NovelToon NovelToon

Lonceng Cinta

Bab 1

Orang-orang yang ada di dalam ruangan itu sontak saja tercekat, baru kemarin pagi tuan besar Abdullah itu dimakamkan di TPU terdekat. Pengacara dengan sigap datang di malam kedua, setelah pengajian digelar. Kini satu keluarga besar dikumpulkan, menyimak sang pengacara dari Abdullah Abdullah dibacakan. Berapa persen mereka bisa mendapatkan harta warisan dari ayah sekaligus kakek mereka. Abdullah memiliki tiga orang anak, satu anak perempuan dan 2 anak lelaki.

Yang mengejutkan adalah di mana pembagi warisan itu bisa dicairkan atau tidak, ini yang membuat mereka semua terdiam. Termasuk Zain Abdullah, cucu lelaki pertama dari Abdullah.

"Pak Adam! Apakah tidak ada kekeliruan di wasiat itu? Bagaimana bisa Zain harus menikahi gadis yang entah macam mana bentuknya. Dan seperti apa keluarganya sekarang, putraku ini bukan orang sembarangan," protes Soraya pada sang pengacara.

Adam mengembuskan napas kasar, lelaki berusia 50 tahun ini pun sendiri tidak paham. Kenapa Abdullah malah memberikan syarat seperti itu, semua warisan akan disumbangkan ke panti sosial. Seandainya Zain menolak untuk menikahi cucu perempuan dari teman sang kakek, yang berada di pulau sumba.

Untuk alamat pasti, mereka semua kurang tahu. Yang pasti keluarga gadis itu memiliki separuh dari giok, yang kini berada di atas meja. Bersamaan dengan surat wasiat yang ditulis tangan oleh Abdullah, serta dicap jari oleh almarhum agar bisa meyakinkan semua anggota keluarga.

"Tugas saya di sini hanya menjadi penyampai wasiat kakek Abdullah. Tidak begitu paham, kenapa beliau sampai memberikan itu sebagai syarat," sahut Adam dengan senyum segaris.

"Mas Zain itu adalah cucu kesayangannya kakek nggak mungkin banget sampai kakek mau menjerumuskan Mas ke pernikahan seperti itu," sela Farah dengan ekspresi wajah kesal.

"Dan lagi pula, Mas Zai-"

"Hentikan, Farah!" potong Usman yang sedari tadi memutuskan untuk diam.

"Tapi, Pa-ah, sudahlah," protes

Farah yang tidak mampu meneruskan perkataannya.

Usman tidak suka kalau sang putri yang masih remaja mulutnya begitu ringan untuk menyela pembicaraan, Farah bangkit dari posisi duduknya melangkah pergi dari sana. Diikuti oleh Soraya, ibu dua anak ini harus mengurus putri bungsunya yang mulai merajuk. Kepala Usman mengeleng kecil, dua perempuan yang sulit untuk dididik.

"Saya akan memberikan waktu untuk Tuan muda Zain berpikir lebih dahulu, malam ini hanya ini yang bisa saya sampaikan soal keputusan ada pada, Tuan," tutur Adam pada pria muda yang hanya bungkam.

***

Gadis berhijab merah itu hanya menundukkan kepalanya, kuitansi di tangan melemahkan persendian Alya. Derap langkah kaki di lorong-lorong rumah sakit swasta itu berhenti tepat di depan Alya, kepala Alya mendongak. Kala ia mendapati tetangga rumahnya, menatap Alya dengan sorot mata kasihan.

"Gimana ini, bibi?" tanya Alya lemah. "Aku nggak punya uang segini, untuk biaya rumah sakitnya. mas Ade mendadak gak bisa dihubungi," ujar Alya resah.

Kedua matanya mulai berkaca-kaca, hatinya cemas bukan kepalang. Neneknya sudah ditangani dengan sangat baik, atas jamin Adam. Naasnya, pria yang segera meminang Alya mendadak kehilangan kontak.

"Insyaallah, pasti akan ada jalannya," sahut Ranti.

Tidak mungkin Ranti akan mengatakan pada gadis berusia 25 tahun ini, kalau keluarga Adam memutuskan pertunangan antara Adam dan Alya. Setelah kematian kakek Alya, dan uang jaminan yang diberikan oleh mereka separuhnya adalah uang rentenir. juragan Danu, yang memiliki 4 orang istri muda.

