PMI 1. Hamil
“Hueeek ... hueeek ...”
Pagi-pagi sekali Renata terbangun dan merasakan mual yang sangat. Kepalanya bahkan terasa pusing. Bi Sum yang sedang memasak di dapur itu terkejut dan langsung menghampiri Renata yang membungkuk di wastafel cuci piring. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung wanita itu.
“Non Rena sakit?” tanya Bi Sum, kemudian memijat lembut tengkuk Renata. Wanita paruh baya yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah itu selalu khawatir dengan keadaan nyonya mudanya ini. Apalagi setelah Jayadi, ayah mertua Renata meninggal dunia. Nyonya mudanya itu semakin diperlakukan semena-mena oleh Mirza, suaminya.
“Entahlah, Bi. Mungkin cuma masuk angin.” Renata sendiri kurang yakin jika penyebab keadaannya ini hanya karena masuk angin saja. Sementara seingatnya, sudah dua bulan ini ia telat datang bulan.
“Non, apa boleh Bibi tanya sesuatu?”
“Boleh, Bi. Silahkan tanyakan saja apa yang ingin Bibi tanyakan.”
“Maaf, ya, Non, kalau Bibi lancang. Apa ... Non Rena hamil?” Menurut kaca mata pengamatannya, serta ditambah dengan pengalaman yang sudah memiliki dua orang anak, Bi Sum merasa yakin jika Renata sedang hamil.
“Hamil?” Renata sedikit terperanjat. Tangan kanannya otomatis memegangi perutnya yang masih rata itu. Jika benar ia hamil, seharusnya ini adalah kabar yang menggembirakan. Tetapi sayangnya, bagi dirinya kabar ini hanya kabar buruk belaka.
Renata Amalia, gadis berusia 21 tahun itu dinikahi putra seorang produser ternama melalui jalan perjodohan. Renata hanyalah seorang gadis biasa dan sederhana yang tumbuh besar di panti asuhan semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia.
Awalnya Renata hampir tak percaya ketika sebuah lamaran pernikahan datang kepadanya begitu ia menyelesaikan kuliahnya. Apalagi lamaran itu datang dari Jaya Mahendra, pemilik MV Picture, sebuah rumah produksi yang sudah banyak memproduksi film dan serial TV yang paling banyak digandrungi anak muda. Tak hanya itu, tayangan-tayangan yang diproduksi oleh MV Picture ini juga bisa dinikmati melalui website khusus yang bisa diakses melalui ponsel.
Renata baru tahu kalau dahulu, mendiang ayahnya merupakan sahabat karib Jaya Mahendra. Dan perjodohan dirinya dengan Mirza itu sudah tercetus sejak lama, saat usia mereka masih kecil.
Namun sayang, sebelum rencana itu terealisasi, kejadian naas menimpa kedua orangtua Renata. Sebuah kecelakaan tunggal di jalan tol menyebabkan orangtua Renata meninggal dunia.
Renata kecil yang tidak memiliki sanak saudara saat itu, oleh tetangganya dititipkan ke panti asuhan. Dan kabar tentang kematian orangtua Renata baru diketahui Jaya setelah ia dan keluarga kecilnya baru kembali dari luar negeri.
Jaya dan istrinya kala itu sempat terbersit keinginan untuk mengadopsi Renata. Bahkan mereka sudah mendatangi panti asuhan di mana Renata diasuh. Akan tetapi Renata menolak. Renata kecil tidak ingin meninggalkan panti asuhan, tempat yang sudah membuatnya nyaman.
Jaya tidak memaksa. Ia biarkan Renata tumbuh dan besar di panti asuhan Kasih Bunda. Dan Jaya menjadi donatur tetap di panti asuhan itu. Biaya pendidikan Renata sampai ke perguruan tinggi ditanggung oleh Jaya. Dengan harapan, begitu Renata menyelesaikan pendidikannya, Renata akan langsung dinikahkan dengan putranya.
