Seorang seorang gadis cantik terlihat membawa beberapa keranjang bunga di tangannya. Senyum lembut bagai lembayung senja tak pernah pudar dari bibirnya.
"Walau mataku buta, namun hatiku selalu bersinar" itulah kata-kata andalan dari seorang gadis bernama Alana Maheswari yang mengalami kebutaan sejak lahir. Dirinya tinggal bersama kakek dan neneknya di pinggiran hutan.
"Alana cucuku, apakah sore ini kau akan mengantarkan bunga?" tanya sang kakek yang bernama kakek Issac.
"Iya kek, bunga kita sudah siap panen jika siang ini aku tak menjualnya kepada tuan Luke maka bunga itu takkan laku Keesokan paginya" jawab Alana.
Kakek Issac tidak terlalu mencemaskan kepergian sang cucu ke tempat penjualan bunga karena Alana sudah tahu jalan pulang.
Di hutan yang sama segerombolan orang sedang memburu target mereka. Pria yang diburu itu terus berlari menembus belantara karena dirinya merasa terdesak.
"Kali ini dia tidak boleh lepas. Kita tangkap hidup atau mati" ucap salah satu pria yang membawa senjata api di tangannya.
"Robin Defalco, menyerahlah kami tahu kau ada di sekitar sini" teriak pria lainnya.
Tidak menyerah segerombolan pria itu melepaskan beberapa tembakan hingga terdengar suara orang kesakitan di balik pohon.
"Mungkin itu dia" ucap pria itu.
Semuanya langsung menyisir asal suara itu namun sialnya tak ada siapa-siapa hanya ada percikan darah yang kemungkinan berasal dari orang yang terkena tembakan tadi.
"Sial dia berhasil melarikan diri lagi" kesal pria itu.
Mereka semuanya kembali mencari buruannya.....
Alana berjalan menyusuri hutan ditemani anjing Husky kesayangannya untuk menjual bunga pada pengepul di ujung kota. Sesampainya di sana Alana segera menemui Tuan Luke.
"Bunganya layu" ucap pria tua itu.
"Aku memanennya tadi pagi" balas Alana.
Tuan Luke pun memberikan uang padanya sebagai pembayaran untuk semua bunga yang Alana jual.
"Uangnya kurang Rp50.000!" ucap Alana.
"Jangan curang kau Tuan! Mataku buta tapi hatiku melihat bahkan aku bisa merasakan Kau baru saja mengencani pelacur. Bagaimana jika istrimu tahu?" sambung Alana lagi.
Mendengar itu Tuan luka menjadi panik.
"Huh dasar kau" kesal Tuan Luke sembari memberikan uang sisanya pada Alana.
Dor!!
Dor!!
Dor!!
Suara tembakan terdengar dari arah hutan.
"Sebaiknya kau jangan dulu pulang Alana, dari tadi suara tembakan dari dalam hutan tak berhenti" ucap Tuan Luke.
"Tak apa, mungkin itu tembakan dari para pemburu rusa" balas Alana.
"Terserah kau saja" ucap Tuan Luke acuh.
Alana dan anjingnya berjalan kembali lagi masuk ke dalam hutan menuju rumahnya. Suara tembakan terdengar saling bersahutan.
"Hugo, aku merasakan kamu seperti sedang ketakutan" ucap Alana pada anjingnya.
Hugo tak henti-hentinya melolong menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Alana juga merasakan banyaknya langkah kaki yang berjalan mendekati ke arah dirinya.
Hugo dengan sigap penarik gaun Alana ke arah sebuah batu besar, Anjing itu rupanya mengajak anak bersembunyi.
"Damn! Sudah mencari dia sampai sejauh ini tapi si Bandit itu tidak kunjung kita temukan" kesal seorang pria yang memegang senjata api di tangannya.
Mendengar hal itu Alana menjadi ketakutan. Ia sangat takut jika ia ketahuan bersembunyi oleh segerombolan pria itu. Karena kesal mereka pun akhirnya memutuskan untuk pulang meninggalkan hutan dan memutuskan untuk menghentikan sementara pencariannya terhadap pria buruannya.
Alana bisa mendengar umpatan demi umpatan yang diucapkan oleh para pria itu.
Hugo kembali lagi menarik gaun Alana agar segera keluar dari persembunyian.
"Hugo siapa kira-kira mereka?" tanya Alana heran.
