NovelToon NovelToon

Between Hate And Love

Permulaan

Pada suatu pagi yang mendung di kota Bandung, hujan turun deras membasahi halaman sekolah, menciptakan genangan kecil di sekeliling gerbang. Saat para murid berduyun-duyun memasuki area sekolah, di sudut ruang guru, tampak seorang murid perempuan yang mencuri perhatian. Dira, dengan riasan wajah bergaya smokey eye yang mencolok dan rambut potongan wolf cut yang edgy, memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Dengan percaya diri, Dira melangkah memasuki ruang guru, menyisakan jejak ketertarikan di antara teman-teman sekelasnya yang terpesona oleh penampilannya yang berani dan berbeda.

“Aduh, Dira,” seru Ibu Sari, sang wali kelas, dengan nada lelah. “Sebagai guru, saya sudah capek sekali menegur kamu. Coba ibu tanya, sudah berapa kali kamu masuk ruang BK? Dira, dengan gaya santai yang sudah dikenal, menjawab dengan nada slengeanya“Kalau ibu hitung, kira-kira sudah tujuh kali, bu. Kalau tidak salah ingat, tapi masih sedikit lah, belum genap sepuluh kali, kok.” Meskipun jawabannya terdengar santai, kilatan keengganan di matanya tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa frustrasinya terhadap situasi tersebut.

“Tujuh kali, Dira,” ujar Ibu Sari, suaranya penuh penekanan. “Kalau di sekolah lain, kamu mungkin sudah dikeluarkan. Semua kasus kamu itu cukup serius mulai dari pertengkaran dengan siswa kelas delapan A yang berakhir membuatnya dirawat di rumah sakit, hingga kebiasaan kamu bolos sekolah setidaknya satu hari setiap

minggunya. Dan penampilanmu yang seperti ini apakah ini benar-benar mencerminkan seorang murid yang patut dicontoh?”

Ibu Sari menatap Dira dengan ekspresi campur aduk antara keputusasaan dan kemarahan.

Setiap kata yang diucapkannya seperti menekankan betapa sulitnya menghadapi siswanya yang keras kepala dan sulit diatur ini.  “Ibu, masalah saya berantem dengan anak kelas A itu sebenarnya bukan salah saya,” kata Dira, mencoba membela diri dengan nada marah. “Dia yang mulai dengan menyebar gosip yang tidak benar tentang saya. Bayangkan, bu saya digosipkan sebagai lonte sekolah gara-gara dia. Siapa yang tidak marah, coba?”

Ibu Sari menghela napas panjang, mencoba menahan kesabarannya. “Ya, tapi masalahnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Tidak perlu sampai berantem dan menimbulkan korban. Syukurlah orang tua anak itu baik, kalau tidak, kamu bisa saja dilaporkan ke polisi. Sekarang, cepat hapus makeup-mu. Masa anak sekolah

penampilannya seperti ini?”

Ibu Sari menyerahkan selembar kapas kepada Dira dengan tatapan tegas, berharap siswanya mau mendengarkan dan memperbaiki sikapnya. “Ibu nggak asik, deh. Ibu nggak tahu siapa Avril Lavigne?” Dira berseru, suaranya penuh semangat. “Saya itu terinspirasi dari dia, Bu. Keren, kan?” Dengan cepat, dia

menyodorkan ponselnya kepada Bu Guru, memperlihatkan foto idolanya. Wajah Avril Lavigne, dengan bibir pucat dan mata hitam dramatis, tampak jelas di layar. Bu Guru mengernyit. “Keren apanya?” katanya sambil menatap tajam foto itu. “Bibir pucat, mata hitam… sudah mirip kuntilanak saja. Cepat hapus!”

