik kematiannya.

"Kak Am-ar... Istri... dan... An-akku.... aku... wariskan ke-kepada... mu." susah payah Amir mengucapkan kata demi kata yang ingin ia sampaikan kepada sang kakak yang terus meneteskan air mata sembari menggenggam tangannya.

"Jangan bicara sembarangan Amir, kamu pasti sembuh, kau harus sembuh, kau dengar itu!" tegas Amir dengan penuh emosional.

Dengan sangat perlahan, Amir menggelengkan kepalanya seakan waktunya sudah tidak banyak lagi.

"Kak A-mar... ber-jan-jilah pa-da ku, berjanjilah."

Amar menggelengkan kepalanya dengan hati yang sangat sakit melihat penderitaan sang adik yang mengalami sumbatan jalan napas akibat amandel yang terus membesar sehingga selama satu minggu ini Amir kesulitan untuk menelan makanan apapun.

Kemudian Amir mengalihkan pandangannya pada Mahira yang tengah menangis di pelukan sang ibunda. Lalu netranya turun pada perut Mahira yang sudah sangat membuncit seakan tinggal menunggu kapan bayi di dalam perutnya akan lahir.

"Kak A-amar... ber-jan-jilah, ber-jan-jilah." Amir terus mengulang perkaranya dengan dada yang semakin terangkat.

Kata-katanya mulai melambat seiring mulutnya yang menganga serta kedua bola matanya yang terus menatap ke langit-langit rumah sakit.

Menyadari hal itu Mahira melepaskan pelukan sang ibu dan memeluk tubuh sang suami dengan meletakkan kepalanya di dadanya.

"Mas Amiiirrr...." tangisnya semakin kencang, meraung-raung memanggil nama suaminya.

Melihat hal itu Amar menghapus air matanya dengan kasar dan mengangkat kedua bahu Mahira menjauh dari adiknya. Setelah itu, Amar membungkukkan badan dan mendekatkan bibirnya ke telinganya sang Adik.

"Aku berjanji akan menjaga istri dan juga anak mu." bisik Amar yang kemudian melanjutkan dengan membisikkan dua kalimat syahadat.

Meskipun dengan susah payah dan tidak begitu jelas, Amir mengikuti apa yang Amar bisikan di telinganya. Dan seiring selesainya kalimat terakhir Amir ucapkan. genggaman tangannya pada Amar pun mulai merenggang.

Menyadari hal itu, Amar menatap sang adik yang telah menutup matanya dengan sempurna.

"Amir, Amir... buka matamu Amir! Kau tidak boleh pergi mendahului ku!" bentak Amar sembari mengguncang-guncang tubuh sang Adik dengan kasar, berharap sang Adik kembali membuka matanya. Tapi sekuat apapun Amar mencoba membangunkan sang Adik, Amir tetap tidak bisa lagi membuka matanya.

Dengan perasaan frustasi, Amar menjatuhkan diri ke lantai. Perasaan sakit kehilangan sang Adik, satu-satunya keluarga yang ia miliki, serta beban wasiat yang Amir pikulkan kepadanya, membuat hati dan pikirannya tak bisa lagi berpikir dengan jernih.

"Yang sabar ya Nak." ujar ibunda Mahira memegang bahu Amar yang tertunduk di tepi ranjang sang Adik.

Bersambung...

📌 Assalamualaikum... ketemu lagi dengan Novel terbaru Author, dukung terus novel ini dengan cara like, komen dan vote supaya novel ini panjang umur yah, Terimakasih 🙏🙏🙏❤️❤️❤️

Melahirkan dihari Pemakaman

Setelah melalui proses panjang akhirnya Amir dapat dimakamkan sebelum matahari terbenam. Isak tangis dari seluruh keluarga mengiringi liang lahat yang mulai di timbun tanah merah sedikit demi sedikit.

Melihat liang lahat sang suami yang mulai tertutup rapat, Mahira tidak bisa lagi menahan diri. Mahira menjatuhkan diri memeluk makam sang suami yang kini telah terpasang papan nama yang bertuliskan hari lahir dan wafatnya.

"Mas Amiiirrr.... kenapa Mas pergi secepat ini, bukankah Mas menantikan bayi ini begitu lama?" Mahira meracau mengingat bagaimana perjuangan mereka memiliki anak selama lima tahun pernikahan. Berbagai macam cara dilakukan, mulai dari perawatan modern sampai perawatan tradisional. Namun tidak satupun berhasil membuat Mahira mengandung. Tapi setelah mereka memasrahkan diri dengan ketentuan yang Allah SWT gariskan, akhirnya Mahira dan Amir menerima kabar baik yang mereka nantikan selama ini. Tapi sayangnya belum sempat bayi itu lahir, Allah lebih dulu memanggil Amir pulang ke pangkuan-NYa.

