"Copet ... Copet ...," teriak seorang gadis. Dia berusaha mengejar sepeda motor yang membawa kabur tas miliknya itu.
Gadis itu terus berlari mengejar dan tak melihat dari arah berlawanan ada mobil. Beruntung pengendara tidak menjalankan dengan laju sehingga masih sempat mengerem saat berada dihadapannya. Gadis itu terkejut dan langsung terjatuh.
Seorang pria keluar dari mobil dan menghampiri gadis itu. Dia menangis ketakutan, mungkin berpikir jika dirinya telah ditabrak.
"Kamu tak apa-apa?" tanya pria itu.
Gadis itu menengadahkan kepalanya mendengar sapaan pria itu. Saat mata mereka bertemu dan bertatap, sang pria langsung terpana melihat kecantikan wajah sang gadis. Dia lalu mendekati dan membantunya berdiri, membawa ke trotoar jalan.
"Boleh saya tau, kamu kenapa berlari dan berteriak. Beruntung saya bisa mengerem mobil dengan tepat," ucap Pria itu.
"Mereka mencopet tasku, Om," ucap gadis itu dengan suara terbata karena menangis.
"Kenapa bisa?" tanya Alvaro cukup terkejut.
Gadis itu lalu menceritakan semua kronologi kejadian. Sang pria mendengar dengan seksama sambil matanya terus memandangi kecantikan wanita di depannya.
"Biar lebih enak bicaranya, sebaiknya kita kenalan dulu. Kenalkan aku, Alvaro!" seru pria itu.
"Dinda ...," jawab gadis itu dengan menyambut uluran tangan pria yang bernama Alvaro.
"Apa ijazah aslimu juga ikut di copet?" tanya Alvaro.
"Nggak, Om. Aku hanya membawa fotocopy nya," jawab Dinda.
"Syukurlah, kalau begitu kamu buat lagi surat lamaran dan lengkapi berkasnya. Kamu bisa melamar di perusahaan milikku!" seru Alvaro.
"Apa, Om? Benarkah aku bisa melamar di perusahaan tempat Om bekerja?" tanya Dinda dengan suara riang. Alvaro hanya menjawab dengan anggukan kepalanya.
Tanpa terduga Dinda langsung memeluk tubuh Alvaro, membuat pria itu merasa gugup. Entah mengapa dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
"Terima kasih, Om," ucap Dinda. Dia melepaskan pelukannya.
"Kamu pasti lapar. Bagaimana kalau kita makan siang. Sambil mendekatkan diri. Bukankah besok kamu akan melamar di perusahaan ku," kata Alvaro dengan suara pelan. Pria itu takut Dinda akan menolaknya.
Dinda terdiam berpikir. Dia berpikir sesaat. Apakah tidak aneh jika dia langsung pergi makan siang dengan pria asing yang baru di kenal. Apa benar pria dihadapannya adalah pria baik, bukan pura-pura baik? Tanya Dinda dalam hatinya.
Melihat Dinda yang masih ragu, Alvaro lalu tersenyum. Dia mengerti pikiran gadis yang ada dihadapannya saat ini.
"Jangan takut, aku tak suka makan orang. Aku lebih suka makan seafood," ucap Alvaro dengan tertawa renyah.
"Baiklah, Om," jawab Dinda dengan ragu.
Alvaro lalu membuka pintu mobil dan mempersilakan gadis itu masuk. Di dalam mobil mereka saling diam. Tak ada yang memulai obrolan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
Satu jam perjalanan, mobil memasuki satu restoran yang sangat mewah bagi ukuran Dinda. Maklum saja dia jarang sekali makan di restoran jika bukan sahabatnya yang bawa.
Dengan ragu, Dinda membuka pintu mobil dan berjalan di belakang Alvaro dengan menunduk. Tiba-tiba pria berhenti berjalan sehingga tubuh gadis itu menabrak punggung pria itu.
Alvaro langsung membalikkan tubuhnya. Dia tersenyum melihat tingkah gadis itu yang sedang mengusap dahinya.
"Makanya jalan itu tatapan harus ke depan! Jangan menunduk!" seru Alvaro.
Dinda cemberut mendengar ucapan pria itu. Bukannya minta maaf tapi justru menyalahkan dirinya. Melihat wajah masam gadis itu, Alvaro tambah tersenyum.
