Kesedihan hati adalah perasaan yang begitu mendalam, seakan ada beban yang tak terlihat namun terasa begitu nyata. Seperti awan kelabu yang menutupi langit, kesedihan merangkak perlahan, membungkus setiap setiap sisi hati dengan keheningan yang menggema. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, melihat ke dalam kegelapan tanpa tahu apa yang menunggu di bawah.
Mata yang biasanya bersinar, saat itu redup, terselimuti oleh bayangan kesendirian dan rasa kehilangan. Dalam kesedihan itu, waktu seolah melambat, setiap detik seperti menambah luka yang tak kunjung sembuh. Dan penyesalan lah yang selalu menjadi akhirnya.
* * * * * * *
Telah tujuh hari Gubee keluar dari pupanya. Ia yang terlahir sebagai lebah penjantan di antara puluhan lebah jantan lainnya, berkumpul di sebuah aula yang sangat megah. Aula yang sengaja dibuat untuk para Pangeran lebah yang akan membuahi Ratu lebah nantinya. Di aula itu dihidangkan madu-madu yang berasal dari berbagai macam nektar bunga, untuk santapan para Pangeran sembari menunggu musim kawin.
Ada banyak cerita yang terdengar di antara para lebah di dalam Aula. Namun yang sangat menarik perhatian Gubee saat itu adalah cerita tentang siklus hidupnya sebagai lebah penjantan.
"Kita akan menjadi lebah dewasa dalam waktu empat belas hari. Saat waktu itu tiba, kita semua akan mati. Kita akan menjadi bangkai, setelah musim kawin selesai." Cerita salah seekor lebah jantan.
"Apa kau sungguh-sungguh?
" Ya!
"Bagaimana jika kita tidak mati setelah musim kawin?" tanya Gubee lagi.
"Mustahil! tidak akan ada di antara kita yang bisa hidup melebihi waktu empat belas hari.
"Kenapa kau begitu yakin? Kenapa kita tidak bisa hidup lebih lama seperti lebah pekerja? Atau seperti Ratu lebah yang bisa hidup sampai enam tahun? Bukankah makanan kita sama?" Percakapan ini semakin menarik bagi Gubee.
"Tak sama. Ada perbedaan dari jenis nektar bunga yang digunakan untuk membuat makanan kita. Semenjak kita lahir, kita hanya diberi makanan berupa madu dari nektar bunga biasa. Kita tidak pernah diberi madu yang berasal dari nektar bunga Edelweis, si bunga keabadian yang membuat hidup para lebah lebih lama. Tidak seperti Ratu lebah yang diberi madu bunga Edelweis setiap musim, sehingga dia bisa hidup sampai enam tahun. Dan lebah lainnya diberi nektar bunga itu satu kali seumur hidup, dan mereka dapat bertahan hidup hingga dua bulan.
"Siapa yang membuat aturan seperti itu?
"Mungkin alam, Ratu lebah, atau Leluhur kita, tapi entahlah! Sudahlah, nikmati saja hidup yang singkat ini. Walaupun tak lama, setidaknya kita beruntung dari lebah lainnya. Karena, kita terlahir sebagai pangeran lebah yang akan mengawini Ratu lebah." ucap lebah jantan itu tersenyum.
"Ya! Nikmati saja! Siapkan stamina menjelang musim kawin tiba!" seru lebah lainnya.
Gubee sepertinya tak senang dengan kenyataan itu. Ia merasakan ketidakadilan dalam jatah umur yang di dapatkannya. "untuk apa jadi Pangeran kalau hanya berumur pendek? Harusnya pangeran berumur panjang seperti Ratu." bisiknya dalam hati.
"Heii..! ada yang tau seperti apa bentuk bunga Edelweis itu!?" tanya Gubee kembali kepada para lebah disekelilingnya yang terlihat mulai mabuk menikmati madu.
