Suara ponsel berdering dengan begitu nyaringnya, membuat seorang pria yang masih bergelut dengan tidurnya harus terbangun. Tangannya meraba-raba di mana letak ponselnya.
Setelah mendapatkan apa yang di carinya. Pria itu sedikit membuka matanya dengan setengah tersadar. Rasa kantuknya masih membelenggunya. Namun, dia tahu siapa yang berani mengganggu tidurnya itu.
"Ya, ibu. Kenapa menelpon ku di pagi buta seperti ini?" Suara seraknya menyapa seseorang yang sangat di hormatinya.
"Dasar anak nakal! Kemarin adalah ulang tahun ibumu, kenapa Kamu tidak pulang, huh!" Suara wanita paruh baya terdengar kesal dari seberang telepon.
Seketika bola mata pria itu melebar. Dia terlupakan dengan ulang tahun ibunya. Namun dia juga tahu jika dirinya pulang, pasti ibunya ini akan menjodohkannya pada sembarang gadis.
"Ibu, maafkan Aku. Aku masih ada pekerjaan di Prancis. Lusa aku pasti akan pulang. Kalau begitu, ibu mau kado apa nanti, biar aku belikan untukmu, ibu?" tanya pria itu dengan tenang. Dia tidak ingin terpancing dengan omelan ibunya.
Namun di seberang telepon, ibunya sudah mengomel tak mau tahu.
"Pokoknya ibu mau Kamu pulang sekarang, Lian! Atau Kau akan melihat ibumu ini sakit!" ancam ibunya.
Telepon langsung terputus, membuat pria itu berdecak dengan tingkah ibunya yang akhir-akhir ini terus merengek memintanya pulang.
"Gadis mana lagi yang akan kau jodohkan denganku, ibu?" gumam pria berparas tampan itu dengan menghela nafas berat. Dia lalu menghubungi asistennya untuk menghandle pekerjaannya.
Mendengar ancaman ibunya, mengharuskan pria berparas tampan itu menuruti perintah dari ibu tercintanya.
***
Julian Alexander, seorang CEO berparas tampan yang memiliki perusahaan yang begitu maju.
Sayangnya, hingga usianya yang menginjak 35 tahun, Alex sama sekali tidak tertarik pada seseorang perempuan. Dia lebih fokus membangun perusahaannya agar menjadi perusahaan nomor satu di beberapa negara.
Tak ayal, ibunya mengkhawatirkan tentang jodoh putranya itu. Di usianya yang semakin menua, Nyonya Diana menginginkan putranya membina sebuah rumah tangga dan memiliki momongan.
Namun, sayangnya putranya begitu anti dengan yang namanya perempuan. Hingga beberapa kali Diana menjodohkan Alex dengan anak gadis para teman-temannya. Tetap saja semua yang di lakukannya gagal.
Kali ini Diana telah memiliki seorang gadis pilihannya yang akan Dia jodohkan dengan putranya. Diana yakin kali ini dia tidak akan gagal. Dia sudah mengantisipasi jika Alex menentang perjodohannya nanti.
Di mansion, Diana sudah mondar-mandir menunggu kepulangan putranya. Dia tahu putranya pasti akan pulang dengan ancamannya tadi. Namun, walaupun begitu, Diana tetap saja takut jika ancamannya tadi tak mempan untuk putranya.
"Nyonya, tenanglah, Tuan muda Alex pasti akan pulang," ucap seorang gadis manis dengan wajah yang begitu luwes.
Diana menatap sejenak ke arah gadis itu, kemudian menghampirinya. Diana menggenggam tangan gadis itu untuk mengurangi rasa cemasnya.
"Tania, katakan jika kamu benar-benar akan memegang janji yang sudah kita sepakati. Kamu akan menikah dengan putraku!" Diana menatap gadis bernama Tania dengan tatapan penuh harap.
Tania tersenyum kemudian mengangguk pelan. "Nyonya tenang saja. Saya bukan orang yang suka melanggar janji. Tapi apa Nyonya yakin ingin menjodohkan putra Nyonya dengan Saya? Nyonya tahu sendiri jika Saya hanya anak dari pembantu Nyonya. Dan bagaimana jika putra Nyonya akan memberikan penolakan nantinya seperti yang dilakukannya dalam perjodohan sebelumnya?"
