"Engghhh…" Seluruh tubuh Elina terasa sakit. Rasa nyeri yang tajam menyebar dari perutnya, terutama di area kewanitaan. Seperti ada yang akan robek di dalam sana. Ia berusaha membuka mata, kabur dan perih, sambil mencoba memahami apa yang terjadi.
"Di mana aku?" pikirnya.
Ia mengenali tempat ini. Meski pandangannya masih buram, sesuatu terasa sangat familiar. Ia ingin bangun, tapi perutnya seolah ditikam berkali-kali, membuatnya terbaring lemah. Ia meraba perutnya, dan...
"Apa ini?! Aku hamil?!"
Panik dan bingung, ia meremas selimut di bawahnya.
"Tunggu... Bukankah aku seharusnya sedang melawan zombie?! Kenapa tiba-tiba aku hamil?"
Ia memaksakan diri untuk duduk, rasa sakit menusuk semakin kuat. Sekitar ruangan terlihat sangat akrab.
"Benar... tempat ini... ini rumahku sebelum aku bertransmigrasi ke dunia akhir!"
Jantungnya berdetak lebih cepat, campuran perasaan aneh memenuhi pikirannya. Ia tidak tahu apakah harus bahagia atau sedih.
Bahagia karena ia kembali ke dunia yang aman, tanpa zombie dan binatang mutan.
Tapi di sisi lain, ada perasaan pedih yang menghantui ingatannya tentang kehidupan sebelumnya. Tentang kesalahan-kesalahan yang telah ia lakukan.
Tangannya secara otomatis bergerak ke perutnya. "Maafkan ibu, Nak... Dulu ibu sangat egois. Ibu menyakiti kamu tanpa sadar," ucapnya lirih sambil mengelus perutnya yang membesar.
Air mata menetes tanpa bisa ditahannya. Betapa bodohnya ia dulu. Ia membiarkan obsesi mengendalikan hidupnya, membuatnya kehilangan segalanya, bahkan anaknya sendiri.
Namanya Elina. Di kehidupannya yang sebelumnya, ia hanyalah seorang gadis biasa berusia 20 tahun.
Hidupnya penuh kesepian. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan ketika ia berusia lima tahun. Setelah itu, ia dibesarkan oleh neneknya hingga neneknya meninggal saat ia menginjak usia 18 tahun.
Kehilangan demi kehilangan membuatnya tumbuh menjadi orang yang mandiri, tapi juga kesepian.
Ia tidak punya saudara, tidak ada kerabat dekat. Satu-satunya bibi yang dimilikinya menghilang tanpa jejak sejak ia kecil, meninggalkan neneknya dalam kesedihan yang mendalam.
Selama kuliah, hidupnya berjalan datar. Ia tidak peduli dengan hal-hal di luar kuliah dan pekerjaan paruh waktu.
Ia tidak tertarik mengikuti organisasi kampus, dan bahkan cinta pun tidak pernah menarik perhatiannya.
Semua berjalan biasa saja hingga suatu malam takdir mempertemukan ia dengannya—lelaki yang menjadi cinta pertamanya sekaligus penyelamatnya.
Malam itu, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak bisa dijelaskan, tapi ia terobsesi padanya. Ia mengikutinya ke mana pun dia pergi, berusaha mencari tahu segalanya tentang dia.
Tapi dia selalu menatapnya dengan dingin, kadang penuh kemarahan. Bahkan dia sering memarahinya di depan orang banyak.
Tapi entah kenapa, ia tetap saja tergila-gila padanya. Ia menutup mata terhadap perlakuannya, membiarkan obsesi menguasai pikirannya.
Puncaknya adalah malam kelulusan. Malam itu, ia membuat keputusan yang menghancurkan hidupnya sendiri. Ia mencampurkan obat ke dalam minumannya, berharap bisa mendapatkan tubuhnya.
Ia berhasil—malam itu dia menjadi miliknya. Tapi di saat yang sama, ia kehilangan dia selamanya.
Esoknya, dia menghilang tanpa jejak.
Sebulan kemudian, ia menemukan bahwa ia hamil. Alih-alih panik, ia merasa senang.
Dalam pikirannya yang terobsesi, ia menganggap anak ini sebagai jembatan penghubung antara ia dan dia.
Ia berharap suatu hari dia akan kembali padanya karena anak mereka. Tapi kenyataannya jauh dari harapannya.