Mereka kembali lagi berjalan namun ketika Alana mendekati sebuah sungai kecil tongkat kayunya tiba-tiba mengenai sesuatu.
Alana menganggap itu hanyalah sebatang pohon yang tumbang menghalangi jalan, ia mendengar kalau Hugo tak henti-hentinya mengendus.
"Arghhhhh!!!" terdengar suara erangan kesakitan.
Hugo kembali lagi menarik gaun Alana. Alana pun berjongkok dan menyentuh apa yang ada di depannya. Alana terkejut ketika ia menyentuh sebuah wajah dengan rahang yang tegas, hidung tinggi, bibir penuh merekah dan ada sedikit bulu-bulu halus diwajahnya.
"Apa kamu manusia?" tanya Alana.
"Tolong aku" jawabnya dengan suara parau.
Akhirnya Alana membantu pria itu walau harus berjalan dengan tertatih-tatih.
"Ya ampun Tuan, kamu berat sekali" keluh Alana.
Jalannya pun sampai terseok-seok karena ia membawa beban tubuh pria itu yang menurutnya sangat berat.
Tidak ada kata apapun sahutan dari pria itu, Alana hanya mendengar deru nafas lemah darinya.
Sesudah lama berjuang untuk membawa pria itu akhirnya Alana sampai di rumahnya. Di sana sudah ada nenek Maya dan kakek Issac menunggu dirinya.
Melihat Alana membawa seseorang, kedua orang tua itu langsung menghampiri sang cucu.
"Kamu membawa siapa?" tanya nenek Maya.
"Aku menemukan dia di dekat sungai" jawab Alana.
Kakek Issac kemudian memeriksa tubuh pria itu dan ia dikejutkan dengan adanya luka bekas seperti tembakan di pundak sebelah kanan. Kakek Issac juga melihat darah pria itu yang banyak keluar dan sebagian telah terlihat kering.
Kakek Issac pun membantu Alana memapah pria itu masuk ke dalam rumah.
Sementara nenek Maya mencari obat-obatan dari dedaunan yang tumbuh di sekitar rumah.
Pria itu langsung dibaringkan di sebuah dipan kayu yang sudah usang. Dari mulutnya tak ada ucapan apapun namun kakek Issac tahu bahwa pria itu sadar.
Nenek Maya di luar menumbuk dedaunan untuk mengobati luka pria itu. Sementara kakek Issac membuka pakaian pria itu sampai bertelanjang dada.
Nenek Maya dengan telaten membalurkan obat pada Lukanya.
"Sakit" ringkiknya.
"Nenek yakin kau bisa menahannya. Ini memang sakit, namun lukanya akan cepat kering" ucap nenek Maya.
"Nek sepertinya dia tidak akan sembuh jika pelurunya tidak di keluarkan" ucap Kakek Issac.
"Kakek benar, tapi apakah dia akan tahan terhadap sakitnya?" nenek Maya tak yakin jika pria dihadapannya akan kuat jika peluru itu di keluarkan.
"Kita coba saja" balas kakek Issac.
Pria itu itu mengambil sesuatu dari tas usang miliknya berupa pisau kecil dan rotan kering.
"Siapkan tembikar kecil dan bakar rotan ini dengan arang" perintah Kakek Issac.
Nenek maya segera melakukan apa yang di perintah sang suami.
Tembikar yang sudah di isi arang langsung di sulut oleh api dan batang rotan kering yang di letakan di bawah pundak pria yabg terluka itu.
"Tahan ya anak muda, ini memang akan sakit namun peluru yang ada di pundakmu harus di keluarkan. Aku percaya kau bisa melaluinya" ucap kakek Issac.
Pria itu hanya diam, ia mulai merasakan hawa panas dari pembakaran arang dan batang rotan itu.
Kakek Issac pelan-pelan mengarahkan pisau kecil itu untuk mengorek luka mencari peluru yang bersarang.
Pria itu sangat kesakitan mana kala ujung pisau mengorek lukanya.
"Arghhhhhh sakit" geramnya.
Di tambah hawa panas dari tembikar di bawahnya. Rasanya ia ingin meninggal saja.
"Dapat" ucap kakek Issac sembari mengeluarkan peluru sebesar jari kelingking itu.
Darah kembali menetes dari luka itu, Nenek Maya segera membalurkan parutan kunyit dan jahe pada luka pria itu lalu membungkusnya dengan kain.