"Itu pertanyaan bodoh! Kau kan tau, semenjak kita lahir kita tidak diperbolehkan meninggalkan tempat ini. Jadi, bagaimana mungkin kita bisa tau bentuk bunga itu? Mungkin kau bisa bertanya pada lebah pekerja, karena dari merekalah aku tau tentang bunga itu. Tapi aku yakin, mereka tidak akan memberitahukan mu. Aku saja mendengar cerita itu secara diam-diam, hahaha... sudahlah, lupakan saja!" ucap lebah itu, kemudian kembali meneguk madu dihadapannya.
"Ini tidak adil! Kita Pangeran lebah di koloni ini. Kita yang akan memberikan keturunan kepada Ratu lebah nantinya. Seharusnya umur kita harus setara dengan Ratu lebah, karena peran kita sama pentingnya dengan Ratu lebah!" ujar Gubee.
"Kemana kita akan menuntut ketidakadilan ini? Kepada Lebah pekerja yang hanya sibuk dengan pekerjaan mereka? Kepada Lebah penjaga yang sepanjang hidupnya berdiri seperti patung? atau kepada Ratu lebah yang hanya sibuk mempercantik dirinya menjelang musim kawin tiba?
"Kita tidak akan menuntut pada siapapun. Tetapi kita bisa mencari nektar bunga Edelweis itu sendirikan? Mungkin umur kita singkat karena kita tak mau berusaha dan hanya berdiam diri disini menunggu madu dari lebah pekerja! Mana mungkin kita bisa hidup lebih lama jika kita hanya hidup dari pemberian dan belas kasihan!" Dengan suara lantang Gubee menyatakan pendapatnya pada para lebah di ruangan itu.
"Jangan bodoh! Kita ini pangeran. Kita tidak hidup dari belas kasihan. Kita ini dilayani di sini layaknya seorang pangeran." bantah salah seekor lebah, tidak setuju dengan pemikiran Gubee.
"Pelayanan apa yang kau bicarakan? Kita tidak pernah diberi madu keabadian, sedangkan lebah lainnya mendapatkan madu dari nektar bunga itu! Gelar pangeran ini pembodohan! Kasta kitalah yang paling rendah di koloni ini sehingga tidak diberi hak meminum madu keabadian!" tegas Gubee lagi.
"Ya! Kau benar. Kasta kita yang paling rendah di sini!" Salah satu lebah mulai memahami maksud Gubee.
"Ayo kita cari bunga itu teman!!" ujar Gubee semakin bersemangat.
"Pergilah duluan, dan kabari aku setelah kau menemukannya!" jawab lebah itu.
"Hahaha..!" Lebah lainnya tertawa mendengar pernyataannya.
"Dasar lebah pemalas!" gerutu gubee.
Walau tidak ada satupun lebah yang mau mengikuti keinginannya, Gubee tidak mengakhiri niat yang terbesit di hatinya itu. Keinginan untuk hidup lebih lama di benaknya, membuatnya semakin ingin tahu tentang bunga Edelweis. Ia mencoba bertanya kepada beberapa lebah pekerja, namun benar saja, tak ada satupun lebah pekerja yang mau memberitahunya.
Akhirnya Gubee memutuskan untuk mencari sendiri tentang keberadaan Bunga Edelweis itu. Diam-diam, ia tinggalkan sarang yang melekat kuat di pucuk Pohon Willow itu. Madu-madu mewah yang ditawarkan di dalam huniannya itu seperti tak menarik lagi dibandingkan cerita bunga keabadian yang didengarnya. Hari itu, ia mulai berpetualang dengan sayap mudanya yang baru berumur tujuh hari.
Di alam bebas, di kaki Gunung Alpen, ia disambut oleh hamparan bunga-bunga yang sedang mengembang. Bunga itu bagaikan hamparan permadani warna-warni yang terbentang luas, dipenuhi dengan berbagai jenis bunga yang mekar indah. Mawar merah, Tulip kuning, Anyelir merah muda, dan bunga-bunga lainnya tertata rapi, menciptakan pemandangan yang mempesona. Wangi bunga yang semerbak menyelimuti udara, mengiringi getaran sayap kecil Gubee yang terbang riang diatasnya.
