NovelToon NovelToon

Bukan Gadis Biasa

Bab Satu

"Mbak, Mbak Leon, tungguin dong."

"Kamu, tuh, Nik. Panggil aku Leona. Udah berapa kali aku bilang?" Leona memberengut setiap kali ada orang memanggilnya Leon. Dia merasa seperti singa betina, padahal sebenarnya iya. Leona ini meski baik dia cukup galak.

Oh, ya! Perkenalkan dulu, Gadis yang baru saja dipanggil Leon ini bernama lengkap Leona Subroto. Usianya menginjak 23 tahun. Dia sudah tiga tahun tinggal di kampung kumuh dekat dengan tempat pembuangan akhir sampah. Leona ini dijuluki bu guru baik hati, karena setiap sore dia akan mengajar beberapa anak pemulung yang memang tidak bisa bersekolah. Bahkan ada sebagian anak jalanan yang tidak memiliki orang tua juga ikut menuntut ilmu di rumah kontrakan tempat Leona tinggal.

"Ya elah, Mbak. Gitu aja marah. Ojo nesu nesu terus cepet tua, hooh tenan," kata Niken sambil cengengesan.

"Gue getok jadi panci lu."

"Ketok magic kali, ah."

Niken tertawa begitu juga dengan Leona. Keduanya berjalan beriringan membawa kantong kresek berisi buku. Hari ini rencananya Leona akan membagikan buku-buku lagi pada anak didiknya di tempat tinggalnya.

Niken adalah anak tetangga Leona, usianya 18 tahun. Setelah lulus sekolah, dia tertarik untuk membantu Leona mengajar anak-anak di kampungnya. Dia merasa sangat terinspirasi dengan kebaikan Leona. Sayangnya sampai sekarang Leona belum mau terbuka pada Niken meskipun hubungan mereka sangat dekat.

Keduanya baru tiba di depan kontrakan Leona. Leona tersenyum melihat beberapa anak yang menunggu kedatangannya dengan antusias.

"Hai, kalian udah pada datang," sapa Leona.

"Sudah, dong, Kak. Kan katanya kakak mau bagi-bagi buku," jawab Andi salah satu murid didik Leona. Leona meletakkan barang bawaannya dan lalu mengusap kepala Andi.

"Ya sudah, ayo segera masuk, tapi nanti nunggu teman-teman kalian datang semua, ya, baru kakak bagikan bukunya."

"Ya, Kak."

Leona masuk ke rumah kontrakannya yang berukuran 8x12 meter persegi. Dia mengubah ruang tamunya menjadi seperti ruang kelas belajar. Sejauh ini Leona mengajar setidaknya 14 anak. Baik itu anak pemulung maupun anak-anak jalanan.

Saat beberapa anak-anak lainnya datang, mereka semua langsung memasuki ruang belajar dan duduk di kursi masing-masing dengan tenang.

Untungnya 14 anak itu memiliki rentang usia yang hangat terpaut satu atau dua tahun. Ada beberapa juga yang sudah menginjak usia remaja, tetapi anak-anak remaja itu memilih mendengarkan dari luar, mereka malu berkumpul dengan anak-anak kecil.

"Bu Guru, kapan bukunya dibagi?" Putri seorang gadis berusia delapan tahun bertanya. Anak-anak itu memanggil Leona dengan panggilan Bu Guru jika hanya berada di ruang pembelajaran. Leona tidak mau dipanggil ibu di luar, dia merasa tidak setua itu untuk menyandang gelar ibu, apalagi dirinya masih ting-ting.

"Sabar dulu, ya. Kalian setor hapalan perkalian atau pembagian dulu ke mbak Niken. Nanti kalau sudah, kalian akan mendapat buku satu per satu, ya."

"Ya, Bu Guru."

Satu per satu murid didik Leona maju. Mereka cukup fasih menyebutkan hapalan perkalian. Bahkan sesekali Leona melempar pertanyaan dan anak-anak berebut untuk menjawab.

Leona hanya memberi pengajaran selama dua jam, tapi beberapa orang tua dari anak-anak itu mendatanginya sembari mengucapkan terima kasih kepadanya. Bahkan ada yang membawakannya singkong, ubi sebagai bentuk rasa terima kasih.

Waktu belajar selama dua jam pun usai, anak-anak berhamburan keluar sembari bersalaman pada Leona. "Terima kasih, bu Guru. Semoga ibu guru selalu sehat dan bahagia."