Diana tersenyum. "Kamu tenang saja, Nia. Aku sudah punya rencana agar Lian mau menikah denganmu. Jika pernikahan ini berhasil, Aku menyerahkan tugas selanjutnya padamu. Aku yakin Kamu adalah gadis yang tepat untuk putraku. Aku sudah mengetahui bagaimana sifatmu sejak kecil. Dan ibumu sudah ku anggap seperti adikku sendiri."
Tania terdiam sejenak. Awalnya memang dia tidak ingin masuk dalam perjodohan yang di lakukan oleh Diana. Tapi Diana terus saja meyakinkannya agar Tania mau menikah dengan putranya. Keduanya juga memiliki sebuah perjanjian kesepakatan yang mereka rahasiakan dari semuanya.
"Tapi, Nyonya. Bagaimana jika nanti Saya gagal membuat...."
"Jangan bilang gagal dulu. Kamu belum mencobanya. Lagipula Kamu gadis yang begitu manis, pasti Lian akan menyukaimu lambat laun."
Tania hanya bisa menghela nafas panjang dan mengangguk. Lagipula Tania juga sangat berhutang budi pada keluarga Diana.
"Ibu, aku pulang!"
Diana yang menderanya pun langsung berbinar. Dia tahu putranya tidak akan berani menentangnya. Diana pun langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi sedikit kesal.
Sementara Tania yang berdiri tak jauh dari Diana pun menoleh ke arah suara. Terlihat seorang pria berparas tampan berjalan memasuki ruang keluarga dan melewatinya.
"Maaf karena aku melupakan ulang tahun Ibu." Alex langsung memeluk Diana. Dia lalu memberikan sebuah kotak kecil kepada ibunya.
"Hanya ini yang ku dapatkan di jalan tadi. Semoga ibu menyukainya," lanjut Alex.
"Kau ini memang dasar anak nakal! Kau baru mau pulang dengan ibu harus mengancam mu terlebih dahulu!" Diana bersikap ketus.
"Ayolah, ibu. Maafkan putramu ini," rengek Alex. Dia menaik turunkan kedua alisnya berusaha untuk menggoda ibunya agar memaafkannya.
"Ibu akan memaafkanmu asalkan kamu mau menikah dengan gadis yang ibu jodohkan padam, Lian!"
Alex memijat pelipisnya mendengar ucapan ibunya. Lagi-lagi tentang perjodohan, membuat Alex benar-benar tidak tahu harus mengelak bagaimana lagi.
"Tapi, Bu. Alex masih ingin mengejar mimpi Alex memperkenalkan perusahaan Alex pada dunia. Dan itu akan terwujud sebentar lagi."
"Apa kamu mau melihat ibumu mati dulu, baru kamu akan menikah, Lian?!"
"Bu!"
"Apa! Terus saja kamu membantah ibumu ini." Diana berpura-pura menangis walaupun sebenarnya dalam hatinya begitu jengkel pada putranya itu. Tapi kali ini dia tidak ingin gagal. Dia akan membuat perjodohan ini berhasil.
"Ibu hanya ingin melihatmu menikah, Lian. Apa ibu salah? Ibu sudah semakin tua. Dan lihatlah usiamu. Usiamu sudah terlalu matang untuk menikah. Ibu ingin di hari tua ibu bisa menimang cucu, yaitu anak-anakmu, Lian!"
Alex menghembuskan nafas panjang. Kali ini dia sulit untuk beralasan lagi. Kali ini ibunya membawa-bawa kematian, dan itu membuatnya tak nyaman.
"Tapi aku belum mempunyai kekasih, ibu. Bagaimana Lian bisa menikah?"
Diana langsung tersenyum menatap putranya. "Kau tenang saja, Lian. Ibu sudah memiliki jodoh untukmu."
Alex memutar bola matanya. "Kali ini gadis mana lagi, ibu?"
"Tidak perlu jauh-jauh. Ibu sudah mendapatkannya. Lagipula Kamu juga mengenalnya." Diana lalu berjalan melewati Alex menuju Tania yang sedari tadi berdiri tak jauh dari sana.