"Inikah yang dinamakan bunga? Tidak hanya nektarnya yang manis dan berbau harum, ternyata rupanya juga sangat indah." gumam Gubee, merendah mendekati kuntum bunga berwarna putih. Tangkai bunga itu yang ramping, berayun saat dihinggapi Gubee.
"Bunga ini sangat indah dari bunga-bunga lainnya. Apakah ini bunga Edelweis itu?" Gubee menjulurkan belalainya, menghisap nektar bunga putih yang berbentuk lonceng itu.
"Hemmm...sangat manis." Gumamnya, kembali menghisap lebih banyak nektar, dan berpindah dari satu kuntum bunga ke kuntum bunga lainnya. Hingga akhirnya perut lebah kecil itu mulai terasa penuh oleh nektar bunga itu.
Namun tiba-tiba tenaganya seakan hilang begitu saja. Sayapnya tak mampu lagi untuk bergerak. Matanya mulai berkunang-kunang, napasnya terasa berat, dan detak jantungnya mulai melambat. Perlahan, kesadarannya mulai hilang, dan akhirnya Gubee jatuh ke tanah, tepat di atas ribuan koloni semut merah.
"Makan siang datang!!" ujar komandan koloni semut merah.
Lanjut Bab 2
Gubee terbangun di ruang gelap, di sebuah jaringan kompleks terowongan yang tersembunyi di bawah tanah. Suhu ruangan itu sangat lembab. Ada banyak kamar dan lorong yang terhubung satu sama lain, membentuk labirin yang rumit. Hampir setiap kamar-kamar di lorong itu berisi serangga-serangga kecil yang telah mati. Dan ada sebagian yang telah menjadi tulang belulang.
Dibawah kamar gelap yang ditempati Gubee itu, terdapat sebuah ruangan yang sangat besar. Ruangan yang cukup terang dari ruangan lainnya. Sepertinya, ada cahaya yang menerangi ruangan yang luas itu. Gubee melihat dengan saksama pemandangan yang tepat dibawah kakinya. Diantara celah-celah dinding tanah, ia dapat melihat semuanya.
Di ruangan yang luas itu, tampak ratusan semut merah yang sibuk dengan aktivitas mereka. Ada yang membawa makanan, ada yang sibuk menggali tanah, dan ada yang sibuk memindahkan telur-telur berwarna putih transparan. Dan di antara kesibukan itu, terlihat gerombolan semut penjaga mengelilingi sebuah cahaya yang sangat terang.
Cahaya itu berasal dari eksoskeleton seekor semut merah yang sangat besar dan mendominasi dari semut-semut lainnya. Ia memiliki sayap yang terlipat rapi di punggungnya. Warna tubuhnya merah menyala. Dengan kepalanya besar dan rahang yang sangat kuat, ia sangat terlihat menakutkan dari semut-semut lainnya. Ialah Ratu Semut Merah.
"Apa yang kau lihat!?" Seekor semut penjaga datang ketempat Gubee dikurung.
"Ah! Tidak, hanya penasaran saja. Kenapa ruangan dibawah itu sangat terang?" ungkap Gubee.
"Itu cahaya dari tubuh Ratu kami. Dia bertelur banyak hari ini." jelas semut penjaga itu.
"Oh.., itu kabar baik. Jumlah koloni kalian pasti akan bertambah besar nantinya." ucap Gubee.
"Ya, itulah harapan kami. Tapi itu takkan terjadi." Raut semut penjaga itu tampak muram.
"Kenapa begitu? Bukankah Ratu kalian bertelur banyak hari ini?" tanya Gubee heran.
"Memang, tetapi itu telur terakhirnya. Tak lama lagi Ratu kami akan mati. Mungkin kaulah santapan terakhirnya.