"bibi! bibi!" seruan keras dari gadis remaja itu berhenti.

Alya bangkit dari posisi duduknya, gadis bernama Salma menghembuskan napas. Menderu keras, ia terkejut mendapati kehadiran Alya di sana.

"Ada apa, Salma?" tanya Ranti mefokuskan netral matanya pada Salma.

Ekor mata Salma melirik Alya, apakah tidak apa-apa mengatakannya di depan Alya. Ia menggigit kecil bibir bawahnya, ia meragu. Alya menepuk kecil pundak Salma, netra merah teduh itu tampak khawatir.

"Kenapa, Salma?" Alya ikut menimpali. "Ngomong aja, kok malah diam?"

Kepala Salma tertunduk, "Itu... biaya rumah sakit Nenek yati udah lunas, kakak ."

Dahi Alya dibuat mengerut, dan bertanya, "Apakah mas Ade sudah datang untuk melunasinya?"

Kepala Salma mengeleng kecil, tentu saja bukan pria pengecut itu yang melunasinya. " Bukan mas Ade yang melunasi sisa uangnya, kakak.

Tapi.... " Salma menjeda, melirik kecil ke arah Alya. Gadis ayu dengan kulit sawo matang itu menatap Salma dengan ekspresi penuh tuntutan lanjutan kata.

"Juragan Danu yang melunasinya, kata Juragan... kakak harus melunasi uang yang dipinjam dalam kurun waktu 2 minggu. Kalau tidak, kakak harus siap dinikahi menjadi istri ke-5."

Bak disambar petir di siang bolong, bibir Alya beristighfar. Kedua tungkai kakinya mendadak kehilangan kekuatannya, dengan refleks yang cepat. Ranti menopang tubuh gadis yatim-piatu itu, membatu Alya duduk kembali di kursi.

"Astaghfirullah," gumam Alya dengan bibir bergetar hebat. "Ya Allah," lanjutnya hampir tak mampu didengar.

"Sekarang di mana Juragan, Sal?" tanya Ranti. Wanita paruh baya ini tidak menyangka kalau musibah yang datang silih berganti pada keluarga Alya.

Gadis ini tinggal kedua orang tuanya sepuluhan tahun belakangan, lalu ditanggalkan pula oleh kakeknya satu bulan yang lalu. Nenek Alya sakit keras terpukul kehilangan suaminya, masuk rumah sakit swasta.

Karena rumah sakit negeri tidak memiliki kamar kosong untuk rawat inap, hal hasil. Alya harus meminjam pada keluarga tunangannya, siapa yang menyangka kalau keluarga Adam malah sepicik itu.

"Beliau menunggu di kamar Nenek. Katanya mau ngomong sama kakak Alya. Soal hutang dan soal pelunasannya," jawab Salma lirih.

***

Kertas alamat dari perempuan yang harus menjadi istri dari Zain Abdullah ada di atas meja, bersamaan dengan sebelah giok yang sengaja dipecahkan menjadi dua. Usman menatap putranya dengan sorot mata penasaran, apa yang akan menjadi pilihan Zain. Apakah Zain akan menikahi gadis perempuan yang ditunjuk oleh sang ayah, agar bisa mendapatkan harta warisan dari sang ayah.

"Kalau kau tak mau, tidak usah dilakukan ," kata Usman pelan.

"Semua orang akan marah padaku," sahut Zain pelan. "Apakah Papa tahu dengan keluarga mereka ini?"

Usman mengangguk kecil, ia tahu dengan keluarga itu. Dulu sekali ia pernah bertemu dengan anak perempuan dari sahabat sang ayah, di mana saat itu ayah menginginkan Usman menikahi Alin, ibu dari gadis yang sekarang akan menjadi calon istri putranya.

Usman seorang pemberontak, ia menolak mentah-mentah keinginan sang ayah. Memilih Soraya, yang sangat cantik untuk dijadikan istrinya. Abdullah pernah mengabaikan putranya, sendiri. Namun, lama kelamaan menerima kehadiran Soraya menjadi istri sang putra.

Siapa yang menyangka kalau sang ayah malah melakukan hal seperti ini, pada cucu yang paling disayangi.

