Senyum Naomi mengembang melihat anak-anak didiknya tertawa riang dan bermain bersama. Dibanding duduk di ruang guru dan mengobrol dengan rekan seprofesinya, dia lebih suka memperhatikan murid-muridnya, bahkan sesekali, ikut bermain bersama mereka. Baginya, setengah masalah hidup seperti hilang saat melihat senyum bahagia mereka, meski tak jarang, dia melihat mereka menangis karena jatuh atau berebut sesuatu dengan lainnya.
"Miss Naomi," panggil seorang anak laki-laki sambil melambaikan tangan.
"Iya, Mikail," sahut Naomi sambil berjalan mendekati salah satu murid di kelasnya.
"Ikut main yuk," Mikail menarik lengan Naomi menuju kumpulan teman-temannya.
Dengan senang hati, Naomi ikut bermain bersama mereka. Dia yang sudah berumur 24 tahun, sama sekali tak keberatan harus ikut bermain ular naga panjang. Saat tengah bermain, tak sengaja tatapannya tertuju pada seorang bocah perempuan kecil yang duduk sendirian. Dia mengakhiri permainan, dan mendatangi anak tersebut.
"Rania," sapa Naomi seraya duduk di sebelah bocah itu.
Sejak pertama kali melihat Rania, Naomi jadi sering memperhatikan bocah itu. Wajah Rania mengingatkan dia pada seseorang, seseorang yang dia rindukan siang dan malam selama 7 tahun terakhir ini. Seseorang yang meski telah berusaha kuat untuk menghapus jejaknya, tetap saja tak bisa. "Kenapa gak main sama teman yang lain?" Dia mengusap kepala gadis kecil yang tertutup hijab tersebut. Saat gadis kecil itu menoleh dan mendongak ke arahnya, terlihat jejak-jejak air mata di pipi cubbynya. "Kamu nangis? Ada apa, cerita sama Miss?"
"Miss, apa benar jika surga itu ada di bawah telapak kaki ibu?"
Naomi menjawab dengan anggukan kepala.
"Jadi, aku gak punya surga, karena gak punya ibu?" Rania kembali menangis. "Teman-teman bilang, kalau mau masuk surga, harus baik dan sayang sama ibunya, tapi aku gak punya ibu. Apa aku gak bisa masuk surga, Miss?"
Naomi memeluk bocah kecil tersebut, mengecup puncak kepalanya beberapa kali. Ucapan Rania yang bilang tak punya ibu, masih membuat dia bingung. Rania baru seminggu ini naik kelas TK B, sebagai wali kelas baru, dia belum terlalu kenal dengan orang tua murid di kelasnya.
"Ibunya Rania.... " Naomi bingung memilih kata-kata.
"Mama aku sudah meninggal. Papa bilang, sudah ada di surga. Tapi jika aku tidak bisa masuk surga, bagaimana aku bisa bertemu dengan ibuku?"
Pertanyaan bocah polos itu membuat Naomi menitikkan air mata. Bersyukur karena masih memiliki orang tua yang lengkap hingga saat ini.
"Meski ibu Rania sudah gak ada, pintu surga untuk Rania masih terbuka lebar. Caranya dengan menjadi anak sholehah dan selalu mendoakan ibu. " Dipeluknya anak itu erat-erat sebagai bentuk dukungannya.
Seperti biasa, setiap jam pulang sekolah, Naomi mengantar murid di kelasnya sampai titik penjemputan. Dia selalu memastikan bahwa mereka telah dijemput oleh orang tua atau wali masing-masing. Di kesempatan itu juga, bisanya dia gunakan untuk berkenalan dengan orang tua murid.
Satu persatu mulai dijemput, tak terkecuali Rania yang hari itu seperti biasa, dijemput oleh supir dan pengasuhnya. Awalnya dia fikir ibu Rania bekerja, tapi ternyata dia baru tahu jika anak itu sudah tidak memiliki ibu.
"Papa... " Mikail yang berdiri di sebelah Naomi melambaikan tangan pada seorang laki-laki yang baru turun dari mobil. Wajah anak itu tampak sangat girang melihat kehadiran papanya.
"Tumben jemput?" Naomi mengejek.
