NovelToon NovelToon

Bertani Dan Membesarkan Bayi

Kelahiran kembali?

"Engghhh…" Seluruh tubuhku terasa sakit. Rasa nyeri yang tajam menyebar dari perutku, terutama di area kewanitaan. Seperti ada yang akan robek di dalam sana. Aku berusaha membuka mata, kabur dan perih, sambil mencoba memahami apa yang terjadi.

"Di mana aku?"pikirku.

Aku mengenali tempat ini. Meski pandanganku masih buram, sesuatu terasa sangat familiar. Aku ingin bangun, tapi perutku seolah ditikam berkali-kali, membuatku terbaring lemah. Aku meraba perutku, dan...

"Apa ini?! Aku hamil?!"

Panik dan bingung, aku meremas selimut di bawahku.

"Tunggu... Bukankah aku seharusnya sedang melawan zombie?! Kenapa tiba-tiba aku hamil?"

Aku memaksakan diri untuk duduk, rasa sakit menusuk semakin kuat. Sekitar ruangan terlihat sangat akrab.

"Benar... tempat ini... ini rumahku sebelum aku bertransmigrasi ke dunia akhir!"

Jantungku berdetak lebih cepat, campuran perasaan aneh memenuhi pikiranku. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau sedih.

Bahagia karena aku kembali ke dunia yang aman, tanpa zombie dan binatang mutan.

Tapi di sisi lain, ada perasaan pedih yang menghantui ingatanku tentang kehidupan sebelumnya. Tentang kesalahan-kesalahan yang telah kulakukan.

Tanganku secara otomatis bergerak ke perutku. "Maafkan ibu, Nak... Dulu ibu sangat egois. Ibu menyakiti kamu tanpa sadar," ucapku lirih sambil mengelus perutku yang membesar.

Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Betapa bodohnya aku dulu. Aku membiarkan obsesi mengendalikan hidupku, membuatku kehilangan segalanya, bahkan anakku sendiri.

Namaku Elina. Di kehidupanku yang sebelumnya, aku hanyalah seorang gadis biasa berusia 20 tahun.

Hidupku penuh kesepian. Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan ketika aku berusia lima tahun. Setelah itu, aku dibesarkan oleh nenekku hingga dia meninggal saat aku menginjak usia 18 tahun.

Kehilangan demi kehilangan membuatku tumbuh menjadi orang yang mandiri, tapi juga kesepian.

Aku tidak punya saudara, tidak ada kerabat dekat. Satu-satunya bibi yang kumiliki menghilang tanpa jejak sejak aku kecil, meninggalkan nenekku dalam kesedihan yang mendalam.

Selama kuliah, hidupku berjalan datar. Aku tidak peduli dengan hal-hal di luar kuliah dan pekerjaan paruh waktu.

Aku tidak tertarik mengikuti organisasi kampus, dan bahkan cinta pun tidak pernah menarik perhatianku.

Semua berjalan biasa saja hingga suatu malam takdir mempertemukan aku dengannya—lelaki yang menjadi cinta pertamaku sekaligus penyelamatku.

Malam itu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak bisa dijelaskan, tapi aku terobsesi padanya. Aku mengikutinya kemanapun dia pergi, berusaha mencari tahu segalanya tentang dia.

Tapi dia tidak pernah menyambutku. Tatapannya selalu dingin, kadang penuh kemarahan. Bahkan dia sering memarahiku di depan orang banyak.

Tapi entah kenapa, aku tetap saja tergila-gila padanya. Aku menutup mata terhadap perlakuannya, membiarkan obsesi menguasai pikiranku.

Puncaknya adalah malam kelulusan. Malam itu, aku membuat keputusan yang menghancurkan hidupku sendiri. Aku mencampurkan obat ke dalam minumannya, berharap bisa mendapatkan tubuhnya.

Aku berhasil—malam itu dia menjadi milikku. Tapi di saat yang sama, aku kehilangan dia selamanya.

Esoknya, dia menghilang tanpa jejak.

Sebulan kemudian, aku menemukan bahwa aku hamil. Alih-alih panik, aku merasa senang.

Dalam pikiranku yang terobsesi, aku menganggap anak ini sebagai jembatan penghubung antara aku dan dia.

Aku berharap suatu hari dia akan kembali padaku karena anak kami. Tapi kenyataannya jauh dari harapanku.