"Kau harus istirahat" ucap kakek Issac.
"Terimakasih" hanya itu yang terucap dari mulut pria itu.
Hari sudah sore namun pria itu tak kunjung bangun. Entah apakah terlalu nyaman tidur di dipan kayu usang, ataupun memang tubuhnya tak ingin banyak bergerak.
Alana mendekati pria itu dengan tangan membawa sebuah mangkuk.
"Tuan, apakah kau sudah bisa di ajak bicara?" tanya Aluna.
"Bicaralah karena mulutku tidak lumpuh" jawabnya dengan telak.
Mendengar jawaban menohok dari dari orang yang ia selamatkan membuat Alana sedikit kesal.
"Kalau kau sudah merasa lebih baik, bangunlah Tuan. Aku membawakan mu makan" ucap Alana.
"Aku tak bisa bangun, tubuhku sakit sekali" balas pria itu.
Alana pun meraba-raba dipan, lalu ia membantu pria itu untuk mengangkat tubuhnya menjadi posisi terduduk.
"Namaku Vin Andreas" ucapnya.
"Aku Alana, Tuan" balas Alana.
"Jangan panggil aku Tuan, panggil saja aku Vin" pinta pria itu.
"Baiklah Vin!" balas Alana.
Pria yang mengaku bernama Vin itu sejenak memandang wajah cantik gadis di hadapannya.
"Kau buta?" tanya Vin.
"Iya Vin! Buta sejak lahir" jawab Alana.
"Kau harus makan dulu Vin! Aku memasak sup jamur untukmu" ucap Alana.
Alana dengan telaten menyuapi Vin sampai sup jamur itu tandas dari mangkuknya.
"Kamu sudah kenyang, Vin?" tanya Alana.
"Sudah! Terimakasih" balas Vin.
Tangan Alana langsung meraih saputangan, lalu ia meraba-raba wajah tegas Vin.
Vin yang tahu bahwa gadis buta di hadapannya ingin mengelap sisa makanan pada bibirnya.
"Disini" ucap Vin sembari meraih tangan Alana dan menyimpannya tepat di bibir Vin.
"Maaf" ucap Alana malu-malu.
Alana dengan lembut mengusap bibir Vin dengan saputangan merah muda miliknya.
"Istirahatlah Vin, semoga besok kau bisa sembuh" ucap Alana lalu membantu kembali Vin untuk berbaring dan langsung menyelimuti pria itu dengan selimut rajutan miliknya.
"Terimakasih gadis cantik" gumam Vin setelah melihat Alana pergi ke kamarnya...
Ketika baru saja Vin memejamkan matanya ia di kejutkan dengan sesuatu yang bergerak di perutnya. Vin lalu membuka matanya ingin tahu siapa yang mengusik istirahatnya dan saat Vin melihatnya ternyata sesuatu yang berbulu mendusel manja pada perut sixpack nya
"Jadi kau yang menggangguku?" ucap Vin pada Hugo.
Entahlah anjing itu yang biasanya tidur bersama Alana, kini seakan menemukan kehangatan baru. Vin tidak mengusirnya melainkan ia menyelimuti anjing itu dengan selimut yang ia pakai.
"Mulai malam ini, aku akan memanggilmu Milky" ucap Vin pada Hugo.
Sontak Hugo langsung menggeram marah mendengar nama yang sudah alana berikan di ganti begitu saja.
"Slow boy, besok aku akan tanyakan langsung pada Alana nama aslimu" ucap Vin membuat Hugo kembali tenang.
Kini keduanya pun tertidur di dalam selimut yang sama.
...****************...
Di tempat yang lain, tepatnya di mansion kota X sedang terjadi huru-hara. Pria berjas hitam tampak sedang berbicara serius pada semua pekerja yang ada di mansion itu.
"Kalian karus tahu bahwa mansion ini ini sudah menjadi milik seorang Deriz Vior yang tak lain dan tak bukan adalah diriku sendiiri. Asal kalian tahu kalau kakak tercintaku itu sudah mati, entah tersesat di hutan sampai masuk ke jurang atau di mangsa binatang buas. What Ever, aku tak peduli" papar pria yabg bernama Deriz Vior itu.
Sejatinya Deriz adalah seorang pria dengan sejuta ambisi, gila jabatan dan haus akan validasi yang ingin merebut apa yang sang kakak tirinya miliki sekalipun Deriz harus melakukan hal yang tak terkendali pada kakak tirinya.