"Kangen elo lah," goda Miko, papanya Mikail. Dia dan Naomi memang sudah kenal lama, sejak SMA.
"Jadi Papa kesini karena kangen Miss Naomi, bukan kangen aku?" Mikail melipat kedua lengan di dada sambil cemberut. Dia memang jarang sekali bertemu dengan papanya. Mama dan Papanya sudah lama bercerai, dan dia ikut bersama mamanya.
Miko terkekeh sambil mengacak gemas rambut Mikail. "Papa hanya becanda, Sayang. Tentu saja Papa kesini karena kangen kamu. Kita jalan-jalan ke mall yuk."
"Horee!!! " Mikail melompat kegirangan.
Miko menyerahkan sesuatu yang sejak tadi dia pegang pada Naomi. "Undangan buat lo, dari Rey."
Naomi membaca sekilas undangan pernikahan tersebut. Semalam, Killa, sahabat baiknya juga menghubungi, meminta dia untuk datang ke pernikahan Rey. Tapi hingga saat ini, dia masih ragu, takut bertemu dengan seseorang disana.
"Datang ya, Nom," Miko menepuk bahu Naomi.
"InsyaAllah."
...----------------...
Naomi mematut diri di depan cermin. Penampilannya sudah sangat paripurna. Gamis pesta warna putih sesuai dresscode acara, heels hitam dan tas senada, juga make up flawless yang membuat wajahnya tampak segar dan cantik. Tapi meski sudah sangat siap dengan penampilan, hatinya masih belum yakin untuk berangkat.
"Apa Aiden juga datang kesana?" tanyanya kemarin saat Killa telepon.
"Aku gak tahu, Nom. Dia bukan circlenya Kak Del, jadi aku kurang tahu," sahut Killa.
Naomi menghela nafas panjang. Killa memaksa sekali dia datang, pun dengan Miko yang sampai menemui dia untuk mengantar undangan. Tidak datang, apa itu tidak keterlaluan?
Pesta yang digelar di sebuah pantai tersebut tampak meriah. Warna putih mendominasi, karena selain dresscode, semua dekorasi juga berwarna senada. Naomi sengaja datang terlambat untuk menghindari bertemu seseorang, tapi belum tentu juga orang tersebut diundang. Semoga saja tidak di undang. Sampai kapanpun, dia tak akan siap bertemu dengannya, meski rindu itu ada, dan menggunung. Tidak, dia menggeleng cepat, tak seharusnya dia merindukan suami orang.
Naomi datang menjelang momen pelemparan bunga. Meski belum menikah, dia sama sekali tak tertarik dengan bunga incaran para kaum single tersebut. Dia malah tertarik untuk menghampiri Killa yang hari itu menjadi bridesmaid.
Mata Naomi membulat sempurna saat bunga yang dilempar pengantin mengarah padanya, dan reflek, tangannya menangkap bunga tersebut.
Plug
Bunga tersebut mendarat di tangannya dan langsung disambut dengan sorakan dan tepukan meriah.
"Cie.... ada yang mau nyusul nih kayaknya?" goda Killa yang seketika menghampiri Naomi.
"Paan sih, calonnya aja gak ada," Naomi terkekeh pelan.
Lama tak bertemu, mereka mengobrol banyak, juga dengan teman-teman yang lainnya. Hingga terhenti saat ada yang memanggil dan menarik gamis Naomi.
"Miss Naomi."
"Rania." Naomi tak menyangka akan bertemu dengan Rania di tempat ini. Gadis kecil berwajah mirip seseorang yang selalu ada di hatinya itu tampak sangat cantik degan gamis pesta beserta hijabnya. Dia fikir, Rania hanya memakai hijab saat sekolah karena itu keharusan di TK mereka, ternyata saat di luar sekolah seperti ini, Rania juga berhijab. Dalam hati, mengagumi orang tua Rania yang sudah mengajarkan menutup aurat sejak dini. "Kamu kesini sama siapa sayang?"
Rania menoleh lalu menunjuk seseorang. "Papa."