Dua tahun setelahnya, aku menemukan dia, namun bukan dalam pelukan yang kubayangkan. Dia menikahi wanita yang dia cintai—wanita yang sejak awal kutahu ada dalam hidupnya.

Hatiku hancur melihat kebahagiaan mereka. Aku ingin menghancurkan kebahagiaan itu, tapi aku tidak punya keberanian.

Aku mencintai dia dan membenci dia di saat yang sama. Namun, anakku yang seharusnya menjadi penghibur hatiku malah menjadi tempat aku melampiaskan kemarahanku.

Aku membencinya tanpa alasan, menyiksanya secara emosional. Hingga suatu hari, aku menemukan tubuh kecilnya yang dingin dan tak bernyawa.

Saat itu, dunia terasa runtuh di sekitarku. Aku menyesal, sangat menyesal. Dialah satu-satunya keluarga yang kumiliki, dan aku yang membunuhnya.

Setelah pemakamannya, aku tidak ingat banyak tentang apa yang terjadi. Yang jelas, aku tiba-tiba terlempar ke dunia lain, dunia yang penuh dengan zombie dan binatang mutan.

Setiap hari adalah perjuangan hidup. Namun, di tengah kekacauan itu, aku diberi kekuatan.

Aku mendapatkan kekuatan kayu dan ruang dimensi—kekuatan yang membuatku mampu bertahan hidup.

Ruang dimensi itu luar biasa. Selain bisa menyimpan benda, aku juga bisa menampung makhluk hidup di dalamnya.

Di dalam ruang itu ada gunung, danau, dan tanah seluas ribuan hektar yang bisa kutanami dengan tanaman. Kekuatan kayuku mencapai puncaknya, membuatku menjadi salah satu orang terkuat di dunia akhir.

Namun, sekarang aku kembali ke masa lalu. Meski ruang dimensiku menyusut menjadi hanya lima hektar, setidaknya tanah inti yang berisi tanaman mutan level 9 masih ada.

Vila yang kubangun di dalamnya juga masih utuh. Dan yang paling penting, ratusan juta inti kristal yang kukumpulkan masih tersimpan aman.

Aku tidak tahu kenapa ruang itu menyusut, apakah karena sekarang dunia sudah damai atau terkait dengan kembalinya aku ke dunia ini?.

Dulu setelah aku memberinya inti kristal, ruang akan secara otomatis ter-update. Tapi sekarang tidak bisa. Tapi aku tidak merasa menyesal.

"Untungnya, semuanya masih ada." pikirku sambil memandang vila di dalam ruang dimensi.

Aku mulai menggunakan kekuatan kayuku untuk memperbaiki tubuhku yang masih lemah.

Meskipun tubuhku masih merasakan nyeri luar biasa, kekuatan kayu ini akan membantuku untuk memulihkan diri dan melahirkan dengan lancar.

Seiring waktu berlalu, aku semakin merasa siap. Aku mengelus perutku dengan penuh kasih.

"Maaf, Nak. Ibu dulu sangat bodoh dan egois. Tapi mulai sekarang, Ibu akan selalu mencintaimu. Kamu adalah satu-satunya keluarga yang ibu miliki di dunia ini."

Air mata mengalir lagi, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena harapan baru.

Sekarang, hidupku tidak lagi seperti dulu. Aku tidak lagi berjuang hanya untuk bertahan hidup dari zombie atau mutan.

Aku memiliki masa depan yang lebih baik, dengan anakku sebagai pusat dari semua itu.

Dengan kekuatan yang kumiliki dan harta yang kukumpulkan di akhir dunia, aku bisa memberikan kehidupan yang layak untukku dan anakku.

Aku tidak perlu khawatir tentang uang, makanan, atau perlindungan. Yang perlu kulakukan hanyalah mencintai dan menjaga anakku, memastikan dia tumbuh dalam kebahagiaan yang tidak pernah dia rasakan di kehidupan sebelumnya.

"Ibu berjanji, Nak, Ibu akan selalu ada untukmu. Mulai sekarang, kita akan hidup dengan tenang."

Andra

Aku menatap bayi mungil di pelukanku, begitu gemas dan menggemaskan.

"Tampannya anak ibu, mulai sekarang namamu adalah Alex, muach," kataku sambil mencium pipinya yang lembut.

