Bab 1. Melanjutkan Pendidikan
POV Author
*Novel ini hanya karangan imajinasi Author saja. Apabila terdapat kesamaan nama, tempat maupun kisah yang mirip dengan kehidupan sehari-hari itu terjadi tanpa adanya unsur kesengajaan. Mohon bijak untuk memberikan komentar, terima kasih 🙏😊
"Bu, aku ingin kuliah."
Sri menoleh pada anaknya, lalu kembali fokus menyetrika kemeja yang sudah ada terbentang di hadapannya.
"Opo ndak cari kerja dulu Nduk, biar bisa sambil kuliah?"
"Ibu tidak punya biaya?"
Sri mematikan setrikanya, lalu menoleh pada putri satu-satunya.
"Ibu hanya punya tabungan sedikit. Tapi mungkin tidak cukup membiayai kuliah mu sepenuhnya."
"Ck!"
Menur cemberut mendengar jawaban sang ibu.
"Bagaimana pun caranya, aku ingin kuliah Bu. Aku malu sama teman-teman ku. Kami sudah janji mau kuliah di kampus yang sama."
"Memangnya universitas opo toh Nduk?"
"Di kota besar pokoknya Bu, aku janjian masuk kuliah disana."
Sri menghela napas.
"Kita ini kemampuannya terbatas loh Nduk. Apa tidak bisa, kamu kuliah di tempat yang lebih terjangkau saja?"
"Ck, Ibu gimana sih?! Bukannya dukung malah bikin bad mood saja!"
"Ibu selalu mendukung yang berguna dan baik untuk hidupmu Nduk. Tapi ibu juga tidak bisa memaksa diri dengan kemampuan ekonomi kita yang terbatas ini."
"Ibu kan bisa pinjam sama Pakde Dirman Bu?!"
Sekali lagi Sri menghela napas berat, mengingat putrinya itu begitu sulit mengerti keadaan mereka.
"Hutang kita sudah banyak sama Pakde mu. Ibu malu dan sungkan, juga tidak ingin merepotkan Pakde mu terus. Dia punya keluarga juga yang harus dia nafkahi Nduk. Ibu tidak ingin menjadi benalu sehingga Pakdemu lalai terhadap tanggung jawabnya pada keluarganya." Sri mencoba menjelaskan.
"Kalau begitu, Ibu tinggal cari keluarga Bapak kan? Dan minta tolong sama mereka?!"
"Cukup Nduk! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan bahas soal Bapak mu dan keluarganya."
"Lagi-lagi Ibu selalu begini! Kenapa aku tidak boleh tahu soal Bapak dan keluarganya?! Aku jadi curiga sama Ibu. Jangan-jangan Ibu ini...."
"Cukup Menur!! Jangan uji batas kesabaran Ibu mu ini!"
Sri sedikit menaikkan nada bicaranya karena Menur sang anak terus memancing emosinya.
"Haaah..."
Menur membuang napas kasar, lalu tanpa pamit berlalu dari hadapan sang Ibu.
Sepeninggal sang anak, Sri pun menghela napas berat. Ada alasan tersendiri mengapa ia tidak ingin sang anak tahu soal keluarga suaminya. Sri belum mampu membuka luka lamanya.
Sementara itu, Menur bersiap untuk pergi bertemu teman-temannya. Pembicaraan dengan sang Ibu tadi membuatnya kesal sehingga ia harus melampiaskan amarahnya.
Ya, Menur masih muda dan baru akan menginjak usia dewasa. Namun sikapnya belum menunjukan bahwa ia mulai dewasa. Menur masih labil, masih ingin mengikuti kata hati dan dorongan dari teman-temannya tanpa berpikir baik buruk serta resiko maupun kendala yang akan di hadapi kedepannya. Pikirannya hanya kesenangan yang ada. Karena bagi Menur, ia berada dalam keluarga yang tidak utuh, ia merasa tidak bahagia dan kurang mendapatkan kasih sayang yang lengkap.
Sri tertegun melihat penampilan Menur dengan pakaian modis yang rasanya Sri tidak pernah membelikan anaknya itu pakaian yang terlihat mahal seperti itu. Tapi Menur begitu terlihat santai memakainya.
"Nur, itu baju siapa? Kamu dapat dari mana?"