Leona tersenyum hangat. Setelah murid muridnya pulang, Leona menghela napas panjang. Sebenarnya hari ini dia sangat lelah, tapi Leona tidak tega untuk menunda belajar anak-anak itu.

"Mbak, semuanya udah aku beresin. Aku pulang dulu, ya," Niken yang baru saja menata ruang belajar keluar sembari membawa tasnya.

"Ya, sudah. Terima kasih, ya, Nik."

"Sama-sama, Mbak."

Niken pergi, Leona langsung masuk ke kamarnya. Dia ingin segera mandi dan rebahan. Saat Leona menyambar handuk di gantungan, ponselnya berdering. Ada nama kontak Mama memanggil. Leona pun segera mengangkatnya.

"Halo, Ma."

Leona sesekali tertawa ketika berbicara dengan ibunya. Seperempat jam mereka berbicara dan tertawa, lalu tak lama Leona mengakhiri panggilan dari ibunya. Leona masuk ke kamar mandi dengan senyum mengembang.

Pagi harinya Leona sudah rapi dia berjalan melewati gang biasanya dimana ada sebagian ibu-ibu yang sedang berbelanja.

"Eh, neng Guru mau berangkat kerja, ya?" sapa salah seorang ibu ramah.

"Iya, Bu. Permisi numpang lewat ya, Bu."

"Halah, lagaknya sok ramah, tapi sebenarnya sombong minta ampun," celetuk salah satu ibu yang memakai daster orange.

"Bu Basuki ada masalah apa sama neng Leona? Oh, ini pasti karena anaknya ditolak sama neng Leona, ya? Makanya, Bu! Kalau punya anak mbok ya disuruh ngaca dulu. Kalau saya jadi neng Guru juga kalau ditembak anaknya Bu Basuki pasti bakalan saya tolak. Udah pengangguran, banyak gaya lagi," ucap Bu Komaria, orang yang pertama menyapa Leona.

"Udah, Neng ga usah dengerin Bu Basuki. Neng Guru berangkat aja."

Leona tersenyum canggung dan pamit kepada ibu-ibu lainnya. Dia pun segera meninggalkan gang dengan langkah lebar. Sudah jadi makanan sehari-hari Leona harus menghadapi mulut-mulut tetangga. Apalagi yang setipe dengan Bu Basuki.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Leona melihat lampu lalu lintas berwarna kuning, karena terburu-buru Leona menyeberang tanpa memperhatikan jalan.

CKIIT!

BRAAK!

Orang-orang yang semula terlihat sibuk, kini menatap ke arah di mana Leona berdiri tadi, di sampingnya ada setidaknya tiga mobil yang bertabrakan karena pengemudi depan mengerem mobilnya secara mendadak, al hasil dua mobil di belakangnya menyeruduk.

Supir mobil yang berada di dalam mobil tengah, menoleh ke kursi penumpang dengan raut wajah pucat.

"Tu-tuan, maafkan kecerobohan saya."

"Cepat keluar dan kamu urus orang-orang itu. Pastikan kamu tuntut mereka dengan ganti rugi." Suara bariton pria itu membuat sang supir mengangguk dengan ketakutan.

Leona berada di tengah jalan dan menimbulkan kemacetan. Orang-orang yang tadinya hanya melihat sebagian melenggang begitu saja karena takut berurusan dengan para pemilik mobil.

Pemilik mobil depan segera turun dan memaki Leona. Leona berdiri dibantu oleh seorang wanita paruh baya yang kebetulan berdiri di seberang. Kaki Leona gemetaran karena kaget.

"Maaf, Pak. Saya akan ganti rugi kerusakan mobil bapak," kata Leona sambil membungkuk di depan bapak itu.

Lalu supir mobil kedua dan ketiga juga mendekat. Leona juga melakukan hal yang sama yaitu meminta maaf dan berjanji akan mengganti rugi, tapi yang membuat Leona mengernyit heran, tak hanya padanya saja salah satu pengemudi meminta ganti rugi, tetapi dia juga meminta pada pengemudi pertama dan pengemudi ketiga.

"Eh, Pak, kenapa bapak meminta ganti rugi sama bapak-bapak yang lain? Kan saya sudah bilang bakalan tanggung jawab."

"Karena mereka sudah membuat mobil mahal saya penyok." Suara bariton itu membuat Leona seketika menoleh.

...----------------...