Diana menggenggam tangan Tania dan membawanya ke hadapan putranya.
"Kau akan menikah dengan Tania, Lian. Kamu masih ingat dengan Tania, kan? Tania ini anak bibi Mali," ucap Diana.
Tania menunduk di hadapan Alex. Dia sedikit malu menatap wajah Alex yang begitu rupawan. Dia tak pernah menyangka jika anak majikannya akan setampan ini, membuat nyalinya menciut jika harus menikah dengan Alex.
Alex langsung membola mendengar ucapan ibunya. Dia tak habis pikir dengan pola pikir ibunya yang menjodohkannya dengan anak seorang pembantu.
"Ibu, apa kamu serius? Menikah dengan Tania?" tanya Alex dengan nada tidak percaya.
Diana mengangguk mantap. "Ya, Lian. Ibu sudah memutuskan. Kamu akan menikah dengan Tania. Aku sudah berjanji padanya."
Alex menghela napas panjang. Dia tahu ibunya bisa bersikeras dan tidak akan membatalkan keputusannya. Namun, dia tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia tidak mencintai Tania. Dia bahkan tidak pernah menganggap Tania sebagai seorang wanita.
"Ibu, aku tidak bisa. Aku tidak mencintai Tania," jawab Alex dengan suara yang datar.
"Cinta bisa dipelajari, Lian. Dan aku yakin kamu akan mencintai Tania. Dia gadis yang baik dan pekerja keras. Dia juga sangat menyayangimu," jawab Diana dengan penuh keyakinan.
Alex terdiam. Dia tidak bisa membantah lagi. Ibunya memang sudah terlanjur memutuskan. Dia hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa dia akan dipaksa menikah dengan Tania.
"Kapan?" tanya Alex dengan nada pasrah.
"Minggu depan," jawab Diana dengan senyum lebar.
Alex tercengang. "Minggu depan? Ibu, itu terlalu cepat!"
"Tidak ada waktu lagi, Lian. Kau harus segera menikah. Aku sudah menyiapkan semuanya," jawab Diana dengan tegas.
Alex menghela napas panjang. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Dia dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dicintainya.
"Ibu, aku mohon. Beri aku waktu untuk berpikir," pinta Alex.
"Tidak ada waktu untuk berpikir, Lian. Kamu harus menikah minggu depan," jawab Diana.
Alex terdiam. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya sudah memutuskan. Dia hanya bisa pasrah menerima kenyataan pahit ini.
"Baiklah, Ibu. Aku akan menikah minggu depan," jawab Alex dengan nada pasrah.
Diana tersenyum lebar. "Bagus, Lian. Aku senang kamu mau mengerti."
Alex hanya bisa menggeleng kepala. Dia tidak mengerti mengapa ibunya bersikeras memaksanya menikah dengan Tania. Dia merasa hidupnya akan hancur jika harus menikahi wanita yang tidak dicintainya. Apalagi anak seorang pembantu.
Tania yang mendengar percakapan mereka hanya bisa terdiam. Dia merasa bersalah karena menjadi penyebab Alex tidak bahagia. Dia juga merasa tidak pantas untuk menjadi istri Alex.
"Alex, aku minta maaf," ucap Tania dengan suara yang lirih.
Alex menatap Tania dengan tatapan dingin.
"Jangan berbicara denganku!" ketus Alex dan segera melangkah pergi.
Tania hanya menghela nafas panjang. "Nyonya lihat sendiri kan, bahkan Alex sama sekali tak menyukaiku," ucap Tania.
"Itu karena Lian belum mengenalmu, Nia. Aku yakin kalau Lian sudah mengenalmu, Dia akan jatuh cinta padamu."
"Baiklah, Nyonya. Tapi jika dalam enam bulan Tuan Alex tidak juga mencintaiku, Nyonya tahu kan apa yang akan ku lakukan?"
"Iya-iya, Nia. Aku yakin Alex pasti akan menyukaimu. Tapi selama kalian menikah, kau juga harus bersikap seperti wanita anggun di depannya agar dia bisa menyukaimu," tandas Nyonya Diana.
