NovelToon NovelToon

Aku Di Sini Istriku

Sang Mualaf

Cahaya matahari yang masuk menembus kaca jendela kamar membuat mata seorang laki-laki yang masih tertidur pulas di dalam kamar itu nampak mengerjap-ngerjap merasa terganggu.

"Kean, bangun udah siang. Mamah udah siapin sarapan di bawah." Ujar sang Mamah.

Kean membuka matanya perlahan. Ia seketika panik saat menyadari hari sudah siang.

"Astagfirullah. Aku belum sholat subuh." Kean langsung beranjak dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar mandi.

Sang Mamah tersenyum tipis melihat ketekunan putranya pada agamanya yang baru.

"Mamah dukung apapun pilihan kamu. Yang terpenting buat Mamah, kamu bisa merasakan kenyamanan atas kehidupan kamu sendiri." Monolog Arin sebelum akhirnya berjalan keluar kamar.

Keandra Ralionel Adfas seorang laki-laki single berumur 27 tahun yang sedang dalam tahap memperbaiki dirinya sebagai seorang mualaf. Dia baru saja masuk islam 5 bulan yang lalu setelah meninggalnya Om nya yang sangat Ia sayangi.

Sebetulnya dia bukanlah Om yang sedarah dengannya melainkan adik dari mantan suami Mamahnya. Walaupun Ia benci kepada mantan suami mamahnya sedari laki-laki itu masih menjadi suami Mamahnya namun, Ia begitu menyayangi adik dari laki-laki itu karena sifat keduanya yang sangat berbanding terbalik.

Bahkan, Kean masuk islam pun berkat Om nya itu. Om dan tantenya lah yang memperkenalkan islam kepadanya hingga akhirnya membuat hati Kean terketuk dengan agama itu.

Selesai melaksanakan qodo subuh Kean pun bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Ia berganti pakaian mengenakan kemeja dan jas kantornya. Kean menatap pantulan dirinya di cermin sambil merapihkan rambutnya yang sedikit gondrong itu.

Setelahnya Kean pun bergegas keluar kamar untuk sarapan masakan buatan Mamahnya. Jujur, Kean senang Mamahnya sudah kembali pulih dan bisa beraktivitas normal kembali karena sebelumnya Mamahnya sempat menjadi perempuan tidak berdaya akibat ulah tangan licik mantan suaminya yang kini telah ditangkap oleh polisi. Kean tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kepada Mamahnya jika waktu itu Ia tidak pulang.

"Hari ini pulang jam berapa hmm?" Tanya Arin saat putranya telah duduk di kursinya.

"Sore paling Mah." Arin mengangguk seraya meletakkan telur mata sapi di atas piring Kean.

"Mah, masalah pernikahan itu..."

"Kamu sudah besar Kean, ambil keputusan yang sekiranya terbaik untuk kamu. Apapun itu Mamah dukung asalkan kamu merasa nyaman dan tidak melenceng dari aturan."

"Lagian, Natasila itu perempuan baik. Berkat dia Mamah bisa sembuh, dia perempuan yang kuat dan tidak takut kejahatan. Mamah tidak pernah memandang orang dari statusnya mau dia janda atau masih gadis selagi dia orang baik Mamah setuju-setuju saja. Asalkan kamu sendiri juga harus bertanggung jawab atas pilihan kamu." Lanjut Arin.

Kean mengatupkan bibirnya dan mengangguk-angguk. "Iya Mah. Cuma, Kean masih belum yakin Kean bisa jadi suami yang baik buat dia."

"Semua orang juga ada pikiran seperti kamu tapi, menjadi yang terbaik akan tercapai jika kita berusaha." Nasehat Arin.

"Kean pikirkan nanti ya Mah. Kean berangkat dulu." Kean pun mencium punggung tangan Mamahnya sebelum berangkat kerja.

"Hati-hati." Peringat Arin.

Sesampainya di kantor Kean pun memasuki ruang kerjanya dan duduk di atas kursi kebesarannya sambil berfikir.

