NovelToon NovelToon

Antidote

Prolog

Luna POV

Saat aku sudah mengakui takdir hidupku, aku merasa lebih sengsara dari siapapun. Namun ketika aku mencoba untuk melepaskan kakiku, aku takut. Aku tidak ingin jatuh. Aku tidak ingin mati.

Aku pikir seorang penyelamat akan datang padaku, membangunkan ku dari mimpi buruk ini.

Dan..

Pada saat itu aku masih tidak tahu, jika pertemuan ku dengan pria yang mengulurkan tangan padaku akan membuatku menyesalinya berkali-kali untuk kedepannya nanti.

Aku seharusnya tidak terpengaruh, seharusnya aku tidak mengandalkan orang lain untuk melunasi hutangku. Dan, seharusnya aku tahu batasan ku.

Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang gratis. Tidak ada bantuan yang di berikan secara cuma-cuma. Ketika kamu menerima, maka kamu harus memberi. Tapi bodohnya, aku malah memberikan hatiku. Perasaan bodoh yang tidak akan pernah bisa menembus dendam dan kebenciannya.

Seharusnya aku juga membencinya, bukan malah sebaliknya. Inilah mengapa rasanya semakin menyakitkan.

Aku telah lalai, sampai-sampai aku tertipu dan berpikir kalau kemalangan ku sudah berakhir. Hingga aku sadar, aku telah kehilangan dua orang pria yang sangat ku cintai.

Pada akhirnya aku tetap harus hidup dalam mimpi buruk yang bahkan lebih buruk lagi.

Aku ingin bahagia. Meskipun aku tidak punya ekspektasi tinggi, aku terus membuat permintaan itu seperti sebuah kebiasaan.

Elio POV

'Kau harus menggantikan puluhan anak buah ku yang mati karena Ayahmu!'

Kata-kata itu masih terngiang di kepalaku. Seperti sebuah kutukan yang selalu menghantuiku.

'Kau harus membalas dendam pada orang yang telah membuatmu seperti ini. Juga orang yang menjadi penyebab kematian Ayahmu!'

Seolah tersihir oleh kalimat itu, aku selalu menanamkan pada diriku. Bahwa aku harus membuat orang itu menderita, membuatnya merasakan penderitaan yang ku rasakan. Kehilangan masa depan dan orang yang dikasihi. Dia yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini. Bukan aku.

Hidup yang ku jalani bagaikan mimpi buruk. Jika aku tidak membuka mataku, maka mimpi buruknya akan terus berlanjut. Tapi saat aku membuka mataku, ternyata semuanya lebih mengerikan dari mimpi buruk.

Namun setelah aku bertemu dengannya, ku rasa mimpinya lah yang terburuk. Dan aku adalah salah satunya.

Aku membuatnya merasa berhutang untuk setiap bantuan yang aku berikan. Sehingga dia tidak akan pernah bisa pergi dariku.

Terlepas dari semua dendam dan kebencian ini, aku sangat ingin melindunginya. Perasaan benci ini, ternyata itu tidak sekuat yang ku kira.

Dan cara satu-satunya untuk melindunginya adalah dengan melepaskannya. Meskipun itu berarti harus membuatnya kembali menderita.

Karena sejak awal, kebahagiaan nya tidaklah bersamaku. Aku selalu berharap agar dia bahagia. Seperti sebelumnya, aku hanya akan melihat dari belakang tanpa menampakkan diriku.

Bab 1 Dia Tidak Pantas Mendapat Belas Kasihan Ku!

...Hai readers.....

...Mungkin ada banyak ketidaknyamanan saat membaca. Entah bahasanya yang belibet, ataupun jalan ceritanya yang ruwet. Karena saya membuat cerita ini hanya dengan modal gabut hehe....

...Terima kasih telah memilih novel ini untuk menemani gabut Anda. Selamat membaca☺️...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Brengsek, berhentilah membuat ulah!" seru gadis dengan sebuah nampan ditangannya itu.

Luna, dia menarik temannya menjauh dari pria paruh baya mabuk yang mengganggu nya.

"Kau gadis kecil yang selalu saja mengumpat! Aku pelanggan tetap disini, dan setiap datang kupingku selalu sakit karena suaramu!" seru pria itu.

Luna memutar bola matanya, kemudian memalingkan wajahnya sambil menggaruk lubang telinganya yang tak gatal.

"Gadis nakal ini!" seru pria itu karena merasa diremehkan.

"Lebih baik Anda pulang, atau istri Anda akan mengamuk.." tutur Luna.