Tania terdiam sembari menghela nafasnya. 'Hanya enam bulan, aku pasti bisa melakukannya,' batin Tania.
"Baiklah, Nyonya. Kalau begitu aku akan kembali bekerja," ucap Tania.
"Ya, tentu. Lagipula pekerjaanmu sangat penting. Asalkan satu Minggu lagi kau harus benar-benar siap menjadi menantuku." Nyonya Diana terkekeh.
Tania mengangguk. Dia lalu keluar dari kamar Diana.
Tania menggelengkan kepalanya ketika mengingat penampilannya sekarang. "Rasanya aku ingin melepaskan dress ini dari tubuhku. Benar-benar sangat tidak nyaman," gumam Nia.
Tiba-tiba langkah Nia terhenti ketika melihat Alex menghampirinya. Dia lalu memasang wajah anggun dengan senyuman manis di wajahnya.
"Kau pasti sengaja bukan, membujuk Ibuku agar aku menikahimu?" tuduh Alex. Dia menatap tak suka pada Nia.
"Maksud, Tuan?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu. Aku tahu gadis seperti apa dirimu. Kau pasti ingin mengangkat derajatmu kan?" Alex tersenyum sinis. "Berapa banyak yang kau inginkan? Aku akan memberikannya padamu. Kau ingin harta, uang, atau perusahaan?"
Tania masih tersenyum. Dia menggeleng. "Maaf, tapi Saya tidak membutuhkannya, Tuan. Nyonya Diana sudah mengatur perjodohan Kita. Jangan sampai mengecewakannya," ucap Tania kemudian pergi dari hadapan Alex.
Alex menatap kepergian Tania dengan gusar. Rasanya dia ingin sekali menolak perjodohan ini, tapi dia sudah terlanjur menyetujuinya.
***
Minggu berikutnya, Alex dan Tania berdiri di altar, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman mereka. Alex mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak gagah, sementara Tania mengenakan gaun putih yang membuatnya tampak anggun. Namun, di balik penampilan mereka yang sempurna, tersembunyi perasaan yang tidak nyaman.
Alex menatap Tania dengan tatapan dingin. Dia tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Tania. Dia merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak adil. Dia tidak mencintai Tania, dan dia tidak yakin dia akan bisa mencintainya.
Tania, yang menyadari tatapan dingin Alex, mengalihkan pandangannya. Dia terus tersenyum dan menyalami para tamu.
Ada beberapa tamu yang tidak Alex kenal. Dia datang dan memberikan selamat kepada mereka. Namun Nia tampak akrab dengan beberapa tamu itu.
"Selamat, Nia. Aku tidak menyangka," ucap seorang pria yang bertubuh tegap dan terlihat sangat tampan. Alex sedikit melirik ke arah Tania dan pria itu.
"Aku juga tidak menyangka," ucap Tania menatap dalam pria itu.
"Ku harap kau tidak akan berubah meskipun kau sudah menikah," sahut pria itu.
"Tentu saja tidak. Terimakasih sudah datang. Nikmatilah pesta pernikahan ini."
Pria itu mengangguk dan segera turun, membiarkan yang lainnya menyalami pengantin.
"Cih, bahkan ada suaminya di sini tapi Dia malah cari perhatian pada pria lain," gumam Alex yang masih bisa di dengar oleh Tania.
"Kau mengatakan sesuatu?" Tania menatap Alex.
Alex langsung menggeleng. "Tidak, kau salah dengar."
Tania mengedikan bahunya dan kembali fokus pada para tamu yang memberikan selamat padanya.
Selama resepsi pernikahan, Alex bersikap dingin pada Tania. Dia hanya berbicara dengan Tania saat benar-benar diperlukan. Dia menghindari kontak mata dengan Tania dan berusaha untuk tidak menyentuh Tania.
Tania berusaha untuk tidak memperdulikan sikap dingin Alex. Dia berusaha untuk bersikap ramah dan menyenangkan, tetapi usahanya terasa sia-sia. Alex selalu tampak tidak tertarik padanya.
"Alex, kau tidak apa-apa?" tanya Tania dengan suara yang lembut.
Alex menatap Tania dengan tatapan kosong. "Aku baik-baik saja," jawab Alex dengan nada datar.