Renata berdiri dengan tangan gemetar memegang alat testpack yang baru saja dibelinya dari apotik terdekat dan sudah digunakannya untuk tes urine beberapa menit lalu.
Dua garis merah pada testpack itu membuat Renata kehabisan kata. Keberanian untuk memberitahu kabar ini kepada suaminya pun lenyap seketika. Sebab ia tahu suaminya tidak akan menyukai kabar ini.
“Aku hamil? Aku harus bagaimana Tuhan?” Renata hanya bisa meratap pilu dalam hatinya. Seharusnya kabar ini membuatnya bahagia. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Belum sempat Renata menghapus jejak-jejak air mata di pipi, ponselnya yang tergeletak di meja nakas tiba-tiba berdering. Renata yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi itu segera mendekat, menyambar cepat ponsel, kemudian menjawab panggilan yang masuk dari Mirza.
Sembari mengambil duduk di tepian tempat tidur, Renata menjawab telepon itu, “Halo.”
“Kamu tidak lupa kan, nanti siang sidang terakhir. Jangan sampai kamu tidak datang. Karena masa depanku ada di tanganmu.”
“Iya. Aku tidak mungkin lupa. Aku pasti datang, kok.” Renata menaruh kembali ponsel di meja nakas usai menutup panggilan dari Mirza. Yang mengingatkan soal sidang terakhir perceraian mereka yang akan berlangsung siang ini.
Mirza menjatuhkan talak pada Renata seminggu setelah Jaya meninggal dunia. Permohonan cerai diajukan Mirza ke pengadilan agama setempat. Sebuah perceraian yang sudah lama dinanti-nanti Mirza setelah hampir setahun lamanya bertahan dalam pernikahan tanpa cinta.
Selama pernikahan Mirza selalu saja menggaungkan bahwa lelaki itu sama sekali tidak mencintai Renata. Meskipun mereka telah dijodohkan sejak kecil, namun sedikitpun Mirza tidak menyukai Renata. Bagi Mirza, Renata seperti sebuah kutukan. Kutukan yang membawa kesengsaraan dalam hidupnya. Karena Renata, hubungan Mirza dengan kekasihnya kandas. Itulah sebabnya mengapa Mirza membenci Renata.
Masih melekat dalam ingatan Renata ketika malam itu Mirza pulang dalam keadaan mabuk berat. Renata yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat suaminya pulang dalam keadaan kacau balau.
“Za? Kamu ... kamu mabuk?” Renata mundur selangkah demi selangkah saat Mirza datang mendekat dengan tatapan sayu sembari tangannya membuka jaket.
Renata yang masih berbalutkan handuk sebatas dada sampai paha itu meremang melihat tatapan Mirza yang tak seperti biasanya itu. Pandangan Mirza menyapu sepanjang tubuhnya dari kaki sampai kepala. Jakun pria itu naik turun menelan ludah.
“Za, ka-kamu mau apa? Tolong ja-jangan mendekat!” pinta Renata sembari mundur pelan-pelan. Kedua tangannya berusaha menutupi bagian dadanya yang terekspose dan sedang menjadi santapan mata jalang pria itu.
“Kamu sudah membuat hidupku hancur, Ren. Gara-gara kamu juga Vanessa mutusin aku. Dan sekarang, kamu harus membayar semua itu. Kamu harus menerima hukuman dariku.” Seringai menakutkan terbit di wajah tampan Mirza. Yang membuat Renata semakin ketakutan. Apalagi Mirza mendekati Renata sembari kedua tangannya aktif menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya satu per satu.
“Za, tolong jangan dekati aku. Kamu mabuk, Za. Mari, sebaiknya kita bicarakan ini baik-baik.” Renata memohon, sampai punggungnya membentur tembok. Tapi Mirza sedikitpun tidak mengindahkan permohonan Renata. Kakinya enggan mundur.
“Sudah terlambat, Renata. Seharusnya sejak awal kamu tolak saja perjodohan kita. Kenapa kamu tidak melakukan itu dari dulu? Kenapa, Ren? Apa kamu menyukaiku?”