"Ya, pernah bertemu. Dan terakhir kali saat satu tahun lalu. kakek mengajak Papa main ke pulau sumba. Bertemu dengan gadis yang akan menjadi calon istrimu," jawab Usman tampak menjelaskan kisah masa lalu.

"Dia gadis yang sopan, tutur kata yang lembut. Ya, kalau dibandingkan dengan gadis-gadis kota. Dia adalah wanita yang sederhana, penurut, dan bersahaja. Papa pribadi suka dengan akhlaknya, disaat gadis zaman sekarang yang kehilangan adab, dan ia pun menjaga marwahnya sebagai perempuan ," sambung Usman memuji.

.....

Bab 2

"Dia gadis yang sopan, tutur kata yang lembut. Ya, kalau dibandingkan dengan gadis-gadis kota. Dia adalah wanita yang sederhana, penurut, dan bersahaja. Papa pribadi suka dengan akhlaknya, disaat gadis zaman sekarang yang kehilangan adab, dan ia pun menjaga marwahnya sebagai perempuan ," sambung Usman memuji.

"Hah," desah letih mengalun dari bibir Zain.

"Aku harus ke sana, penerbangan paling cepat besok bersama Pak Adam. Sebagai bukti. Tapi aku tak tau apakah dia akan menyetujuinya."

"Lantas bagaimana dengan hubunganmu dan Mira?"

"Kami end, Pa," jawab Zain pelan.

" Mungkin saja dia sudah menemukan pria lain di Singapura. Hingga tidak lagi memberikan kabar padaku."

"Kau pikirkan matang-matang dahulu, Papa akan mendukung apapun keputusanmu ."

***

Ditemani oleh Ranti, Alya duduk bersama dengan pria yang cukup tua itu. Sesekali mata pria tua melirik nakal pada Alya. Jari jemari keriput dipenuhi oleh batu akik, rambut sudah memutih. Pria ini masih memiliki pemikiran untuk menambah sosok istri dibandingkan untuk menyiapkan bekal menuju kematian, apalagi ia menginginkan Alya. Gadis ayu, dengan kulit sawo matang. Senyum bersahaja, tatapan mata yang teduh, dan ceria.

"Jumlahnya 100 juta," ujar Danu dengan ekspresi genit.

Ranti saja yang sudah tua merasa jijik melihat bagaimana cara pria ganjen satu menatap Alya, sedangkan Alya menundukkan pandangannya. Dengan jari jemari bertautan, dalam diam ia beristighfar. Ade benar-benar telah menipu Alya uang yang diambil melebihi apa yang diberikan pada Alya.

"Tapi Alya, kan cuma meminjam uang 40 juta, juragan. Kok bisa menambah segitu banyaknya. Kalau yang 30 juta lagi itu bukan urusan Alya, karena uangnya bukan Alya yang ambil," sela Ranti membela Alya.

Tongkat kayu itu di ketuk di lantai, ia berdehem kecil.

"Itu bukan urusanku, yang pasti uangnya itu sudah aku keluarkan. Dan nama penjamin, adalah kamu Alya. Dan kamu Alya sudah memakai uang yang aku berikan. Aku pun sudah melunasi uang untuk neneknya kamu Alya, hari sudah berjalan.

Tinggal satu minggu lagi, sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Apapun yang terjadi kamu Alya hanya punya dua pilihan. Satu melunasi hutang-hutangnya padaku, atau menjadi istriku," sahut Danu.

"Tapi-"

"Bibi." Alya menepuk kecil paha wanita paruh baya yang siap membelanya.

" Sebelumnya terima kasih, karena juragan sudah memberikan pinjaman. Uangnya insyaallah akan segera aku bayar, juragan tidak usah khawatir."

Ranti menatap iba Alya, senyum sinis terbit di bibir tua Danu. Mana bisa Alya membayar uang sebanyak itu, Danu bahkan menambahkan bunga pada pinjaman yang ia berikan. Sengaja memberatkan Alya, agar gadis ini menjadi istri mudanya.

Danu bangkit dari kursi rotan.

"Baik, aku tunggu satu minggu lagi. Kalau lewat sehari. Maka, kamu Alya harus siap memakai kebaya untuk aku nikahi."

Setelah mengatakan itu, Danu melangkah pergi tanpa salam. Ia dibantu menuruni anak tangga oleh pesuruh Danu, betapa bahagianya Danu bisa nikah lagi dengan daun muda.