Tania menghela napas panjang. Dia tahu bahwa Alex tidak jujur. Dia bisa merasakan ketidaknyamanan yang terpancar dari Alex.
"Alex, aku mohon. Berbicaralah denganku. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan," pinta Tania.
Alex terdiam. Dia tidak ingin berbicara dengan Tania. Dia tidak ingin membicarakan perasaannya.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," jawab Alex dengan nada dingin.
Tania terdiam. Dia merasa semakin tidak berdaya. Dia tidak tahu bagaimana dia akan menjalani hidup bersama Alex jika Alex terus bersikap dingin padanya.
"Alex, aku mohon. Beri aku kesempatan untuk mencintaimu," pinta Tania.
Alex terdiam. Dia tidak bisa menjawab. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa mencintai Tania.
"Aku tidak bisa menjanjikan itu," jawab Alex dengan suara yang dingin.
Tania terdiam. Dia hanya bisa menghela nafas panjang. 'Sepertinya akan sulit menghadapi pria ini.'
Setelah resepsi pernikahan yang panjang dan melelahkan, Alex dan Tania akhirnya tiba di hotel yang telah disiapkan oleh Diana. Mereka baru saja masuk ke dalam suite mewah yang dihiasi dengan bunga-bunga segar dan suasana romantis, sebuah tanda dari Diana bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama bagi pasangan pengantin baru itu. Namun, Alex tampak tidak nyaman dan gelisah.
Alex melepaskan jasnya dengan cepat dan melemparkannya ke atas sofa. Tanpa melihat ke arah Tania, dia langsung menuju pintu keluar.
"Kau mau ke mana, Alex?" tanya Tania sambil melepaskan heels-nya. Dia sudah bisa menebak, tapi tetap saja dia merasa perlu untuk bertanya.
"Aku akan memesan kamar lain," jawab Alex singkat, tidak berhenti melangkah.
Tania menghela napas panjang, merasa frustrasi. "Alex, kita baru saja menikah. Setidaknya kita bisa mencoba berbicara, atau mungkin mencoba untuk lebih mengenal satu sama lain."
Alex menghentikan langkahnya di depan pintu, lalu menoleh sebentar ke arah Tania. "Aku tidak mau memaksakan sesuatu yang tidak aku inginkan. Dan aku tidak akan tidur di kamar yang sama denganmu malam ini. Atau kapan pun."
Tania mendekat, berusaha tetap tenang meskipun hatinya terasa berat. "Alex, aku tahu ini sulit bagimu, tapi setidaknya... berikan kesempatan. Kita bisa mulai dari hal kecil, seperti—"
"Aku tidak ingin ada kesan bahwa ini adalah pernikahan sungguhan," potong Alex dengan nada tegas. "Aku akan tidur di kamar sebelah. Jangan berharap lebih dari itu."
Tania terdiam sejenak, menatap Alex dengan tatapan lembut, meskipun ada luka di balik matanya. Dia tidak pernah mendapatkan sikap seperti ini dari teman-temannya.
"Alex, aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin kita bisa saling menghormati. Kita sudah terikat dalam pernikahan ini, dan meskipun kamu tidak menyukaiku, setidaknya... cobalah untuk menerima kenyataan jika sekarang kau adalah suamiku."
Alex hanya menggeleng, menunjukkan bahwa dia tidak tertarik untuk melanjutkan percakapan itu. "Aku sudah cukup menerima kenyataan ini dengan hadir di pernikahan kita. Jangan minta lebih."
Dia lalu membuka pintu dan melangkah keluar. Tania berdiri di ambang pintu, menatap punggung Alex yang menjauh. Dia tahu bahwa Alex membutuhkan waktu, tetapi tetap saja, sikap dingin ini membuatnya merasa sedikit kesal.
Setelah beberapa saat, Tania kembali masuk ke dalam suite, menutup pintu, dan duduk di tepi ranjang. Dia menatap cermin besar di depannya, melihat bayangannya sendiri yang tampak lelah. Dengan pelan, dia berbicara pada dirinya sendiri.