Dua tahun setelahnya, ia menemukan dia, namun bukan dalam pelukan yang ia bayangkan. Dia menikahi wanita yang dia cintai—wanita yang sejak awal ia tahu ada dalam hidupnya.
Hatinya hancur melihat kebahagiaan mereka. Ia ingin menghancurkan kebahagiaan itu, tapi ia tidak punya keberanian.
Ia mencintai dia dan membenci dia di saat yang sama. Namun, anaknya yang seharusnya menjadi penghibur hatinya malah menjadi tempat ia melampiaskan kemarahannya.
Ia membencinya tanpa alasan, menyiksanya secara emosional. Hingga suatu hari, ia menemukan tubuh kecilnya yang dingin dan tak bernyawa.
Saat itu, dunia terasa runtuh di sekitarnya. Ia menyesal, sangat menyesal. Dialah satu-satunya keluarga yang ia miliki, dan ia yang membunuhnya.
Setelah pemakamannya, ia tidak ingat banyak tentang apa yang terjadi. Yang jelas, ia tiba-tiba terlempar ke dunia lain, dunia yang penuh dengan zombie dan binatang mutan.
Setiap hari adalah perjuangan hidup. Namun, di tengah kekacauan itu, ia diberi kekuatan.
Ia mendapatkan kekuatan kayu dan ruang dimensi—kekuatan yang membuatnya mampu bertahan hidup.
Ruang dimensi itu luar biasa. Selain bisa menyimpan benda, ia juga bisa menampung makhluk hidup di dalamnya.
Di dalam ruang itu ada gunung, danau, dan tanah seluas ribuan hektar yang bisa ia tanami dengan tanaman. Kekuatan kayunya mencapai puncaknya, membuatnya menjadi salah satu orang terkuat di dunia akhir.
Namun, sekarang ia kembali ke masa lalu. Meski ruang dimensinya menyusut menjadi hanya lima hektar, setidaknya tanah inti yang berisi tanaman mutan level 9 masih ada.
Vila yang ia bangun di dalamnya juga masih utuh. Dan yang paling penting, ratusan juta inti kristal yang ia kumpulkan masih tersimpan aman.
Ia tidak tahu kenapa ruang itu menyusut, apakah karena sekarang dunia sudah damai atau terkait dengan kembalinya ia ke dunia ini.
Dulu setelah ia memberinya inti kristal, ruang akan secara otomatis ter-update. Tapi sekarang tidak bisa. Tapi ia tidak merasa menyesal.
"Untungnya, semuanya masih ada," pikirnya sambil memandang vila di dalam ruang dimensi.
Ia mulai menggunakan kekuatan kayunya untuk memperbaiki tubuhnya yang masih lemah.
Meskipun tubuhnya masih merasakan nyeri luar biasa, kekuatan kayu ini akan membantunya untuk memulihkan diri dan melahirkan dengan lancar.
Seiring waktu berlalu, ia semakin merasa siap. Ia mengelus perutnya dengan penuh kasih.
"Maaf, Nak. Ibu dulu sangat bodoh dan egois. Tapi mulai sekarang, Ibu akan selalu mencintaimu. Kamu adalah satu-satunya keluarga yang ibu miliki di dunia ini."
Air mata mengalir lagi, kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena harapan baru.
Sekarang, hidupnya tidak lagi seperti dulu. Ia tidak lagi berjuang hanya untuk bertahan hidup dari zombie atau mutan.
Ia memiliki masa depan yang lebih baik, dengan anaknya sebagai pusat dari semua itu.
Dengan kekuatan yang ia miliki dan harta yang ia kumpulkan di akhir dunia, ia bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya dan anaknya.
Ia tidak perlu khawatir tentang uang, makanan, atau perlindungan. Yang perlu ia lakukan hanyalah mencintai dan menjaga anaknya, memastikan dia tumbuh dalam kebahagiaan yang tidak pernah dia rasakan di kehidupan sebelumnya.
"Ibu berjanji, Nak, Ibu akan selalu ada untukmu. Mulai sekarang, kita akan hidup dengan tenang."
Elina menatap bayi mungil di pelukannya, begitu gemas dan menggemaskan.
"Tampannya anak ibu, mulai sekarang namamu adalah Alex, muach," katanya sambil mencium pipi Alex yang lembut.