Gubee terdiam mendengar ungkapan semut penjaga itu. Ia mulai menyadari hidupnya tidak akan lama lagi. Keinginannya untuk mendapatkan hidup yang lebih lama, sepertinya akan berakhir ditempat itu.
"Kenapa? Kau takut?" tanya semut penjaga pada Gubee yang tiba-tiba terdiam.
"Tidak. Aku tidak takut! Bukankah kita semua juga akan mati? Ini hanya perkara waktu saja!" ucap Gubee berkilah.
"Aku hanya heran. Kenapa kalian tidak merawat Ratu baru? Bukankah kalian seharusnya telah memilik Ratu pengganti di umur Ratu kalian yang sudah tua itu?" imbuh Gubee, melerai suasana canggung.
"Itulah yang kami nanti-nanti selama ini. Tetapi Ratu kami tak pernah melahirkan telur yang akan menjadi calon ratu sampai hari ini.
"Kenapa begitu?
"Sangat sulit mencari mata air murni di kaki gunung Alpen ini. Selama hidupnya Ratu kami hanya meminum embun yang hinggap di nektar bunga-bunga yang tumbuh di gunung ini. Karena itulah Ratu kami tidak dapat memproduksi telur yang akan menjadi calon ratu.
"Kenapa kalian tidak pindah saja ke tempat dimana lebih mudah menemukan mata air murni?
"Kami baru menyadari hal itu akhir-akhir ini, dan Sangat sulit bagi Ratu kami untuk pindah di usianya yang sudah sangat tua seperti sekarang, sementara di luar sana ada banyak burung-burung liar yang setiap saat akan mudah memangsanya. Daripada Ratu kami dimangsa, biarlah kami punah bersama-sama. " ungkap semut penjaga itu semakin menampakan raut sedih.
Gubee terharu mendengar cerita semut penjaga itu. Ada banyak cerita kehidupan yang lebih menyedihkan dari cerita yang dialaminya. Dan ada banyak koloni lain yang juga menunggu waktu kematian.
Tiba-tiba Gubee kembali teringat pada bunga keabadian. "ya, bunga kebadian. Itulah solusi untuk koloni ini." pikir Gubee.
"kenapa kalian tidak mencoba memberi nektar bunga keabadian untuk Ratu kalian?" ucap Gubee kemudian.
"Bunga keabadian? Bunga edelweis maksudmu?
"Ya!" tegas Gubee tersenyum. " Dengan nektar bunga itu Ratu kalian akan berumur panjang! Apa kalian tidak tau cerita tentang khasiat bunga itu?
"Kami tau cerita itu. Bunga itu tumbuh jauh di puncak bukit ini. Sudah banyak semut pekerja yang kami utus untuk mencari nektar bunga itu, namun tidak satupun yang kembali sampai saat ini.
"Jauh di puncak bukit? Berarti bunga itu tidak tumbuh disekitar sini?
"Tidak. Bunga itu hanya tumbuh di puncak gunung Alpen.
"Berarti bunga yang baru saja ku hisap nektarnya bukan bunga edelweis?
"Bukan! Itu Bakung lembah. si bunga kematian, bukan bunga keabadian. Kamilah yang menebar benih-benih bunga itu disini, untuk memikat serangga. Aroma harum dari nektar bunga Bakung lembah akan mengundang serangga dan kumbang untuk meminumnya, dan setelah meminum nektar bunga itu, mereka akan lemah dan pingsan. Kami jadi lebih mudah mendapatkan mangsa karena bantuan bunga itu." ungkap semut merah penjaga.
"Tapi aku sedikit heran. Kenapa lebah sepertimu bisa terjebak bunga itu? Harusnya kamu lebih tau tentang bunga daripada kami." Semut penjaga mulai memperhatikan tubuh Gubee dari kepala hingga ujung kaki. "apakah kau bukan lebah pekerja?" sambungnya.
Gubee tersenyum kecut menggelengkan kepalanya.
"Darimana asalmu?" tanya semut penjaga itu kemudian.