"Istri ku sudah tenang di Neraka, dia tidak bisa memarahiku!"

Luna menghela napas pasrah mendengar jawaban dari pria paruh baya itu. Mana ada orang yang mengutuk istrinya sendiri dengan membawa nama Neraka.

Kemudian mengajak temannya itu untuk meninggalkan meja. Namun beberapa saat kemudian Luna kembali dengan segelas air putih.

"Jika Anda tidak ingin menyusulnya ke Neraka, jangan datang ke bar lagi!" tutur Luna.

"Gadis sialan, apa bicara lembut bisa membuatmu gatal-gatal? Mana sopan santun mu itu?!" teriak orang itu.

Luna berbalik sambil memijat kepalanya. Jam kerjanya hampir habis, dan seseorang membuat ulah di saat terakhir waktu kerjanya. Hal itu sangat menggangu nya.

'Nanti makan malam apa, ya?' batin Luna.

"Aw~ sialan, apa kau tidak punya mata?!" seru Luna saat seseorang menabraknya dan membuat nampan di tangannya jatuh.

"Ayahmu pasti kecewa jika melihatmu menjadi kasar seperti itu.."

Luna membelalakkan matanya. Kemudian mendongak menatap pria dihadapannya itu.

Sorot mata yang terlihat dingin dan tajam, serta bekas luka sepanjang kening hingga bawah mata itu melengkapi kesan seram diwajahnya. Namun tidak melebihi ketampanannya.

'Apa dia seorang gangster?' batin Luna.

Luna, seorang gadis tanpa ekspresi dan selalu waspada terhadap sesuatu yang ada di depannya. Alih-alih merasa ketakutan, justru sorot matanya terkesan tajam.

Luna benar-benar tersinggung dengan ucapannya. Namun mengingat sudah banyak orang semacam itu disekelilingnya, dia memilih untuk tetap diam tanpa membalas ucapannya.

"Beraninya kau menatap Bos seperti itu?! Apa kau sudah tidak menginginkan matamu?!"

Empat pria berbadan besar dengan tato di leher mereka menghampirinya.

Bukan sekali atau dua kali dia melihat orang seperti mereka. Jadi jangan tanyakan apakah dia takut atau tidak.

"Aku tidak punya urusan denganmu!" tegas Luna yang langsung pergi menghindari kekacauan yang mungkin akan segera terjadi jika dia terus berdiri di sana.

"Hei! Kau belum meminta maaf karena menabrak Bos!" teriak pria berbadan besar itu sambil menarik rompi baju Luna.

"Sialan, apa yang sedang kau lakukan?!" seru Luna seraya mencoba menepis tangan orang itu.

Namun sialnya tangannya melambung terlalu tinggi, dan tepisan itu mengenai wajah pria itu.

"Jangan salahkan aku karena kau duluan yang menyentuhku!" seru Luna karena yakin dirinya tak bersalah.

Sepertinya semua pandangan mulai tertuju pada mereka. Ya, pasti itu menjadi tontonan yang seru bagi mereka. Dimana seorang gadis mungil melawan pria berbadan besar tanpa rasa takut. Tidak ada yang mendekat atau menolongnya.

"Jalang sialan!" orang itu melayangkan tangannya ke wajah Luna.

Namun dengan secepat kilat Luna menghindari pukulan itu dan memukulnya balik tepat di wajahnya.

'Terima kasih pada Erika karena telah mengajarkan ku teknik dasar..' batinnya.

"Beraninya kau, jalang!" bentak pria berbadan besar itu. Kemudian meraih botol minuman keras yang ada di atas meja.

Bughh~

"Beraninya kau melangkahi ku! Apa aku menyuruhmu untuk melakukannya?"

Pria yang dipanggilnya Bos, sekaligus orang yang telah menabrak Luna itu memukulnya hingga tersungkur, sebelum pria besar itu mendaratkan tangannya di wajah Luna.

"Maafkan Saya, Bos.."

"Keluar sekarang juga!" perintah pria itu dengan tegas, dan empat orang itupun langsung meninggalkan tempat.

"Ada apa ini?" seorang wanita dengan pakaian seksi dan riasan tebal itu menghampiri kegaduhan yang membuat bar miliknya terdengar sangat bising.

"Ah.. Saya Erika, pemilik Bar ini," lanjut wanita itu dengan senyum profesional di wajahnya seraya menunjukkan kartu bisnis miliknya.

Pria itu mengabaikan ucapan Erika dan malah menatap Luna yang memalingkan wajahnya disebelah sana.