Deg
Jantung Naomi seperti berhenti berdetak melihat siapa laki-laki yang dipanggil Rania papa. Dia adalah laki-laki yang siang dan malam selama 7 tahun ini, selalu dia rindukan. Rindu yang tak seharusnya ada karena laki-laki tersebut telah menjadi milik wanita lain. Seketika, dia teringat janji konyol yang pernah mereka ucapkan dulu. Janji yang sampai saat ini, tak pernah bisa dia lupa.
"Naomi hanya milik Aiden. Tidak ada yang boleh memiliki Naomi selain Aiden. Janji." Aiden mengangkat kelingkingnya.
"Janji." Naomi menautkan kelingkingnya pada kelingking Aiden.
Dia selalu berdoa agar rasa cintanya untuk Aiden dicabut, tapi hingga detik ini, jantungnya masih berdebar kala menatap pria tersebut.
8 tahun yang lalu
"Perkenalkan, saya Naomi Naziha, pindahan dari SMA ponpes Al Huda." Naomi yang berdiri di depan kelas, memperkenalkan diri setelah diberi kesempatan oleh guru.
Ini hari pertama Naomi di sekolah baru setelah 6 bulan di pesantren. Setelah melalui banyak proses dan debat panjang dengan kedua orang tuanya, akhirnya dia dipindahkan ke sekolah umum. Mungkin mereka sudah lelah sekaligus malu karena selama 6 bulan, Naomi sudah kabur 3 kali dari pesantren.
Mendengar Naomi pindahan dari pondok pesantren, anak-anak yang lain langsung bisik-bisik. Di sekolah itu memang tak banyak siswi yang berhijab, hanya segelintir saja, karena sekolah umum, bukan MA ataupun sekolah berbasis agama.
"Diharapkan kalian semua bisa menerima Naomi dan berteman dengannya. Tunjukkan jika sekolah kita ini, sekolah beradab, tak ada bullying pada siswa baru. Ingat! Tak ada bullying," tekan Pak Yusuf.
"Siap, Pak," sahut hampir semua siswa di kelas.
Naomi sedikit lega melihat vibes di kelas ini. Orang-orangnya tampak humble. Semoga saja bukan hanya kelihatannya tapi mereka memang welcome padanya.
Setelah sesi perkenalan selesai, Naomi diminta Pak Yusuf untuk duduk di sebuah kursi yang kebetulan kosong.
"Mercella, panggil aja Cella," teman sebangku Naomi memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan begitu Naomi duduk di sebelahnya.
"Naomi, panggil aja Nom. Biasa dipanggil gitu soalnya. Ini, emang kosong kursinya, atau yang punya gak masuk?"
"Emang kosong, orangnya mati kemarin."
What! Mata Naomi langsung membulat sempurna dan mulutnya terbuka lebar. Bulu kudunya seketika merinding disko.
Cella menutup mulutnya menahan tawa melihat ekspresi Naomi. "Becanda kali."
Naomi bernafas lega sambil mengusap dada. Melepas tas ransel di punggungnya lalu menyandarkan di sandaran kursi.
"Eh, kenapa lo keluar dari pondok?"
"Gak betah." Naomi mengeluarkan buku dan alat tulis dari dalam tas.
"Kenapa? Orangnya galak-galak, atau apa?"
"Bukan masalah orangnya sih, tapi aku gak bisa kalau dikurung gitu, gak boleh kemana-mana. Selain itu, aku gak betah kalau gak pegang HP."
Cella tak bisa menahan tawanya kali ini, sama seperti Naomi, dia juga sudah kecanduan gadget. Mungkin bukan hanya mereka, masih banyak lagi remaja seusia mereka yang juga kecanduan gadget.
"Marcella, Naomi, ngobrolnya lanjut nanti saja," tegur Pak Yusuf. "Kalau saya masih denger kalian ngobrol, gantiin saya di depan, kalian yang jadi guru."
Naomi dan Cella langsung kicep. Keduanya menunduk sambil menahan tawa.
Jam istirahat yang ditunggu akhirnya datang juga. Sepertinya bukan hanya Naomi yang excited dengan teman-teman dan lingkungan sekolah barunya. Cella, gadis manis itu tak kalah excitednya dengan Naomi, dia tanpa diminta, terus nyerocos menceritakan tentang sekolahannya. Sebenarnya dia juga belum fasih juga sih tentang sekolah, mengingat dia juga masih kelas X dan baru sekolah satu semester.