Berkat kekuatan kayunya, Elina bisa melahirkan tanpa rasa sakit. Awalnya, tubuh Alex tampak berkerut dan penuh darah, tapi setelah Elina membersihkannya dengan kekuatan kayunya, dia berubah menjadi bayi yang putih, bersih, dan gemuk.
Elina tidak bisa berhenti mencium wajah Alex yang mirip sekali dengan bapaknya.
Namun, saat memikirkan Andra, perasaan sedih langsung menyelimuti hatinya.
"Bagaimana kabarnya sekarang?" pikirnya.
Walaupun hatinya pernah terluka karena Andra, Elina tidak pernah membencinya. Bukan salah Andra jika dia tidak bisa membalas perasaan Elina.
Andra. Namanya selalu membawa banyak kenangan. Dia lebih muda dua tahun dari Elina; saat ini, mungkin usianya 18 tahun.
Elina masih ingat betul bagaimana Andra menyelamatkannya saat ia hampir diperkosa oleh beberapa gangster malam itu. Dalam sekejap, Andra menjadi cahaya dalam hidupnya.
Rasanya aneh sekarang kalau mengingat betapa tergila-gilanya ia pada saat itu. Andra itu benar-benar sempurna—ganteng, bahkan lebih tampan dari oppa-oppa Korea, ditambah lagi dia jenius. Di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mendapatkan gelar sarjana.
Bisnis keluarganya masuk dalam 500 perusahaan top dunia, jadi tidak heran jika cewek-cewek yang suka sama dia memenuhi kota.
Dulu, Elina tidak tahu apakah Andra mencintai Adel, tapi ia selalu melihat mereka jalan berdua, sehingga banyak yang mengira mereka pacaran. Ketika berdiri bersama mereka, mereka terlihat seperti pasangan yang dipilih oleh surga. Adel sangat cantik, dia primadona kampus, sementara Andra si jenius tampan.
Elina menatap Alex yang sedang tertidur nyenyak di pelukannya. Wajahnya memang mirip sekali dengan Andra, dan setiap kali Elina melihatnya, hatinya selalu bergetar.
"Aku harap kamu bahagia sekarang, Andra. Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi," bisiknya.
Elina ingin melepaskan masa lalu dan hidup hanya untuk Alex. Dia adalah satu-satunya yang tersisa dari hidupnya yang lama.
Elina membuka ponselnya; wajah Andra masih terpampang di layar utama.
"Wajah setampan ini malah memberiku luka sedalam samudera," gumamnya sambil menghela napas.
Lalu, ia mengganti wallpaper ponselnya dengan foto Alex yang baru saja diambil. Wajahnya jauh lebih menenangkan untuk dilihat.
Setelah itu, Elina membuka aplikasi WhatsApp. Tidak ada banyak pesan masuk; tidak heran karena ia dulu sangat introvert dan sulit bergaul.
Elina membuka profil Andra. Masih sama, hanya profil hitam. Ia pun membuka pesan terakhir yang pernah dikirimkan, isinya selalu satu arah. Tak pernah dibaca.
"Maafkan aku, aku tidak akan pernah mengganggu kamu lagi. Selamat tinggal."
Setelah mengetik pesan itu, Elina memblokir nomornya. Mungkin ini cara terbaik untuk memulai lembaran baru.
Ia kembali menatap Alex yang tertidur di kasur kecil di vilanya. Tangannya yang mungil bergerak perlahan, membuatnya tersenyum lembut.
"Maafkan ibu dulu, Nak. Tapi mulai sekarang, ibu akan selalu ada untukmu," janjinya dalam hati.
Elina mencium kening Alex sebelum berjalan keluar vila menuju tanah lapang di ruang dimensinya.
Luas tanah di dalam ruangnya hanya tinggal lima hektar sekarang, dan ada gunung dengan berbagai macam buah di belakangnya, padahal dulu bisa mencapai ribuan hektar sebelum ia kembali ke dunia ini.
Untungnya, Elina masih memiliki banyak bibit yang telah dikumpulkan selama di akhir dunia.
Ia mulai menanam padi, gandum, jagung, kentang, dan berbagai sayuran lainnya dengan pikiran. Di dalam ruang ini, ia bisa melakukan apa saja hanya dengan memikirkannya.
Dengan pikirannya, Elina menanam bibit-bibit itu, lalu dengan kekuatan kayunya, ia membuatnya tumbuh dalam sekejap. Di ruang ini, meskipun masa pertumbuhannya lebih cepat dibanding di luar, saat ini ia butuh untuk memulihkan tubuhnya.