Erika memutar kepalanya menatap Luna yang terlihat kesal. Dia berdehem pelan seraya menarik kembali tangannya yang dihiraukan oleh pria itu untuk menghindari rasa malu.

"Apa kau membuat masalah lagi?" bisik Erika pada Luna.

Luna tak menghiraukan ucapan Erika, bahkan tanpa kata dia meninggalkan kedua orang itu.

"Kepribadiannya sungguh sangat buruk!" gumam pria itu sambil menyeringai.

"Bukankah sangat beresiko mempertahankannya? Bisnis mu bisa-bisa hancur karenanya.." lanjutnya dengan suara yang sengaja dia keraskan agar Luna mendengarnya.

Luna menghentikan langkahnya. Namun dia lebih memilih untuk menghiraukannya. Dia tidak ingin berurusan dengan orang seperti itu lebih banyak lagi. Sudah cukup orang-orang penagihan hutang itu saja.

Brakk~

Bunyi cempreng loker saat dia menyandarkan tubuhnya pun terdengar. Luna melepas rompi dan juga apron yang sedikit lebih pendek dari rok mininya itu. Kemudian menggunakan apron itu sebagai kipas

"Apa AC nya rusak?" gerutunya.

Luna menarik napas panjang. Kemudian bangkit dan membuka lokernya untuk berganti pakaian.

Brakk!

Seseorang menutup kembali pintu loker yang telah Luna buka, dengan sangat keras tepat didepan wajahnya. Hampir saja pintu itu mengenai wajahnya jika saja respon Luna tidak cepat.

"Bocah sialan!" seru Erika seraya memukul kepala Luna.

"Aww~" seru Luna sambil mengusap kepalanya.

"Wanita tua ini! Kenapa kau memukulku?! Kalau aku jadi bodoh siapa yang akan menikahi ku?!" protes Luna.

"Pria mana yang mau menikahi gadis kasar seperti mu??" seru Erika.

"Dan apa? Wanita tua kau bilang? Aku hanya 3 tahun lebih tua darimu, bocah sialan! Aku masih 25 tahun!" lanjutnya sambil kembali memukul kepala Luna.

Luna memutar bola matanya dengan malas. "Sama aja.." gumamnya. Kemudian melepas seragam kerjanya.

"Aku capek, mau pulang dulu.." ucap Luna.

Drrttt~

Drrtt~

Luna melirik ponselnya dalam loker itu. Kemudian menghela napas pasrah.

"Siapa? Kenapa gak diangkat?" tanya Erika.

"Penawaran asuransi.." jawab Luna asal.

Luna masih sibuk dengan berganti baju. Dan ponselnya terus saja berbunyi. Diapun juga mulai kesal dengan hal itu.

'Tagihan sialan!' batin Luna.

"Masak penawaran asuransi telepon sampai berulang kali? Jam segini?" seru Erika yang mulai tak sabaran dan mencoba untuk mengambil ponsel Luna.

Namun Luna menghalangi nya, meraih ponselnya dan memasukkannya kedalam tasnya.

"Aku pulang dulu.." pamit Luna.

"Kau gak barengan denganku?" tanya Erika.

"Gak.." jawab Luna tanpa menoleh dan hanya melambaikan tangannya.

Luna keluar lewat pintu belakang bar itu. Karena dia sangat membenci orang-orang mabuk yang menatapnya seperti serigala lapar.

Di gang sepi dengan pencahayaan yang redup itu, Luna mengeluarkan mancis dari dalam sakunya. Kemudian membakar gulungan tembakau yang dia apit diantara kedua bibirnya.

Sambil menatap rembulan yang begitu terang diatas sana, dia menghisap benda itu dan membuat kepulan asap yang keluar dari mulutnya.

"Katanya benda ini bisa menghilangkan stres.. Orang-orang memang aneh,"

"Bikin sakit tenggorokan iya.." gerutu Luna seraya membuang rokok itu ke tempat sampah.

Dia mengenakan jaketnya, karena udara tengah malam yang cukup dingin. Namun...

"Hei!!"

"Jalang sialan! Beraninya kau mengabaikan panggilan ku?!"

Suara bentakan mengagetkan nya. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa sosok yang selalu dia hindari selama ini ada di belakang sana. Luna pun langsung lari sekencang mungkin.

"Mereka tidak melihatku keluar dari sana, kan? Bisa merepotkan kalau mereka sampai mengganggu tempat kerjaku.." gumam Luna.

"Dasar jalang! Berhenti!" teriak pria berwajah seram dibelakang sana.

Disisi lain, seseorang tengah menyaksikan adegan kejar-kejaran itu tanpa perasaan iba. Dia menghisap rokoknya, lalu membuang putung nya yang masih panjang itu keluar jendela mobil.