Lapar, membuat Naomi dan Cella akhirnya melipir ke kantin. Rame banget, hampir seluruh stan makanan antri.
"Disini makanannya enak-enak, terutama pas snack time kayak gini." Istirahat pertama, memang kebanyakan menunya hanya camilan, baru nanti istirahat ke dua, makanan utama. "Salad buah, piscok, dan aneka puding disini enak-enak, recommended banget." Cella masih antusias mengenalkan tentang sekolah.
Naomi mengedarkan pandangan, tapi tak ada yang menarik perhatiannya. Pada akhirnya, dia memilih untuk beli smoothie kiwi yang kelihatannya super segar.
Dia dan Cella berdiri di belakang seorang siswa yang sedang menunggu pesanan. Tiba-tiba, 4 orang cewek menyerobot antrian mereka. Dengan gaya angkuh, menggeser badan Naomi hingga hampir jatuh lalu menempati tempatnya.
"Smoothies mangga, Pak," ucap salah satu dari mereka.
"Apa-apaan sih, antri dong, jangan main nyerobot aja," protes Naomi.
Keempat cewek yang sepertinya satu geng itu langsung menatap kearahnya. Mereka tersenyum mengejek sembari memperhatikan penampilan Naomi.
"Suka-suka kita dong," ujar cewek yang di dadanya terpasang name tag Liana.
"Ya gak bisa gitu. Gimana Indonesia mau maju jika SDM nya gak bisa menerapkan budaya antri."
"Udah, Nom, udah. Kita ngalah aja," Cella menarik lengan Naomi. Wajah gadis itu sedikit takut. Bersekolah disini 6 bulan, dia tahu persis siapa Amanda and the geng. Bisa dibilang, mereka cewek-cewek paling populer dan disegani di sekolah.
"Tuh, temen lo pinter," Amanda tersenyum miring dengan kedua lengan dilipat di dada.
"Gak bisa gitu dong, Cel. Kita harus mempertahankan hak kita, jangan mau dijajah," Naomi yang memang sedikit keras kepala, tak mau mendengar kata Cella. Menurutnya, kalau gak salah, kenapa harus takut.
"Lo gak tahu siapa kita?" tanya Ara.
"Kak Ara, Amanda, Liana, Thea, itu kan nama kalian." Naomi membaca satu persatu name tag mereka. Kenapa dia panggil kak, karena di lengan mereka ada bet bertuliskan XII. Tapi siapapun mereka, menyerobot antrian jelas bukan tindakan yang benar.
"Lo baru ya?" tanya Amanda.
"Iya."
Keempat cewek itu langsung ketawa. Cella berusaha menarik lengan Naomi untuk pergi saja dari kantin, tapi Naomi tetap kekeh tak mau pergi.
"Kayaknya, anak baru minta di ajak kenalan nih," Liana tersenyum penuh arti.
Amanda tersenyum, menarik smoothies mangga di tangan Liana lalu menyiramkan ke kepala Naomi.
Tawa seketika menggema di kantin.
Naomi syok dengan kejadian tiba-tiba dan diluar prediksi itu. Hijab putihnya langsung berubah warna jadi kuning ke oranye oranyean. Belum hilang kagetnya, dirinya didorong sampai terjatuh. Mereka berempat tertawa cekikikan sambil mengelilingi Naomi, pun dengan beberapa orang di kantin yang ikut berkerumun untuk melihat. Cella tampak bingung, tak tahu harus minta tolong pada siapa.
"Hei anak baru, gue kasih tahu ya. Di sekolah ini, kita yang paling berkuasa, jadi jangan berani melawan kami," ancam Amanda.
Naomi berusaha untuk bangun. Kembali berdiri dengan nafas memburu dan kedua telapak tangan mengepal.
Amanda mengangkat es coklat di tangannya sambil tersenyum penuh arti. Baru saja, seseorang yang ada di sebelahnya dengan suka rela memberikan minumannya pada gadis itu. Tak hanya Naomi, semua disana bisa menebak gerak gerik Amanda. Sebentar lagi, minuman tersebut pasti akan bernasib sama dengan smoothies mangga. Sebelum hal itu terjadi, Naomi menarik es coklat di tangan Amanda lalu menyiramkan pada gadis tersebut.