Tanpa Dinda duga, dia menarik pelan tangan gadis itu. Membawanya masuk hingga ke satu ruangan tertutup. Ruang itu sangat bersih dan sejuk, mungkin karena VIP.
Dinda duduk dengan canggung. Baru kali ini dia pergi makan dengan orang baru di kenal, dan yang mengherankan, kenapa dia mau dan tak ragu untuk ikut. Hati kecilnya berkata jika Alvaro pria baik.
"Kamu mau pesan apa? Lihat saja di daftar menu ini," ucap Alvaro sambil menyodori buku menu.
Dinda mengerutkan dahinya melihat harga yang tertera. Padahal dia merasa masakannya biasa saja. Semua itu bisa dia masak sendiri.
"Harganya mahal-mahal," ucap Dinda lirih. Alvaro yang dapat mendengar ucapan gadis itu lalu tersenyum.
"Pesan saja apa yang kamu mau! Aku yang akan bayar. Aku tak akan menagihnya," ucap Alvaro. Rupanya dia sudah mulai merasa terbiasa, terbukti dengan sebutan saya yang telah berubah menjadi aku. Begitu juga dengan Dinda.
"Aku pesan ikan bakar saja," jawab Dinda.
"Lalu pesan apa yang lainnya?" tanya Alvaro.
"Itu saja, Om. Perutku kecil, itu saja sudah cukup." Alvaro tersenyum mendengar jawaban dari gadis itu. Entahlah, sejak tadi hatinya merasa bahagia. Selalu saja ingin tersenyum. Hal yang telah lama tak dia lakukan sejak rumah tangganya dan sang istri bermasalah.
Alvaro lalu memanggil pelayan dan mengatakan pesanannya. Setelah itu dia kembali fokus pada Dinda yang sedang memegang ponsel yang sudah butut. Di zaman sekarang anak gadis selalu mengutamakan penampilan, berbeda dengannya. Androidnya masih pengeluaran lama.
Tak lama pesanan mereka datang. Namun, Dinda masih sibuk dengan gawainya.
"Hmmm ...," dehem Alvaro.
Deheman Alvaro membuat Dinda cukup terkejut. Dia lalu mengalihkan pandangan ke pria itu.
"Kamu pasti suka melamun. Pantas copet dengan mudah merampok barangmu!" seru Alvaro.
"Maaf, Om. Aku sedang chat dengan pelanggan ku. Aku nyambil jualan online," jawab Dinda.
"Kamu tinggal dengan orang tua?" tanya Alvaro.
"Aku yatim piatu. Dulu tinggal di panti asuhan. Sejak SMU, aku bekerja serabutan dan keluar dari panti. Tapi tiap akhir pekan tetap pulang karena sekolahku jauh dari panti. Saat ini juga aku bekerja apa saja dan juga jualan online untuk biaya sekolah dan kebutuhan hidupku," jawab Dinda.
Mendengar jawaban dari gadis itu membuat Alvaro cukup terkejut. Dalam hatinya mengagumi perjuangan gadis itu.
"Jadi sekarang kamu kost?" tanya Alvaro lagi.
"Ya, kost murah. Di belakang toko X," ucap Dinda. Gadis itu lalu menyebut tempat kostnya. Alvaro tahu jika itu salah satu daerah kumuh.
"Kebetulan perusahaan ku membutuhkan tenaga keuangan tambahan. Kamu bisa bekerja di bagian itu. Satu lagi, aku memiliki apartemen kosong dekat dengan perusahaan, kamu bisa tempati agar lebih dekat ke kantor," ucap Alvaro.
Dinda cukup terkejut mendengar ucapan pria itu. Dia memandangi wajah Alvaro dengan intens. Menyadari dipandangi, pria itu menjawab.
"Jangan berpikir jauh dulu. Aku memintamu tinggal di apartemen itu sekalian untuk membersihkan. Dari pada kosong," ucap Alvaro lagi.
Dinda tersenyum dan mengangguk sekalian sebagai jawaban. Dia tak tahu harus berkata apa. Pertemuannya dengan Alvaro seperti suatu keajaiban yang akan merubah nasibnya.