"Baju ku lah Bu! Teman-teman yang memberikannya padaku, karena sudah pasti Ibu tidak akan mampu membelikan pakaian bagus ini buatku."
Sri menekan dadanya yang terasa sesak oleh ucapan sang anak yang keluar begitu saja tanpa beban.
Sri memang tidak akan sanggup membelikan pakaian sebagus itu. Apalagi ia hanya seorang penjual kue di pagi hari, dan mengambil upahan menyetrika di siang hari sampai sore hari. Namun begitu, Sri berusaha keras menghidupi anaknya seorang diri. Menabung setiap hari meski tidak seberapa, dan makan ala kadarnya agar sang anak bisa makan enak tidak susah seperti dirinya.
Cara Sri mungkin masih ada kekurangan dalam membesarkan anaknya. Namun Sri juga tidak lupa mendidik Menur dengan didikan agama, etika yang baik, serta disiplin dan tanggung jawab. Namun entah salahnya dimana hingga Menur dari hari ke hari terus menjadi anak yang melawan dan memberontak. Terkadang Sri cukup kebingungan dengan sikap Menur.
"Terus kamu mau kemana Menur?"
"Ya pergilah Bu, masa sudah dandan cantik gini diam di rumah. Sudah lah Bu, jangan banyak tanya."
"Kamu kok ngomong begitu Menur?! Kamu anak Ibu satu-satunya, jadi wajar kalau Ibu bertanya kamu mau kemana."
"Ibu tidak perlu mikirin aku mau kemana. Ibu nabung saja yang banyak. Pokoknya aku mau kuliah di tempat yang aku inginkan, titik!"
Setelah berkata demikian, Menur melangkah pergi tanpa memikirkan perasaan Ibunya yang sedih akan ucapannya itu.
Sri tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa memandangi punggung sang putri yang kian menjauh.
Kenapa kamu sekarang berubah jauh seperti ini Nduk? Padahal dulu kamu anak yang penurut dan periang. Kamu tidak mudah mengeluh dan selalu tersenyum. Apa ibu telah salah mengira selama ini kalau kamu anak yang manis?
Setetes bulir bening mengalir di pipi Sri. Lekas ia tepiskan dan mencoba menyabarkan hati dan berbesar hati untuk memaafkan kelakuan sang putri.
Sri kembali menghidupkan setrika listriknya dan mulai kembali merapikan pakaian yang sudah terbentang di atas meja yang sudah beralaskan kain.
Sementara itu, Menur yang sudah janjian di jemput temannya pun pergi menuju tempat tongkrongan mereka.
Ada beberapa teman perempuan juga laki-laki yang telah menunggunya di sebuah kafe yang menjadi tempat tongkrongan anak-anak gaul kata mereka.
"Hei Cantik, aku kira kamu tidak jadi datang."
"Jadi dong. Sudah janjian masa aku tidak datang sih?!"
Menur duduk di kursi yang telah di sediakan oleh teman-temannya. Menur yang berparas cantik selalu mengundang ke kaguman teman-temannya untuk selalu melirik kepadanya.
"Can, ini tugas punya ku dan ini Sisil."
Salah seorang teman Menur mengeluarkan dua buah buku dan di letakkan di atas meja. Menur tersenyum lalu meraih kedua buku itu dan di masukan ke dalam tasnya. Bagi Menur itu adalah job yang selalu ia nantikan. Kekurangan ekonomi memaksa Menur menjual otaknya kepada teman-temannya dengan upah barang-barang bagus yang tentunya tidak sanggup di berikan oleh ibunya.
Menur yang paling pintar di antara teman-temannya tidak kecewa di manfaatkan oleh mereka. Karena ia pun memanfaatkan teman-teman itu untuk bisa makan enak dan memiliki barang-barang yang bagus.
Menur bosan hidup susah. Ia ingin hidup nyaman dengan cara tidak perlu bekerja keras dengan menggunakan banyak tenaga. Menur sedang mengumpulkan uang untuk mencari informasi keberadaan keluarga sang Ayah. Menur hanya tahu sang Ayah telah tiada tanpa tahu bagaimana wujudnya ketika masih hidup.