"Engkau mengabulkan keinginannya, tapi Engkau juga mengambil nya dariku tanpa memberinya kesempatan untuk melihat bayi ini." teriak Mahira memandang langit yang mulai gelap.

Seolah mengungkapkan kekecewaan atas takdir yang Allah berikan, Mahira terus mengungkapkan apa yang ada dalam isi hatinya, imannya benar-benar goyah dengan ujian yang Allah berikan kepadanya.

"Sudah Mahira, gak boleh kamu ngomong begitu sama Allah, dosa." tegur Ibu sambil memegang kedua bahu Mahira.

"Kenapa ini terjadi padaku ibu... kenapa..." Mahira mencoba berdiri dengan tangisnya yang mulai mereda, namun di menit kemudian, tubuh Mahira terhuyung ke belakang.

"Mahira..." jerit Ibu yang langsung menangkap tubuh Mahira.

Melihat ibu yang susah payah menahan tubuh Mahira, Amar mendekati mereka dan menggantikan ibu menahan tubuh Mahira supaya tidak terjatuh.

"Mahira kau baik-baik saja...?" tanya Amar menatap wajah Mahira yang seakan menahan sakit. Semakin lama Mahira mengerutkan semua panca indera di wajahnya lalu diikuti dengan jerit kesakitan.

"Aaaaaa..... Sa.... kiiitttt...."

Melihat itu Amar mengalihkan pandangannya ke bawah, dimana kedua tangan Mahira menahan perutnya seakan takut isi didalamnya jatuh.

Tidak sampai disitu, Amar kembali di kejutkan kita melihat cairan bening mengalir ke telapak kaki Mahira.

"Ibu apa Mahira akan melahirkan?" tanya Amar yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal kehamilan.

"Sepertinya begitu Nak Amar, air ketubannya sudah pecah." saut Ibu yang ikut merasa panik.

Tidak mau terjadi sesuatu pada bayi yang ada dalam kandungan Mahira, Amar langsung membopong tubuh Mahira meninggalkan makam yang masih terdapat beberapa sanak saudara dan para tetangga yang mengiringi pemakaman Amir.

"Ibu cepat masuklah," ucap Amar begitu menurunkan tubuh Mahira di belakang kursi kemudi.

"Iya Nak Amar."

Setelah melihat ibu duduk merangkul Mahira yang terlihat lemah, Amar bergegas memacu kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sesampainya di rumah sakit beberapa perawat bergegas lari dengan membawa ranjang darurat atau biasa disebut dengan Brankar ke arah Amar yang sudah membopong tubuh Mahira.

Melihat perawat dengan sigap menyambut mereka, Amar membaringkan tubuh Mahira di Brankar tersebut.

"Maaf, untuk mendampingi pasien hanya boleh satu orang saja, bisa suami atau bisa juga ibunya."

Perkataan Perawat membuat Ibu dan Amar saling memandang sejenak sebelum akhirnya Amar meminta ibu saja yang menemani Mahira di dalam.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit tak juga terdengar suara tangis bayi, Amar yang merasa khawatir akan keselamatan bayi Adiknya yang baru saja meninggal menjinjitkan kakinya untuk melihat melalui celah kaca pintu. Namun posisi ranjang bersalin yang jauh dari pintu membuat Amar tak dapat melihatnya.

Lima menit berlalu, Amar melangkah mundur ketika tiba-tiba Dokter membuka pintu.

"Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Amar khawatir.

"Kami harus melakukan tindakan operasi, karena air ketubannya mulai mengering, sementara tubuh pasien sudah sangat lemah." jelas Dokter.

"Lakukan saja yang terbaik Dokter, selamatkan bayi itu!"

Melihat Dokter menatapnya dengan tatapan heran, Amar menyadari apa yang baru saja ia katakan.

"Eum-maksudku, selamatkan bayi dan juga ibunya, mereka harus selamat." ujar Amar meralat ucapannya sembari mengalihkan pandangannya.

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin, berdoa saja semoga anak dan istri Anda sama-sama sehat tanpa kurang suatu apapun."

Mendengar jawaban Dokter, lagi-lagi Amar terdiam mengingat wasiat terakhir Adiknya yang mewariskan istri dan anaknya untuk dirinya.

Bersambung...

Menggantikan Peran Adik

Lamunan Amar terhenti saat mendengar suara Brankar mulai di dorong. Pandangannya beralih kearah perawat yang mulai berjalan ke arahnya, Amar melangkah mundur untuk memberi jalan pada perawat yang akan memindahkan Mahira ke ruang operasi.