Renata menggeleng. Tangannya mendekap erat tubuhnya. Sekujur tubuhnya gemetaran. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi suaminya yang sedang mabuk ini. Dan yang terlintas di pikiran Renata saat ini hanyalah menghindar. Renata hendak melarikan diri sebelum Mirza semakin menghimpit tubuhnya.
Namun, tangan kekar Mirza lebih gesit menahan pergelangan tangannya. Lalu menyeretnya kasar menuju tempat tidur. Renata yang panik dan ketakutan hanya bisa merintih, meminta dilepaskan ketika tubuhnya dihempaskan dengan kasar ke atas tempat tidur itu. Tetapi Mirza sama sekali tidak mengindahkannya. Mirza sudah terlanjur terhipnotis oleh tubuh indah Renata tanpa busana yang berada di bawah kungkungannya itu.
“Kita ini suami istri, Ren. Aku suamimu. Bukankah selama kita menikah, kita belum pernah melakukannya? Sekarang, berikan hakku sebagai suamimu,” kata Mirza yang sudah diselimuti gairah.
Ya. Selama hampir setahun mereka menikah, Mirza belum pernah sekali pun menyentuh Renata. Alasannya hanya satu, karena ia tidak mencintai Renata. Renata bukan tipe wanita idamannya. Wanita yang mampu membuat Mirza bertekuk lutut hanya wanita seperti Vanessa. Yang cantik, seksi, smart, dan berkelas. Sementara Renata seperti hanya seperti upil di matanya.
“Akan aku berikan, tapi bu-bukan seperti ini caranya, Za. Kamu_” Kalimat Renata urung rampung karena Mirza sudah membekap mulutnya dengan beringas. Sedangkan tangan pria itu aktif di setiap lekuk tubuhnya.
Renata memberontak, hendak melepaskan diri. Namun tenaganya tak cukup kuat menyingkirkan tubuh kekar Mirza yang menindihnya. Alhasil kejadian naas pun tak bisa ia hindari. Sesuatu yang keras dan tumpul telah melesak masuk ke bagian inti tubuhnya. Begitu memaksa hingga terasa amat menyakitkan. Dan Renata tak bisa berbuat apa-apa.
Malam itu kesuciannya direnggut paksa darinya. Malangnya oleh suami yang tak pernah menganggapnya ada. Oleh suami yang sedikit pun tidak pernah mencintainya.
Renata hanya bisa menangis, duduk memeluk lutut di atas tempat tidur itu. Mirza yang sudah berhasil membuatnya hancur sama sekali tak peduli. Pria itu sudah terlelap ke alam mimpi usai melampiaskan hasratnya pada Renata.
Renata tidak tahu harus berbuat apa. Mirza sudah berkali-kali berkata padanya, jika waktunya sudah tiba, pria itu akan menceraikannya. Lalu bagaimana jika sesuatu terjadi padanya setelah kejadian malam ini?
To be continued...
Renata Amalia
Hai Hai Hai ... 🖐🏻 Ini adalah karyaku yang kesekian kalinya. Semoga kalian betah ya di sini 😊.
Btw, aku belum punya visual yang cocok. Untuk sementara ini dulu ya visualnya 😊. Authornya lagi suka artis Turki. Tinggal nyari visual cowoknya susah banget nemu yang cocok. Oh ya, bagi yang udah mampir aku ucapkan banyak terima kasih. Semoga dilancarkan rejekinya, sehat walafiat buat kalian di manapun berada. Dan jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya 😊😊.
PMI 2. Resmi Bercerai
Setelah kejadian itu sampai hari ini, saat nasib rumah tangganya berada di ujung tanduk pun, Renata masih bungkam. Sekali pun ia tak pernah mengungkap soal kehamilannya. Bahkan ketika Jaya, ayah mertua yang menyayanginya pergi berpulang, Renata masih memilih diam. Ia sudah bertekad rahasia itu akan ia simpan sendiri selama hayat masih dikandung badan.