***
Hai, hai ... Selamat Pagi. Mama kembali datang dengan novel terbaru. Seperti biasa, Mama mohon dukungannya. Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk 🥰 🥰 🥰
Setelah makan siang, Alvaro mengantar Dinda pulang. Gadis itu turun di depan sebuah ruko. Mobil tak bisa masuk ke gang yang menuju kos yang terletak di belakang pertokoan tersebut.
Sebelum keluar dari mobil, Alvaro memberikan selembar kartu nama dan menyelipkan uang sekitar satu juta. Tentu saja membuat Dinda heran.
"Uang ini untuk apa, Om?" tanya Dinda dengan raut wajah keheranan melihat ada uang di belakang kartu nama yang diberikan Alvaro.
"Itu untuk uang transportasi kamu. Bukankah kamu baru kecopetan."
"Maaf, Om. Aku tak bisa terima. Aku belum bekerja kenapa sudah di beri uang?" tanya Dinda.
"Terimalah, aku ikhlas memberimu tanpa ada maksud lain," jawab Alvaro.
"Tapi ...."
"Aku mohon terima tanpa ada kata tapi. Bukankah nanti kita akan menjadi rekan kerja. Jadi aku harap kamu jangan sungkan denganku. Aku hanya mau kamu melakukan yang terbaik untuk perusahaan, jika kinerjamu bagus, aku bahkan tak sungkan memberikan bonus!" seru Alvaro.
"Kalau begitu, uang aku terima. Nanti Om bisa potong dari gajiku. Aku janji akan bekerja semampuku dan memberikan yang terbaik," balas Dinda.
Dinda lalu keluar dari mobil setelah mengucapkan terima kasih. Gadis itu berjalan masuk ke gang yang berada di sebelah kiri pertokoan itu.
Sebuah kost yang sangat sederhana, karena Dinda hanya mampu membayar segini. Dia masuk dan langsung membaringkan tubuhnya ke atas kasur lantai. Di kamarnya memang hanya tersedia kasur lantai.
Baru akan memejamkan mata, terdengar ketukan di pintu. Gadis itu bangun dan membukanya. Terpampang wajah sahabatnya Vina. Sebelum dipersilakan gadis itu langsung masuk dan membaringkan tubuhnya ke kasur lantai.
"Capek ...," ucap Vina sambil matanya memandang langit kamar kos Dinda.
Dinda lalu ikut berbaring di samping sahabatnya itu. Terkadang dia heran, kenapa gadis itu suka main ke kamar kosnya. Dia yakin Vina berasal dari keluarga mampu. Itu bisa di lihat dari penampilannya dan juga semua yang dia kenakan.
Ke kampus, gadis itu memakai mobil dan pakaiannya semua bermerek. Begitu juga dengan uang sakunya yang begitu besar. Dinda mengetahui dari seringnya Vina mentraktir. Namun, dia belum pernah datang ke rumah sahabatnya.
Vina seperti agak tertutup dengan jati dirinya. Dulu dia bersekolah di luar kota. Tinggal bersama neneknya karena kedua orang tuanya bekerja. Hanya itu informasi yang Dinda dapatkan.
"Aku bawa kue brownies kesukaanmu. Tapi jangan makan dulu, kita makan di luar aja. Perutku lapar banget," ucap Vina.
Dinda terdiam mendengar ucapan sahabatnya itu. Apa dia harus berterus terang tentang makan siangnya tadi? Pertanyaan itu berseliweran di kepalanya saat ini.
"Aku temani kamu makan. Perutku sebenarnya telah kenyang karena tadi ada yang traktir makan," jawab Dinda akhirnya.
"Traktirin kamu makan? Siapa?" tanya Vina.
"Teman lama, aku mandi dulu ya. Kamu tunggu sebentar," ucap Dinda mengalihkan obrolan.
Dinda langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah itu mereka pergi ke salah satu kafe. Gadis itu hanya memesan air minum sedangkan Vina pesan makanan berat.
"Kamu dah dapat kerja?" tanya Vina.
"Lagi melamar di suatu perusahaan. Kamu sendiri gimana?" Dinda balik bertanya.
"Aku minta Daddy memberi modal untuk membuka butik. Kamu kerja denganku aja, ya?" tanya Vina.
"Maaf, Vin. Aku kurang bakat di butik. Impianku dari kecil kerja kantoran. Tapi tenang, setiap libur aku akan bantu kamu. Pulang kerja juga aku bantu kamu hingga tutup. Apa sih yang nggak aku lakukan untukmu," ucap Dinda sambil tersenyum.