Semua pekerja mansion itu merasa keberatan jika pria berperangai buruk itu menguasai apa yang tuan mereka miliki.
"Jika kalian tidak suka, maka malam ini kalian bisa get out dari tempat ini" sambungnya lagi.
Tak ada yang berani melawan ataupun membantah karena sejatinya mereka masih butuh pekerjaan.
"Tinggalkan mansion ini jangan ada yang berani-beraninya masuk atau besok mayat kalian aku antarkan ke depan rumah duka. Get out sekarang" usir Deriz pada semua pekerja mansion agar segera kembali ke rumah belakang.
Tak ingin membuat murka seorang Deriz Vior, semua pekerja mansion langsung membubarkan diri.
Di rumah belakang tampak semua pekerja kasak kusuk mengenai hilangnya Tuan mereka.
"Apakah Tuan Muda di bunuh oleh adiknya sendiri? Tapi aku tak yakin ada manusia yang sejahat itu pada keluarga sendiri" ucap salah satu pekerja yang bernama Maria.
"Bagi orang kaya tidak ada yang tidak mungkin! Tuan Deriz itu sepertinya kejam sekali. Entah lah aku tidak yakin jika kita akan betah bekerja di sini" timpal pekerja yang satunya bernama Lely.
"Hei apa kalian sadar bahwa orang yang berdiri di belakang Tuan Deriz adalah Tuan Alfonso dan semua anak buahnya, itu berarti......Oh my God" ucap Jasmin tak bisa berword-word lagi.
"Alfonso sudah berkhianat! Aku sudah mencium gelagat aneh dari sebelum tuan muda menghilang. Aku yakin jika mereka telah melakukan sesuatu di balik hilangnya tuan muda" timpal Agusta yang biasa bekerja membereskan taman bunga di mansion itu.
"Sebaiknya kita menjadi mata dan telinga untuk tuan muda, aku yakin jika dia masih selamat..Semoga saja Tuhan memberi kemurahannya pada tuan muda" ucap Jasmin.
Sementara di mansion, segerombolan pria berjas hitam datang menghadap Deriz. Deriz yang kini merasa berkuasa duduk dengan pongahnya di kursi kebesaran sang kakak yang kini keberadaannya belum di ketahui.
"Tuan Deriz, kami akan mengabdi padamu" ucap pria yang berdiri paling depan.
"Hahahaha.. Alfonso yang seperti binatang peliharaan Robin kakakku, kini bertekuk lutut padaku. Aku senang kau membelot padaku. Akan aku pastikan aku akan membayar semua kesetiaanmu dengan harga yang sepadan..hahahaha" puas hati Deriz melihat orang yang paling di percaya kakaknya kini berada di pihak dirinya.
Ternyata sangat sedikit sekali orang yang bisa di percaya dan setia di dunia ini contohnya Alfonso.
"Malam ini kita pesta sex dan minum-minum sampai pagi untuk merayakan kemenanganku dan untuk merayakan kematian seorang Robin Defalco..hahaha" ucap Deriz.
Tak lama segerombolan wanita dengan pakaian yang sangat terbuka masuk ke dalam mansion itu.
"Come on girls" ucap Deriz sembari menjentikkan jari telunjuknya.
para wanita itu pun berjalan mendekati Deriz.
"Buka pakaian kalian sekarang dan layani semua anak buahku" perintahnya.
Wanita-wanita itu pun dengan sigap membuka semua pakaiannya hingga telanj@ng di depan para pria itu.
"Alfonso, kau ajak lah semua anak buahmu untuk bersenang-semang. Lihat lahan basah perlu kalian masuki" perintah Deriz.
Sementara dirinya akan menjadi penonton setia adegan seperti binatang.
Malam itu mansion mewah yang menjadi kediaman seorang pengusaha muda yang terkenal bertangan dingin bernama Robin Defalco itu di kotori oleh ulah adiknya sendiri.
Vin terbangun di pagi hari dalam keadaan rumah itu sepi termasuk Hugo yang semalam tidur bersamanya tak ada.
"Kemana orang-orang, sepi sekali" batin Vin bertanya-tanya.
Namun hidungnya mencium bau yang sangat harum. Ingin melihat namun tubuhnya masih sangat sakit.