"Dari pohon Willow yang tumbuh tak jauh dari sini. Sarangku ada di pucuk pohon itu. Aku pangeran lebah." kata Gubee menjelaskan.
"Wow! Pangeran lebah! Ratu kami sangat beruntung bisa memakan pangeran lebah di akhir hidupnya." Semut penjaga itu tersenyum senang. "ini akan menjadi hadiah istimewa bagi ratu kami. Aku akan mengabarkannya pada yang lain." Semut penjaga itu pergi.
"Tunggu!" Gubee mencoba menghentikan semut itu. "aku punya kabar yang lebih baik dari itu!" ujarnya.
"Apa itu?" semut penjaga itu kembali menghampiri Gubee.
"Sebenarnya aku meninggalkan sarangku untuk tujuan yang sangat penting. Aku ingin mencari nektar bunga edelweis, karena aku sangat membutuhkan nektar bunga itu. Bisakah kau membantuku? Aku janji! Setelah aku menemukan bunga itu, aku akan kembali kesini dan membawakan nektar bunga itu untuk Ratumu.
"Hahaha...ha..ha..!" Semut penjaga tertawa keras. "kau mau mencoba menipuku?
"Aku sungguh-sungguh!
"Mana mungkin lebah sepertimu bisa menemukan bunga itu? Tak sedikitpun kulihat pengetahuanmu tentang bunga itu! Jangankan bunga Edelweis, bunga Bakung saja kau tak tahu! Hahahaa.." Semut itu kembali tertawa.
"Aku bisa menemukan bunga itu! Tapi aku butuh bantuan darimu. Kau bisa menunjukan ku jalan menuju bunga itu. Dan kau juga bisa memberitahuku bagaimana bentuk rupa bunga itu.
"Ya, mungkin bisa.
"Coba kau pikirkan! Seandainya kita mendapatkan nektar bunga itu, Ratumu akan hidup lebih lama lagi, dan mungkin Ratumu akan dapat bertelur kembali. Mungkin setelah meminum nektar bunga Edelweis, Ratumu dapat melahirkan telur yang akan menjadi Ratu baru nantinya. Atau setidaknya kalian bisa pindah dari tempat ini, karena setelah meminum nektar bunga keabadian, Ratumu akan kembali bertenaga! Jangan biarkan kolonimu mati sia-sia sebelum berusaha!" Dengan semangatnya Gubee memberi bayangan masa depan kepada Semut merah penjaga.
"Kau benar! Kami tidak boleh mati sia-sia!" Semut penjaga terlihat mulai bersemangat. "Tunggu sebentar, aku akan melapor kepada Ratu.
"Jangan! Maksudku, kau tak perlu repot-repot melapor pada ratumu. Cukup beritahu aku jalan menuju bunga itu, dan katakan seperti apa bentuknya, lalu keluarkan aku dari sini." bujuk Gubee meyakinkan kembali semut penjaga yang ingin meninggalkannya.
"Apapun yang terjadi ditempat ini, Ratuku harus tau! Aku tidak akan melanggar sumpahku!" tegas semut itu, lalu pergi.
"Hey! Tunggu!! Hey...!
Semut penjaga itu terus pergi tanpa menghiraukan Gubee.
Selang beberapa waktu, semut penjaga itu kembali. Dengan wajah cerah, ia tersenyum kepada Gubee. Ia bukakan pintu kurungan yang menyekat Gubee, dan mempersilahkan Gubee keluar dari ruangan gelap itu.
“Ratu kami setuju dengan rencanamu. Ayo, aku akan mengantarmu keluar dari sini.” Semut penjaga itu tersenyum kepada Gubee.
“Bagaimana mungkin Ratumu bisa percaya begitu saja padaku?” tanya Gubee seakan tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Karena mempercayaimu lah satu-satunya harapan kami saat ini.
Gubee kembali terharu mendengar kata-kata semut penjaga itu. Ia sungguh tak menyangka, koloni yang belum begitu mengenalnya, sangat mempercayainya. Berbeda jauh dengan teman-temannya yang tak sedikitpun mau mendukung rencananya.