Renata duduk dengan tenang di hadapan hakim yang sudah mengetuk palu sebanyak tiga kali. Nasib pernikahannya sudah diputuskan. Hari ini ia sudah resmi bercerai dengan Mirza Mahendra, pria berusia 25 tahun yang dinikahinya karena perjodohan.
Renata tidak akan pernah menyesali keputusannya merahasiakan kehamilannya ini. Sebab diberitahu pun tidak akan ada gunanya. Mirza tidak pernah menginginkan anak dalam kandungannya ini. Jadi ia memutuskan akan merawat anak itu seorang diri, jauh dari bayang-bayang masa lalunya.
“Kita sudah resmi bercerai. Sekarang sebaiknya kamu juga harus memikirkan untuk meninggalkan rumahku. Berikan nomor rekeningmu sebelum kamu pergi dari rumah. Anggap saja itu sebagai kompensasi.” Mirza berkata, menghampiri Renata saat wanita itu hendak meninggalkan gedung pengadilan.
“Makasih, tapi tidak perlu. Aku tidak butuh uangmu. Aku juga masih bisa menafkahi diriku sendiri.” Renata jelas menolak. Kata-kata Mirza sangat menyinggung harga dirinya, juga memantik amarah dalam jiwanya. Tapi ia tidak menunjukkannya di depan pria itu. Ia berusaha menampilkan bila ia tidak terluka sedikitpun dengan perceraian ini. Walaupun yang terjadi adalah sebaliknya.
“Jangan sombong kamu. Terima saja. Kamu pasti akan membutuhkan itu. Sudah jadi janda saja masih belagu kamu.” Seseorang datang dan berdiri di sebelah kiri Mirza. Seorang wanita cantik, berambut cokelat keemasan sebahu, dan berpenampilan modis itu adalah Vanessa, kekasih Mirza. Vanessa adalah seorang model yang baru-baru ini mencoba peruntungannya di dunia akting.
Rupanya Mirza sudah kembali bersama dengan Vanessa. Setelah belum lama ini hubungan mereka berakhir karena Mirza yang tak kunjung menceraikan Renata. Mungkin saja Mirza sering menjanjikan sesuatu pada perempuan itu sehingga hubungan mereka kembali terjalin.
“Kamu mau menikah dengan Mirza karena kamu tahu dia anak orang berada kan? Ngakunya tidak cinta, tapi mau juga dinikahi. Tujuan kamu pasti hartanya bukan? Sudah, mendingan kamu terima saja sumbangan dari pacarku ini. Jangan belagu, deh. Tidak usah sok alim. Perempuan seperti kamu ini pasti matanya langsung ijo begitu melihat duit,” cibir Vanessa melemparkan tatapan remeh kepada Renata.
Renata justru membalas tatapan meremehkan Vanessa dengan senyuman. Ia tidak menampakkan bila ia tersinggung dengan ucapan perempuan itu. Ia menghela napas sejenak sebelum kemudian berkata,
“Aku ini memang orang susah, orang tak punya, tapi aku masih punya harga diri. Jiwa ragaku masih sehat, aku masih bisa menafkahi diriku dengan jerih payahku sendiri. Bukan dengan memanfaatkan orang lain.” Usai berkata demikian, Renata kemudian berlalu meninggalkan tempat itu. Menyisakan Mirza dan Vanessa yang terlihat dongkol dengan ucapannya.
Vanessa hanya seorang model majalah dewasa. Mendiang Jaya dan Venny istrinya sangat menentang hubungan wanita itu dengan Mirza, putra mereka satu-satunya. Vanessa yang terbilang baru di industri hiburan itu dituding Jaya hanya memanfaatkan nama keluarganya untuk meraih popularitas di industri hiburan ini. Karena Mirza adalah putra seorang produser ternama.
Vanessa yang tidak memiliki bakat akting sama sekali itu sangat berambisi ingin menjadi seorang aktris terkenal. Beberapa kali manajer Vanessa pernah menawarkan agar model asuhannya itu bisa bermain di film yang sedang digarap MV Picture. Tetapi Jaya menolak keras. Sehingga jalan satu-satunya yang dipilih Vanessa adalah mendekati putra seorang produser.