"Hah! Dari mana Alya punya uang sebanyak itu?" tanya Ranti gemas.

Alya menoleh ke samping, mengulas senyum tipis pada Ranti.

"Bibi nggak perlu khawatir, insyallah uangnya akan ada. Allah bersamaku, Bibi," sahut Alya lembut.

Ranti diam, kenapa Alya begitu naif. Ranti kembali menghela napas berat, ia menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup.

"Kalau gitu, nanti Bibi coba tanya-tanya ke keluarga Bibi. Mungkin ada yang bisa memberikan pinjaman darurat untuk Bibi," putus Ranti.

Kepala Alya mengeleng.

"Nggak! Jangan Bibi, itu akan memberatkan Bibi."

"Nggak, Alya. Kakek Arif sudah sangat baik dengan kami, sekeluarga. Kalau saja Kakek Arif tidak memberikan banyak bantuan, mana bisa keluarga Bibi hidup dengan tenang kayak gini, Alya."

Alya mengeleng kecil. "Sesungguhnya, Allah lah yang menolong, Bibi sekeluarga. Lewat tangan Kakek, Bibi jangan berpikir begitu."

Ranti lagi-lagi dibuat menghela napas berat, Alya persis sekali seperti Alin. Memiliki pemikiran semuanya lillahi ta'ala, pemikiran yang tidak semua manusia zaman sekarang bisa terapkan.

***

Kedua telapak tangan diangkat sejajar dengan bahu, air mata mengalir deras. Bibir merah merekah itu bergetar hebat, suara nan lirih mengalun. Curhat kan semua rasa sakit yang mengiris hati, kekecewaan pada manusia yang ia percayai. Semua rasa sakitnya ia adukan tanpa terlewatkan satu pun, meminta petunjuk serta mukjizat pada yang Maha satu. Yang mustahil bagi manusia namun, kecil bagi Tuhan. Melalui Kun fayakun, yang menjadi pegangan Alya dalam hidupnya.

"Aamiin," gumam Alya lirih.

Merasa ditatap, Alya menoleh ke samping. Ia terkejut mendapati kedua mata sang nenek terbuka, Alya menghapuskan air mata yang mengalir. Gadis itu beringsut mendekati kasur, di mana keluarga satu-satunya berada.

"Nenek kok, belum tidur? Apakah aku menganggu tidur Nenek?" tanya Alya dengan intonasi nada lemah lembut.

Telapak tangannya bergerak mengusap perlahan wajah yang penuh keriput, neneknya terlihat jauh lebih sehat. Kedua sudut bibir tua itu diangkat tinggi ke atas, tangan tuanya terangkat. Mengelus kecil punggung tangan sang cucu tersayang, yang terlihat begitu cantik di mata tuanya.

"Apakah cucu Nenek yang cantik, satu ini habis mengadu pada Rabb-Nya?"

Kepala Alya mengangguk pelan, sudut bibir yang ditarik ke atas bergetar. "Iya, Nek," jawab Alya lembut.

"Sungguh, Allah menyukai setiap rintihan doa dan air matamu, duhai cucuku. Nenek yakin, Allah mengabulkan setiap doa yang Alya pinta. Dengan cara yang paling terbaik menurut-Nya," ujar Yati lembut.

Alya merasa dadanya yang awalnya sempit, tiba-tiba saja terasa lebih lapang. Kedua sisi bahu yang beberapa hari ini, terasa begitu berat. Kini tak lagi membuatnya merasa berat, mendengar penuturan sang nenek.

"Makasih, Nenek."

"Ah, iya. Nenek lupa." Suharti meraih dompet kusam miliknya. Mengeluarkan giok yang sisa separuh, memberikan pada tangan Alya.

Dahi Alya mengerut. "Apa ini, Nek?"

"Jawaban doamu, cucuku. Allah sebegitu mencintaimu, hingga tidak perlu menunggu lama. Allah segera mengabulkan doa hamba-Nya yang sangat ia cintai, sekarang Alya tidak perlu bersedih lagi."

Alya ingin bertanya namun, ia urungkan. Hanya mengulas senyum lembut, kepalanya mengangguk.

"Nah, sekarang ayo tidur di samping Nenek. Sebelum dua jam lagi azan subuh berkumandang," sambung Yati.