"Kata Kang Ustadz perempuan yang baru ditinggal meninggal suaminya itu bisa dinikahi setelah 3 kali suci dari menstruasi atau yah... 3 bulan lah kurang lebihnya. Ini sudah 5 bulan lebih jadi apa itu artinya sudah boleh aku menikahinya?"

Kean mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya merasa bingung dengan keputusannya. Disisi lain perempuan itu saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dia menderita OCD dan sedang dalam penanganan psikiater.

"Aku harus tanya Kang Ustadz sore ini." Kean mengangguk-angguk.

****

"Ya Allah nduk." Pak Mugi mengelus pucuk kepala keponakannya dengan lembut.

Pria paruh baya itu sengaja datang ke rumah sang keponakan untuk melihat kondisinya. Keponakannya itu nampak sedang terbaring di kamar dengan selang infus yang tersalur ke dalam tangannya.

"Maafin Pakdhe ya. Pakdhe gak tau kalo kamu sakit."

Natasila Damara Fathin, dia adalah seorang perempuan yang hidup sendiri tanpa ayah dan Ibunya sejak umurnya menginjak 20 tahun.

Ia sempat memiliki suami namun, suaminya telah meninggal dunia 5 bulan yang lalu akibat kanker hati yang diderita almarhum. Sejak meninggalnya sang suami Tasila menjadi seorang perempuan yang pemurung bahkan Ia di diagnosis mengalami penyakit mental OCD.

Penyakit itu lah yang membuat Tasila merasa terganggu dan tidak bisa beraktivitas dengan normal lagi karena tindakannya yang tidak dapat Ia kendalikan secara sadar.

"Mas...." Tasila mengigau dalam tidurnya.

Ini lah OCD yang Tasila derita. Ia begitu menyayangi suaminya bahkan sepertinya sudah ditahap obsesi, hingga ketika laki-laki itu telah tiada Tasila masih terus saja menganggap Gezze sang suami masih berada di sampingnya.

Ia memang ada kesadaran bahwa suaminya telah tiada namun, tak jarang juga halusinasinya kembali kambuh.

Keparahan yang Tasila lakukan adalah Ia sering kali mengambilkan makan untuk suaminya secara tidak sadar, sering mencuci baju-baju bersih suaminya yang Ia ambil dari dalam lemari, sering menyiapkan perlengkapan kerja suaminya, bahkan tak jarang saat malam hari Tasila begadang demi menunggu suaminya pulang.

Dan tentunya semua kegiatan itu dilakukan Tasila di luar kesadaran normalnya. Ia seolah-olah tidak bisa mengatur tindakan tubuhnya yang menganggap bahwa suaminya masih hidup.

Para pembantu sudah sering kali mengingatkan perempuan itu namun, ingatan Tasila akan normal kembali apabila diingatkan saja, untuk jangka panjangnya pasti Ia akan mengulangi perbuatannya lagi dan lagi.

Kesiapan

"Assalamu'alaikum." Kean berjalan memasuki masjid dan menghampiri seorang Ustadz yang sedang duduk sambil bertasbih di depan sana.

"Wa'alaikumsalam. Masyaallah Mas Kean." Sang Ustadz nampak senang melihat kehadiran Kean.

Kean pun mendudukkan dirinya di depan sang Ustadz. "Maaf kang Ustadz, saya kesini karena ingin menanyakan satu persoalan yang sedang saya bingungkan akhir-akhir ini. Ini soal wasiat dari almarhum Om saya."

"Kenapa? Kamu sudah siap menikahi siapa..."

"Tasila." Timpal Kean.

"Saya sejujurnya kapan pun itu siap. Hanya saja, permasalahannya Tasila masih mengalami depresi. Saya yakin jika saya melamarnya, dia akan langsung menolak. Tapi saya khawatir Ustadz, saya tidak ingin membiarkan dia mengalami penyakit mental berkepanjangan. Saya sangat ingin merawatnya." Ustadz Abyan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kean.

"Dia masih memiliki mahram lain? Seperti Kakak, kakek atau paman dari pihak ayahnya?"

"Dia masih memiliki kakek dan paman."

"Saya ada satu solusi untuk kamu tapi, jika kamu ingin mengambil cara saya kamu butuh kesabaran yang besar untuk ini."