"Kamu emang sahabatku yang terbaik. Aku sayang kamu," ucap Vina. Dia lalu memeluk erat tubuh Dinda.
"Sudah peluknya, lepasin. Nanti di kira orang kita jeruk makan jeruk. Kamu lihat tuh pandangan orang-orang," ujar Dinda. Dia mendorong tubuh sahabatnya agar melepaskan pelukan.
"Aku masih normal ya, lepasin pelukannya," ucap Dinda lagi.
Vina tertawa melihat wajah kesal sahabatnya itu. Mereka berdua memang kerap begitu. Sering bertengkar kecil. Padahal sebenarnya tak ada yang perlu diperdebatkan.
"Habis makan nanti aku belikan kamu cemilan yang banyak. Biar badannya berisi dikit. Kayak tak makan satu tahun aja badannya. Kecil," ujar Vina.
"Aku tak mau, Vina. Kamu sudah sering belikan aku makanan. Aku tak mau berhutang. Masa kamu aja yang terus-menerus belikan, aku belum pernah," balas Dinda.
"Nanti kalau kamu dah kerja, kamu wajib traktir aku!" seru Vina.
"Aku pasti traktirin kamu. Tapi bener, loh, aku masih ada uang. Bisa buat beli makanan dan cemilan. Simpan aja uangmu," jawab Dinda.
Dinda masih memegang uang pemberian Alvaro. Dia tak enak jika Vina selalu membelikan makanan untuknya. Takut terlalu banyak hutang budinya.
Setelah makan, seperti janjinya, Vina mengajak sahabatnya mampir ke supermarket. Dibelinya sang sahabat berbagai cemilan. Dinda telah menolak, tapi tetap saja gadis itu membelinya.
Sampai di depan toko, Dinda keluar dari mobil. Vina tak bisa mampir karena ada perlu.
"Terima kasih, zeyeng. Hati-hati di jalan, jangan ngebut," ucap Dinda sebelum Vina melajukan mobilnya.
"Oke, Zeyeng ... Mmmuuahh," balas Vina.
"Dihh ...," ucap Dinda. Vina tertawa melihat wajah cemberut sahabatnya. Dia lalu melajukan mobilnya.
**
Dinda mencari baju yang paling bagus dan pantas dia gunakan di hari pertama kerja ini. Dia ingin memberikan kesan terbaiknya.
Dengan menggunakan ojek online, Dinda berangkat menuju perusahaan Alvaro sesuai dengan kartu nama yang pria itu berikan.
Sampai di gedung perkantoran, dia langsung masuk. Banyak karyawan menatapnya, mungkin merasa wajahnya sangat asing. Maklum baru pertama menginjakkan kakinya di kantor itu. Dinda langsung menuju resepsionis.
"Selamat Pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas resepsionis begitu Dinda sampai dihadapannya.
"Saya di minta datang ke perusahaan sama seseorang yang bernama Alvaro. Apa saya bisa bertemu dengannya?" tanya Dinda.
"Apa Mbak sudah ada janji bertemu dengan Pak Alvaro?" tanya wanita itu.
"Dia hanya memberikan kartu nama ini dan meminta saya datang ke sini," jawab Dinda dengan menyodorkan kartu nama yang dia dapatkan kemarin dari Alvaro.
"Boleh saya tau nama Mbak?" tanya wanita itu lagi.
"Dinda, katakan saja dengan Pak Alvaro, Dinda yang ingin bertemu," balas Dinda.
"Baiklah, Mbak tunggu sebentar. Saya hubungi Pak Alvaro dulu.
Wanita itu lalu menghubungi Alvaro dan mengatakan tentang kehadiran Dinda. Setelah itu dia menutup sambungan teleponnya.
"Mbak, Pak Alvaro telah menunggu. Nanti biar di antar petugas ke ruang Pak Alvaro," ucap wanita itu lagi. Dia lalu memanggil salah satu petugas kebersihan untuk mengantarkan Dinda. Gadis itu merasa sangat gugup.
Bonus Visual
Setelah mengantar Dinda hingga ke depan ruang kerja Alvaro, pekerja itu mohon pamit. Gadis itu menarik napasnya sebelum mengetuk pintu. Beberapa kali mengetuk akhirnya terdengar suara yang mempersilakan dirinya masuk. Dia kembali menarik napas sebelum membuka pintu.