Dira menatap ponselnya, kecewa. Dengan berat hati, dia mulai menghapus makeup yang telah dirapihkannya sejak subuh. “Apaan sih, Bu Guru ini,” gumamnya pelan. “Padahal gue udah keren begini dari pagi-pagi buta…” Tapi tak ada pilihan lain—di depan tatapan tegas Bu Guru, Dira hanya bisa menuruti. “Jangan lupa, besok bawa orang tua kamu ke sini,” kata Bu Guru tegas, matanya menatap tajam ke arah Dira, seolah tak ada ruang untuk pembelaan.“Iya, Bu,” jawab Dira dengan nada setengah hati, memutar bola matanya begitu Bu Guru berbalik meninggalkannya.

***

Siang itu, di kantin sekolah saat jam istirahat, Dira dan sahabatnya, Nadin, tengah menikmati semangkuk indomie favorit mereka. Uap panas mengepul dari mangkuk, sementara aroma gurih menguar di udara. “Nikmat hidup adalah makan indomie setiap saat,”ujar Dira sambil menyeruput sisa kuah di mangkuknya.

“AAAA—” Dira bersendawa keras, membuat beberapa siswa di sekitar mereka menoleh.“Dira, tutup

mulut kalau bersendawa,” gerutu Nadin yang tampak terganggu, melirik sahabatnya dengan tatapan jengkel. Dira hanya tersenyum santai, tidak terlalu peduli, menikmati momen kecilnya di tengah kesibukan sekolah.

"Yaelah, Din, harusnya lo udah biasa dong," balas Dira sambil menyenggol lengan Nadin dengan santai. Mata Nadin tiba-tiba melirik ke arah pintu kantin, lalu berbisik, "Eh, Dir, itu orangnya datang."Dira spontan berdiri dari

bangkunya, matanya tajam menatap ke arah tiga pria yang baru saja masuk. Salah satu dari mereka, Andika, masih mengenakan perban di kepalanya, bekas luka dari insiden sebelumnya. "Ngapain lo ke sini?" tanya Dira dengan nada ketus, kepalanya sedikit terangkat, menantang. Andika hanya mengangkat alis, tersenyum tipis. "Sabar dong, Dir. Gue baru juga datang, udah disambut emosi gini," jawabnya santai, meskipun ada nada menahan sakit di balik sikapnya yang tenang. “Apa kabar, Dir? Selama gue di rumah sakit, lo hidup dengan tenang, nggak?” Andika menyeringai, suaranya terkesan meremehkan.

Dira tertawa kecil, tapi nadanya tajam. “Hidup gue sangat tenang, kok. Malah, gue harap lo lebih baik di rumah sakit selamanya. Daripada keluar cuma buat ngerugiin orang lain. ”Andika mengangkat bahunya, senyum di bibirnya tak pudar. Dia melangkah lebih dekat, membungkuk dan berbisik ke telinga Dira, “Oh, gitu ya? Gue cuma mau kasih tahu, besok ada kejutan buat lo.”

Dira langsung meringis dan menjauh. “Apa sih, Anjing! Mulut lo bau rokok,” ucapnya spontan, wajahnya mengernyit akibat aroma menyengat yang menyertai bisikan Andika.Andika hanya tertawa kecil, lalu melangkah keluar dari kantin bersama dua teman yang mengikutinya dari belakang. Nadin yang sejak tadi diam, menatap penuh rasa ingin tahu. “Tadi Andika ngomong apa?”“Mana gue tahu? Yang gue inget cuma bau mulutnya,” balas Dira sambil mengibas-ngibaskan tangannya, seolah ingin mengusir aroma rokok yang masih terbayang.

**Kring...!!** Bel sekolah berbunyi\, menandakan jam pulang. Dira berjalan santai ke arah motornya\, sebuah Nmax hitam mengilap. Di belakangnya\, Nadin melangkah\, siap menumpang di boncengan.