Berkat kekuatan kayuku, aku bisa melahirkan tanpa rasa sakit. Awalnya, tubuhnya tampak berkerut dan penuh darah, tapi setelah membersihkannya dengan kekuatan kayu, ia berubah menjadi bayi yang putih, bersih, dan gemuk.

Aku tidak bisa berhenti mencium wajahnya yang mirip sekali dengan bapaknya.

Namun, saat memikirkannya, perasaan sedih langsung menyelimuti hatiku.

"Bagaimana kabarnya sekarang?" pikirku.

Walaupun hatiku pernah terluka karena dia, aku tidak pernah membencinya.

Bukan salahnya kalau dia tidak bisa membalas perasaanku.

Andra. Namanya selalu membawa banyak kenangan.

Dia lebih muda dua tahun dariku, saat ini mungkin usianya 18 tahun.

Aku masih ingat betul bagaimana dia menyelamatkanku saat aku hampir diperkosa oleh beberapa gangster malam itu.

Dalam sekejap, dia menjadi cahaya dalam hidupku.

Rasanya aneh sekarang kalau mengingat betapa tergila-gilanya aku pada saat itu.

Andra itu benar-benar sempurna—ganteng, bahkan lebih tampan dari oppa-oppa Korea, ditambah lagi dia jenius. Di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mendapatkan gelar sarjana.

Bisnis keluarganya masuk dalam 500 perusahaan top dunia. jadi gak heran jika cewek yang suka sama dia memenuhi kota.

Dulu, aku tidak tahu apakah Andra mencintai Adel, tapi aku selalu melihat mereka jalan berdua jadi banyak yang mengira mereka pacaran.

Ketika berdiri bersama mereka seperti pasangan yang dipilih oleh surga. Adel sangat cantik, dia primadona kampus, sementara Andra si jenius tampan.

Lihatlah aku dulu, aku buta oleh cinta sampai-sampai aku tidak bisa melihat kenyataan.

Aku menatap Alex yang sedang tertidur nyenyak di pelukanku.

Wajahnya memang mirip sekali dengan Andra, dan setiap kali aku melihatnya, hatiku selalu bergetar.

"Aku harap kamu bahagia sekarang, Andra. Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi," bisikku.

Aku ingin melepaskan masa lalu dan hidup hanya untuk Alex. Dia adalah satu-satunya yang tersisa dari hidupku yang lama.

Aku membuka ponselku, wajah Andra masih terpampang di layar utama.

"Wajah setampan ini malah memberiku luka sedalam samudra," gumamku sambil menghela napas.

Lalu, aku mengganti wallpaper ponselku dengan foto Alex yang baru saja kuambil. Wajahnya jauh lebih menenangkan untuk dilihat.

Setelah itu, aku membuka aplikasi WhatsApp. Tidak ada banyak pesan masuk, tidak heran karena aku dulu sangat introvert dan sulit bergaul.

Aku membuka profil Andra. Masih sama, hanya profil hitam. Aku pun membuka pesan terakhir yang pernah kukirimkan, isinya selalu satu arah. Tak pernah dibaca.

"Maafkan aku, aku tidak akan pernah mengganggu kamu lagi. Selamat tinggal."

Setelah mengetik pesan itu, aku memblokir nomornya. Mungkin ini cara terbaik untuk memulai lembaran baru.

Aku kembali menatap Alex yang tertidur di kasur kecil di vilaku. Tangannya yang mungil bergerak perlahan, membuatku tersenyum lembut.

"Maafkan ibu dulu, Nak. Tapi mulai sekarang, ibu akan selalu ada untukmu," janjiku dalam hati.

Aku mencium keningnya sebelum berjalan keluar vila menuju tanah lapang di ruang dimensiku.

Luas tanah di dalam ruanganku hanya tinggal lima hektar sekarang dan ada gunung dengan berbagai macam buah di belakangnya, padahal dulu bisa mencapai ribuan hektar sebelum aku kembali ke dunia ini.

Untungnya, aku masih memiliki banyak bibit yang telah kukumpulkan selama di akhir dunia.

Aku mulai menanam padi, gandum, jagung, kentang, dan berbagai sayuran lainnya dengan pikiran ku. Didalam ruang aku bisa melakukan apa saja hanya dengan memikirkannya.

Dengan pikiran, aku menanam bibit-bibit itu, lalu dengan kekuatan kayuku, aku membuatnya tumbuh dalam sekejap. Di ruang walaupun masa pertumbuhannya lebih cepat dibanding diluar, tapi saat ini aku butuh untuk memulihkan tubuhku.