Kean menatap Ustadz Abyan dengan serius.

"Apa itu ustadz? Apapun itu saya janji akan melaksanakannya dengan penuh kesabaran asalkan saya bisa menjaga Tasila dengan tangan saya sendiri seperti perintah wasiat yang di harapkan almarhum."

"Kamu temui kakeknya, jelaskan dengan baik-baik niat dan tujuan kamu, jelaskan juga mengenai wasiat itu. Jika kamu mau, insyaallah saya akan menemani kamu. Kita ambil hari saat saya sedang kosong jadwal."

Kean mengangguk-angguk sambil berfikir. "Terserah ustadz saja saya hari apapun insyaallah siap."

"Jika kamu mau bagaimana kalau besok? Saya rasa besok saya kosong sedangkan untuk 2 minggu ke depan jadwal saya cukup padat bahkan besok lusa saya akan pergi ke Madiun untuk menghadiri acara kajian."

"Besok ya ustadz?" Kean menggaruk tengkuknya kikuk.

"Ya... Kalo kamu gak bisa mungkin kamu bisa tunggu saya dua minggu ke depan. Bagaimana?"

"Lama juga ya Ustadz. Masalahnya saya harus ke Sydney juga minggu depannya."

"Yasudah besok saya siap." Putus Kean akhirnya.

Ustadz Abyan tersenyum dan mengangguk-angguk. "Saya salut dengan nyali kamu."

Kean terkekeh mendengar pujian dari ustadz muda tersebut. Mungkin umur Ustadz Abyan hanya terpaut 3 tahun saja dengan Kean namun, dia pemuda yang hebat dan sudah mampu menjadi Ustadz yang dapat mengayomi banyak muridnya termasuk Kean.

*****

Tangannya terarah untuk membuka tirai jendela yang masih tertutup itu. Cahaya matahari pun menembus masuk melewati kaca jendela hingga membuat matanya mengerjap karena merasa silau.

Mungkin pagi ini Ia masih sadar dengan fakta hidupnya tapi, belum tau untuk satu jam ke depan.

Selagi sadar Ia terus saja menyebut asma Allah meminta perlindungan dan kesembuhan kepadanya.

Ia sangat berharap penderitaannya akan segera berakhir. Ia sudah muak dengan puluhan obat yang harus Ia minum setiap hari namun, tak ada hasilnya sama sekali.

"Astaghfirullah hala'dzim, astagfirullah hala'dzim, astagfirullah hala'dzim...."

Tak terasa air matanya turun membasahi pipi mulusnya. Tasila langsung menyeka air matanya kasar dan meneremas hijabnya dengan erat.

Terkadang prasangka buruk sering Tasila rasakan karena terlalu frustasi. Ia berusaha sadar dan meyakinkan hati dan pikirannya bahwa yang Ia rasakan saat ini hanyalah ujian. Ia harus sabar dan selalu mengingat Allah agar selalu tenang.

Walaupun terkadang Ia sering meninggalkan sholat secara tidak sadar karena perubahan moodnya namun, Tasila langsung segera mengqodonya. Jujur Ia lelah seperti ini terus Ia merindukan nikmat ibadah yang Ia rasakan dulu.

"Gak papa. Aku harus kuat." Tasila berusaha tersenyum di atas tangisnya.

Clek...

"Nyonya..." Bi Siti memasuki kamar Tasila.

"Bi." Tasila tersenyum lembut seraya menghampiri Bi Siti.

"Makasih ya Bi." Tasila memeluk Bi Siti dari samping karena Bi Siti sedang membawa piring berisi makanan.

"Makasih apa to nyonya? Wong Bibi gak ngelakuin apa-apa."

"Selama ini Bibi udah sabar ngerawat aku. Bibi udah mau bertahan di sini dengan keadaan aku seperti ini." Tasila merasa terharu dengan pengabdian pembantunya itu.

"Gak usah terimakasih nyonya. Nyonya itu sudah seperti keluarga Bibi sendiri. Bibi sayang sama nyonya."

"Bibi..." Tasila mencebikan bibirnya merasa terharu.

"Ayo sarapan dulu." Tasila mengangguk seraya melepaskan pelukannya pada Bi Siti.