Begitu mesin motor menyala, Dira bertanya, "Din, kita langsung pulang aja nih?" Nadin yang duduk di belakang, sambil menyesuaikan posisi, menjawab, "Kayaknya langsung pulang aja deh. Gue harus bantuin Bunda di warung."Dira mendengus kecil. "Aduh, si anak berbakti. Oke deh, tapi minggu nanti kita harus clubbing, ya. Gue kangen banget main sama lo, lama nggak jalan bareng!" Nadin tertawa pelan, tapi suaranya sedikit cemas. "Ya lo sih enak, nggak dimarahin nyokap lo. Gue terakhir kali clubbing, ketauan, terus abis itu diomelin habis-habisan. Bokap gue kan ustadz, lo gak tahu aja gimana seremnya dia ngamuk waktu tahu gue ke clubbing, njir.”

Dira tertawa keras mendengar cerita Nadin, tapi dia bisa membayangkan betapa ribetnya punya

orang tua sekeras ayah Nadin. “Haha, yaelah, Din. Nyokap gue mana tahu urusan gue. Dia aja di rumah seminggu sekali, mana ngerti kehidupan gue yang sebenarnya,” Dira tertawa keras. “Paling besok-besok gue dipanggil BK, baru deh dia kaget, hahaha.”

Setelah mengantar Nadin ke rumah, Dira tidak langsung pulang. Alih-alih, ia memutuskan untuk pergi ke mall, tempat favoritnya untuk melepaskan penat. Ia memesan tiket untuk menonton film horor terbaru, genre yang paling dia sukai. Memilih tempat duduk di barisan paling atas, tepat di tengah, Dira segera masuk ke dalam teater sebelum banyak orang berdatangan. Perlahan, kursi di sekelilingnya mulai terisi. Hari itu adalah penayangan perdana film tersebut, dan bioskop pun penuh sesak dengan penggemar horor yang siap menikmati ketegangan yang akan datang.

Kemarahan Orang tua

Perlahan, kursi di sekelilingnya mulai terisi. Hari itu adalah penayangan perdana film tersebut, dan bioskop pun penuh sesak dengan penggemar horor yang siap menikmati ketegangan yang akan datang. Di sini, Dira memiliki kehidupan yang tampak bebas dan jauh dari pengawasan orang tua, yang mengarah ke rasa kebebasan yang mungkin kurang bertanggung jawab. Ini terlihat dari leluconnya tentang kemungkinan dipanggil BK (Bimbingan Konseling) dan perilaku impulsifnya, seperti pergi menonton film horor sendiri setelah mengantar sahabatnya.

Saat menunggu bioskop penuh dan film dimulai, Dira tak menyadari bahwa ia perlahan terlelap. Ketiduran di kursinya yang nyaman, dia terlewatkan momen demi momen film yang sudah ia tunggu-tunggu. Hingga tiba-tiba suara gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh teater, membangunkan Dira dengan kaget. Tubuhnya tersentak, matanya terbuka lebar.

“Hah? Udah beres? Kapan mulainya?!” ucapnya setengah bingung. “Sial, gue ketiduran!” Dira menggeplak dahinya sendiri, kesal. Dengan langkah lunglai, ia keluar dari bioskop, merasa kecewa berat karena film yang ia antisipasi malah terlewat begitu saja. Setelah keluar dari teater, Dira turun ke lantai satu, berusaha mengobati kekecewaannya dengan membeli segelas minuman boba favoritnya. Setelahnya, ia memutuskan untuk mampir ke toko makeup di mall itu, berharap bisa membeli beberapa koleksi terbaru.

“Mbak, Smokey eye shadow dari brand Folloura masih ada, nggak?” tanya Dira pada seorang karyawan toko dengan antusias. “Oh, untuk koleksi Smokey eye dari Folloura, kebetulan belum ada di mall Bandung. Baru tersedia di Pik, Jakarta,” jawab karyawan itu ramah.“Oh, yaudah deh. Makasih, Mbak,” balas Dira sambil menghela napas kecewa. Tak ada hasil dari pencariannya kali ini, tapi dia tetap berusaha mengusir rasa kecewanya. Mungkin minggu depan dia bisa berburu makeup di tempat lain.