Bab Dua

"Pak Muh, cepat minta SIM, atau KTP mereka. Kita harus kejar waktu ke bandara," sambung pria yang tadi menyahuti pertanyaan Leona.

"Ga bisa gitu, dong, Mas. Kecelakaan ini kan disebabkan mbaknya ini nyebrang ga lihat jalan. Kenapa saya harus ganti rugi?"

"Iya, kenapa saya juga. Ini salah mbaknya itu!" tunjuk pengemudi ketiga.

"Tuan Abi, nona ini ...."

"Pak Muh itu supir saya apa supir dia?" pria yang bernama Abizar ini terlihat sudah mulai tak sabar.

"Mas, maaf. Ini saya yang salah, jadi saya ambil tanggung jawab penuh atas ganti rugi kerusakan mobilnya mas. Kedua pengendara lain tidak usah dilibatkan," ucap Leona dengan setengah menahan kemarahannya. Pria di depannya ini menurut Leona sangat sombong. Dia bahkan membentak supirnya sendiri di depan orang.

Abizar menatap penampilan Leona yang sangat sederhana namun cantik. Dia memandangi gadis itu dari atas sampai bawah. Celana kulot panjang berwarna hitam dipadukan dengan kemeja berwarna merah muda rambutnya yang curly di ikat seperti ekor kuda. Abizar tersenyum remeh.

"Kalau begitu ikut saya. Kamu harus selesaikan masalah ini sekarang."

Abizar menarik tangan Leona dan memerintahkan pak Muh untuk masuk juga ke dalam mobil.

"Eh, tunggu, Mas jangan asal bawa saja. Mbaknya belum ganti rugi."

"Pak Muh, kamu urus mereka dan mobil ini. Saya ke bandara sendiri saja."

Abizar mengambil tasnya di mobil dengan salah satu tangan masih menggenggam pergelangan tangan Leona. Leona bahkan tidak melakukan perlawanan apa-apa. Dia hanya pasrah menerima akibat dari kecerobohannya. Tak lama Abizar membawa Leona masuk ke sebuah taksol.

"Nama kamu?"

"Leona."

"Bagaimana kamu akan ganti rugi?" tanya Abizar.

"Hah?" Leona memutar tubuhnya menghadap Abizar dengan raut wajah berkerut bingung.

"Kamu tahu harga mobil saya?"

"Iya tahu, lalu kenapa?"

"Saya lihat dari penampilan kamu ini, kamu itu kere, mana mampu kamu ganti rugi tiga mobil sekaligus." Abizar langsung mengungkapkan pandangannya tanpa filter.

"Memang kenapa kalau aku kere? Aku ngerugiin kamu? Aku makan minta kamu? Kenapa dengan kere? Apa karena anda naik mobil mewah lantas bisa dengan gampangnya mengklasifikasikan orang seenaknya?" Wajah Leona langsung memerah karena amarahnya memuncak. Dia mengibaskan rambutnya hingga menampar wajah Abizar.

"Berhenti, Pak. Aku mau turun di sini," ujar Leona.

"Terus jalan! Saya yang bayar kamu. Jadi kamu hanya boleh mendengar perintah saya."

"Anda .... " Leona melotot pada Abizar, tapi bukannya takut pada Leona, Abizar justru merasa Leona ini menggemaskan. Leona melipat kedua tangannya di dada. Dia membuang muka dan memilih menatap ke jalan yang mereka lalui.

Tiba di bandara, Abizar sama sekali tidak berniat ingin melepaskan Leona. Leona terus memberontak, akan tetapi dia kalah tenaga.

"Lepasin atau aku teriak."

"Silahkan berteriak. Saya akan mengatakan pada orang-orang jika saya sedang mendisiplinkan istri saya."

"Kamu sebenarnya mau bawa aku kemana? Aku harus kerja. Tolong lepaskan. Aku pasti ganti rugi biaya servis mobil kamu."

Abizar mengacuhkan ucapan Leona. Menurut pria berusia 28 tahun itu, Leona tidak akan sanggup ganti rugi. Mobilnya seharga tiga milyar, setidaknya butuh ratusan juta untuk memperbaiki mobilnya hingga terlihat seperti semula.

"Tuan."

"Haikal, kamu sudah urus semuanya?"

"Sudah, Tuan." Haikal melirik tangan atasannya yang sejak tadi menarik seorang gadis. Bukankah atasannya ini sangat anti dengan perempuan? Tapi apa ini?