"Sudah berapa kali ku bilang, kecuali saat melakukan tugas jangan pernah biarkan orang-orang bodoh itu mengikuti ku!" ucap pria itu pada asistennya yang duduk di kursi kemudi.

"Maafkan saya, Tuan Muda Elio,"

"Jalankan mobilnya.."

"Baik, Tuan Muda.."

Mobil mulai melaju, Elio melirik keluar jendela mobil melihat Luna yang berjuang keras untuk lari dari kejaran para preman itu. Lalu menutup kacanya kembali tanpa peduli bagaimana nasib gadis itu.

'Membuang-buang waktu saja. Gadis bodoh sepertinya tidak pantas mendapat belas kasihan ku. Seharusnya ku habisi saja sejak dulu,' batin Elio.

Bab 2 Penagih Hutang

"Sialan, preman itu kuat sekali. Aku sudah gak kuat berlari lagi.." gumam Luna setelah menoleh kebelakang dan mendapati orang-orang itu masih mengejarnya tanpa lelah.

Didepan sana sudah tidak ada pemukiman lagi. Di jalan yang sepi ini jika dia nekat melewati persawahan yang ada di depan sana, di waktu yang hampir menunjukkan pukul tengah malam ini, jika Luna tertangkap tidak tahu apa yang akan mereka lakukan ditempat itu.

Sebuah pohon besar di sebelah sana menarik perhatian Luna. Tanpa pikir panjang dia langsung lompat dari atas jalan ke semak-semak yang ada dibawah sana.

"Argh~" seru Luna.

Dia mendarat dengan posisi yang salah dan keseleo.

"Kemana perginya jalang itu?!"

Luna langsung berjongkok dan bersembunyi dibalik semak-semak. Namun preman itu belum juga melanjutkan langkahnya.

"Lihat, disebelah sana ada yang bergerak.." ucap salah satu dari mereka.

Luna membelalakkan matanya saat para preman itu berjalan kearah semak-semak dimana dia bersembunyi.

"Jalang sialan keluar kau!"

Mereka semakin mendekat. Luna pun hanya bisa memejamkan matanya dengan harapan sebuah keajaiban akan menolongnya.

Meeoowww~

"Argh sialan! Makhluk apa itu, kenapa matanya menyala?!"

Mereka berlarian keluar dari semak-semak. Luna membuka matanya dan mengendap-endap keluar dari persembunyiannya.

"Mereka sudah pergi?" gumamnya sambil celingak-celinguk memeriksa sekitar tempat itu.

"Argh~ sialan kau mengagetkanku!"

Dia menatap kucing hitam yang bermanja di bawah kakinya.

"Jadi kau yang sudah menolong ku?"

Luna mengangkat kucing itu, lalu menggendongnya. Kucing itu mengeong saat Luna membelainya.

Hembusan angin malam, membuat tubuhnya cukup menggigil. Dia mendekap kucing itu dalam pelukannya, lalu melanjutkan perjalanannya untuk pulang.

"Kenapa kamu sendirian malam-malam seperti ini?" ucapnya sambil membelai kucing itu.

Dia bicara tanpa sadar diri, seolah dirinya tidak sendirian saja. Dan seperti yang diharapkan dari seekor kucing, dia hanya mengeong.

Luna berhenti di sebuah bangku yang ada di pinggir jalan. Menghempaskan tubuhnya yang lelah karena berlari untuk beristirahat sejenak.

"Apa ada angkutan jam segini?" gumamnya.

Ya, karena biasanya dia pulang bersama Erika.

Erika Marion, anggap saja dia adalah penyelamat bagi Luna. Di tahun itu, tiga tahun yang lalu saat hujan badai mengguyur Kota.

Luna yang telah kehilangan segalanya berjalan tanpa alas kali di tengah derasnya hujan, dengan menenteng sepatunya dan mengenakan seragam sekolahnya.

Hidupnya yang seolah tak ada artinya lagi membuat dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Luna yang baru saja lulus sekolah menengah atas di tahun itu berdiri di tengah jalan, berharap pengendara yang tidak dapat melihat jalan dengan jelas akan menabraknya.

Di sanalah mereka bertemu. Erika menginjak rem mobilnya dengan kuat, sehingga mobil berhenti dengan tepat waktu.

Erika memarahinya habis-habisan karena aksi bodohnya itu. Melihat Luna yang masih mengenakan seragam sekolah membuat Erika merasa iba, seolah melihat dirinya yang dulu dalam diri Luna.