Bukan hal yang mudah bagi Menur menjalani kehidupan dari hari ke hari tanpa sosok sang Ayah. Terkadang ia iri melihat teman-temannya yang di jemput Ayah mereka, atau bertemu keluarga komplit yang sedang menikmati waktu kebersamaan mereka. Menur iri akan momen seperti itu yang tidak pernah ia rasakan sejak ia mengenal arti Ayah bagi seorang anak.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 2. Baju Merah Muda
POV Sri
Hidup seperti ini tidak ada siapa pun yang menginginkan. Namun jika sudah kehendak takdir, tidak ada siapa pun juga yang dapat menolak.
Bertemu Mas Sanjaya tidak menjadi penyesalan ku meski aku tidak diterima di dalam keluarganya. Memiki Menur Cantika adalah kebahagian terbesarku setelah kepergian Mas Sanjaya.
Anakku satu-satunya itu telah ku besarkan dengan sungguh-sungguh agar menjadi anak yang tumbuh sesuai dengan harapanku.
Namun akhir-akhir ini, anakku menunjukkan semakin banyak perubahan dalam dirinya. Entah itu sikap yang ia pendam selama ini, atau kah bentuk kekecewaan yang ia sembunyikan selama ini.
Apa yang anak ku lakukan, ia menutupinya tanpa mau terbuka seperti dulu lagi. Apa ini karena pengaruh pubertas yang sedang ia jalani? Aku jadi merasa sedikit menjauh dari anakku. Dan itu membuat ku sedih.
Teringat ucapannya kemarin yang mengatakan kalau ia ingin melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi lagi.
"Bu, aku ingin kuliah."
Bukan aku melarangnya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Hanya saja untuk masuk ke universitas yang mahal dan bagus pasti membutuhkan tidak sedikit biaya. Sedangkan uang tabungan yang ada hanya sekitar 4 juta rupiah saja. Harus kemana lagi aku mencari tambahan apalagi biaya pendidikan itu tentu harus sedia untuk waktu yang lama.
Waktuku sehari sudah nyaris ku pergunakan semuanya untuk menafkahi kebutuhan kami berdua. Di mulai berjualan kue selepas sholat subuh lalu di lanjutkan dengan menyetrika pakaian tetangga, juga membantu membersihkan rumah mereka jika ada yang meminta. Malamnya aku mempersiapkan lagi adonan kue yang akan aku jual esok subuh. Tentu aku juga membereskan pekerjaan rumahku seperti bersih-bersih, mencuci pakaian dan menjemur, juga memasak di sela-sela pekerjaan ku.
Tapi aku juga tidak ingin anakku kecewa. Karena yang ku tahu, Menur cukup pintar dalam pembelajaran. Nilainya bagus dan sering mendapat ranking di kelasnya. Aku tahu dari gurunya setiap kali aku mengambil raport milik anakku itu.
Dagangan kue ku sudah habis. Semoga saja terus seperti ini, agar aku bisa mengumpulkan uang lebih banyak lagi untuk mewujudkan keinginan anakku. Meskipun aku tidak bisa mengantarkannya pada universitas yang ia inginkan, setidaknya aku masih sanggup membiayai jika itu universitas biasa atau terbuka.
"Sri...,Sri...!"
"Eh, iya Bu Wita. Ada apa ya?"
Panggilan Bu Wita yang berulang kali tanpa aku sadari akhirnya membuyarkan lamunan ku.
"Ini baju-baju yang akan di setrika. Semuanya ada 15 pasang. Jangan sampai kurang ya."
"Loh, memangnya pernah ada yang kurang ya Bu?" Tanyaku.
Setahuku, aku selalu berhati-hati agar tidak ada pelanggan yang kecewa memakai jasaku.
"Kata Jelita, bajunya yang berwarna merah mudanya tidak ada. Padahal terakhir kali baju itu di berikan padamu buat di setrika."
Memang aku tidak pernah menghitung berapa jumlah pakaian yang diberikan kepadaku. Tetapi aku selalu memisahkan keranjang pakaian yang berbeda untuk setiap pelangganku agar tidak tercampur dengan milik orang lain.
"Maaf kalau saya sudah melakukan kesalahan. Nanti saya akan coba cari di rumah saya, mungkin tertinggal di sana." Ujar ku meminta maaf kepada Bu Wita, sungguh aku merasa tidak nyaman atas kejadian kecerobohanku ini.
"Ya, cari sampai ketemu! Karena itu baju kesayangan Jelita. Dan kalau tidak ketemu, aku terpaksa memotong gaji mu sesuai harga baju itu!"