Dahulu, di akhir dunia, kekuatan kayu tidak populer karena dianggap hanya berguna untuk menanam tanaman, bukan untuk bertempur.

Namun, aku membuktikan sebaliknya. Kekuatan kayuku tak hanya bisa menumbuhkan tanaman, tapi juga menyerang dan menyembuhkan.

Ketika kekuatan kayuku mencapai level legendaris, aku bahkan bisa menyerang ribuan zombie sekaligus dengan satu kali serangan.

Setelah selesai menanam, aku duduk di tanah dan merenung.

Apa yang harus kulakukan selanjutnya?

Walaupun aku tidak khawatir akan uang selama sisa hidupku, tapi sumbernya tidak jelas dan itu akan menimbulkan kecurigaan.

Kemudian, ide cemerlang muncul di benakku.

"Mengapa aku tidak memulai pertanian saja?" pikirku.

Dengan kekuatan kayuku, tanaman yang kutanam pasti akan tumbuh dengan kualitas terbaik dan rasanya pasti luar biasa.

Apalagi, tempat tinggalku saat ini adalah desa kecil yang hanya dihuni oleh 200 keluarga, dikelilingi oleh pegunungan yang sangat cocok untuk bertani.

Meskipun lokasinya agak jauh dari kota, itu justru kelebihannya. Kehidupan tenang di desa terpencil ini sangat aku idamkan.

Tentu saja, semua itu hanya rencana untuk masa depan. Aku harus menunggu Alex sedikit lebih besar sebelum benar-benar merealisasikannya.

Tapi aku merasa semangat kembali membara dalam diriku. Dengan kekuatan yang kumiliki, aku yakin bisa membangun kehidupan yang baik.

Aku bangkit dari tanah dan berjalan kembali ke vila. Alex masih tertidur dengan tenang, dan aku tersenyum lagi sambil membayangkan masa depan yang bisa kujalani bersama anakku.

Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama. Kali ini, hidupku akan jauh lebih baik, dan aku akan memastikan Alex tumbuh bahagia tanpa harus menanggung dosa-dosa masa laluku.

Siapa itu?

Sudah seminggu aku tinggal di rumah bersama bayiku, Alex. Setiap hari, kami menghabiskan waktu di rumah, terkadang aku pergi ke gunung untuk mencari sayuran liar atau jamur.

Aku selalu suka sayuran liar, rasanya lebih manis dan lembut setelah dimasak.

Jadi teringat awal-awal di akhir dunia, aku hanya makan makanan kompres—sebuah pilihan praktis karena mengisi ulang ruang membutuhkan banyak inti kristal.

Beruntung, di dalam ruang ini, waktu seakan-akan berhenti, sehingga makanan tetap segar meski sudah lewat tanggal kedaluwarsa.

Hari ini, aku ingin mengajak Alex keluar, menikmati udara segar desa ini. Pemandangan di desa sangat indah, berbeda jauh dari kota yang panas dan penuh polusi.

Di kota, udara terasa begitu kotor oleh asap kendaraan dan pabrik.

Dulu, demi cinta, aku rela tinggal di gedung tua yang bobrok dan bau yang berada di samping pembuangan limbah bekas pabrik. Sekarang, aku berpikir, mungkin dulu otakku sempat tertimpa durian hingga membuatku bertindak sebodoh itu.

Aku berjalan menuju desa bersama Alex, bayiku. Oh ya, rumahku terletak di ujung desa, agak jauh dari pusat pemukiman warga.

Bukan karena aku dikucilkan, Melainkan karena nenekku memang menyukai lokasi ini.

Rumah kami diapit oleh pegunungan, dengan sungai yang mengalir jernih di sebelahnya. Saking jernihnya, batu-batu di dasar sungai terlihat jelas.

Sungai itu penuh dengan ikan dan udang.

Ada jembatan kayu kecil di atas sungai, yang membuat kami mudah melintas ketika ingin mandi atau mencuci di sana.

Dulu, aku dan nenek sering mandi di sungai itu, airnya dingin tapi menyegarkan.

Di halaman depan rumah, ada pohon beringin besar yang daunnya lebat, memberikan keteduhan sepanjang hari.

Dibawah pohon ada meja dan kursi yang terbuat dari semen , tempat kami duduk dan minum teh sore hari.