Ditentang kedua orangtua Mirza tidak membuat Vanessa menyerah. Bahkan ketika tahu Mirza sudah dijodohkan lalu menikah dengan wanita lain, tidak membuat Vanessa kehilangan akal. Wanita itu terus mendesak Mirza untuk segera menceraikan Renata, jika tidak, maka hubungan mereka akan berakhir.
Dan hari ini, apa yang diinginkan Vanessa bisa ia dapatkan kembali. Mirza sudah menceraikan Renata, dan Jaya yang menjadi penghalang terbesar hubungannya dengan Mirza sudah tiada. Wanita itu hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya merebut hati Venny, ibu kandung Mirza.
****
Usai menyimpan beberapa pakaiannya ke dalam koper, Renata kemudian menuruni anak tangga. Pelan-pelan ia menggeret koper menuju dapur, dimana Bi Sum sedang memasak makan malam untuk majikannya. Bi Sum yang hendak mengambil mangkuk di laci bagian atas lemari, terkejut melihat Renata sedang berdiri sambil memegangi koper.
“Loh, Non Rena mau ke mana bawa-bawa koper?” Bi Sum bergegas menghampiri Renata usai mematikan api kompor.
Renata mengulum senyuman tipis. “Aku mau pamit, Bi,” ucapnya parau.
Bi Sum tersentak kaget. “Mau pamit? Emangnya Non Rena mau ke mana? Nyonya Venny udah tau, Non Rena mau pergi?”
Renata menggeleng. “Tolong jangan kasih tahu Mama Venny, ya, Bi? Bi Sum jaga diri baik-baik, ya?”
“Non Rena udah makan? Kebetulan Bibi masak banyak. Sebentar lagi Nyonya pulang. Kenapa tidak sekalian nunggu Nyonya pulang dulu.”
Renata kembali menggeleng. “Tidak usah, Bi. Aku sudah tidak punya hak lagi tinggal di rumah ini.”
“Maksud, Non?” Bi Sum mengerutkan dahi tak mengerti. Ia tahu Mirza sering tidak memperlakukan Renata dengan baik. Mungkin Renata sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan suaminya itu sehingga nyonya mudanya ini memilih pergi dari rumah.
“Aku sudah bukan istri Mirza lagi, Bi.”
Bi Sum terperangah kaget. “Maksud Non ... Non dan Den Mirza sudah_”
“Iya, Bi. Aku dan Mirza sudah resmi bercerai. Tolong jangan kasih tahu ini ke Mama Venny, ya? Aku tidak mau Mama kenapa-napa. Tolong, ya, Bi?” Renata meraih tangan Bi Sum ke dalam genggamannya. Ia benar-benar memohon agar wanita paruh baya itu tidak memberitahu mantan ibu mertuanya tentang perceraiannya dengan Mirza. Sebab Mirza maupun dirinya tidak pernah membahas hal ini terang-terangan. Jika Venny mengetahui ini, sudah pasti Venny tidak akan setuju jika ia dan Mirza bercerai.
“Tapi, Non__”
“Sudah, Bi. Aku pamit dulu ya?” sela Renata, kemudian menggeret koper meninggalkan rumah itu dengan sebuah beban perasaan sendiri. Karena meninggalkan ibu mertua yang sudah baik kepadanya dan sudah menganggapnya seperti anak sendiri, namun tidak tahu menahu jika menantunya ini sedang tidak baik-baik saja.
Bi Sum hanya bisa memandangi kepergian Renata dengan wajah muram dan perasaan sedih karena tidak berbuat apa-apa untuk sekedar membantu. Bahkan satpam yang berjaga di pintu gerbang rumah besar itu pun tidak bisa mencegah kepergian Renata saat mobil Mirza memasuki pekarangan rumah.
