NovelToon NovelToon

Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Part 1

Jadi, judul skripsi aku udah fix: “Pengaruh Harga dalam Pemilihan Biro Haji dan Umroh.” Sounds great, right? Tapi, begitu mulai nulis proposal, rasanya kayak nyemplung ke laut lepas tanpa pelampung. Sumpah, bingung banget mau mulai dari mana.

Coba deh, urusan nulis proposal aja udah bikin stress, apalagi ketika ternyata aku belum punya logo universitas yang penting banget buat cover proposal. Rasanya kayak missing puzzle piece yang bikin gambar proposal jadi nggak lengkap.

Akhirnya, aku minta tolong temen buat ngirim logo. Setelah dapet logo, rasanya kayak dapet sinyal WiFi di tempat yang jauh dari coverage area—akhirnya bisa mulai ngerjain cover proposal.

Tapi masalahnya nggak berhenti di situ. Aku ini anak manajemen, dan manajemen keuangan itu jelas bukan keahlian aku. Keluar dari kampus, godaan jajanan tuh udah kayak magnet yang nyedot semua uang di dompet.

Selesai kuliah, aku pasti mampir ke tempat yang jual batagor, ayam geprek, atau seblak yang bikin lidah bergetar. Bakso seharga lima ribuan itu juga nggak bisa ditolak—itu kayak comfort food yang bikin semua masalah sementara terlupakan.

Dan kalau malam tiba, martabak dan sempol muncul kayak penawaran yang nggak bisa dilewatkan. Godaan ini bikin aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan jajanan yang terus menerus nyedot uang.

Jadi, di tengah-tengah skripsi dan makanan enak ini, aku belajar bahwa manajemen waktu dan manajemen keuangan itu penting banget—karena satu-satunya cara untuk lulus kuliah tanpa bangkrut adalah dengan bisa mengatur keduanya dengan bijaksana. Dan, semoga aja, makanan enak itu nggak jadi penghalang untuk mencapai deadline skripsi yang udah menunggu di ujung jalan.

***

Setelah cover proposal selesai, aku mulai bingung lagi, mau kemana langkah selanjutnya. Aku cari-cari referensi skripsi terdahulu untuk nyontek strukturnya gimana.

Sejauh ini, semua terasa lumayan oke, sampai akhirnya aku ngecek halaman-halaman berikutnya. Di sinilah masalah baru muncul—halaman-halaman itu bikin aku mumet, rasanya kayak berhadapan sama teka-teki Rubik yang susah banget dipecahin.

Akhirnya, aku mutusin buat tiduran aja. Lagian, pengajuan judul juga baru dibuka, jadi kenapa harus stres-stres banget? Kadang aku pikir, mungkin ini bagian dari proses kreatif, di mana ide-ide brilian muncul pas kita lagi santai.

Dan, ya, lebih baik tidur dulu daripada stres terus-menerus mikirin hal-hal yang bikin kepala pusing. Lagipula, ada waktu untuk nyelesaian semuanya, dan tidur juga bagian dari manajemen waktu yang baik—atau setidaknya, itu yang aku coba yakinin ke diri sendiri.

Jadi, aku nyantai aja, nunggu momen inspiratif berikutnya untuk melanjutkan proposal ini.

***

Jadi, aku akhirnya memutuskan untuk beli buku pedoman tugas akhir yang katanya wajib banget dibawa kalau mau ngajuin judul atau bimbingan. Katanya sih buku ini adalah kunci sukses untuk skripsi, jadi aku langsung deh beli.

Setelah buku itu ada di tangan, rasanya kayak nambah satu item penting di checklist hidupku. Tapi, anehnya, meskipun buku udah ada, aku tetap aja bingung harus mulai dari mana.

Aku mulai ngetik proposal dengan semangat yang membara, eh tiba-tiba teralihkan sama handphone.

Gimana nggak, setiap beberapa detik ada notifikasi yang muncul dan bikin aku penasaran, "What's happening on my social media?" Produktivitasku jadi kayak roller coaster—naik turun, nggak jelas arahnya.

Laptopku juga nggak mau kalah, layar terus-terusan hidup, mati, hidup, mati berkali-kali. Kayak dia juga bingung, "What should I do now?" Rasanya semua teknologi di sekitarku pada ikut-ikutan stres dengan skripsi ini.