Setelah perawat membawa Mahira, Ibu dan Amar berjalan di belakang mereka, lalu menunggu diluar ruang operasi.

"Nak Amar, maafkan Mahira anak ibu ya, jadi ngerepotin Nak Amar," ucap Ibu yang melihat Amar terus mondar-mandir dengan gelisah.

"Apa yang ibu katakan, ibu adalah ibu dari istri mendiang adikku, dan selama ini kita sudah seperti keluarga jadi tidak ada kata merepotkan dalam keluarga."

"Terimakasih banyak ya Nak Amar, dulu Mahira sangat beruntung memiliki suami seperti Nak Amir, dan sekarang Nak Amar."

Mendengar itu, Amar yang sebelumnya terlihat ikhlas dalam tutur katanya, seketika garis wajahnya menegang seakan tak senang dengan perkataan yang baru saja diucapkan oleh ibu Mahira.

"E-maksud ibu, sekarang pun Mahira masih beruntung karena meskipun suami Mahira telah tiada tapi Nak Amar mau membantu Mahira." Ibu yang melihat perubahan ekspresi wajah Amar meralat ucapannya, meskipun Ibu mendengar dengan telinganya sendiri jika Amir meminta Amar menikahi Mahira tapi Ibu tidak ingin menuntut Amar untuk memenuhi wasiat itu.

"Tidak masalah ibu, ini sudah jadi tanggungjawab ku sebagai saudara laki-laki Amir."

Rasa canggung dan tak enak hati yang ibu rasakan pada Amar akhirnya hilang setelah mendengar tangis bayi pecah didalam ruang operasi.

Amar dan ibu saling memandang lalu tersenyum bahagia dan bergegas mendekati pintu, mereka mencoba melihat kedalam untuk melihat bayi kecil yang baru di lahirkan itu, tapi belum sempat mereka melihatnya, tiba-tiba pintu terbuka dari dalam.

"Selamat atas kelahiran bayi laki-laki Anda," ucap Dokter sambil tersenyum melihat bayi yang ada di gendongan perawat di sebelahnya.

"Masya Allah... Nak Amar... wajahnya mirip sekali dengan Nak Amir," ucap ibu menatap takjub bayi kecil yang berhidung mancung itu.

Mendengar apa yang ibu katakan, Amar mendekati bayi itu. Dan bersamaan dengan itu, Perawat memberikan bayi itu pada Amar.

"Silahkan di Adzannin dulu sebelum saya bersihkan Pak," ujar perawat.

Dengan penuh hati-hati Amar mengambil bayi itu dari tangan Perawat. Pengalaman pertama dalam hidupnya menggendong seorang bayi membuat Amar merasakan perasaan yang tak bisa ia gambarkan.

Ditatapnya wajah bayi itu yang membuat hatinya benar-benar merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan. "Begini kah perasaan menjadi seorang Ayah?" batin Amar yang semakin merasa takjub dengan ciptaan Allah yang begitu sempurna.

"Buruan Pak, takut bayinya keburu kedinginan," ucap perawat mengingat kan Amar yang terlalu lama menatap bayi itu, sampai lupa harus mengadzani bayi mendiang adikku itu.

"Oh iya," ucap Amar yang kemudian mendekatkan bibirnya di telinga sang bayi lalu melantunkan suara Adzan dengan fasih.

Sementara di sisi lain, ibu dengan cemas menanyakan keadaan putrinya yang masih berada didalam ruang operasi.

"Jangan khawatir ibu, anak ibu baik-baik saja, sekarang masih dalam perawatan, nanti setelah selesai kami akan pindahkan ke ruang inap."

Mendengar apa yang Dokter katakan, ibu merasa tenang dan kembali melihat bayi yang kini di ambil kembali oleh perawat untuk di bersihkan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah menunggu kurang dari tiga puluh menit, akhirnya Perawat memindahkan Mahira ke ruang inap. Dimana dengan siaga Amar terus mendampingi Mahira layaknya seorang suami menunggu istrinya yang baru saja melahirkan.

"Maaf jika sudah merepotkan kak Amar," ucap Mahira begitu Perawat keluar setelah memeriksa selang infus di tangannya.

"Ini sudah jadi kewajiban ku, kamu tidak perlu banyak berpikir, beristirahatlah supaya kamu cepat pulih."

Mendengar jawaban Amar yang dirasa tidak suka menunggunya lebih lama lagi, membuat Mahira semakin tidak enak hati, terlebih sikapnya yang begitu dingin kepadanya.

"Lalu bagaimana mungkin dia menjadi suamiku?" batin Mahira.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!