"Apa yang kamu lihat?" tanya Abizar, suara baritonnya yang magnetis membuat Leona lupa untuk berpaling dari pria itu.

"Nona ini-" Haikal memberanikan diri bertanya pada bosnya yang super galak.

"Dia? Bukan siapa-siapa. Kamu tidak perlu menganggap keberadaannya. Saya akan membawa gadis ini." Abizar menarik pergelangan tangan Leona dengan sekali hentakan hingga Leona berdiri tepat di samping Abizar.

"Mana KTP-mu?" Abizar menengadahkan tangannya pada Leona.

"Buat apa?" tanya Leona.

"Berikan saja KTP-nya," kata Abizar tak ingin ada penolakan. Dengan kesal Leona mengambil KTP-nya.

Abizar melihat KTP itu sekilas, wajahnya terlihat terkejut. Namun, sedetik kemudian dia kembali berekspresi datar. Abizar memberikan KTP Leona pada Haikal untuk diurus agar Leona bisa ikut terbang bersamanya.

"Mas, aku benar-benar akan ganti rugi, tolong lepasin saya," ucap Leona memohon. Abizar hanya menatapnya dengan datar.

Padahal aku tidak ada niatan untuk melepasmu. Biarkan saja kamu jadi mainanku untuk sekarang.

Haikal baru saja selesai mengurus semua prosedur untuk Leona agar bisa ikut terbang bosnya. Beruntung tidak ada kendala. Dengan uang segalanya bisa lancar terkendali.

Ponsel di dalam tas Leona terus bergetar. Leona tahu betul siapa yang menghubunginya berkali-kali.

"Ponselmu."

"Biarkan saja." Leona bersikap tak acuh pada Abizar. Dia kesal karena Abizar bertindak sesuka hatinya. Leona menyesal tidak melihat kalender sebelum keluar tadi.

Haikal memimpin jalan. Sedangkan Leona dengan enggan mengikuti langkah kaki Abizar. Hanya gara-gara masalah sepele dia harus berurusan dengan pria rumit ini. Mimpi apa dia semalam?

Berada di jet pribadi tidak membuat Leona takjub. Sejak tadi gadis itu hanya diam sembari memegangi tasnya. Leona duduk di dekat jendela. Dia sudah pasrah. Leona mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Niken dan juga pada orang yang sejak tadi terus menghubunginya. Sebelum pesawat lepas landas Leona mematikan ponselnya.

Abizar melirik gadis itu. Ada sedikit kekaguman di matanya, melihat Leona begitu tenang. Leona memejamkan matanya. Dia memilih menyimpan tenaga dari pada mempedulikan Abizar. Bahkan ketika pesawat mengalami turbulensi, Gadis itu masih tertidur nyenyak. Abizar yang sudah pindah tempat duduk di samping Leona tidak henti-hentinya memandangi wajah cantik gadis itu.

Haikal yang turut serta dalam perjalanan itu benar-benar merasa keheranan dengan sikap atasannya. Ini sungguh hal luar biasa yang harus dia perhatikan jika sewaktu-waktu tuan besar dan nyonya menanyakan masalah ini.

Perjalanan berlangsung kurang lebih dua jam. Leona menggeliat dan membuka mata. Dia terkejut dan baru menyadari jika dirinya sekarang berada di pesawat, terlebih Abizar duduk di sampingnya sambil menatap wajahnya.

Meski sedikit canggung dan malu, tapi Leona tetap mempertahankan Ekspresi datarnya.

"Usap dulu air liur di pipimu," kata Abizar dengan santai. Leona membelalak dan langsung mengusap pipinya. Namun, reaksi mengejutkan Abizar membuat Leona lagi-lagi terpesona. Pria kharismatik itu tertawa hingga menunjukkan deretan giginya yang putih.

"Aku hanya bercanda," ucapnya tanpa rasa bersalah. Leona melirik pria itu kesal.

Turun dari pesawat, Leona dan Abizar serta Haikal sudah disambut dengan sebuah mewah. Leona sama sekali tidak takjub, tapi hal itu mengusik ego Abizar.

Abizar membukakan pintu untuk Leona. Haikal diam-diam mengambil gambar keduanya yang tampak mesra dari sudut pandangnya.

"Kita akan kemana?" tanya Leona.

"Ke rumahku."

"Hah! Untuk apa?"

"Kau akan tahu nanti."

...----------------...

Bab Tiga

Mobil mewah milik Abizar membelah jalan, dibutuhkan waktu setidaknya 30 menit untuk berkendara dari bandara hingga tiba ke rumah keluarga besar Abizar.