"Vin, kau sudah bangun?" Alana menghampirinya sembari membawa satu piring daging panggang.
"Ya aku bangun" jawab Vin.
Jujur saja perutnya terasa lapar dengan sesuatu yang Alana bawa.
"Kau bawa apa?" tanya Vin.
"Pagi-pagi sekali kakek berhasil memburu satu ekor rusa, aku dan nenek langsung membuat daging panggang. Cobalah Vin" balas Alana.
Gadis itu kemudian duduk di sisi dipan yang di tiduri oleh Vin. Tangannya langsung mencuil daging lalu Alana tiupi.
"Aaa" Alana lalu menyuapi daging itu ke mulut Vin namun Vin diam membuat Alana tahu jika mungkin pria di hadapannya jijik makan dari tangannya.
"Kau jijik ya? Aku sudah cuci tangan" ucap Aluna.
"Tidak! Hanya saja kau mengingatkanku pada ibuku yang sering sekali menyuapiku dengan memakai tangannya" ungkap Vin.
"Maaf tidak bermaksud demikian! Ayo makan. Jangan takut, tanganku bersih" ucap Alana yang tak jauh bertanya tentang ibunya Vin.
Vin makan dengan lahap dari apa yang Alana berikan. Rasanya terlalu nikmat jika makanan itu cepat habis.
Vin sejenak memandang wajah teduh yang ada di hadapannya.
"Apa kau ingin melihat dunia?" tanya Vin.
Alana diam, ia bingung harus menjawab yang seperti apa dengan pertanyaan yang baru pertama kali orang lain tanyakan.
"Pohon itu warna hijau" ucap Vin.
"Aku tak tahu Vin, bisa saja pohon itu warna merah" balas Alana dengan senyum dingin.
Vin seakan sedih mendengar ucapan gadis di hadapannya.
"Vin, air hangat madu sudah nenek siapkan untukmu. Minumlah dan jika kamu sudah siap untuk mengganti kain di lukamu, bilang saja padaku" sambung Alana lagi.
Ia segera beranjak namun Vin menahannya hingga tongkat kayu yang sudah terayun kini Alana diamkan lagi.
"Kau bisa mengganti kainnya sekarang" ucap Vin.
Alana mengangguk, ia segera berjalan menuju dapur untuk mengambil ramuan yang sudah di buatkan nenek Maya.
Tak lama Alana pun duduk kembali di samping Vin.
Vin bisa begitu jelas memandang gadis di hadapannya.
Pelan-pelan, Alana meraba dada Vin yang kokoh itu, merasakan dimana kain yang membungkus luka Vin di letakan.
"Nenek terlalu sibuk jadi ia memintaku untuk merawat mu saja!. Aku sudah katakan kalau aku mungkin tidak bisa benar merawat mu namun nenek bilang aku pasti bisa" ungkap Alana.
"Alana, selain kau buta kau juga sangat cerewet. Lihat saja jika kau salah mengobatiku, kau akan aku ikat di pohon" ucap Vin setengah bercanda.
Seketika wajah Alana menjadi merah, ia kesal dengan pria yang sudah ia tolong itu.
"Kenapa wajahmu memerah?" tanya Vin yang tahu sebenarnya Alana tengah menahan kesal.
"Tidak!!" sahut Alana.
Tangannya pelan-pelan membuka ikatan kain yang membungkus luka Vin.
"Kenapa bicaramu sangat menyebalkan Vin? Apa kau berasal dari luar planet bumi" kesal Alana.
Vin tak kuasa menahan tawanya, ucapan gadis di hadapannya membuat dirinya yang jarang sekali tertawa mengakhiri puasa diamnya.
Alana meraba luka itu, lalu ia mengompresnya dengan air dingin. Alana juga bisa merasakan bahwa Luka di pundak Vin terasa sedikit mengering.
"Apakah ini sakit?" tanya Alana.
"Sedikit" jawab Vin.
Alana membalurkan obat itu pada luka Vin. Walau itu terasa perih, namun obat itu membuat luka Vin cepat mengering.
Sesudah selesai membalurkan obat pada luka Vin, Alana langsung membungkusnya dengan kain.
"Selesai" ucap Alana.
"Belum" balas Vin.
Alana bingung, menurutnya semua sudah benar ia lakukan namun Vin berkata belum.
"Apa yang kurang?" tanya Alana.
"Kakiku belum di bersihkan" balas Vin.