Akhirnya, sambil ngelihat layar laptop yang kayak disco dengan hidup-matinya, aku cuma bisa pasrah. Aku nyerah sama keadaan, ngambil camilan, dan berharap kalau semua ini bakal berakhir dengan happy ending.

Sementara itu, aku terus berdoa biar laptopku nggak minta cuti dan handphoneku bisa lebih pengertian.

***

Di tengah segala drama skripsi ini, ada beberapa teman yang udah mulai bergerak cepat, ngajuin judul, bahkan ada yang udah dapet dosen pembimbing.

Sementara itu, ada manusia-manusia malas kayak aku yang masih sibuk procrastinating, selalu bilang "besok aja deh" atau "nanti aja masih sempet."

Tapi apa daya, waktu jalan terus, sementara teman-teman yang lain udah melesat kayak pelari marathon.

Lama-lama, aku mulai panik juga. I mean, nobody wants to be left behind, right? Akhirnya, dengan penuh tekad dan dorongan dari rasa takut ditinggal teman, aku pun mulai bergerak.

Fix, gak bisa ditunda lagi. Kalau nggak mulai sekarang, bisa-bisa aku jadi satu-satunya yang belum ngajuin, dan itu akan sangat memalukan.

Mulai dari ngerjain proposal sampe kejar jam tayang, rasanya kayak masuk ke dalam episode marathon yang bikin mata panda ini makin kentara. Everyday feels like a final exam, dengan deadline yang mengejar-ngejar di belakang.

Tapi ya, at the end of the day, this is the struggle we signed up for. Mau gimana lagi? Akhirnya, kita yang biasanya mager-mageran, jadi rajin mendadak.

Semuanya karena fear of missing out dan rasa malu kalau sampai ditinggal teman. Jadi, yaudah, let's just get this over with. Kalau perlu begadang, begadang deh.

Mata panda? Gak apa-apa, asal kelar.

***

Syarat ngajuin judul itu harus bawa buku pedoman, lembar kertas from falidasi team tugas akhir dan proposal yang udah di print.

Nah, waktu itu, aku sebenarnya punya niat baik buat ngikutin semua aturan, tapi yah, namanya juga manusia, aku nggak baca sistematika penulisan dengan detail. Aku masih pakai kertas A4 padahal yang diminta itu B5.

Marginnya? Don't ask, pasti salah.

Jadi, pertanyaanku waktu itu, “Buat apa buku kalau nggak dibaca?”

But in my defense, aku baca kok, ya walaupun cuma bagian sistematika penulisan buat latar belakang masalah, batasan masalah, dan teman-temannya. Udah, sisanya? Skip aja, ngapain repot-repot.

Dan yang bikin aku merasa sedikit lebih baik adalah, ternyata gak cuma aku yang salah. Banyak juga temen-temen seperjuangan yang nasibnya serupa. Ada yang salah ukuran kertas, ada yang margin gak pas, bahkan ada yang lebih epic lagi—tulisan di halaman tertentu tuh gak rata kiri kanan.

Why? Karena mungkin kebanyakan copas dan lupa dirapihin. Salah satu contohnya? Yours truly.

Waktu pertama kali aku sadar kalau banyak yang sama-sama tersesat di labirin tugas akhir ini, rasanya kayak dapat pelukan virtual dari semesta.

Pada akhirnya, kita semua tau kalau ini cuma fase yang mesti dilalui. Salah format? No big deal, masih bisa diperbaiki. Salah margin? It's okay, masih ada waktu buat ngeprint ulang. Dan kalau pun nanti hasil akhirnya gak sempurna, at least, kita udah mencoba yang terbaik.

Part 2

Waktu kami nunggu di koridor, rasanya itu kayak scene slow motion di film yang penuh dengan drama—cuma bedanya, ini real life dan nggak ada background music yang bikin suasana jadi epic. Semua orang punya style sendiri buat ngisi waktu sambil nunggu dosen datang.

Ada yang duduk di kursi dengan gaya duduk yang udah nggak formal lagi, laptop di pangkuan, mata setengah merem, tapi jari-jari masih ngetik kayak robot. Entah lagi revisi bab berapa atau cuma pura-pura sibuk biar nggak ketahuan kalau sebenernya lagi stalking IG.