Alya mengangguk, gadis itu melepaskan mukenah yang membalut tubuhnya. Melipat rapi, bergerak meletakkan sajadah dan mukenah miliknya di tempat semula, serpihan giok masih ia pegang. Ia merebahkan tubuhnya di samping tubuh sang nenek, memejamkan kedua kelopak mata.

***

Bab 3

Sepanjang jalan mata Zain dimanjakan oleh indahnya hutan bakau, sedangkan Adam yang duduk di sisi Zain terlihat beberapa kali mengambil foto. Hingga kapal nelayan yang mengangkut beberapa sandang dan pangan untuk pulau Sumba, mesin mulai berhenti. Kala sampai tujuan, beberapa orang turun dari kapal. Satu orang membantu untuk menarik tali. Mengikat erat tali pada pohon kelapa, agar kapal tetap di tempat. Saat air pasang naik.

"Pak! Di sini nggak ada sinyal, ya?" tanya Adam pada nelayan yang membawanya.

Pria berkumis tebal itu tersenyum.

"Iya, Pak. Di sini mah emang tidak ada sinyal. Cuma untuk lampu ada kok, tenang aja. Nyala pukul 5 sore. Pulau di sini digunakan untuk menenangkan otak dan memanjakan diri dengan alam. Itu Pak lihat, kan? Beberapa pulau lainnya berdekatan. Pak Adam tidak akan merasa sia-sia mengunjungi pulau Sumba ini."

Adam hanya tersenyum, sepertinya pengacara satu ini cukup akrab dengan cepat dengan para pelayan yang mengantarkan kebutuhan di pulau Sumba. Zain dibantu turun, ia hanya membawa ransel.

"Penginapannya yang itu?" Adam menunjuk ke arah rumah kayu yang terlihat klasik namun asri.

"Ya, Pak."

"Pak! Apakah warga di sini emang ada yang namanya Al-ya, Alya?" Zain menyela perbicangan antara Adam dan pelayan itu.

"Oh, Alya. Adik ini kenal sama Alya?" tanya pria itu balik.

Zain mengeleng kecil. "Tidak, hanya saja dia adalah cucu dari teman kakekku. Katanya ia tinggal di sini."

Pria berkumis tipis itu mengangguk paham. Matanya mengedar, hingga berhenti di arah pondok jualan yang tak jauh dari mereka berdiri sekarang.

"Nah! Itu dia! Alya."

Zain mengedarkan pandangan matanya, mencari keberadaan orang yang ditunjuk. Pondok dari kayu beratapkan daun kelapa itu begitu ramai, kedua matanya di kecengkan mencari mana yang dimaksud.

"Yang berhijab merah itu," sambungnya.

Alya menoleh ke arah ketiga pria yang baru saja datang itu, hingga manik mata teduhnya bersitatap dengan Zain. Dalam hitungan detik Alya membuang muka, dengan bibir beristighfar.

***

Dua potongan giok itu disatukan, benar-benar merekat. Adam tersenyum senang melihatnya, sedangkan Zain mendesah lega. Setidaknya ia sudah menemukan perempuan yang dimaksud oleh sang kakek, kedua netra mata Zain mengedar. Melirik rumah kayu yang terlihat begitu lusuh, bahkan banyak bagian rumah yang dimakan rayap. Meskipun begitu, rumah kecil itu terlihat begitu bersih dan rapi. Terlepas dari bentuk rumah, dan material yang kayu yang mulai lapuk.

"Seperti yang terlihat, giok ini cocok. Dan informasi pun sama, seperti yang saya katakan tadi. Kedatangan kami ke sini hanyalah untuk menunaikan amanat dari kakek Abdullah," papar Adam.

Alya diam, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Amanat yang ditinggalkan adalah menikah dengan dirinya, Alya sendiri tidak tahu siapa pemuda gagah di depannya ini. Awalnya Alya pikir keduanya adalah wisatawan yang bermaksud berlibur di pulau, kala namanya dipanggil. Dahi Alya langsung berkerut, ia tak merasa kenal dengan dua orang di depannya.

Sampai Adam meminta waktu Alya, berbincang sebentar. Menjelaskan maksud kedatangan mereka, dan sampai perihal giok. Yang baru dini pagi tadi sang nenek berikan pada Alya namun, Alya meragu. Pemuda di depannya ini, bukan orang sembarangan. Dari pembawaan, pakaian yang dipakai, dan tindakannya.