Dahulu, di akhir dunia, kekuatan kayu tidak populer karena dianggap hanya berguna untuk menanam tanaman, bukan untuk bertempur.
Namun, Elina membuktikan sebaliknya. Kekuatan kayunya tak hanya bisa menumbuhkan tanaman, tapi juga menyerang dan menyembuhkan.
Ketika kekuatan kayunya mencapai level legendaris, ia bahkan bisa menyerang ribuan zombie sekaligus dengan satu kali serangan.
Setelah selesai menanam, Elina duduk di tanah dan merenung. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya?
Walaupun ia tidak khawatir akan uang selama sisa hidupnya, tapi sumbernya tidak jelas dan itu akan menimbulkan kecurigaan.
Kemudian, ide cemerlang muncul di benaknya. "Mengapa aku tidak memulai pertanian saja?" pikirnya.
Dengan kekuatan kayunya, tanaman yang ditanam pasti akan tumbuh dengan kualitas terbaik dan rasanya pasti luar biasa.
Apalagi, tempat tinggalnya saat ini adalah desa kecil yang hanya dihuni oleh 200 keluarga, dikelilingi oleh pegunungan yang sangat cocok untuk bertani.
Meskipun lokasinya agak jauh dari kota, itu justru kelebihannya. Kehidupan tenang di desa terpencil ini sangat ia idamkan.
Tentu saja, semua itu hanya rencana untuk masa depan. Elina harus menunggu Alex sedikit lebih besar sebelum benar-benar merealisasikannya.
Tapi semangatnya kembali membara. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Elina yakin bisa membangun kehidupan yang baik.
Ia bangkit dari tanah dan berjalan kembali ke vila. Alex masih tertidur dengan tenang, dan Elina tersenyum lagi sambil membayangkan masa depan yang bisa dijalani bersama anaknya.
Elina tidak akan membuat kesalahan yang sama. Kali ini, hidupnya akan jauh lebih baik, dan ia akan memastikan Alex tumbuh bahagia tanpa harus menanggung dosa-dosa masa lalunya.
---
Sudah seminggu Elina tinggal di rumah bersama bayinya, Alex. Setiap hari, mereka menghabiskan waktu di rumah, terkadang Elina pergi ke gunung untuk mencari sayuran liar atau jamur.
Elina selalu suka sayuran liar; rasanya lebih manis dan lembut setelah dimasak.
Dia teringat awal-awal di akhir dunia, ketika hanya makan makanan kompres—sebuah pilihan praktis karena mengisi ulang ruang membutuhkan banyak inti kristal.
Beruntung, di dalam ruang ini, waktu seakan-akan berhenti, sehingga makanan tetap segar meski sudah lewat tanggal kedaluwarsa.
Hari ini, Elina ingin mengajak Alex keluar, menikmati udara segar desa ini. Pemandangan di desa sangat indah, berbeda jauh dari kota yang panas dan penuh polusi.
Di kota, udara terasa begitu kotor oleh asap kendaraan dan pabrik.
Dulu, demi cinta, Elina rela tinggal di gedung tua yang bobrok dan bau, yang berada di samping pembuangan limbah bekas pabrik. Sekarang, dia berpikir, mungkin dulu otaknya sempat tertimpa durian hingga membuatnya bertindak sebodoh itu.
Elina berjalan menuju desa bersama Alex. Oh ya, rumah mereka terletak di ujung desa, agak jauh dari pusat pemukiman warga.
Bukan karena dia dikucilkan, melainkan karena neneknya memang menyukai lokasi ini.
Rumah mereka diapit oleh pegunungan, dengan sungai yang mengalir jernih di sebelahnya. Saking jernihnya, batu-batu di dasar sungai terlihat jelas.
Sungai itu penuh dengan ikan dan udang. Ada jembatan kayu kecil di atas sungai, yang memudahkan mereka melintas ketika ingin mandi atau mencuci di sana.
Dulu, Elina dan nenek sering mandi di sungai itu; airnya dingin tapi menyegarkan.
Di halaman depan rumah, ada pohon beringin besar yang daunnya lebat, memberikan keteduhan sepanjang hari.
Di bawah pohon, ada meja dan kursi yang terbuat dari semen, tempat mereka duduk dan minum teh sore hari.