Terus, ada juga yang udah nyerah sama dunia per-kursi-an dan akhirnya memilih lesehan di lantai. Kalau kata mereka sih, “Udah, yang penting bisa selonjor. Kaki pegel, otak buntu, jiwaku lelah.”

Dari jauh, mereka kelihatan kayak anak-anak TK yang lagi piknik, tapi tanpa makanan enak, cuma ada setumpuk kertas revisi dan buku pedoman.

Buat yang males duduk atau mungkin takut celana atau roknya kusut, ada yang berdiri sambil nyandar di dinding. Kayak model yang lagi photoshoot, tapi versi low budget dan low energy.

Mata mereka terus ngelirik ke jam dinding yang ada di ujung koridor, hoping time will move faster. Some even say, "Kapan ya, gue bisa keluar dari siklus neraka nunggu dosen ini?"

Dan yang paling hardcore, ada juga yang berdiri di depan pintu dosen, kayak security dadakan. Posisi mereka udah kayak satpam kampus, nggak mau ambil risiko antriannya diserobot sama yang lain.

Dikit-dikit nengok ke dalam jendela pintu, hoping the dosen will magically appear and call their name. Muka mereka penuh harap, tapi juga udah siap kalau-kalau harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka belum dipanggil hari itu.

Setiap kali pintu itu kebuka, semua yang ada di koridor langsung freeze, kayak ada yang pencet tombol pause di remote. Mata mereka langsung nyerang si dosen atau siapa pun yang keluar dari ruangan itu.

Kalau bukan giliran mereka, yaudah, back to reality, dengan keluhan standar, "Ya ampun, kapan nih giliran gue? Udah kayak nunggu keajaiban."

Di tengah situasi absurd ini, obrolan ringan seringkali muncul. Mulai dari update skripsi, gosip dosen killer, sampai ngomongin rencana liburan yang entah kapan bisa kejadian kalau skripsi ini nggak kelar-kelar.

It's a weird kind of bonding experience, dimana semua orang merasa senasib sepenanggungan, terjebak dalam siklus skripsi yang kayaknya nggak ada ujungnya. But hey, at least we're in this together, right?

***

Jadi ceritanya begini, aku harus ketemu sama koordinator prodi, alias ko.prodi, buat urusan skripsi. Tapi masalahnya, aku clueless banget siapa ko.prodi di fakultasku sendiri. Bayangin aja, udah tiga jalan tiga setengah tahun kuliah di sini tapi gak tau siapa yang ngurusin prodi. Rasanya kayak nyasar di kampus sendiri, ironic, right?

Jadi, in pure desperation, aku nanya ke temen. Mereka ngeliatin aku dengan tatapan "Seriusan lo gak tau?" sambil ketawa kecil.

Akhirnya mereka kasih tau, dan aku baru sadar, "Ohhh, jadi si bapak yang itu toh!" That moment when the light bulb finally goes on, tapi terlambat.

Nah, yang lebih epic lagi, ternyata Pak Pa ini adalah PA-ku. Dan aku baru tau kalau PA itu singkatan dari Pembimbing Akademik. Bisa bayangin betapa shock-nya aku waktu tau fakta itu? Like, seriously, aku udah semester akhir dan baru ngerti kepanjangan PA. Mahasiswi macam apa diriku ini?

Setelah itu, aku jadi mikir, selama ini aku ngapain aja di kampus? Ternyata banyak banget hal penting yang aku gak tau. Kayaknya otakku lebih sering kepake buat ngafalin menu warteg daripada ngurusin akademik. Now I know, kalau ada urusan akademik yang ribet, at least aku tau harus ke siapa.

But still, rasanya malu sendiri tiap kali inget betapa clueless-nya aku soal hal kayak gini. Kadang aku ketawa sendiri ngebayangin, gimana nasibku kalau gak ada temen yang kasih tau.

Hidup mahasiswa emang penuh kejutan yang datang dari arah yang tak terduga, kan? So, lesson learned, selalu tau siapa yang bertanggung jawab sama pendidikanmu, sebelum kebablasan kayak aku.

***

Waktu itu, aku sempat mikir, “Wah, temen-temenku udah pada disetujui nih judul skripsinya. Aku harus buru-buru nih!” Tapi, ternyata kenyataan berbicara lain. Baru beberapa orang doang yang judulnya approved.