“Siapa namamu pangeran?” tanya semut penjaga, sesampainya di gerbang luar istana koloni semut merah.
“Gubee!
“Ratu kami memberimu sesuatu Gubee. Ini akan sangat berguna dalam perjalanmu mencari bunga keabadian itu.” Semut penjaga memberikan benda berbentuk tabung kepada Gubee.
“Di dalam tabung itu ada minyak yang dapat kau oleskan di tubuhmu diketika malam hari. Minyak itu akan bercahaya di kegelapan.” paparnya.
“Terimakasih! Ini akan sangat berguna bagiku.” ucap Gubee senang menerima tabung itu.
Kemudian semut penjaga mengeluarkan gulungan daun dari balik seragam perangnya. “di daun ini telah kubuatkan peta menuju Bunga keabadian. Dan dibalik daun itu ada lukisan bunga edelweis yang kau cari itu.” jelas Semut penjaga lagi, memberikan gulungan itu pada Gubee.
Gubee sangat bahagia menyaksikan peta yang dibuatkan untuknya itu. Di daun kering itu terpampang jelas ukiran jalan menuju bunga keabadian, dan lukisan bunga itu tergambar indah dibelakangnya. Niatnya mencari bunga keabadian seakan terasa dipermudah.
”sekali lagi, terimakasih teman! Sampaikan kepada ratumu, aku pasti akan kembali membawa nektar bunga itu!” Ucap Gubee meyakinkan semut penjaga, lalu terbang meninggalkannya.
Lanjut Bab 3
Di kaki gunung Alpen, Gubee kembali memulai petualangannya. Ia mengepakkan sayapnya di atas hutan yang terbentang luas yang memukau dengan keindahan alam yang tenang dan mempesona. Pohon-pohon Pinus yang tinggi dan lebat mendominasi lanskap, dengan menciptakan kanopi hijau tebal, dengan sinar matahari yang menembus di antara dedaunan, menciptakan cahaya keemasan yang menari-nari di tanah. Di bawah pohon-pohon ini, terdapat hamparan lumut yang tebal dan lembut, diselingi dengan bunga-bunga liar berwarna-warni yang menambah keindahan alam Gunung Alpen
Suara gemercik aliran sungai kecil yang mengalir jernih di antara bebatuan menciptakan harmoni alami, sementara aroma segar dari daun dan tanah yang basah memberikan sensasi yang menenangkan. Burung-burung bernyanyi merdu dari atas pepohonan, menambah suasana magis hutan itu. Di kejauhan, puncak Gunung Alpen yang megah terlihat menyembul di atas pepohonan, tertutup salju abadi dan berwarna kuning keemasan oleh cahaya langit senja kala itu.
Gubee terlihat sangat bersemangat mengayuh sayap kecilnya di udara. Sesekali ia melihat petunjuk di tangannya, hutan belantara di lereng gunung Alpen itu terlihat sangat mudah dilaluinya. Namun, hari mulai berangsur gelap. Kabut-kabut tipis mulai menghalangi pandangan gubee, dan udara dingin pun mulai terasa membekukan sayapnya. Bagian tubuhnya yang terbuat dari kitin itu, mulai terasa berat untuk digerakkan. Ia memutuskan untuk singgah di sebuah pohon Oak.
Di sebuah lubang kecil di antara kulit pohon Oak, Gubee menghangatkan tubuhnya. Suasana di luar telah berubah menjadi gelap gulita. Suara predator malam mulai riuh di hutan itu. Rasa takut perlahan merasuki benak Gubee. Baru kali ini ia melalui malam yang kelam sendirian.
"Minyak itu akan bercahaya di kegelapan." tiba-tiba Gubee teringat ucapan Semut merah penjaga. Kemudian ia membuka tabung kecil yang terikat di pinggangnya. Ia olesi tubuhnya dengan minyak yang ada di dalam tabung yang terbuat dari tanah merah itu. Perlahan, tubuhnya bercahaya. Lubang kecil di pohon Oak itupun berubah menjadi terang. Dan ternyata, tidak hanya Gubee yang ada di lubang itu.