"Shit!" umpat seseorang yang wajah dan seragamnya basah karena es coklat.
Bukan, bukan Amanda yang kena siram. Cewek itu ternyata lebih pintar dari dugaan Naomi. Amanda berhasil mengelak, dan akhirnya, minuman tersebut mengenai seorang laki-laki yang baru datang dan ada tepat di belakang Amanda. Dia adalah Aiden, cowok paling ditakuti di sekolah itu.
Aiden dan kawan-kawannya yang baru masuk kantin, penasaran dengan keributan yang terjadi. Semua anak berkerumun, membuat dia tak bisa melihat langsung apa yang terjadi. Bisa dia denger, suara lantang Amanda, juga suara teman gengnya. Sepertinya ada masalah dengan kekasihnya tersebut. Beberapa siswa langsung memberi jalan saat dia dan teman-temannya mendekat.
Byurrr
"Shittt!" Aiden reflek mengumpat saat sebagian wajah dan dadanya terkena siraman es coklat.
Tak hanya Aiden yang syok, anak-anak lainnya juga langsung melongo melihat cowok paling ditakuti di sekolah itu diguyur es.
Naomi, gadis itu melongo saat sadar telah salah sasaran. Sebenarnya target utamanya adalah Amanda, tapi sayang gadis itu terlalu cepat menghindar dan akhirnya kena Aiden yang kebetulan ada tepat di belakangnya. Tubuhnya sedikit gemetaran melihat cowok yang dia siram mengepalkan kedua telapak tangan.
"Astaga, Sayang," Amanda segera mengambil tisu di kantong seragamnya untuk membersihkan wajah Aiden. Tapi cowok yang sedang kesal tersebut, menepis tangan Manda dengan kasar.
Dengan rahang mengeras, Aiden melepas atasan seragamnya. Badannya yang tegap, terlihat sangat jelas tercetak di kaos dalam berlengan warna putih yang dia pakai. Setiap hari, dia memang memakai kaos dalam saat sekolah. Dia membersihkan wajahnya dengan atasan seragam yang baru dia lepas, lalu melemparkan tepat di wajah Naomi.
Naomi reflek mengambil seragam yang menutupi wajahnya. Aura garang Aiden membuat dia takut, apalagi saat cowok itu mendekat.
"Bersihkan seragam gue sampai tak ada noda coklat sedikitpun." Perintah bernada intimidasi itu membuat Naomi berkeringat dingin. "Ingat, sampai bersih tanpa noda!" tekannya di dekat wajah Naomi. "Besok, gue mau seragam tersebut kembali ke gue seperti baru. Jika tidak.... " Dia tersenyum devil pada Naomi. "Lo akan dapat masalah besar."
Aiden pergi setelah itu, diikuti teman-teman serta Amanda and the geng.
Cella menarik tangan Naomi menuju toilet. Disana, dia membantu gadis itu membersihkan wajah dan hijabnya yang kotor.
"Nom, lo dalam masalah besar."
"Gak papalah, Cel, gue pakai hijab basah. Yang penting masih ada hijab yang menutupi kepala dan dada gue." Hijab yang sudah dia basuh dibagian yang kotor tersebut, dia kibaskan beberapa kali.
"Bukan masalah itu, Nom," Cella berdecak pelan.
"Lalu?"
"Kak Aiden. Lo tahu siapa cowok yang lo siram tadi? Dia Kak Aiden, cowok paling ditakuti di sekolah ini."
"Dia preman gitu, sampai ditakuti?"
Cella celingukan, memperhatikan sekeliling. Takut ada yang mendengar saat membicarakan cowok itu. Untungnya saat ini hanya ada dia dan Naomi di kamar mandi. Bel masuk sudah berbunyi, jadi semua siswa sudah pada kembali ke kelas.
"Dia itu, anak mafia," ucap Cella lirih.
"Mafia? Gak usah aneh-aneh deh, Cel. Mafia itu gak ada di kehidupan nyata. Lo kebanyakan nonton film sama baca novel deh kayaknya." Naomi memutar kedua bola matanya malas. Sejauh ini, dia memang tidak terlalu worry masalah seragam. Kalaupun nodanya tidak bisa hilang, dia bisa beli seragam baru untuk diberikan pada Aiden. Tabungannya lebih dari cukup kalau hanya untuk membeli sebuah seragam.