Aku menelan salivaku. Baru kali ini pelanggan begitu kecewa padaku.
"Baik Bu."
Lalu aku pun membawa pakaian-pakaian itu ke rumahku.
"Sri... Sri...!"
Aku menoleh pada seseorang yang memanggil namaku. Ternyata dia adalah Mbak Surti, senyumku pun langsung terbit menyambut kedatangannya yang berjalan terengah-engah menghampiriku sambil tersenyum juga.
"Ono opo Mbak?" Tanya ku
"Sek, aku tak cari napas dulu."
Aku terkekeh sesaat. Memang Mbak Surti terlihat begitu kelelahan membawa badan yang jauh dari kata langsing itu. Setelah terlihat cukup tenang dengan napas yang mulai beraturan, ia kembali tersenyum padaku.
"Esok lusa, aku mau adakan pengajian di rumah. Opo kamu bisa buatkan aku 200 kue dengan jenis yang berbeda Sri? Buat 4 jenis saja kalau bisa."
Aku langsung senang mendengar permintaan Mbak Surti. Ini rejeki besar yang tidak mungkin aku tolak.
"Bisa Mbak. Mau di anter jam berapa?"
"Habis ashar yo Sri. Tapi ingat, lusa loh."
"Iyo Mbak, tak ingat baik-baik pesan sampean."
"Ya sudah, aku balik lagi yo. Tadi lagi ngepel lantai, lihat kamu lewat jadi tak tinggal sebentar. Hehehe..."
"Iya Mbak. Tidak apa-apa."
Mbak Surti berjalan kembali menuju rumahnya. Dan aku pun melanjutkan kembali langkah ku menuju rumahku. Rumah yang menjadi tempat teduhku bersama Menur. Walau sederhana, rumah itu aku beli dengan keringat ku sendiri dengan cara mencicil selama hampir 7 tahun lamanya.
Bukan rumah subsidi, melainkan rumah Bu Dharma yang sudah berpulang ke Rahmatullah 7 tahun yang lalu. Awalnya rumah itu aku kontrak. Tapi karena Bu Dharma yang baik hati itu kasihan melihat ku dan Menur yang masih kecil saat itu, ia pun memberikan kemudahan dengan menjual rumah itu padaku dengan cara seperti membayar kontrakan rumah seperti sebelumnya. Dan alhamdulillah rumah itu jadi milikku sekarang dengan surat-surat yang lengkap pula.
Tiba di rumah, aku tidak membuang waktuku dengan percuma. Tidak ada kata lelah untuk beristirahat. Aku segera membentang kain yang biasa aku pakai untuk alas menyetrika, kemudian mulai melakukan pekerjaan ku satu-persatu. Hingga terdengar suara adzan dzuhur yang menggema membelah langit, ku hentikan sejenak kegiatanku untuk segera bersimpuh kepada sang Khaliq.
Lega rasanya jika kewajiban sudah aku tunaikan. Ku pandangi jam dinding yang menunjukan waktu kepulangan Menur dari sekolah tinggal 35 menit lagi. Aku pun menuju dapur untuk membuat makan siang untuk kami berdua. Di pagi hari kami hanya sarapan kue-kue yang aku buat untuk berdagang keliling serta di titipkan ke warung-warung. Siang hari aku baru memasak sekaligus untuk makan malam kami nanti.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..., loh sudah pulang Nduk?"
Menur meletakkan sepatunya di rak sepatu, lalu tanpa menjawab pertanyaanku, ia masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam. Aku pun mematikan kompor yang kebetulan tumis kangkung yang aku masak sudah matang, dan tinggal di tuang ke dalam wadah saja. Lalu kemudian aku menghampiri kamar putriku untuk mengajaknya makan bersama.
"Tok... Tok... Tok...!"
"Menur, Ibu sudah selesai masak, kamu pasti lapar pulang sekolah kan? Ayo, makan dulu Nduk."
Tidak lama pintu pun terbuka, dan putriku, Menur, terlihat sudah siap hendak pergi lagi. Baju berwarna merah muda yang ia kenakan tampak menyempurnakan penampilannya. Tapi, dari mana dia dapat baju itu? Karena setahu ku, aku belum pernah mencuci pakaian itu. Juga aku tidak pernah membelikannya baju itu.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 3. Baju Merah Muda Part 2
POV Sri
Meski kagum melihat penampilan anakku, namun aku cukup terkejut dengan baju yang Menur kenakan. Pasalnya, baru saja baju merah muda menjadi pembicaraan ku dengan Bu Wati. Bu Wati menyatakan kalau anaknya Jelita kehilangan baju kesayangan yang berwarna merah muda. Dan tepat di hadapanku ini, anakku sedang memakai baju berwarna merah muda.