"Siapa kau?" tanya Gubee kepada serangga yang sepertinya telah dari tadi memperhatikan gerak-gerik Gubee di dalam lubang itu.
"Harusnya aku yang bertanya? Ini rumahku!" jawab serangga itu.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini rumahmu. Diluar sangat gelap dan dingin, jadi aku masuk ke lubang ini untuk berlindung." ucap Gubee.
Serangga itu memperhatikan tubuh Gubee dengan detail. "sepertinya kau bukan dari spesies ku. "Serangga jenis apa kau?" tanyanya kemudian.
"Aku lebah." jawab Gubee.
"Lebah? Kenapa tubuhmu bisa bercahaya seperti kami?
"Tubuhmu bisa bercahaya juga?" sanggah Gubee penasaran.
"Pasti! Cuma spesies kami satu-satunya serangga yang dapat bercahaya. Tetapi setelah melihatmu, sepertinya pernyataan itu keliru.
"Oh! Sebenarnya tubuhku tidak benar-benar mengeluarkan cahaya. Ini hanya berkat minyak pemberian ratu semut merah yang ku oleskan di tubuhku." ungkap Gubee. "tapi jika tubuhmu benar-benar bisa bercahaya, kenapa kau ber-gelap-gelap di tempat ini?" tandas Gubee heran.
"Luciferin yang dihasilkan tubuhku sudah mulai berkurang. Aku kunang-kunang yang sudah berumur cukup tua. Jikapun aku mengaktifkan luciferin di dalam tubuhku ini, cahayanya tidak akan terang lagi." jawab serangga itu, yang ternyata seekor kunang-kunang.
"Apa kau tinggal sendiri di tempat ini?
"Tidak. Aku tinggal bersama anak-anakku. Namun, sampai saat ini mereka belum pulang. Sepertinya mereka tersesat." Kunang-kunang tua itu memandangi pangkal ekornya, dan tiba-tiba ekornya itu bercahaya. Tetapi cahayanya sangat kecil dibanding cahaya yang dipancarkan tubuh Gubee.
"Lihatlah. Apa yang bisa kulakukan dengan cahaya seredup ini? Bagaimana aku mencari anak-anakku di luar sana? Mereka masih kecil! Mereka belum bisa menyalakan luciferin yang ada di tubuhnya. Dimana mereka saat ini?"
Kunang-kunang tua itu terlihat sangat sedih memikirkan anak-anaknya. Matanya memerah mencerminkan kesedihan mendalam yang tak terkatakan. Bibirnya bergetar, menandakan betapa sulitnya ia mencoba untuk tetap tenang di tengah badai kecemasan yang melanda hatinya.
"Maukah kau membantu ku? Aku mohon!" pinta kunang-kunang itu mengiba.
"Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" tanya Gubee prihatin.
"Antar aku mencari anak-anakku. Berkat cahaya tubuhmu yang terang itu, pasti takkan sulit untuk kita menemukannya.
"Baiklah." ucap Gubee tak perlu berpikir lama untuk menyanggupi keinginan si Kunang-kunang tua.
Mereka berdua pun keluar dari lubang itu, menyeruak kedalam kegelapan malam hutan gunung Alpen. Cahaya tubuh Gubee, menerangi setiap inci jalan yang mereka lewati. Hingga sampailah mereka di sebuah rumah tua. Cahaya Gubee membuat sebahagian rumah itu tampak jelas di tengah hutan yang bebas.
Rumah itu terlihat seperti bangunan kayu yang sudah puluhan tahun tidak dihuni. Dinding kayunya sudah mulai menghitam karena usia, dengan beberapa retakan kecil yang menunjukkan tanda-tanda keausan alami. Atapnya terbuat dari sirap kayu yang sudah menua, berlumut, dan tertutup dedaunan kering. Jaring laba-laba, mengisi setiap lubang dan celah rumah itu.