Tasila pun mendudukkan dirinya di tepi ranjang di ikuti dengan Bi Siti. Tasila pun mengambil piring yang Bi Siti pegang seraya memakan makanan di atasnya.

"Bibi boleh nanya sesuatu sama nyonya?"

"Boleh." Balas Tasila.

"Kalo misal nih, ada laki-laki yang ingin menjadi pendamping Nyonya bagaimana tanggapan nyonya? Apakah Nyonya mau menerimanya?"

"Pendamping?" Bi Siti mengangguk.

Tasila terdiam berfikir. "Aku belum siap Bi. Hati aku masih sepenuhnya untuk Mas Gezze." Tasila menunduk dengan wajah ekspresi lirih.

Bi Siti menyentuh pundak sang majikan dan mengelusnya lembut.

"Tapi Nyonya mau jika menikah lagi?"

Tasila menggeleng. "Aku gak mau mikirin itu dulu Bi. Setelah Mas Gezze tiada aku gak pernah berfikir untuk menikah lagi."

"Maaf ya Nyonya kalo pertanyaan Bibi bikin Nyonya gak nyaman." Tasila tersenyum lembut ke arah Bi Siti.

"Enggak kok Bi. Bibi cuma nanya aja dan itu jawaban aku atas pertanyaan Bibi."

"Yaudah monggo di abisin makanannya." Tasila mengangguk-angguk sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

Ijab Kabul

Kean menunduk sambil memainkan jari-jarinya yang terasa dingin. Ia sesekali melirik ke arah Ustadz Abyan yang nampak sedang berbincang dengan seorang Pria paruh baya yang merupakan kakek dari perempuan yang ingin dinikahinya.

"Jadi nak Kean ini seorang mualaf?" Tanya Kakek Rudi menatap Kean.

"Iya Pak kurang lebih baru 5 bulan saya masuk Islam." Kakek Rudi tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Untuk saya sendiri saya setuju-setuju saja apabila nak Kean ingin memperistri cucu saya Tasila. Niat nak Kean sangat mulia karena Nak Kean ingin menikahi Tasila bukan hanya karena cinta tapi karena ingin menjaganya juga. Jadi kapan rencananya nak Kean ingin melaksanakan akad?"

"Saya rencananya ingin menikahi Tasila secara agama dan secara rahasia terlebih dahulu. Jika memang nantinya Tasila mau menerima saya maka akan saya lanjutkan namun jika Tasila menolak insyaallah saya akan melepaskan. Minimal pernikahan saya berjalan sampai Tasila benar-benar sembuh dari penyakitnya."

"Masyaallah. Bagaimana kalau besok?" Usul Ustadz Abyan.

"B__besok Ustadz?" Ustadz Abyan mengangguk.

"Lebih cepat lebih baik. Lagian kamu hanya ingin menikah secara agama saja, kan? Nanti saya carikan saksi untuk kamu."

"Bagaimana Kakek Rudi?" Ustadz Abyan menatap Kakek Rudi.

"Silahkan ustadz saya menyetujui apapun keputusan Ustadz dan nak Kean."

"Insyaallah saya setuju dan siap." Timpal Kean dengan keyakinan penuh.

"Alhamdulillah." Ucap Ustadz Abyan dan Kakek Rudi serentak.

*****

Tasila menatap obat-obatan yang baru saja diminumnya. Rasanya lelah setiap harus menelan obat-obatan berukuran besar itu. Ia ingin menyudahi ini namun, tentu tidak bisa.

"Hufh... Ya Allah hamba ingin sekali hidup normal seperti dulu. Berikan lah hamba keikhlasan dan ketenangan batin. Bagaimanapun cara yang engkau berikan untuk penyembuhan hamba, insyaallah hamba ikhlas menerimanya."

Setiap hari Tasila memanjatkan doa dan harapan ketika kesadarannya masih normal. Tasila berusaha memanfaatkan waktu berharganya untuk melakukan hal-hal yang positif. Karena ketika OCD nya kambuh tentu saja Tasila tidak dapat mengendalikan tubuh maupun akal sehatnya.