Ada juga ayunan yang dibuat untuk Elina. Di sebelah pohon beringin, ada taman bunga yang dulu penuh warna, tapi sekarang sudah layu karena tidak pernah dirawat.
Untungnya, Elina masih menyimpan banyak bibit bunga di dalam ruangnya. Nanti, dia akan menanamnya lagi.
Elina mulai berjalan menyusuri desa, menyapa para tetangga yang baru pulang dari sawah. Suasana pedesaan selalu membuatnya tenang—sederhana dan damai, tanpa kebisingan dan kerumitan seperti di kota.
Di sini, kebanyakan penduduknya adalah orang tua, sementara anak-anak mudanya pergi merantau, bekerja atau sekolah di kota.
“Elina, ini bayi siapa?” tanya Bibi Ruan, tetangga yang baru pulang dari sungai setelah mencuci pakaian.
“Ini anakku, Bi,” jawab Elina sambil tersenyum.
Bibi itu tampak terkejut. Beberapa warga yang mendengar juga terlihat heran, tetapi Elina hanya tersenyum lembut menanggapi.
“Kamu… sudah punya anak?” Bibi Ruan tampak bingung, tapi Elina hanya mengangguk.
“Ya, begitulah,” jawabnya singkat.
Bibi Ruan menghela napas. “Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk bilang ke bibi, ya.”
“Terima kasih, Bi. Aku akan ingat itu,” jawab Elina dengan senyum yang lebih lebar.
“Siapa nama anakmu?”
“Alex, Bi.”
“Nama yang bagus. Bayinya juga tampan sekali, ini pertama kalinya bibi melihat bayi setampan dan seputih ini,” katanya sambil mengelus pipi Alex yang ada di gendongan Elina.
Elina tersenyum, merasa bahagia mendengar pujiannya. Setelah itu, Bibi Ruan berpamitan dan berjalan pulang.
Sepanjang jalan, banyak warga yang bertanya tentang Alex, dan Elina dengan sabar menjelaskan bahwa dia adalah anaknya.
Perasaan hangat menyelimuti hati Elina setiap kali mereka memuji Alex.
Bayinya sering tersenyum sepanjang jalan, membuat banyak orang gemas melihatnya.
Saat matahari mulai tenggelam, Elina memutuskan untuk pulang.
Di desa ini, ada tradisi bahwa anak kecil tidak boleh berada di luar rumah saat magrib.
Meski pun dia tidak sepenuhnya percaya, tetapi sebagai seorang ibu, Elina merasa lebih baik mengikutinya.
Setelah sampai di rumah, Alex langsung tertidur. Elina meletakkannya di kasur, lalu masuk ke ruang.
Elina punya rencana untuk menjual sebagian emas yang disimpannya di sana.
Dia butuh uang untuk merenovasi rumah dan membeli tanah.
Meskipun ada ruang, Elina tidak bisa selamanya bergantung padanya. Siapa yang tahu kapan ruang ini akan hilang atau tidak bisa digunakan lagi?
Keesokan paginya, Elina menitipkan Alex ke Bibi Ruan. Setelah mencium pipinya, dia berangkat menuju kota naik angkutan umum.
Pemandangan di sepanjang perjalanan begitu akrab. Di sinilah Elina bahagia dan di sinilah juga dia menangis.
Dari desa hingga ke kota hanya membutuhkan waktu 40 menit. Setibanya di kota, Elina langsung menuju toko emas.
Dia menjual emas senilai 50 juta rupiah. Terlihat banyak, tetapi sebenarnya belum cukup.
Harga tanah di desa mencapai 10 juta per hektar, jadi dengan uang itu, Elina hanya bisa membeli tiga hektar.
Sisanya akan dia simpan untuk renovasi rumah dan kebutuhan darurat.
“Sepertinya aku harus mencari cara lain untuk mendapatkan lebih banyak uang,” gumam Elina pada dirinya sendiri.
Setelah urusan emas selesai, dia mampir ke Alfamart untuk membeli kebutuhan Alex seperti popok dan susu.
Kemudian, Elina pergi ke toko pakaian untuk membeli beberapa baju baru, baik untuknya maupun untuk Alex.
Ketika dia sedang sibuk memilih pakaian, tiba-tiba ada yang memanggilnya dari belakang.
“Elina…”
Dia berhenti sejenak, terkejut mendengar suara yang begitu familiar.
Dengan hati-hati, Elina berbalik dan melihat seseorang yang tak pernah dia sangka akan temui lagi.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!