Dira akhirnya memutuskan untuk pulang. Waktu terasa berlalu begitu cepat—dari saat ia pulang sekolah, menonton bioskop, hingga sekarang, ketika jam di dashboard motornya sudah menunjuk pukul sembilan malam. Jalanan mulai lengang, angin malam menyapu wajahnya, menambah nuansa dingin yang menusuk kulit.

Saat berhenti di lampu merah, pandangan Dira tak sengaja menangkap sosok yang ia kenal: Andika. Dia sedang membonceng seorang perempuan. Dira memperhatikan lebih saksama, dan langsung mengenali gaya perempuan itu berpakaian ketat dengan gaya rambut yang familiar. “si anj*ng!” umpat Dira, rahangnya mengeras melihat pemandangan itu."Bisa-bisanya dia nyebar gosip gue lonte sekolah, padahal dia sendiri selingkuh sama cabe-cabean dari Paskal," lanjutnya, kesal.

Dira memalingkan wajahnya, mencoba meredam amarah yang tiba-tiba berkobar. Dalam pikirannya, bayangan gosip-gosip yang Andika sebar menggelitik luka lama. Namun melihat apa yang ada di depan matanya, membuat kebenciannya semakin mendalam. Lampu berubah hijau, dan Dira segera memutar gas, melesat ke jalan dengan

pikiran yang tak sepenuhnya tenang. Dira akhirnya sampai di rumah. Keadaan begitu sepi, dan seluruh ruangan gelap gulita. Dengan langkah santai, dia menyalakan saklar lampu ruang tamu. Namun, begitu lampu menyala, ia terhenti seketika—ibunya sudah ada di sana, duduk di sofa dengan tatapan tajam yang langsung menusuk ke arahnya.

Jantung Dira berdebar tak karuan, terkejut melihat sosok ibunya yang pulang lebih awal dari biasanya. Wajah ibunya terlihat dingin, diam membisu, tapi sorot matanya jelas menyimpan pertanyaan yang belum terucap.

"Eh... Ibu udah pulang," ucap Dira dengan senyum menyeringai, berusaha terlihat santai meskipun rasa gugup mulai merayap di dadanya. Ibunya tetap diam, tanpa sepatah kata pun keluar, membuat suasana di antara mereka terasa semakin tegang. Dira tahu, ini bukan pertemuan biasa ada sesuatu yang akan terjadi. “Kamu dari mana aja, kok baru pulang jam segini?” suara Ibu Maura terdengar datar, tapi ada kekhawatiran yang jelas di balik nada tegasnya. Ia tetap duduk di sofa, dengan tatapan yang tak lepas dari wajah Dira.

Dira menelan ludah, berusaha mengatur nada bicaranya agar terdengar tenang. “Tadi abis nonton film, Bu. Habis itu mampir beli boba, makanya pulangnya agak telat,” jawabnya, mencoba menghindari tatapan tajam ibunya. Ibu Maura adalah seorang janda yang telah mengurus Dira seorang diri sejak usia delapan tahun, setelah bercerai dari ayahnya. Meski hubungan Dira dan ayahnya masih terjalin dengan baik—ayahnya bahkan sudah memiliki keluarga baru tanggung jawab sehari-hari ada di pundak Maura. Dia selalu berusaha memberi kebebasan pada Dira, tapi malam ini terasa berbeda. Jam sudah menunjukkan lewat dari pukul sembilan malam, dan rasa khawatir sebagai seorang ibu tak bisa lagi ia abaikan.

Dira melihat kerutan di dahi ibunya semakin dalam. Meski Maura jarang marah, Dira tahu betul bahwa ketika ibunya seperti ini, ia harus berhati-hati dengan setiap kata yang keluar. "Ma, gak ada apa-apa kok. Gue cuma telat dikit..." ucap Dira, mencoba menenangkan suasana.Namun, Maura tetap diam, seolah menimbang-nimbang sesuatu di dalam benaknya.