Sisanya, termasuk aku, masih sabar menunggu penunjukkan dosen RTA alias Rencana Tugas Akhir skripsi.

Nah, ceritanya nih, kami semua lagi ngumpul di kampus, nungguin ko.prodi yang entah kemana rimbanya. Orang yang kami tunggu ini, udah kayak hantu, ada kabar tapi gak nongol-nongol. Udah gitu, mau pulang juga masih nanggung, takutnya kalau kita pulang, eh si bapak malah tiba-tiba muncul kayak di film horor.

Waktu terus berjalan, dan akhirnya ada salah satu dari kami yang inisiatif buat menghubungi ko.prodi. Kebetulan, dia lumayan deket sama dosennya, jadi dia berani ambil langkah. Akhirnya, setelah sekian lama, ada jawaban juga. Kami disuruh taruh aja berkas di mejanya pak ko.prodi. Ya udahlah, daripada kelamaan nunggu yang gak pasti, kami patuhi instruksinya.

***

Di sini, aku baru sadar betapa panjang dan melelahkannya perjalanan ini. Aku baru saja mulai, baru mau minta tanda tangan dosen, tapi prosesnya sudah bikin stress. Nungguin itu rasanya kayak abadi, seolah waktu berjalan sangat lambat.

Dan di tengah semua itu, aku gak bisa berhenti mikir, gimana nasib kating-kating yang udah melalui perjuangan yang jauh lebih berat dari ini.

I’m just at the beginning of this journey, and already feeling overwhelmed. Bagaimana ya dengan kating-kating yang sudah berjuang mati-matian untuk menyelesaikan skripsi mereka?

***

Akhirnya, setelah menunggu dan berharap, aku berhasil menemukan berkas ku yang tersimpan di antara tumpukan dokumen lain di meja ko.prodi.

Dalam lembaran kertas, tertera nama dosen RTA yang telah ditunjuk untuk membimbingku. Namun, di situlah masalahnya—aku sama sekali tidak mengenal beliau.

Seriously? I spent hours waiting and hoping, and now I get assigned to a lecturer I’ve never even seen before. What’s going on? Di kepala ini, aku berpikir, “Sebenarnya aku kenal siapa sih?”

Aku sudah berhadapan dengan beberapa dosen di kelas dan mengurus berbagai administrasi seperti KRS dan KHS, tapi dosen RTA-ku ini benar-benar asing bagi aku.

***

Di tengah kebingungan ini, aku sadar bahwa aku tidak sendirian. Banyak temenku juga menghadapi situasi serupa—mereka juga tidak terlalu akrab dengan dosen-dosen mereka. Kami semua berada di semester yang sama, dan berbekal pengalaman dari kakak tingkat, kami mendapatkan sejumlah saran yang, jujur saja, terasa agak ekstrem.

 Kami disarankan untuk menghafal berbagai hal tentang dosen, mulai dari nama, meja, jam kehadiran di kampus, hingga kapan mereka ada atau tidak. Bahkan, saran berikutnya lebih detail lagi: kami harus tahu sifat-sifat dosen, pintar membaca mood mereka, dan, yang paling ekstrem, menghafal mobil atau motor yang mereka kendarai.

"Harus tahu wajah dan suara dosen," kata mereka. "Dan kalau bisa, hafalin juga mobil atau motor mereka. Nggak ada salahnya, kan?"

Seriously? Ini sudah mulai terasa seperti misi intelijen. Apakah kita harus jadi agen rahasia untuk menghadapi dosen? Aku terbayang-bayang harus jadi detektif, menyelidiki setiap detail tentang dosen demi kelancaran tugas akhir. Tapi, di sisi lain, ada benarnya juga—memahami dosen dan bagaimana mereka beroperasi bisa sangat membantu.

Tapi, ya, realita di lapangan tidak selalu sesederhana itu. Aku dan teman-teman harus beradaptasi dengan cara-cara yang mungkin tidak kami bayangkan sebelumnya. Menghafal banyak hal tentang dosen memang bukan hal yang mudah, apalagi kalau setiap dosen punya karakteristik dan kebiasaan yang berbeda.