"Ya ampun, Nom, lo kok nyantai gini sih," Cella malah yang cemas maksimal. "Beneran, yang gue dengar, bokapnya Kak Aiden itu mafia. Dia punya bisnis club malam, diskotik, pub, dan masih banyak lagi, pokoknya yang berhubungan dengan dunia malam."
"Cel, club malam, diskotik, pub, emangnya itu beda ya?"
"Gue juga gak ngerti. Mana pernah gue masuk tempat-tempat kayak gitu. Tapi beneran, Nom, Kak Aiden itu bukan orang sembarangan, dia berbahaya. Bukan hanya masalah bisnis orang tuanya, tapi denger-denger,Kak Aiden itu ketua gengster. Katanya pernah ada adek kelas yang gak sengaja nginjek kakinya, dihajar sampai patah tulang. Sumpah, takut gue," Cella bergidik ngeri.
"Cel, lo nakut-nakutin gue tahu gak," wajah Naomi sedikit memucat.
"Lo harus hati-hati kalau berurusan sama dia, juga sama cewek tadi itu, Amanda. Dia ceweknya Kak Aiden."
Naomi yang tadinya biasa saja, jadi takut gara-gara cerita Cella. "Gue kok jadi ngeri gini ya, Cel."
"Berdoa aja, Nom, semoga besok saat lo balikin bajunya, masalah langsung selesai, gak diperpanjang. Lo kan rajin ibadah, pasti doa lo di denger Allah."
"Dari mana lo tahu gue rajin ibadah?"
"Nih," Cella menyentuh hijab Naomi. "Cewek berhijab kayak lo, pasti ahli ibadah."
Naomi menangis tanpa air mata. Siapa sih, yang mulanya membuat persepsi jika wanita berhijab, sudah pasti ahli ibadah? Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Hijab itu wajib hukumnya bagi seorang muslimah, seperti itulah yang selalu diucapkan mamanya sejak dia kecil. Dulu, bahkan sebelum dia bisa sholat, dia sudah memakai hijab. Ya, dia memang berhijab sejak kecil, dia dan kakaknya sudah dibiasakan seperti itu oleh mamanya.
Dia sangat tidak setuju jika disebut ahli ibadah. Sholat 5 waktu memang tak pernah bolong, tapi hal-hal lain yang dilarang, masih sering dia lakukan, seperti hobi foto selfie, joged tok tok, dan lainnya. Gadis seusianya memang masih mudah terbawa pergaulan.
"Cel, kayaknya gue lagi dapat teguran dari Allah."
"Maksud lo?"
"Gue udah jadi anak yang gak nurut sama orang tua, gak mau dimasukin pesantren, makanya gue dihukum sama Allah sekarang."
...----------------...
Keesokan harinya, Naomi membawa seragam baru untuk diberikan pada Aiden. Noda coklat di seragam kemarin, tak bisa benar-benar hilang. Kalau dia nekat bawa itu, takutnya malah kena masalah. Jadi lebih aman, beliin seragam baru. Gak papa tabungannya berkurang, yang penting masalah kelar.
"Cel, temenin gue nyamperin Kak Aiden," pinta Naomi saat jam istirahat pertama.
"Gue takut, Nom."
"Please, Cel, cuma elo teman gue."
Kemarin, saat dia masuk kelas dengan hijab basah, semua orang memperhatikan dengan bisik-bisik. Ternyata berita tentang dia yang menyiram Aiden di kantin, sudah tersebar. Dan sudah bisa ditebak, anak-anak yang lain langsung jaga jarak, takut ikut kena masalah.
Dengan sangat terpaksa, Cella menemani Naomi ke kelas Aiden.
"Nom, gue takut," Cella memegang lengan Naomi. Bisa Naomi rasakan, kulitnya langsung dingin saat disentuh Cella. Temannya itu pasti sangat ketakutan.
"Ya udah, Cel, lo balik ke kelas aja. Biar gue sendirian." Naomi tak mau Cella ikut kena imbas masalahnya.