Mirza turun dari mobil itu tanpa sekali pun menoleh pada Renata yang berdiri di depan pintu gerbang. Pria itu bahkan memerintahkan Pak Mus, satpam yang berjaga untuk lekas menutup kembali gerbang tanpa mempedulikan Renata yang masih berdiri menunggu taksi yang sudah dipesannya melalui aplikasi beberapa menit lalu.
Pak Mus mulai mendorong pagar besi setinggi tiga meter itu sesuai perintah majikannya. Tak peduli ada Renata yang masih berdiri di depan pagar itu, Pak Mus harus segera menutup pintu pagar itu.
“Maafin saya, ya, Non. Saya cuma melaksanakan perintah,” ujar Pak Mustafa sebelum akhirnya menutup pintu pagar itu.
“Tidak apa-apa, Pak Mus.” Renata hanya bisa melempar senyum getirnya memandangi pintu pagar yang mulai menutup itu. Mungkin memang ini adalah yang terbaik baginya. Bertahan dalam pernikahan tanpa cinta hanya akan membuat hidupnya tersiksa. Ia lapangkan hatinya menerima takdir hidupnya ini.
Renata tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Sekarang ia harus memikirkan masa depannya sendiri. Apalagi sekarang ada satu nyawa yang bersemayam dalam dirinya, yang menjadi tanggung jawabnya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan anugerah yang sudah dititipkan Tuhan kepadanya ini. Walaupun ayah kandungnya tidak menginginkannya, ia akan tetap merawat dan membesarkan anak ini dengan baik.
“Sekarang hanya kamu yang Ibu miliki di dunia ini. Kelak jadilah anak yang kuat, ya, Nak. Meskipun kamu tumbuh tanpa seorang ayah nanti,” ucap Renata pelan sembari mengusap perutnya.
To be continued...
PMI 3. Kemarahan Ibu Mertua
Sore hari menjelang malam, Venny baru kembali dari luar kota sehabis meninjau keadaan salah satu cabang klinik kecantikannya. Sore itu ia langsung pergi ke kamar Renata, mencari menantunya itu.
Beberapa hari lalu sebelum Venny ke luar kota, ia sudah berjanji pada Renata akan membawa menantunya itu melakukan perawatan di klinik kecantikannya. Agar penampilan menantunya itu berubah. Ia ingin melakukan itu agar putranya bisa jatuh hati pada Renata.
Namun, begitu ia tiba di rumah, keadaan rumah justru sepi. Venny tidak menemukan Renata di kamarnya. Bahkan Renata tidak ada di setiap bagian rumah itu.
“Bi Sum, Renata ke mana?” Karena tidak menemukan Renata, Venny kemudian bertanya pada Bi Sum yang tengah menata meja makan untuk makan malam tuan rumah.
Bi Sum tersentak. Sempat salah tingkah, namun kemudian mulai menguasai diri ketika ia teringat pesan Renata beberapa saat lalu padanya.
“Saya tidak tau, Nyonya. Tadi siang ada ijin keluar. Katanya cuma mau ke minimarket sebentar,” jawab Bi Sum.
“Cuma ke minimarket tapi kenapa belum pulang juga?”
“Saya juga tidak tau, Nyonya.”
“Ya sudah. Mirza di mana?”
“Di halaman belakang, Nya. Lagi olahraga.”
Venny bergegas ke halaman belakang. Langkahnya tergesa-gesa menghampiri putranya yang sedang berlari di atas treadmill.
“Za, Renata ke mana? Kok jam segini belum pulang?” tanya Venny.
“Tidak tau, Ma.” Mirza berlagak tak acuh sembari memelankan laju treadmill.
“Kamu telepon dong. Minta dia cepat pulang. Dari tadi Mama teleponin tapi tidak tersambung.”
“Biarkan saja, Ma. Nanti juga dia pulang sendiri.” Mirza mengakhiri kegiatannya. Ia turun dari treadmill sambil mengelap keringat di pelipis dan lehernya. Kemudian mengambil air minum yang tersedia di atas meja yang tak jauh dari tempat Venny berdiri.