"Maaf sebelumnya, Pak. Kakekku sama sekali tidak pernah menyinggung soal perjodohan, dan begitu pula saat terakhir kali kakek Abdullah ke mari," sahut Alya dengan intonasi nada tegas.

Adam melirik ke arah Zain, yang terpenting saat ini adalah Adam sudah menunaikan kewajibannya sebagai pengacara keluarga. Urusan gadis merah manis ini mau menerimanya atau tidak, itu lepas dari kuasa pria paruh baya satu ini.

"Kakak!" seru Salma di balik tirai pintu kamar menyelusup kepalanya keluar tirai pintu.

Alya menoleh ke arah Salma. "Iya, ada apa, Sal?"

"Nenek mau ngomong sama Kakak, Nenek minta Kakak masuk ke kamar dulu sebentar," balas Salma.

Gadis remaja itu diminta untuk menemani sang nenek, Alya mengangguk kecil. Ia kembali meluruskan duduknya, meskipun kepalanya masih menunduk.

"Aku permisi sebentar, ya, Pak! Silakan minum teh dan kuenya," pamit Alya.

"Ya, silakan," jawab Adam cepat.

Alya berdiri, mengitari kursi terbuat dari rotan. Melangkah mendekat kamar sang nenek, menyikap perlahan kain tirai pintu. Masuk ke dalam, Salma tampak duduk di samping sang nenek. Alya duduk, menggenggam tangan yang nenek yang mengawang.

"Ada apa, Nek?" tanya Alya lembut.

Yati menatap lambat wajah sang cucu, lama sekali. Hingga kerutan di dahi Alya terlihat, ia khawatir.

"Nek," panggil Alya kembali.

"Nenek lupa mengatakan padamu, pesan terakhir Kakek. Pesannya untuk menerima pinangan dari cucu Abdullah, yang akan datang. Mereka bersepakat untuk menjodohkan kamu, Alya. Hanya saja Kakek dan Nenek. Belum sempat menyampaikan padamu." Yati menggenggam perlahan tangan sang cucu.

Alya terdiam, gadis berhijab merah itu sedang berpikir keras. Alya tidak tahu apakah ini adalah jalan Allah untuk dirinya, akan tetapi ia memiliki banyak hutang yang harus dibayar. Tidak mungkin bagi Alya menerima pinangan pria di ruangan tamu rumahnya, di saat ia menanggung semua hutang- piutang.

"Kakak Alya," panggil Salma pelan.

"Mas di luar sana ganteng, banget. Harusnya Kakak Alya bahagia, kok malah kelihatan sedih begitu?"

Alya menghela napas pelan. "Kami tidak sekufu, Salma. Pria di depan sana adalah orang yang berada. Kakak hanya takut, bagaimana perlakuan keluarganya pada Kakak dan Nenek nantinya," jawab Alya pelan.

"Iya, sih. Tapi daripada Kakak harus menikah dengan juragan ah, maaf, Ni!" Salma dengan cepat mengatup bibirnya.

Yati menatap cucu satu-satunya dengan rasa penuh bersalah, air matanya meleleh.

"Terimalah, Alya. Jangan pikirkan Nenek," pinta sang nenek dengan air mata yang menetes deras.

Alya mengusap perlahan pipi sang nenek dengan lembut, Alya mengigit bibir bawahnya. Hati Alya nyeri, gadis ini hanya menginginkan pernikahan sederhana.

Menikah dengan pria yang sekufu, seiman, dan pria yang bisa bersama dengannya menunaikan ibadah terpanjang dalam kehidupan. Namun, dibandingkan menikahi pria yang lebih pantas menjadi kakeknya. Ada baiknya Alya menerima pernikahan yang Zain tawarkan.

***

Kain sarung dan sajadah diulurkan ke tangan Zain, dahi Zain mengerut kecil. Apa yang sedang dilakukan oleh pria paruh baya itu padanya, sebelah alis mata Zain ditarik tinggi ke atas. Netra legam Zain terarahkan pada Yadi, suami dari Ranti.

"Ambilah, hari ini Nak Zain jadi imam di musala," tutur Yadi membuat mata Zain terbeliak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!