Diapun membawa Luna ke apartemen nya. Sejak itu Luna selalu mengikuti Erika, berkatnya pun Luna mendapat pekerjaan pertamanya di Minimarket tempat bekerjanya hingga saat ini.

Erika memang orang yang baik dan tulus. Tapi karakter nya yang harus diragukan. Dia sedikit liar dan ucapannya lumayan kasar. Tidak heran Luna tertular olehnya.

"Hei kucing! katakan padaku, apa yang saat ini orang-orang seusiaku lakukan di luar sana?"

"Apa mereka sedang bekerja? belajar? atau mungkin ada juga yang bernasib sama seperti ku?"

"Tidak memiliki tujuan hidup yang jelas dan hanya menjalani apa yang telah terjadi.."

Luna menegakkan tubuhnya dan meletakkan kucing itu di sampingnya.

"Seketika aku iri dengan mereka, para rumput liar.." gumamnya sambil menatap rerumputan yang ada di seberang sana.

"Mereka bebas, mereka bisa hidup dan tumbuh tanpa ada halangan. Jika seseorang memotong tubuhnya, dia akan tumbuh lebih tinggi lagi. Seakan mengatakan pada mereka, bahwa mereka tidak akan pernah bisa menghentikannya. Jika seseorang mencabut akarnya, maka dia akan tumbuh di tempat lain.."

Luna menghela napas beratnya, kemudian mendongak menatap langit berbintang di atas sana.

"Namun, jika seseorang membakarnya, anggap saja itu sebagai akhir hidupnya. Ya, semuanya pasti mempunyai kemalangan. Tidak hanya aku, kan?" gumamnya dibalik desiran angin.

Dia kembali menyandarkan tubuhnya, masih dengan menatap langit.

"Kau tau? Aku seperti seekor burung dalam lukisan. Tidak dapat terbang, dan hanya menunggu dikikis oleh kenyataan,"

"Seperti matahari yang bersinar setelah gelapnya malam, atau pelangi yang indah setelah turunnya hujan. Bisakah aku memiliki akhir seperti itu?"

Dia terus menggumamkan kalimat yang menyediakan. Tapi matanya tetap kering, setetes pun air mata tidak ada yang menetes dari matanya.

Apa kehidupan memang seberat itu baginya? Memang kehidupan seperti apa yang telah dia alami? Dan kehidupan seperti apa yang dia inginkan?

Harapan, impian, cita-cita. Semua orang memiliki nya. Namun sebagian orang hanya menggantungkan nya di angan. Dan, sebagain lagi bisa melangkahkan kakinya dengan mudah.

Setiap orang mempunyai alasan, setiap orang mempunyai motivasi. Alasan untuk menyerah, atau motivasi untuk bergerak. Namun, terkadang orang yang mempunyai motivasi pun berhenti karena sebuah alasan. Menyerah.

"Apa aku boleh menyalahkan Tuhan?"

"Atau apa aku harus menyalakan Ayahku?"

"Menyalahkan Ibuku?"

"Atau diriku sendiri.."

Mungkin karena semilir angin yang terus melewatinya. Matanya mulai perih dan memerah. Atau mungkin karena hal lain.

"Meoowww~"

Luna menoleh pada kucing yang menjilati tangannya itu. Kemudian tertawa kecil.

"Apa kau sedang menghibur ku?" Luna kembali membelai kucing itu sambil terkekeh.

"Ayo kita pulang, aku akan memberimu makan dan tempat tidur yang hangat.."

...****************...

Seperti biasa, rumah sepetak itu sangat sepi. Tidak ada yang berubah meskipun waktu terus berputar. Dari pagi berganti malam, dan malam berganti pagi. Mungkin hanya nyala dan mati lampu yang membuatnya berbeda.

Sama seperti penghuninya. Tidak ada yang spesial baginya, misalnya menanti sesuatu yang terjadi nanti, hari esok, atau lusa, dan seterusnya. Apa yang dinantinya hanyalah datangnya uang agar dia segera bisa melunasi hutang-hutangnya, dan terlepas dari genggaman orang-orang mengerikan yang terus saja mengejarnya karena uang.

Duduk di ruang tengah sambil menatap pintu adalah suatu hal yang menjadi kebiasaannya. Kemudian berhitung mundur setiap kali jarum jam hampir sampai di angka 12. Perasaan lega akan menghampirinya saat sosok itu tidak muncul dari balik pintu.

"Syukurlah, aku tidak harus mendapatkan rasa sakit lagi.." gumamnya sambil mengelus kucing yang sedang makan itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!