Saat pintu terbuka, langsung tampak Alvaro yang duduk di kursi kebesarannya. Gadis itu berjalan masuk sambil menebar senyuman.
"Silakan duduk, Dinda!" seru Alvaro menunjuk kursi yang ada dihadapannya.
Dinda duduk dengan gugup. Dia lalu mengambil map dan menyodorkan pada Alvaro. Itu berisi surat lamaran dan fotocopy ijazahnya. Gadis itu memang telah mempersiapkan beberapa berkas lamaran.
"Om ... Eh, Pak. Ini surat lamaran saya," ucap Dinda gugup. Hal itu membuat Alvaro tertawa.
"Santai saja, Dinda. Panggil saja seperti kemarin. Om. Tapi kalau kebetulan ada karyawan lain, kamu boleh panggil Pak," ujar Alvaro. Dinda hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Entah kemana pergi suaranya.
"Kamu akan berada satu ruangan denganku. Setelah aku pikir, kamu akan aku jadikan asisten pribadiku saja. Kebetulan aku belum memiliki asisten."
"Apa kata karyawan lain nanti, Om..Aku langsung diangkat jadi asisten pribadinya, Om," ucap Dinda.
Dinda takut akan menjadi perbincangan jika dia langsung diterima sebagai asisten pribadi Alvaro. Pasti mereka akan banyak yang tak terima.
"Ini perusahaan milikku. Jika aku tau ada yang tak terima dengan keputusan yang aku buat, dia bisa pergi dari perusahaan!" seru Alvaro.
Dinda menarik napas dalam. Dia memang sangat membutuhkan pekerjaan karena penjualan onlinenya makin berkurang, sedangkan kebutuhan pokok makin mahal harganya. Tapi dia juga takut jika diterima sebagai asisten pribadi itu berarti setiap saat dia akan berada di samping Alvaro.
Dinda takut orang berpikir yang bukan-bukan. Namun, yang sebenarnya dia juga takut dengan perasaannya. Entah mengapa, setiap berada di dekat Alvaro, dia merasakan perasaan yang lain. Mungkin karena dia sangat merindukan sosok pria sebagai ayah yang tak pernah dia miliki dan rasakan kasih sayangnya dari dulu.
"Sekarang kamu bisa tempati meja itu. Aku sudah meletakan jadwal pekerjaanmu dan apa tugasmu! Kau hanya perlu melayani semua yang aku butuhkan dan inginkan!" seru Alvaro dengan suara tegas.
"Baik, Om. Aku akan pelajari dulu," ucap Dinda.
Dinda lalu berdiri dan berjalan mendekati meja kerjanya. Mata Alvaro tak berkedip memandangi gadis itu. Dia lalu tersenyum sendiri.
Dinda dengan serius mempelajari semua berkas yang Alvaro berikan dan menyalin kembali agenda pria itu. Dia memang pintar sehingga tak butuh waktu untuk menyelesaikan pekerjaan segampang yang diberikan pria itu.
Waktu terus berjalan, tanpa terasa jam telah menunjukan pukul dua belas siang. Alvaro berdiri dari duduknya. Dia mendekati meja Dinda. Berdiri di samping gadis itu.
"Tinggalkan saja dulu kerjaan itu. Temani aku makan siang!" ujar Alvaro mengagetkan Dinda.
Dinda lalu menengadahkan kepalanya memandangi wajah Alvaro. Lalu tersenyum.
"Aku makan di kantin saja, Om," jawab Dinda.
"Apa kamu lupa jika kamu itu asisten pribadiku. Menemaniku makan siang juga merupakan bagian dari pekerjaanmu!" seru Alvaro.
Dinda terdiam mendengar ucapan Alvaro. Itu berarti dia harus menemani pria itu setiap hari, di manapun dan kemanapun. Sebenarnya itu merupakan pekerjaan yang enteng, tapi berisiko digosipkan karyawan lain.
"Baik, Om," jawab Dinda pasrah.
Dinda berdiri dari duduknya. Alvaro berjalan meninggalkan ruang nya diikuti Dinda. Seperti dugaan gadis itu, banyak mata karyawan yang masih bekerja memandangi mereka. Jika Alvaro Masin bisa terus berjalan santai, tidak dengan dirinya. Dia hanya bisa berjalan sambil menunduk.