"Jika saja aku tidak punya kesepakatan dengan Nyonya Diana... pasti aku sudah kembali ke kantor sekarang. Aku seharusnya menangani kasus-kasus penting, bukan malah terjebak di sini, memohon perhatian dari seorang pria yang jelas-jelas tidak menginginkanku."
Tania menggelengkan kepalanya, merasa frustasi dengan situasinya. "Cuti dari pekerjaan untuk ini? Benar-benar menyebalkan."
Namun, dia ingat janjinya kepada Diana. Nyonya Diana telah memberinya keyakinan bahwa Alex akan belajar mencintainya jika diberi waktu dan kesempatan. Tania harus tetap pada rencananya, meskipun itu berarti harus bersabar dan menghadapi sikap dingin Alex.
Tak lama kemudian, telepon kamar berdering. Tania mengangkatnya dengan malas.
"Halo?"
"Tania, ini aku, Diana," suara Nyonya Diana terdengar lembut di ujung sana.
"Oh, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Bagaimana keadaan kalian? Apakah semuanya berjalan lancar?" tanya Diana dengan antusias.
Tania melirik ke arah pintu yang tadi dilalui Alex. "Semuanya baik-baik saja, Nyonya," jawab Tania, berusaha terdengar tenang.
Diana terdiam sejenak, seolah tahu ada sesuatu yang tidak beres. "Alex... Apakah dia baik padamu?"
Tania tersenyum kecil, meskipun itu hanya untuk menenangkan perasaan Diana. "Alex sedang berusaha, Nyonya. Saya yakin semuanya akan baik-baik saja. Saya hanya butuh waktu untuk membuatnya menerima saya."
Diana menghela napas lega. "Terima kasih, Nia. Aku tahu ini sulit, tapi aku percaya padamu. Alex hanya butuh waktu untuk terbiasa."
"Ya, Nyonya. Saya akan melakukan yang terbaik," jawab Tania dengan mantap.
Setelah menutup telepon, Tania meletakkannya kembali dan berbaring di tempat tidur yang terasa begitu luas dan sepi. Pikirannya melayang pada apa yang akan terjadi dalam enam bulan ke depan. Apakah dia akan berhasil menaklukkan hati Alex, atau pernikahan ini akan berakhir dengan perceraian seperti yang sudah dia perkirakan?
Tania menatap langit-langit kamar hotel itu, mencoba menenangkan pikirannya sebelum memejamkan mata. "Hanya enam bulan... Aku pasti bisa melakukannya," batinnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
***
Pagi itu, suasana restoran hotel terasa hangat dan nyaman dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela besar, menerangi meja-meja sarapan yang penuh dengan berbagai hidangan lezat. Tania dan Alex duduk berhadapan di sebuah meja yang agak terpencil dari keramaian tamu lain. Meskipun suasananya tampak damai, di antara mereka ada ketegangan yang sulit diabaikan.
Tania dengan cekatan mengambil alih pesanan mereka. "Aku pesan croissant dan kopi untukmu, dan ada jus jeruk juga," katanya sambil memberikan senyum kecil yang tak direspons oleh Alex.
Alex hanya duduk diam, tatapannya tertuju pada layar ponselnya, jari-jarinya sibuk mengetik sesuatu tanpa henti. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, apalagi ucapan terima kasih.
Tania menatapnya sesaat, berharap mendapatkan setidaknya satu kata dari Alex. Namun, yang dia dapatkan hanyalah keheningan yang terasa dingin. Dia menghela napas perlahan, mencoba menahan rasa frustrasinya. Dalam hatinya, Tania mulai menggerutu.
*Kenapa sih pria ini sulit sekali untuk diajak bicara? Seolah-olah aku ini tidak ada di sini. Apa susahnya bilang terima kasih? Setidaknya sedikit sopanlah, aku kan istrinya sekarang!*
Tania mencoba mengalihkan perhatiannya dengan meminum jus jeruk yang sudah dipesan. Namun, matanya tetap mengawasi Alex yang masih terpaku pada ponselnya.
Tidak bisa menahan diri lagi, Tania akhirnya bicara, "Alex, apa kau tidak ada hal lain yang ingin kau lakukan selain bermain ponsel?"