Apa aku terlalu berpikiran buruk tentang anakku, dan menduga tanpa bukti nyata. Namun aku sendiri yakin, aku tidak pernah mencuci pakaian itu atau pun membelikannya untuk anakku.
"Nduk, Ibu baru kali ini melihat mu memakai baju itu?" Tanyaku dengan hati-hati.
"Hah, Ibu saja yang tidak memperhatikan!"
"Tapi Ibu tidak merasa pernah membelikan baju ini."
"Apa baju-baju yang aku punya harus selalu Ibu yang belikan?!"
"Lah kalau bukan Ibu, lantas siapa yang membelikannya untukmu Nduk?"
"Ibu lupa aku punya teman-teman yang baik, yang bisa memberikan ku pakaian bagus, yang tidak mungkin mampu Ibu belikan?!"
Deg,
Lagi-lagi ucapan putriku yang keluar begitu saja dari bibirnya membuatku merasa sedih mendengarnya.
Bukan aku tidak sanggup membelikannya baju bagus yang bermerek itu, aku bisa saja membelikannya dua atau tiga baju bagus itu. Namun ada kebutuhan yang lebih penting dari sekedar baju bermerek yang menurutku sangat tidak cocok dengan gaya kehidupan kami sehari-hari yang bisa di katakan pas-pasan ini.
Aku ingin sekali menyenangkan hati putriku, tapi bukan dengan cara memanjakannya dengan barang-barang mewah yang sama sekali tidak akan mendidik dirinya menjadi anak yang selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki. Tapi mungkin ada yang kurang dalam pengajaran ku mendidik anak, sehingga Menur bersikap seperti ini.
"Nduk, Ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk meminta-minta selagi kita masih mampu. Bersyukurlah dengan apa yang sudah kita punya, karena di luar sana masih banyak orang-orang yang hidupnya..."
"Halah!! Selalu itu dan itu saja yang Ibu katakan! Aku bosan!!"
"Menur!"
"Apa?! Ibu mau marah?! Apa Ibu pikir selama ini aku cukup bahagia?!"
"Kenapa kamu bicara seperti itu Menur? Apa Ibu membuatmu tidak bahagia?"
"Apa Ibu masih ingin bertanya lagi?! Peka dong Bu!!"
Sesak, sungguh sesak rasanya hingga aku berulang kali membuang napas berat untuk tetap mencoba bersikap tenang menghadapi putriku ini. Aku tidak ingin melukainya, apalagi baru saja ia mengatakan tidak bahagia bersamaku selama ini.
Sabar, aku harus lebih bersabar lagi...
"Maafkan Ibu, jika kamu merasa begitu. Coba cerita kepada Ibu seperti dulu. Bicarakan apa saja yang kamu inginkan atau ada masalah yang sulit untuk kamu hadapi."
"Percuma! Karena Ibu tidak akan bisa menjawab dan memberikan solusi untukku!"
Aku terdiam. Apakah mungkin maksud dari ucapan anakku ini bersangkutan soal Ayah kandungnya?
Lagi-lagi aku menghela napas berat.
"Maaf Nak. Bukan Ibu tidak mau cerita kepadamu, hanya saja Ibu belum sanggup untuk bercerita dan Ibu rasa pun belum waktunya."
"Mau sampai kapan Bu? Apa tunggu aku mati baru timbul penyesalan?!"
"Astagfirullah.. Menur!!"
"Kenapa Bu? Benar kan?!"
"Cukup Menur!! Jangan uji kesabaran Ibu?!"
"Hah!! Lagi-lagi kesabaran, lagi-lagi kesabaran! Terus Ibu ingin aku bersabar seperti Ibu?! Maaf tapi aku bukan Ibu!"
"Menur! Menur...!! Mau kemana kamu?!"
Menur terus melangkah pergi meski aku terus memanggilnya dan bertanya kepadanya. Namun putriku ku itu mengacuhkan aku, seolah-olah ia tidak mendengarkan ucapanku.