Biasanya, Bu, tadi kan Dira ada les matematika, terus, mampir sebentar ke mall, beli ini,” kata Dira sambil menunjukkan belanjaannya. Ibu Maura menyipitkan matanya, nada suaranya menegang. “Jangan bohong, Dira. Tadi guru lesmu sudah laporan ke Ibu kalau kamu sudah bolos les matematika selama seminggu. Kamu ke mana saja?”

Dira merasakan jantungnya berdebar kencang. "Mampus, gue ketahuan," pikirnya panik,

menyadari kebohongannya terungkap. "Ibu nggak mau tau, besok kamu harus masuk les lagi. Nilai matematika kamu itu, hancur! Ini lihat sendiri!" suara Ibu Maura meninggi, seraya mengacungkan selembar kertas ujian ke arah Dira, "masa nilai matematika cuma 50? udah kayak diskon Ramadan aja!" lanjutnya, sinis.

Dira terpaku menatap kertas itu, matanya melebar, seakan tak percaya "Ibu dapat darimana kertas ujian itu?" tanyanya, bingung. Dira yakin betul sudah membuang kertas ujiannya yang memalukan itu. Ibu Maura menghela napas panjang, tatapannya tajam "kamu pikir ibu nggak mantau kamu, cuma karena ibu lagi di luar kota?" Nadanya penuh teguran,"Jangan seenaknya Dira Ibu selalu tahu dengan apa yang kamu lakukan selama ini" Dira menatap tajam ke arah Bi Mina, pembantu yang sedang sibuk membereskan meja makan. Tatapan itu membuat Bi Mina tertunduk, seperti merasa bersalah."Jadi ibu kerja sama Bi Mina buat mantau aku?" gumam

Dira dalam hati, penuh kekesalan yang terpendam.

Dengan wajah tanpa ekspresi, Dira berbalik menghadap ibunya. "Ya udah, Bu. Dira besok

bakal les lagi, sekarang Dira mau mandi terus tidur, badan Dira udah lengket banget, "ebelum beranjak, ia menyerahkan sebuah amplop ke tangan ibunya, lalu berlari menaiki tangga menuju kamar.

"NADIRAAAA!" Suara teriakan ibunya bergema dari lantai bawah, tetapi Dira tak menggubris. Begitu masuk ke kamarnya, ia langsung mengunci pintu, menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. "Ah, elah. Bi Mina cepu banget, sih," Dira mendengus kesal, hatinya masih terbakar amarah.

Di keluarkan

Nadira Namari, anak perempuan tunggal, tumbuh dalam bayang-bayang kesibukan ibunya, seorang wanita karir sukses yang memiliki bisnis di mana-mana. Sang ibu jarang ada di rumah, selalu tenggelam dalam pekerjaannya, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus Dira. Hari-hari Dira diwarnai oleh kesepian, jarang bertemu dengan ibunya yang selalu sibuk. Sejak kecil, Dira dibesarkan oleh Bi Mina, pembantu yang sudah setia mengabdi kepada keluarga mereka sejak Dira berusia dua tahun. Meski penuh perhatian, kehadiran Bi Mina tak pernah benar-benar mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh sosok ibunya.

Namun, Dira menemukan pelarian dalam musik. Kecintaannya pada Pop Punk, terutama lagu-lagu Avril Lavigne, menjadi pelipur lara. Ia mengoleksi album-album sang idola, bahkan meniru gaya make-up dan penampilannya. Lewat musik, ia berusaha mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupnya, sedikit demi sedikit mengusir rasa sepi yang terus menghantui. Meskipun Dira tak pernah kekurangan secara materi — uang mengalir deras dari sang ibu  kenyataan bahwa ia jarang mendapat perhatian membuat hidupnya tak seimbang. Kehilangan bimbingan orang tua membuat pergaulannya menjadi tak terkendali, dan kini, semua itu mulai berbalik menjadi bumerang yang menghantui kehidupannya.