Alex tidak mengangkat wajahnya dari layar. "Aku ada pekerjaan," jawabnya datar.
Tania mendesah, tidak puas dengan jawabannya. "Kita ini sedang sarapan. Setidaknya, beri sedikit waktu untuk percakapan. Atau apakah kau begitu sibuk sampai-sampai tidak bisa meletakkan ponselmu sebentar saja?"
Alex tetap tidak menatapnya, tetapi kali ini dia menghentikan aktivitas di ponselnya. "Tania, ini bukan sarapan yang kuinginkan. Aku lebih suka menikmati waktuku sendiri, jadi tolong, jangan memaksaku untuk berbicara."
*Astaga, apa dia selalu begini?* Tania merasa darahnya mulai mendidih. Namun, dia berusaha tetap tenang. Dia tahu bahwa kehilangan kesabaran tidak akan membantunya sama sekali.
Dia mendekatkan kursinya ke meja dan menatap Alex, mencoba mendapatkan perhatian pria itu. "Kita tidak bisa terus begini, Alex. Aku tahu kau tidak menginginkan pernikahan ini, tapi ini sudah terjadi. Kita harus menjalani ini bersama. Kita harus mencoba berkomunikasi."
Alex akhirnya menatap Tania, tapi hanya sebentar. "Apa yang kau inginkan, Tania? Aku sudah katakan sejak awal, aku tidak ingin ini. Aku hanya setuju untuk menyenangkan ibuku."
Tania menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan sakit yang timbul dari kata-kata Alex. "Kau pikir aku ingin ini terjadi? Aku juga punya kehidupan, pekerjaan, dan rencana. Tapi kita sudah terjebak dalam ini bersama, jadi kenapa tidak mencoba untuk setidaknya saling menghormati?"
"Kalau itu yang kau inginkan, aku bisa bersikap sopan. Tapi jangan berharap lebih dari itu," kata Alex tanpa ekspresi.
Tania mendengus pelan. "Sopan? Kau bahkan tidak mengucapkan terima kasih ketika aku memesankan sarapan untukmu. Itu sangat dasar, Alex. Aku tidak meminta yang berlebihan."
Alex kembali menunduk pada ponselnya, mengabaikan komentar Tania. "Terima kasih atas sarapannya," katanya tanpa sedikitpun menampilkan emosi.
Tania hampir saja meledak, tapi dia menelan kekesalannya dan memilih untuk diam. *Pria ini benar-benar menyebalkan! Seolah-olah dia sengaja membuatku marah. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Jika ini yang harus kulakukan, aku akan bertahan.*
Setelah beberapa saat dalam keheningan yang canggung, pelayan datang dengan membawa pesanan mereka. Tania mengambil napas dalam-dalam, memutuskan untuk mencoba satu kali lagi. Dia harus tetap kuat jika ingin menghadapi Alex.
“Alex, kita akan melakukan apa hari ini?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut, berharap bisa memecah suasana dingin di antara mereka.
Alex mengangkat bahu. "Aku ada rapat online siang ini, setelah itu aku mungkin akan pergi ke gym."
Tania mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. "Baiklah. Aku mungkin akan jalan-jalan sebentar di sekitar hotel. Mungkin ada tempat menarik yang bisa dikunjungi."
“Kau bisa lakukan apa saja yang kau mau,” balas Alex tanpa sedikit pun mengalihkan perhatiannya dari ponsel.
Tania menghela napas untuk kesekian kalinya. Pagi ini terasa lebih panjang dari yang dia bayangkan. *Ya Tuhan, ini baru hari pertama, dan aku sudah merasa lelah. Bagaimana aku bisa bertahan selama enam bulan?*
Namun, dalam hatinya, Tania tahu bahwa dia tidak akan menyerah. Dia punya tekad, dan jika ada satu hal yang bisa dia andalkan, itu adalah kesabarannya. Meskipun Alex sulit dihadapi, Tania tahu bahwa dia harus mencoba yang terbaik. Lagipula, dia tidak akan membiarkan pernikahan ini berakhir dengan kegagalan tanpa perlawanan.
"Fighting!" seru Tania.
Alex mengerutkan keningnya melihatnya dan hanya menggelengkan kepalanya acuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!