Hatiku sesak, perasaan ku cemas. Aku takut perubahan sikap anakku ini akan terus menjadi-jadi.
Aku terduduk lemah, di kursi yang menghadap meja makan. Sudah hilang selera ku untuk mengisi perut ini meski sudah terasa perih.
Lekas ku bangkit untuk melanjutkan saja pekerjaan menyetrika ku yang tadi aku tunda. Agar aku lebih banyak memiliki waktu luang dan bisa mengerjakan pekerjaan yang lain lagi.
Meski pikiran ku kemana-mana dan hati ini juga tidak tenang karena perdebatan dengan Menur tidak berakhir dengan baik, namun aku mencoba menyelesaikan pekerjaanku dengan sebaik-baiknya.
"Tok... Tok... Tok...!"
"Sri...! Sri...!"
"Seperti suara Bu Wita. Ada apa ya?"
Suara ketukan di pintu yang memanggil namaku berkali-kali menghentikan kegiatan menyetrika ku. Ku matikan dulu setrika listrik, agar tidak merusak pakaian pelangganku, lalu meletakkannya di tempat yang aman. Kemudian aku beranjak dari duduk ku untuk menghampiri tamu ku yang masih terus memanggil di depan pintu.
"Sri...! Sri...!"
"Ada apa Bu Wita?" Tanyaku yang kebingungan akan kedatangan Bu Wita yang sepertinya sedang di liputi emosi. Di lihat dari sorot matanya, Bu Wita terlihat marah kepadaku.
"Kowe iki piye toh?!"
"Loh, kenapa memangnya Bu?"
"Anakku ngerti anakmu nganggo klambine, opo kowe ora iso ndidik anakmu?!" (Anakku melihat anakmu memakai bajunya. Apa kamu tidak bisa mendidik anakmu?!)
Aku sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Aku masih belum bisa memastikan, apakah baju yang di pakai Menur tadi milik anak Bu Wita atau bukan. Karena pembicaraan kami tadi tidak menemukan titik akhir yang baik. Sepertinya hanya permintaan maaf saja yang bisa aku ucapkan untuk meredam amarah Bu Wita.
"Maaf Bu Wita, saya akan menasehati lagi Menur jika dia berbuat salah. Tetapi tadi, saya sempat bertanya kepada Menur soal baju merah muda yang ia kenakan. Dan katanya, baju itu diberikan oleh temannya."
"Terus kowe percoyo karo anakmu?! Teman mana yang mau memberikan pakaian seharga 250 ribu secara cuma-cuma heh?! Pokok e..., kowe mesti ganti rugi! Dan aku tidak mau lagi menggunakan jasamu. Mana pakaian-pakaian tadi?! Bisa habis di gondol maling kalau terlalu lama berada di rumah mu!!"
Sakit sekali mendengar tuduhan yang belum benar akan kenyataannya. Namun karena aku juga tidak bisa membuktikan terlibat atau tidaknya Menur pada perkara ini, aku pun terpaksa mengorek tabunganku untuk mengganti kerugian yang di sebutkan oleh Bu Wita tadi. Dan juga mengembalikan pakaian-pakaian miliknya yang belum hampir separuh aku setrika.
"Sekali lagi, saya mohon maaf Bu Wita."
"Huh, susah kalau di lingkungan ini sudah ada bibit maling!" Sarkas Bu Wita sambil mengambil keranjang pakaian dan juga uang 250 ribu dari tangan ku. Matanya menatap sinis kepadaku dengan bibir mengerucut tinggi.
Aku membuang napas berat. Berkurang sudah, satu tetangga yang menggunakan jasa ku untuk menyetrika pakaian mereka. Padahal aku sedang butuh uang banyak untuk mewujudkan keinginan Menur yang ingin melanjutkan pendidikanya ke tahap yang lebih tinggi. Namun sepertinya aku harus lebih berusaha lagi untuk mencari pelanggan baru yang mau menggunakan jasaku.
Aku menutup pintu dengan lemah. Tubuhku semakin lemah karena aku belum menyentuh nasi sama sekali sejak pagi hari hingga hampir menjelang Ashar ini. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengisi perut ku yang sudah perih sejak tadi. Walau tidak berselera, namun aku harus bertenaga untuk melakukan pekerjaan lain yang masih tertunda
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!