Part 3

Aku dan salah satu temanku kebetulan mendapatkan dosen RTA yang sama. Jadi, setelah temanku itu keluar dari ruangannya, dia langsung berbagi pengalaman yang bikin aku ternganga. Ternyata, dosen kami ini teliti banget—almost like a detective for our thesis.

Menurut cerita temanku, dosen kami ini nggak hanya sekadar membaca skripsi, tapi benar-benar mengamati setiap detailnya dengan penuh perhatian. He notices every little thing—titik, koma, bahkan setiap kalimat dan paragraf.

Jadi, kalau kamu pikir bisa nyelipin kalimat yang agak asal-asalan, forget it! Dosen ini bisa dengan mudah tahu mana kalimat yang diparafrase dan mana yang benar-benar kamu buat sendiri. He can even tell if the sentences are coherent or not, and he checks how the sentences after a comma continue.

Ternyata, dosen ini sangat paham struktur tulisan. Misalnya, kalau ada kalimat yang enggak nyambung atau kurang konsisten, beliau langsung mencatatnya. His ability to detect inconsistencies is impressive and a little bit intimidating. Beliau bisa membaca niat kita dengan detail, sampai-sampai menyelidiki kapan kita berusaha mencuri kalimat dari sumber lain. It's like he has a sixth sense for spotting plagiarism or errors.

***

Begitu aku melangkah masuk ke ruangannya, rasanya tanganku langsung dingin. Tidak berlebihan, lho—sebelum aku masuk, temanku sudah bercerita gimana ketatnya dosen RTA kami.

Dia menceritakan dengan detail tentang bagaimana dosen ini memeriksa setiap kalimat, titik, dan koma. Jadi, bayangkan betapa takutnya aku, merasa seolah-olah aku bakal lebih parah dari temanku.

Aku ngerjain proposalku itu bener-bener asal jadi. I mean, I didn’t put in as much effort as I should have. Sekarang, bayangkan kalau dosen yang begitu teliti dan detail ini memeriksa proposalku yang seadanya. Jujur, rasanya kayak mau melompat dari jendela saking nervous-nya.

Di ruangannya, suasananya tenang tapi menekan. Meja dosen dipenuhi oleh tumpukan dokumen dan beberapa buku referensi. Dosen RTA  duduk di kursi dengan sikap serius—the kind of serious that makes you question every decision you’ve ever made.

***

Ketika bapak membaca proposalku, keningnya berkerut sambil tersenyum. Senyumnya itu, jujur saja, bikin overthinking. Rasanya seperti dia tahu sesuatu yang aku tidak tahu, dan itu bikin aku bingung.

“Apa judul kamu?” tanyanya dengan nada serius. Baru ditanya judul aja, otakku langsung kosong. Rasanya kayak ada switch yang tiba-tiba mati.

“Pengaruh faktor harga dalam pemilihan biro haji dan umroh, pak,” jawabku dengan penuh keyakinan, meskipun dalam hati mulai panik.

Bapak dosen meletakkan proposalku di meja dengan gerakan yang tampak penuh pertimbangan. Dia kemudian bersandar di kursinya, memperhatikanku dengan tatapan seolah sedang menilai bukan hanya proposal, tetapi juga diriku.

“Dari judul itu harus jelas, kata awal dalam judulmu itu ‘pengaruh.’ Disini bapak mau tanya sama kamu, apa yang berpengaruh dan dipengaruhi?” tanyanya dengan serius.

Langsung deh, aku blank. Rasanya kayak otak aku tiba-tiba nge-freeze.

Padahal aku udah nyiapin jawaban dengan matang, tapi ternyata di hadapan dosen, semua persiapan itu seolah menguap begitu saja. Rasanya kayak udah nyimpen jawaban di folder penting di otak, eh tiba-tiba foldernya hilang entah kemana.

Tapi, ketika dosen nanya, otak aku malah blank. Jawaban yang udah dipersiapkan dengan hati-hati tiba-tiba hilang seperti aplikasi yang crash—hilang tanpa jejak.

Aku cuma bisa diem aja, dan kayaknya bapak juga mulai sadar kalau aku gak bisa jawab pertanyaannya.

“Disini harus jelas mana X mana Y, mana dependen dan independen,” ucapnya sambil menunjuk proposalku.