"Lo yakin, Nom?"
Naomi mengangguk. "Do'ain gue ya." Semalaman dia sampai gak bisa tidur. Pagi tadi, juga sempat minta maaf pada mamanya dan minta didoakan keselamatan. Kedengerannya lebay memang, tapi dia memang setakut itu.
Langkah kaki Naomi terhenti di depan kelas Aiden. Tarik nafas, buang, tarik nafas, buang, dia melakukan itu beberapa kali sampai ditegur seorang cowok.
"Nyari siapa lo?"
"Nya-nyari Kak Aiden," jawab Naomi gugup.
"Tunggu-tunggu," cowok itu mengerutkan kening sambil memperhatikan penampilan Naomi. Kemarin, dia ada di kantin saat peristiwa Naomi menyiram Aiden. "Lo, cewek kemarin di kantin?" Dia kurang yakin karena kemarin wajah Naomi kotor karena smoothies, tak seperti saat ini.
Naomi mengangguk pelan. Tangannya gemetaran, sampai-sampai rasanya paper bag yang dia pegang mau jatuh.
"Den, dicariin cewek kemarin." Teriak Jordan sambil menelengkan kepala ke dalam kelas.
Baru mendengar namanya saja, bulu kudu Naomi langsung merinding.
"Suruh masuk sama Aiden." Jordan mengarahkan jempolnya ke dalam kelas.
Dengan langkah yang cenderung dipaksakan, Naomi memasuki kelas Aiden. Kelas yang awalnya riuh, mendadak sepi karena kedatangannya. Apakah dia sedang masuk kandang singa sekarang? Atau kandang buaya, entahlah, yang pasti sama-sama bahaya.
Aiden tersenyum smirk sambil menatap Naomi yang berjalan ke arahnya.
Tampan sih, tapi tatapannya seperti elang, Naomi benar-benar takut.
"I-ini seragamnya, Kak." Dengan gemetaran, Naomi meletakkan paper bag di atas meja depan Aiden. "Sa-saya minta maaf soal kemarin. Permisi." Dia langsung balik badan karena ingin segera kabur.
"Tunggu!"
Mampus gue.
Naomi meremat rok abu-abunya. Saat ini, dia berharap punya jurus menghilang agar bisa lenyap dari sana.
"Sini."
Dengan sangat terpaksa, Naomi kembali balik badan. Dia melihat Aiden sedang membuka paper bag darinya.
"Ini... " Aiden mengendus bau seragam tersebut. "Baru?"
Naomi mengangguk pelan.
Aiden membuang seragam tersebut ke lantai, sampai-sampai Naomi melongo. Bukan murah harganya, dia beli yang kualitasnya paling bagus, tapi malah dibuang begitu saja.
"Gue mau seragam gue yang kemarin, bukan baru." Aiden berdiri, lalu menginjak seragam dari Naomi.
Brukk
Naomi mendorong Aiden hingga punggung cowok itu membentur meja. Dia menunduk lalu mengambil seragam yang sudah ada bekas tapak sepatu Aiden.
"Bisa gak, menghargai sesuatu?" bentak Naomi.
Aiden dan yang lainnya langsung melongo.
"Gue beli ini pakai uang tabungan. Harganya gak murah. Banyak di luar sana anak yang mau beli seragam tapi gak ada duit. Apa bedanya sih, seragam ini sama yang kemarin? Toh ini jauh lebih bagus karena baru. Gak gini juga kalau mau cari masalah. Gue udah berusaha untuk bertanggung jawab, kenapa masih dipersulit." Entah dapat keberanian darimana, Naomi sampai ngamuk-ngamuk pada Aiden.
"Lo bentak gue?" Aiden menunjuk dirinya sendiri. Dia tak percaya ada cewek yang berani membentaknya.
"A-aku... " Naomi seperti baru tersadar dengan apa yang barusan dia lakukan. Selama ini, dia memang paling benci dengan orang yang tidak bisa menghargai sesuatu. Di luar sana, banyak orang yang tidak beruntung, geram sekali kalau ada orang yang beruntung, tapi tidak bersyukur. Dia buru-buru kabur, lari tunggang langgang meninggalkan kelas Aiden.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!