Pagi itu, sinar matahari menyinari ruang kepala sekolah, tetapi suasana di dalam ruangan terasa suram. Dira duduk di sebelah ibunya, Ibu Maura, keduanya menanti kabar tentang nasib Dira setelah insiden kekerasan di sekolah yang melibatkan dirinya dan Andika, seorang siswa yang kini terbaring di rumah sakit. “Ssetelah diskusi panjang dengan orang tua Andika kemarin, pihak sekolah, dengan sangat berat hati, harus memutuskan untuk mengeluarkan Dira. Kami meminta agar Dira dipindahkan ke sekolah lain sebagai syarat agar masalah ini tidak dilaporkan ke polisi, demi menjaga nama baik sekolah,” ujar kepala sekolah, nadanya penuh penyesalan.

“Kok gitu, Pak?!” Dira spontan memprotes, matanya membulat tak percaya."Sstt... Dira," potong Ibu Maura dengan nada tegas, memintanya untuk diam. Ia menatap kepala sekolah dengan tatapan yang penuh beban. “Baik, Pak. Terima kasih atas informasinya. Saya akan segera memindahkan Dira ke sekolah lain. Tolong sampaikan terima kasih kami kepada keluarga Andika karena sudah berbesar hati tidak membawa masalah ini ke ranah hukum."

Ibu Maura menyetujui keputusan itu dengan berat hati, sadar bahwa tindakan Dira kali ini sudah melampaui batas yang bisa ia bela. Dira dan ibunya melangkah keluar dari ruang kepala sekolah. Di luar, suasana sudah dipenuhi siswa-siswi yang berkumpul, ingin tahu keputusan kepala sekolah terkait hukuman Dira. Bisik-bisik terdengar, dan pandangan mata mereka tertuju penuh rasa ingin tahu. Di antara kerumunan, Nadin, sahabat dekat Dira, langsung menghampiri. "Gimana, Ra? Apa keputusannya?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Dira hanya menunduk, suaranya lemah. "Gue dikeluarin, Din."Hah, dikeluarin? Kok bisa?" Nadin terkejut, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Matanya membulat, mencari penjelasan lebih dari sahabatnya. Di kejauhan, Andika berdiri bersama beberapa teman, menatap Dira sambil tersenyum sinis. Senyum itu jelas terlihat seperti ekspresi kemenangan seolah berhasil menyingkirkan Dira dari sekolah adalah puncak keberhasilannya hari itu.

Dira yang menangkap senyuman itu tak bisa menahan emosinya. Amarah yang selama ini ia tahan meledak. "Nada!" teriaknya lantang, langsung menatap Nada, pacar Andika yang berdiri di sampingnya. "Pacar lo kemarin selingkuh sama cabe-cabean di Paskal!" Suaranya menggema, membuat seisi kerumunan mendadak terdiam. Semua mata kini beralih ke Andika, yang tampak canggung dan mulai gelisah.

"Dira, ayo pulang!" Ibu Maura segera menarik tangan putrinya, mencoba menghentikan keributan yang baru saja pecah. Dira, yang masih dipenuhi  kemarahan, akhirnya menurut, meskipun tatapannya tetap penuh dendam pada Andika. "Anj*ng lo, Dira!" teriak Andika, kemarahannya meledak. Wajahnya memerah, kesal karena rahasia perselingkuhannya dengan cepat terbongkar di depan semua orang.

Sementara itu, Ibu Maura menarik Dira menjauh dari kerumunan yang mulai gaduh. Mereka berjalan cepat menuju mobil, meninggalkan sekolah yang kini tak lagi akan menjadi tempat Dira belajar. Sesampainya di parkiran, Dira tampak masih kesal. Bukan hanya pada Andika, tapi juga pada ibunya sendiri. "Ibu kenapa sih langsung setuju?! Kan bisa nego dulu!" Dira mengeluh, tatapannya penuh frustrasi.