“Kamu itu, ya. Istri malah dibiarkan keluar rumah sendiri. Harusnya kamu temani dia. Mama takutnya dia kesasar. Kamu itu seharusnya lebih perhatian sama istrimu. Jangan dicuekin, dong.”
“Lagian, Ma. Perempuan itu sudah dewasa. Mana mungkin dia kesasar. Mama ada-ada saja, deh.”
“Dia istri kamu, Za. Mama tidak suka, ya, melihat kamu bersikap seperti ini sama mantu Mama.”
“Istri? Mama lupa kami menikah karena apa?”
“Tapi, walaupun begitu, Rena sekarang sudah jadi istri kamu, Za. Kamu harus lebih perhatian lagi sama dia. Peduli sama dia. Jangan kamu kira Mama tidak tahu apa-apa tentang hubungan kamu dengan perempuan jalang itu. Dengar, ya, Za. Kalau sampai kamu menyakiti Rena gara-gara perempuan itu, maka Mama tidak ak__”
“Stop ngancam-ngancam aku, Ma. Mama dan Papa yang selalu memaksaku menikahi perempuan itu walaupun Mama da Papa tau aku tidak mencintainya. Jangan paksa aku untuk ngasih dia perhatian. Jangan paksa aku untuk peduli sama dia. Kalau Mama peduli sama dia, ya, Mama saja yang pergi cari dia.” Mirza tersulut emosi. Sejak awal hubungannya dengan Vanessa memang ditentang keras oleh kedua orangtuanya. Sehingga ia memilih berhubungan diam-diam dengan perempuan itu. Bahkan sampai ia menikah. Ia bermain di belakang istrinya.
“Keterlaluan kamu, ya, Za. Mama tidak menyangka perempuan itu sudah mengubah kamu jadi seperti ini. Sekarang juga Mama minta kamu pergi, cari di mana istri kamu.” Venny naik pitam. Emosinya memuncak, naik sampai ke ubun-ubun.
Bi Sum yang tanpa sengaja mendengar perdebatan dua majikannya itu pun bergegas menghampiri lantaran mengkhawatirkan tekanan darah tinggi Venny. Bi Sum merasa cemas dengan nyonya rumah itu, apalagi saat melihat Venny sedang mengusap-usap tengkuknya.
“Mama saja yang cari. Aku tidak peduli. Lagian, dia tidak akan mungkin kembali lagi ke rumah ini.” Mirza memilih meninggalkan Venny yang sedang dikuasai amarah.
Venny menyusul langkah Mirza. Kemudian mencekal lengan putranya itu untuk menghentikannya.
“Apa maksud kamu bilang seperti itu? Kamu pikir Mama tidak tau kamu selalu memperlakukan Renata dengan buruk?” cecar Venny dengan mata nyalang. Bagaimana ia tidak naik pitam, Renata adalah amanah yang dititipkan suaminya. Yang harus ia jaga dan perlakukan dengan baik. Bagi mereka, Renata sudah seperti anak sendiri.
“Mulai sekarang, tolong berhentilah membahas perempuan itu. Sedikit pun aku tidak pernah mencintainya. Dan Mama tau itu. Tapi Mama menutup mata. Mama lebih peduli dan lebih sayang sama perempuan itu daripada aku, anak Mama sendiri. Jadi jangan pernah menyalahkan aku kalau aku berbuat seperti itu padanya.
“Dan tolong, berhenti mencari perempuan itu. Aku sudah menceraikan dia. Dan aku juga sudah mengusir dia dari rumah ini!” beber Mirza berterus terang. Yang membuat Venny syok seketika.
“Ka-kamu keterlaluan, Za. Kamu ... aduh, kepalaku ...” Venny memegangi kepalanya yang mendadak berdenyut nyeri. Ditambah lagi tiba-tiba saja kepalanya pusing sekali.
“Ma ... Mama ...” Mirza mengerutkan dahi melihat reaksi Venny. Ia sebetulnya juga cemas dengan penyakit ibunya itu. Tapi ia juga terlanjur jengkel jika ibunya membahas tentang Renata. Wanita yang tidak dicintainya sama sekali namun nekat menerima pinangan orangtuanya.