"Apa harus seorang gadis buta yang membersihkan kakimu?" selidik Alana yang menganggap Vin memanfaatkan situasi.
"Kalau kau mau" ucap Vin yang sebenarnya ingin kembali tertawa.
Vin sengaja mengerjai Alana yang menurutnya gadis itu sangat lucu di matanya.
Alana langsung mencebikkan bibirnya kesal.
"Aku yakin kamu tidak semenderita itu Vin" kesal Alana lalu pergi dari hadapan Vin.
Melihat itu Vin langsung tertawa terbahak-bahak kemudian kembali lagi berbaring di atas dipan.
Vin memandang langit-langit rumah yang terlihat sudah banyak di rambati sarang laba-laba. Namun entah kenapa ia justru merasa nyaman tinggal di rumah tua itu.
"Aku tidak menyangka, aku bisa tidur di tempat seperti ini, tapi aku untuk sekarang ini lebih baik bertahan dahulu di tempat ini sampai keadaan semuanya kondusif" ucap Vin.
Telinganya samar-samar mendengar suara biola yang di gesek terdengar sangat merdu. Vin yang merasa penasaran akhirnya bangun dan melangkah untuk mencari sumber suara itu.
Suara biola itu semakin jelas tatkala Vin berjalan ke arah belakang rumah.
"Kebun bunga" gumam Vin yang melihat hamparan kebun bunga mawar yang cukup luas.
Di sisi kebun itu terlihat seorang gadis cantik duduk di atas rerumputan sembari memainkan biola.
"Alana ternyata bisa bermain biola" gumam Vin.
Riak danau biru didekat kebun bunga itu seakan menjadi saksi merdunya suara biola yang di gesek lirih nan syahdu.
Vin berjalan mendekatinya, tanpa mengeluarkan suara membuat Alana tak tahu bahwa kini Vin sudah ada di hadapannya. Alana terlihat emosional memainkan biolanya seakan berkata dalam alunan melodi bahwa ia seorang gadis yang berani dan tangguh.
Sejenak Alana berhenti menggesek biola, ia ingin duduk sejenak untuk nanti kembali memainkan biolanya lagi
Prok!!!
Prok!!!
Prok!!!
"Suara biola mu sangat indah Alana" puji Vin.
"Vin, sejak kapan kau di sini?" tanyanya.
"Sejak 30 menit yang lalu!" balas Vin.
Alana merasa malu, ia segera menundukkan kepalanya.
"Hei, kenapa kau menunduk? Apa ada yang salah?" Vin merasa heran dengan gadis di hadapannya.
"Aku malu karena permainan nadanya masih berantakan" balas Alana malu-malu.
"Tidak, ini sangat indah. Bisakah kamu memainkannya kembali?" tanya Vin sembari lebih mendekat pada Alana namun Alana menggeleng.
"Kenapa?" heran Vin.
"Tidak ada!" jawab Alana.
Ia lalu mendudukkan dirinya di atas rerumputan tepat di bawah pohon.
Vin segera mendekat dan dengan beraninya tidur di atas paha Alana.
"Vin" Alana merasa canggung.
"Aku sedang ingin tertidur di tempat ini, kalau bisa nyanyikan satu lagu untukku" pinta Vin.
Alana langsung mengangguk, tanpa Vin duga, gadis itu menyayikan sebuah lagi seroisa membuat bulu di tangan Vin berdiri. Bukan takut tapi takjub.
Sebuah lagu opera berjudul Fruhlingstimmen Walzer, Alana nyayikan dengan sangat merdu membuat air mata Vin mengucur deras.
"Kau mengingatkan pada Ibuku, Alana" ucap Vin dalam hatinya.
Alunan suara sopran mengalun syahdu dari mulut Alana semakin merekatkan pelukan tangan Vin pada perut sang gadis.
Namun ketika sedang larut dalam alunan melodi, Alana tiba-tiba berhenti.
"Why?" tanya Vin.
"Kamu memelukku terlalu erat Vin, nafas ku sesak?" ucap Alana.
Vin langsung bangkit lalu duduk di samping Alana.
"Alana, selain biola, ada lagi alat musik yang kamu bisa?" tanya Vin.
"Aku bisa memainkan piano klasik" jawab Alana.
"Vin ayo ikut denganku" sambung Alana yang langsung meraih tangan Vin mengajaknya ke suatu tempat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!