Ibu Maura menghela napas panjang, menatap putrinya dengan pandangan lelah. "Mau nego apa lagi, Dira? Catatan pelanggaran kamu di sekolah ini udah numpuk. Ini bukan masalah yang bisa ditawar-tawar lagi. Kamu akan ibu pindahkan ke sekolah swasta di Jakarta"

"Apa? Jakarta?" Dira terperanjat, tak percaya dengan keputusan yang begitu mendadak itu. "Ya ampun, Bu! Dira mau ngapain sekolah di Jakarta? Di Bandung aja enak, adem. Lagi pula, semua teman Dira di sini. Nggak usah, deh. Repot juga kalau ibu harus pindah rumah," Dira berusaha mencari-cari alasan agar tetap bisa tinggal di Bandung. Ibu Maura tersenyum tipis, seolah sudah mengantisipasi keberatan itu. "Siapa yang bilang ibu mau pindah?"

"Lah, terus... Dira tinggal sendiri di Jakarta?" Dira bertanya, bingung."Kamu akan ibu titipkan di rumah teman ibu di Jakarta. Setiap bulan, kamu akan dapat jatah uang jajan satu juta. Uang itu ibu titipkan ke teman ibu. Kamu hanya boleh pakai buat sekolah, nggak ada untuk clubbing, beli make-up nggak penting, atau hal-hal lain. Fokus kamu sekarang cuma satu: sekolah, supaya bisa masuk universitas terbaik di Indonesia," ujar Ibu Maura tegas.

"Satu juta per bulan? Tinggal di rumah orang lain? Nggak ada make-up? Gak mau, Bu! mana cukup uang segitu buat sebulan," Dira merajuk, wajahnya cemberut penuh protes. "Lagian, kenapa sih ibu nitipin anaknya ke orang lain? Dira nggak setuju, Bu. Ibu udah nggak sayang sama Dira!" tambahnya, nadanya semakin kesal.

Ibu Maura memandang putrinya dengan ekspresi datar, lalu menarik napas panjang. "Nggak ada yang minta persetujuan kamu, Dira. Ini keputusan ibu, dan sudah final. Kamu di sini susah diatur, terus bikin masalah. Ini konsekuensi dari semua kesalahan yang kamu buat. Lagipula, ibu harus ke luar negeri beberapa bulan, jadi nggak bisa ngurusin kamu sendiri," tegas Ibu Maura, suaranya tegas namun tak meninggalkan nada sayang seorang ibu. "Besok ibu antar kamu ke Jakarta"

"Besok?" Dira terkejut, matanya membesar. "Bu, nggak bisa! Pokoknya Dira nggak mau ke Jakarta! Dira pengen di Bandung aja! Dira janji, Bu, Dira nggak bakal bolos sekolah, nggak bakal bikin masalah lagi, Dira bakal ikut les. Dira mohon!" suaranya melunak, penuh permohonan, berharap ibunya akan luluh. Namun, Ibu Maura tetap tak bergeming, menatap Dira dengan keteguhan yang tak mudah goyah.

"Baik, ibu kasih kamu dua pilihan," ujar Ibu Maura dengan nada tenang tapi tegas "pertama, kamu ibu titipkan di Jakarta, atau yang kedua, kamu ibu pindahkan ke Bali, tinggal bersama ayahmu. Dira mendengus kesal, merasa terjebak. "Ah, ibu! Itu bukan pilihan yang setara. Ibu sengaja, kan, ngasih pilihan kayak gini? Dira mana mau tinggal sama keluarga ayah!" keluhnya dengan nada jengkel, merasa ibunya memaksakan situasi di mana dia tak punya opsi yang benar-benar bisa ia pilih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!