Hah? Dependen? Independ? Sistem pemerintahan kah? Honestly, I didn’t get it at all. Aku bener-bener nggak paham maksudnya apa dan kenapa harus ada X dan Y segala.

Kalau X dan Y itu mungkin familiar karena pernah belajar di matematika, tapi dependen dan independen? Rasanya kayak pernah denger, tapi udah bener-bener lupa.

“Gini, misalnya ada saya nih, ada kamu dan ada ibu,” ucap bapak dosen dengan nada sabar, meskipun aku bisa merasakan ketidakpastian di udara. “Disini nih, saya memengaruhi ibu apa enggak? Dan kalaupun ada saya nih, pengaruhnya apa?” tanya bapak, sambil menatapku dengan penuh harapan bahwa aku bisa memberikan jawaban yang tepat.

Waktu itu, ibu dosen yang juga ada di ruangan, duduk di depan komputernya sambil sesekali melirik kami, tampak agak sulit menahan tawa.

“Gini loh, nak,” lanjut ibu dosen, “kalau bapak punya pengaruh ke saya, pengaruhnya tuh apa?” Katanya, sambil mencoba memberikan contoh yang tampaknya sederhana, tapi dalam kenyataannya, membuatku semakin bingung.

Honestly, I was at a complete loss. Aku bahkan tidak tahu apa yang dimaksud dengan "pengaruh" dalam konteks ini, dan rasanya kata-kata bapak dan ibu berputar-putar di kepalaku tanpa menemukan arti yang jelas.

Aku benar-benar berharap ada seseorang di luar sana yang bisa memberikan penjelasan, tetapi sayangnya, di ruangan ini hanya kami bertiga. Sementara itu, di luar ruangan, antrian mahasiswa menunggu giliran mereka dengan penuh kesabaran. Di dalam ruangan, aku merasa waktu berjalan sangat lambat, dan rasa gelisah semakin menyiksa.

Ibu dosen tampaknya benar-benar kesulitan menahan tawanya, dan aku semakin merasa tertekan. Mungkin dia merasa kasihan atau hanya menikmati situasi yang semakin awkward ini.

"Ya sudah," ucap bapak dosen sambil menahan tawanya, yang rasanya bikin aku semakin nervous.

“Kamu bawa pena enggak?” tanyanya, seolah pertanyaan itu bisa menyelamatkanku dari situasi awkward ini.

"Bawa, Pak," jawabku cepat, berusaha terdengar percaya diri meskipun tanganku sudah mulai gemetar dan keringetan.

Bapak dosen meletakkan form validasi di depanku dengan penuh kesabaran, seolah mengerti betapa gugupnya aku saat itu.

"Tulis yang saya ucapkan di bagian konsultasi judul sesuai tema dan prodi," ucap bapak, memberi instruksi dengan nada tegas yang membuatku merinding.

Suara bapak terdengar seperti suara yang penuh otoritas di tengah-tengah kekacauan pikiranku.

Aku cuma bisa mengangguk sambil berusaha keras untuk tidak menggigil. Tanganku bergetar sedikit saat aku mulai menulis dengan hati-hati, “Analisis penentuan harga~~” Belum selesai menulis, bapak langsung menghentikan dengan nada cepat, "Eh, coret aja, coret aja. Ganti yang lain, kalau analisis nanti susah di kamunya."

Segera aku mencoret tulisan yang sudah sempat kubuat, rasanya seperti dunia ini tiba-tiba runtuh di depan mataku. Setiap goresan pena seakan mencerminkan betapa kacau dan tertekan aku saat itu.

Aku mencoba menulis ulang dengan cepat dan teliti, berusaha menyesuaikan dengan apa yang bapak mau, "Pengaruh harga dan kepercayaan terhadap minat konsumen menggunakan jasa perjalanan biro haji dan umroh PT...."

"Sini, saya lihat lagi," pintanya sambil mengulurkan tangannya. Aku langsung memberikan form validasi itu dengan tangan yang masih gemetar.

Bapak dosen membaca dengan seksama, sesekali menambahkan catatan, "Objek penelitian," dan mengembalikannya kepadaku dengan nada yang tampaknya agak lebih bersahabat.

Aku hanya bisa menatap kertas itu tanpa berani menatap bapak dosen langsung. Rasa gugup dan tekanan yang ada membuatku merasa seperti ada beban berat di dadaku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!