**
Alvaro menghentikan mobilnya di sebuah halaman restoran. Mereka berdua masuk dengan jalan beriringan menuju ruang VIP.
Setelah duduk, tanpa bertanya dengan gadis itu Alvaro memesan makanan. Dia tahu jika bertanya, Dinda pasti hanya memesan satu jenis makanan saja.
"Mulai besok kamu bisa tempati apartemen yang pernah aku tawari kemarin," ucap Alvaro membuka obrolan.
"Aku tinggal di kost aja, Om," tolak Dinda. Dia tak enak menerima begitu banyak kebaikan pria itu.
"Itu juga untuk kelancaran pekerjaan kamu. Jika aku membutuhkan kamu segera, kamu bisa datang secepatnya. Kalau dari kost membutuhkan waktu satu jam, belum lagi macet. Apartemen itu kosong. Kamu bisa sekalian menjaga dan membersihkan. Akan lebih terawat nantinya. Nanti sehabis makan siang ini, kamu pulang saja. Bereskan semua yang perlu kamu bawa. Jika perabot, di sana telah lengkap. Aku nanti jemput jam lima!" ucap Alvaro.
"Sore ini, Om?" tanya Dinda.
"Ya, lebih cepat lebih baik," balas Alvaro.
Makanan yang di pesan Alvaro datang. Saat makan, pria itu memasukan banyak lauk ke piring Dinda, membuat gadis itu terkejut.
"Sudah, Om. Aku tak terbiasa makan dengan lauk yang banyak. Di panti asuhan aku makan hanya dengan satu lauk atau dengan sayur aja," ucap Dinda memberikan alasan.
Alvaro jadi terdiam mendengar ucapan gadis itu. Tak menyangka jika kehidupan Dinda seperti itu.
"Mulai hari ini kamu bisa makan dengan lauk yang banyak. Jangan menahan selera. Nanti jika sakit nikmat itu dicabut, walau kamu ingin makan tapi selera yang tak ada," balas Alvaro.
"Tapi aku tak biasa, Om. Dengan ikan saja rasanya sudah nikmat," ucap Dinda dengan tersenyum.
Akhirnya Alvaro tidak memaksa lagi. Dia dan Dinda makan dengan lauk kesukaan masing-masing. Setelah itu mereka meninggalkan rumah makan.
Seperti yang Alvaro katakan tadi, dia lalu mengantarkan Dinda ke kost gadis itu, sedangkan Alvaro kembali ke kantor.
"Nanti jam lima aku jemput. Aku harap kamu telah siap," ujar Alvaro.
"Baik, Om. Terima kasih," jawab Dinda.
Gadis itu keluar dari mobil. Dia lalu berjalan menuju kos setelah mobilnya Alvaro berjalan. Baru sebentar berjalan, gawai pria itu berdering, dia pikir dari Dinda. Dengan cepat dia mengambil dari saku celana. Begitu dia melihat nama istrinya yang tertera, dia mengacuhkan. Hingga beberapa kali berdering baru diangkat.
"Kanapa lama sekali kau angkat. Apa kau sedang tidur dengan wanita lain!" seru istrinya dengan suara lantang.
"Bukankah itu kebiasaanmu? Tidur dengan selingkuhanmu," ucap Alvaro.
"Kau tak bisa menuduhku tanpa bukti."
"Begitu juga denganku, apa kau ada bukti jika aku tidur dengan wanita lain?" tanya Alvaro.
"Sudahlah, aku sedang malas berdebat. Aku hanya ingin tau, kenapa kau batasi pemakaian kartu kredit ku dan mana uang jajanku, kenapa belum kau transfer. Aku butuh uang," ucap istri Alvaro yang bernama Devi.
"Bulan ini tak ada jatah bulananmu. Kau telah banyak menghabiskan uangku!" seru Alvaro.
'Tak bisa, aku harus belanja dan mau ke luar negeri dengan teman-temanku," jawab Devi dengan suara tinggi.
"Aku tak akan memberimu uang. Kerjamu hanya shoping dan jalan-jalan. Kau cari sendiri uang jika memang membutuhkan!"
Setelah itu Alvaro mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari sang istri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!