Setibanya di depan gerbang rumah Abizar, mobil mewah itu berhenti. Leona memandang sekilas pelataran rumah Abizar tanpa berniat untuk turun. Abizar sudah membukakan pintu untuk Leona. Akan tetapi, gadis itu memilih untuk tetap duduk diam.

"Ayo turun."

"Aku tidak mau. Kita selesaikan saja urusan kita sekarang. Kenapa harus membawaku ke rumahmu segala?" Leona menatap Abizar dengan tatapan penuh permusuhan.

"Turun saja dulu kalau kamu ingin masalah ganti rugi ini cepat selesai," ujar Abizar sambil menatap Leona dengan tatapan tajamnya. Alisnya yang tebal membuat Abizar tampak garang walau hanya memandang biasa saja.

Leona berdecak. Mau tak mau dia ikut keluar. Haikal menunggu kedua insan itu dengan sabar, meski dalam hatinya sekarang berdebar-debar. Masalah besar mungkin sedang menantinya. Dia harus menyiapkan jawaban untuk masalah ini. Sementara tuannya sama sekali tidak memberitahunya apa yang membuatnya harus berurusan dengan gadis ini.

Abizar lagi-lagi menarik tangan Leona, tapi bedanya kali ini tarikannya tidak sekasar tadi. Keduanya naik ke buggycar karena jarak rumahnya dari gerbang masih agak jauh. Haikal mengendarai buggycar itu menuju ke kediaman keluarga Widjaya.

Saat buggycar yang dikendarai Haikal berhenti, Abizar langsung menarik Leona.

"Ish, sakit tauuk!" Leona melihat pergelangan tangannya memerah. Abizar langsung melepas pegangannya. Dia menggenggam tangan Leona dan melihat bekas cengkeramannya. Leona mematung saat Abizar menunduk melihat pergelangan tangannya. Aroma musk dari parfum Abizar langsung menyerang indera penciuman Leona.

Leona menahan napas dan menggigit bibir bawahnya. Sejak dulu tidak ada teman prianya yang berani mendekati dirinya karena dia memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat posesif. Jantung Leona tiba-tiba berdebar tak karuan.

"ABI! Sedang apa kamu?"

Abizar langsung menoleh. Dia melihat ibunya berkacak pinggang dengan mata melotot. Di sebelahnya ada seorang gadis yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Abizar mendengus. Dia menarik tangan Leona. Kali ini tarikannya hanya seperti genggaman tangan orang yang sedang pacaran.

Leona memperhatikan dua wanita beda usia di depannya dengan ragu. Jangan bilang kalau dia harus berpura-pura jadi kekasih pria ini. Leona jadi ngeri sendiri membayangkan adegan dia dilempari cek agar meninggalkan Abizar, atau kalau tidak dia akan diusir dan dicaci. Pikiran Leona berkecamuk, sampai-sampai dia tidak sadar sudah tiba di depan kedua wanita itu.

"Abi, siapa dia? Bisa kamu jelaskan!"

"Kita bicara di dalam saja, Mah."

Wanita yang dipanggil mama oleh Abizar mendengus marah dan lalu dia membawa gadis muda di sampingnya. Sebelum pergi dia melirik Leona dengan tatapan penuh permusuhan.

Masuk ke dalam rumah mewah Abizar, lagi-lagi reaksi Leona tampak biasa saja. Dia sama sekali tidak takjub dengan isi rumah mewahnya Abizar.

"Wah, ada siapa ini?" Suara seorang pemuda kekanak-kanakan menyapa telinga Leona. Leona segera menoleh, melihat ke sumber suara. Rupanya ada seorang pemuda berseragam SMA masuk dengan gaya slengean.

Abizar membawa Leona duduk di sampingnya tanpa mempedulikan tatapan permusuhan dari ibunya. Gadis yang ada di samping ibu Abizar semakin menatap Abizar dengan sedih.

"Sekarang jelaskan siapa wanita ini pada mama, Abi!"

"Dia Leona, pacarku," kata Abi dengan enteng. Namun, tanpa diduga reaksi pemuda tadi, Leona dan juga mama Abizar sama. Ketiganya melotot karena terkejut.

"Kamu itu gimana, sih, Bi? Tiara dari tadi pagi nungguin kamu, loh, tapi kamu malah bawa gadis sembarangan ke rumah kita."