"Biasanya mereka bermain di sini sepanjang hari." ucap Kunang-kunang tua, perlahan-lahan terus membawa Gubee mengintari rumah itu.
"Apa mungkin mereka terjebak di dalam rumah itu?" pikir Gubee.
"Mungkin! Aku juga mengiranya begitu. Ayo kita masuk kedalam." ajak Kunang-kunang tua.
"Dimana jalan masuknya? Setiap celah tempat ini penuh dengan jaring." ujar Gubee.
"Ikuti saja aku." kata Kunang-kunang tua itu kembali mengajak Gubee.
Sampailah mereka di sebuah lubang di dinding rumah itu. Lubang itu tampak bersih dari jaring laba-laba. Namun lubang itu sangat gelap. Dari luar, Gubee tak dapat melihat apa yang ada di dalamnya.
"Bisakah kau masuk terlebih dahulu?" pinta kunang-kunang tua pada Gubee.
Gubee mengangguk. Tak sedikitpun ia tampak ragu memasuki lubang kecil itu. Dan siapa sangka di dalam lubang papan itu, ada sesuatu yang tak Gubee ketahui.
Seekor laba-laba jatuh dari atas lubang, menangkap Gubee, lalu melemparnya ke jaring sutra yang sangat lengket, dan tubuh Gubee terjebak oleh jaring Laba-laba yang ternyata memenuhi bagian dalam lubang itu.
Sayapnya tak mampu lagi bergerak, meskipun ia terus mencoba melepaskan sayapnya dari benang-benang sutra itu. Ia terus meronta, tetapi usahanya tampak sia-sia, karena setiap gerakan justru membuatnya semakin terperangkap. Dan laba-laba penghuni lubang itu menatap sinis kepadanya.
"Bantu aku! Ada laba-laba disini!" teriak Gubee meminta pertolongan.
"Heeiii..!! Kunang-kunang! Aku terjebak!!" pekiknya lebih keras lagi. Namun Kunang-kunang tua tak menghiraukannya.
Dengan langkah senyap, laba-laba penjaga jaring kematian itu mulai berjalan menghampiri Gubee. Matanya yang dingin, penuh nafsu, mengintai Gubee yang semakin lemah dan tak berdaya. Seperti ada yang menghisap tenaganya lewat jaring-jaring itu, tubuh Gubee tak mampu berbuat banyak lagi, bahkan meski hanya untuk sekedar berteriak.
Gubee mulai berhalusinasi. Dalam pandangan yang samar, ia melihat sarangnya yang jauh. Ia melihat bunga-bunga yang pernah dihinggapinya, Ia melihat wajah teman-temannya, dan ia juga melihat wajah Semut merah penjaga yang tersenyum dari balik kabut hitam.
Tubuhnya menggigil, dan antenanya bergerak gelisah, meraba dunia yang tak lagi terasa nyata. Ia semakin terlihat lemah, terperangkap antara hidup dan mati. Pandangannya semakin mengabur, seiring tubuhnya yang menyerah pada kegelapan yang mendekat, membawa akhir dari semua penglihatan itu. Namun dalam sekaratnya yang pedih , ia memohon pada angin malam yang lembut, agar kisahnya tak terhapus begitu saja.
"Laba-laba tua! Keluar kau..!!" terdengar suara Kunang-kunang tua menggema kedalam lubang papan itu. Laba-laba penghuni jaring dibalik ujung lubang itupun keluar.
"Aku sudah membawakan makanan pengganti untukmu. Sekarang, lepaskan anakku!" sambung serangga tua itu.
Laba-laba itu menyeringai menampakan giginya yang tajam, lalu kembali lagi kedalam, dan tak lama iapun keluar dengan membawa dua ekor kunang-kunang kecil yang tampak tak sadarkan diri.
Lanjut Bab 4
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!