“Pergi. Pergi kamu dari hadapan Mama!” Dengan murkanya Renata mengusir Mirza. Saat ini ia merasa tak bisa lagi menguasai dirinya. Kepalanya terasa pening berputar-putar.
Bi Sum yang sedari tadi mengawasi majikannya itu pun dengan cepat datang menghampiri. Lalu membantu sang majikan mengantarkannya sampai ke kamar.
Sementara Mirza, setengah berlari menaiki tangga menuju kamar pribadinya. Tangannya menyambar handuk dari gantungan. Saat hendak ke kamar mandi, langkahnya terhenti sejenak. Pandangannya tertumbuk pada sepotong selimut tebal yang terlipat rapi di atas tempat tidur, tersusun dengan sebuah bantal. Selimut dan bantal itu yang selama ini digunakan Renata sebagai alas tidurnya di atas lantai kamar itu.
Sekelebat bayangan Renata tiba-tiba saja melintas di ingatan Mirza. Saat pertama kali mereka tidur dalam satu kamar tapi di tempat tidur yang berbeda. Saat itu Renata tidak menolak atau protes ketika ia menyuruh wanita itu tidur di lantai dengan beralaskan selimut. Kemudian sekelebat bayangan lain pun tiba-tiba mengganggunya. Disertai suara rintihan kesakitan Renata ketika suatu malam ia menodai wanita itu. Samar juga masih terngiang suara tangis Renata.
Tiba-tiba saja ada rasa yang mengganjal di dada Mirza saat teringat kejadian malam itu. Ia mulai memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada Renata. Bagaimana jika suatu hari nanti setelah kejadian itu Renata ha__
Tidak!
Semoga tidak akan terjadi!
Mirza menggeleng, mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai mengganggunya. Tak ingin beranggapan yang aneh-aneh lagi, ia pun bergegas mengayunkan langkahnya memasuki kamar mandi.
****
Tidak ada tempat lain yang bisa dituju. Hanya panti asuhan tempat dimana ia dibesarkan dahulu yang menjadi tempatnya pulang saat ini. Renata tengah berbaring di pangkuan Bu Narti, kepala panti yang sudah merawatnya sejak kecil. Wanita itu sudah seperti orangtua bagi Renata.
“Kamu yang sabar ya, Nak. Ikhlaskan saja semua yang sudah terjadi. Kalau kamu ikhlas, mudah-mudahan hatimu akan semakin tenang,” ujar Bu Narti sembari mengusap lembut kepala Renata yang berada di pangkuannya. Ia cukup terkejut mengetahui Renata diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi, Renata malah meminta untuk merahasiakan kehamilannya ini.
“Bu, aku ingin pergi jauh dari kota ini. Aku tidak mau mereka tahu tentang anakku. Aku takut, gimana kalau suatu hari nanti mereka akan merebut anak ini dariku.” Satu tangan Renata mengusap perutnya. Kemungkinan itu tiba-tiba saja mengganggu pikirannya.
Mirza mungkin memang tidak akan menginginkan anak dalam kandungannya ini. Namun bagaimana jika suatu hari nanti pria itu berubah pikiran?
“Lalu kamu mau pergi ke mana, Nak? Kamu tidak punya sanak saudara. Ibu cuma takut terjadi apa-apa sama kamu nanti.”
“Ke mana saja, Bu. Asalkan aku bisa menjauh dari kota ini.”
“Terus gimana nanti caramu menghidupi dirimu sendiri, Ren? Kamu mau kerja apa dalam keadaan hamil seperti ini? Lama kelamaan perut kamu itu akan membesar. Kamu nanti akan kesulitan.”
“Tapi tekadku sudah bulat, Bu. Ibu bantu doa saja, semoga aku baik-baik saja.”
“Ren, mungkin Ibu bisa bantu kamu. Ibu punya seorang teman di kota lain. Mungkin kamu bisa tinggal di tempatnya untuk sementara waktu.”
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!