Ada juga ayunan yang dibuat untukku. Di sebelah pohon beringin, ada taman bunga yang dulu penuh warna, tapi sekarang sudah layu karena tidak pernah dirawat.

Untungnya, aku masih menyimpan banyak bibit bunga di dalam ruangku. Nanti, aku akan menanamnya lagi.

Aku mulai berjalan menyusuri desa, menyapa para tetangga yang baru pulang dari sawah

. Suasana pedesaan selalu membuatku tenang—sederhana dan damai, tanpa kebisingan dan kerumitan seperti di kota.

Di sini, kebanyakan penduduknya adalah orang tua, sementara anak-anak mudanya pergi merantau, bekerja atau sekolah di kota.

“Elina, ini bayi siapa?” tanya Bibi Ruan, tetangga yang baru pulang dari sungai setelah mencuci pakaian.

“Ini anakku, Bi,” jawabku sambil tersenyum.

Bibi itu tampak terkejut. Beberapa warga yang mendengar juga terlihat heran, tetapi aku hanya tersenyum lembut menanggapi.

“Kamu… sudah punya anak?” Bibi Ruan tampak bingung, tapi aku hanya mengangguk.

“Ya, begitulah,” jawabku singkat.

Bibi Ruan menghela napas. “Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk bilang ke bibi, ya.”

“Terima kasih, Bi. Aku akan ingat itu,” jawabku dengan senyum yang lebih lebar.

“Siapa nama anakmu?”

“Alex, Bi.”

“Nama yang bagus. Bayinya juga tampan sekali, ini pertama kalinya bibi melihat bayi setampan dan seputih ini” katanya sambil mengelus pipi Alex yang ada di gendonganku.

Aku tersenyum, merasa bahagia mendengar pujiannya. Setelah itu, Bibi Ruan berpamitan dan berjalan pulang.

Sepanjang jalan, banyak warga yang bertanya tentang Alex, dan aku dengan sabar menjelaskan bahwa dia adalah anakku.

Perasaan hangat menyelimuti hatiku setiap kali mereka memuji Alex.

Bayiku sering tersenyum sepanjang jalan, membuat banyak orang gemas melihatnya.

Saat matahari mulai tenggelam, aku memutuskan untuk pulang.

Di desa ini, ada tradisi bahwa anak kecil tidak boleh berada di luar rumah saat magrib.

Meski aku tidak sepenuhnya percaya, tapi sebagai seorang ibu, aku merasa lebih baik mengikutinya.

Setelah sampai di rumah, Alex langsung tertidur. Aku meletakkannya di kasur, lalu masuk ke ruang.

Aku punya rencana untuk menjual sebagian emas yang kusimpan di sana.

Aku butuh uang untuk merenovasi rumah dan membeli tanah.

Meski pun ada ruang, aku tidak bisa selamanya bergantung padanya. Siapa yang tahu kapan ruang ini akan hilang atau tidak bisa digunakan lagi?

Keesokan paginya, aku menitipkan Alex ke Bibi Ruan. Setelah mencium pipinya, aku berangkat menuju kota naik angkutan umum.

Pemandangan di sepanjang perjalanan begitu akrab. Disinilah aku bahagia dan disinilah juga aku menangis.

Dari desa hingga ke kota hanya membutuhkan waktu 40 menit. Setibanya di kota, aku langsung menuju toko emas.

Aku menjual emas senilai 50 juta rupiah. Terlihat banyak, tetapi sebenarnya belum cukup.

Harga tanah di desa mencapai 10 juta per hektar, jadi dengan uang itu, aku hanya bisa membeli tiga hektar.

Sisanya akan kusimpan untuk renovasi rumah dan kebutuhan darurat.

“Sepertinya aku harus mencari cara lain untuk mendapatkan lebih banyak uang,” gumamku pada diri sendiri.

Setelah urusan emas selesai, aku mampir ke Alfamart untuk membeli kebutuhan Alex seperti popok dan susu.

Kemudian, aku pergi ke toko pakaian untuk membeli beberapa baju baru, baik untukku maupun Alex.

Ketika aku sedang sibuk memilih pakaian, tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang.

“Elina…”

Aku berhenti sejenak, terkejut mendengar suara yang begitu familiar.

Dengan hati-hati, aku berbalik dan melihat seseorang yang tak pernah kusangka akan kutemui lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!