"Dia bukan gadis sembarangan, Mah," kata Abizar.

Jika saja Leona tidak berurusan dengan Abizar sebelumnya, mungkin dia akan luluh mendengar ucapan pria itu. Dia akan tersentuh dengan pembelaannya.

"Alah, kamu itu ...(bla bla bla.)"

Buset, khodam emaknya pasti klakson basuri ini. Ngomel kok ga habis-habis.

Leona menatap mama Abizar dengan pandangan ngeri. Jika ini ibunya, pasti dia tidak akan betah di rumah.

"Apa kamu lihat lihat saya begitu?" Leona tersentak kaget karena ikut dimarahi ibu Abizar.

"Ya elah, Tante, saya kan punya mata, jadi hak saya mau lihat ke mana. Kebetulan aja matanya ngelihatin tante."

Mama Abizar melotot tak percaya. Berani sekali gadis ini. Jangan-jangan putranya mumungut wanita ini di jalan.

"Kamu ...! " Mama Abizar kehilangan kesabaran dan menunjuk Leona.

Leona yang tidak terbiasa dimarahi langsung berdiri. "Tuan Abizar, ini benar-benar sudah diluar batas kesabaran saya."

Leona membuka tasnya dan mengambil kartu banknya. Namun, belum sempat Leona menyerahkannya, Abizar buru-buru mengangkat Leona seperti mengangkat karung beras.

"Abizar, turunin aku."

"Abizar, mau kamu bawa kemana gadis jalanan itu? ... Abi!" Mama Abizar memegang tengkuknya yang menegang, melihat kelakuan putra kebanggaannya bertingkah seperti itu di depan calon menantunya.

"Maaf, ya, Tiara. Tante susulin mereka dulu."

Tiara mengangguk dengan air mata berlinang. Pemuda yang tadi langsung berdecak kesal. Setelah memastikan mamanya pergi dia berkata, "Ya elah, cengeng amat jadi perempuan. Kaya gitu mau jadi istri mas Abi? Ga cocok."

"Kamu, kok gitu sama aku Shaka. Aku ada salah apa sama kamu?"

"Kamu itu ga punya salah, cuma orang lama-lama juga muak kali lihat orang nangis terus-terusan. Kamu pikir dengan muka dipolos-polosin begitu bakalan menarik simpati? Yang ada bosen tahu," kata Shaka. Pemuda itu pun juga pergi meninggalkan Tiara. Saat semua orang sudah meninggalkan ruang tamu, Tiara langsung mengusap air matanya. Tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih.

"Abizar, tunggu saja. Cepat atau lambat kamu akan jadi milikku."

Tiara pergi meninggalkan rumah mewah keluarga Widjaya. Haikal yang menunggu bosnya merasa heran melihat Tiara keluar dengan wajah penuh amarah.

Abizar membawa Leona ke kamarnya. Pria itu menutup pintu kamarnya dengan keras. Leona berteriak saat Abizar tiba-tiba melempar dirinya ke ranjang king size milik pria tersebut.

"Diam di sini dan jangan bersuara." Abizar melepas jasnya dan melemparnya sembarangan. Dia berdiri menatap Leona. Pancaran matanya terlihat jelas jika pria ini hanya ingin bermain-main dengan gadis itu.

"Apa kamu gila? Keluarkan aku sekarang. Aku tidak mau dibenci ibumu."

"Oh, jadi kamu ingin meninggalkan kesan yang baik di hadapannya?"

"Tidak!"

"Baguslah. Karena percuma saja. Sebaik apapun kamu, jika kamu miskin kamu sama sekali bukan apa-apa di matanya, tapi beda halnya jika kamu di bawah perlindunganku," kata Abizar.

Leona melihatnya dengan sorot tajam. "Bukankah ini semua salahmu? Kamu yang membuat aku terjebak di sini dan harus berurusan dengan ibumu. Aku benar-benar membencimu," kata Leona. Wajah gadis itu memerah karena marah dan juga kesal.

"Padahal cukup bilang aja berapa aku harus ganti rugi, tapi kamu malah membawaku ke sini."

"Aku ga butuh uangmu. Uangku sudah banyak. Salahkan dirimu sendiri yang terlalu menarik," jawab Abizar sembari mengungkung Leona. Keduanya saling beradu pandang. Namun, tak lama berselang terdengar suara gedoran pintu dari luar.

"Abizar buka pintunya. Keluarkan gadis jalanan itu dari rumah kita!"

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!