Tangannya terarah untuk mengambil kalung tasbih di atas meja. Ia pun mendudukkan dirinya di tepi ranjang dan mulai berdzikir sedikit-sedikit.

****

Setelah beberapa menit Ia mengulang pelajaran ibadah lewat buku tuntunan sholat yang telah Ia baca, Kean akhirnya mulai melaksanakan sholat sunah 2 rokaat pada malam ini dengan khusyuk. Sebelumnya Ia pun sudah sempat meminta izin dan bimbingan kepada Ustadz Abyan untuk melaksanakan sholat 2 rokaat ini dan kata Ustadz Abyan boleh-boleh saja bahkan beliau sempat mengajari Kean bagaimana cara melaksanakannya serta menjelaskan keutamaannya.

"Assalamu'alaikum warahmatullah." Kean menoleh ke kanan dan ke kiri lalu mengusap wajahnya.

Setelah Ia selesai membaca doa setelah sholat tahajjud dan dzikiran yang tertera di dalam buku panduan itu, Kean pun mulai menengadahkan tangannya untuk berdoa.

"Ya Allah ya Rabb hamba mohon ampunan kepada mu, iman hamba yang masih lemah ini hamba meminta tolong kepada engkau untuk mengokohkannya. Hamba memang bukanlah seorang laki-laki yang teramat sholeh, namun bolehkah hamba berusaha untuk menjaga dan membimbing calon istri hamba ya rabb? Jadikanlah hamba laki-laki yang selalu sabar dan dapat menjaga seluruh anggota tubuh hamba dari kemaksiatan.

Oleh karena itu untuk mencegah salah satu kemungkaran itu, izinkan hamba untuk memiliki salah satu dari hamba mu yang cantik dan sholeha bernama Natasila Damara Fathin. Lancarkanlah akad nikah hamba yang akan dilaksanakan esok hari, berikanlah kemudahan untuk hamba meluluhkan hati Tasila, jadikanlah Tasila seseorang yang lembut hati untuk dapat menerima hamba aamiin yarabbalalaamiin." Kean mengusap wajahnya mengaminkan doanya yang teramat panjang itu.

*****

Dengan setelan gamis ping dan hijab yang senada dengan gamisnya, Tasila bersiap untuk pergi ke klinik tempat Ia dan sang psikiater telah mengatur jadwal pertemuan. Ia memang rutin konsultasi setiap satu minggu sekali.

"Sudah siap Nya?" Tasila mengangguk.

"Udah Bi, ayo." Tasila menggandeng tangan Bi Siti dan mengajaknya untuk memasuki mobil BMW nya.

Setelah beberapa menit kepergian Tasila tak lama kemudian datang 8 orang laki-laki dengan sebagian berpakaian formal. Mereka memang sudah sekongkol dengan Bi Siti dan tentunya sudah saling berkabar agar kedatangan mereka tidak terpergok oleh Tasila.

Alasan mengapa Kakek Rudi memilih rumah Tasila untuk dijadikan tempat ijab kabul berlangsung ialah agar bangunan yang setiap hari perempuan itu tempati akan menjadi saksi ikatan suci antara keduanya. Dan kakek Rudi berharap pernikahan yang dilakukan di rumah peninggalan almarhum Gezze ini dapat membuat almarhum tenang dan bahagia di alamnya karena wasiatnya telah terpenuhi.

Sang mempelai pria nampak sedang menutupi rasa nervous nya dengan sesekali kalimat dzikir terucap dari bibirnya.

Tangan Ustadz Abyan terarah untuk menyentuh pundak Kean. Kean menoleh merasakan tepukan pada pundaknya. Laki-laki itu tersenyum tipis dan mengangguk.

"Saya sebelumnya sudah pernah menceritakan seluk-beluk keluarga Tasila dan bagaimana keadaan dia di lingkungan keluarganya. Nak Kean harus menepati janji nak Kean untuk menerima Tasila apapun yang terjadi." Kean tersenyum dan mengangguki ucapan Kakek Rudi.

"Insyaallah Kek, Kean akan selalu menjaga Tasila. Kean tidak akan pernah ingkar janji." Keukehnya.

"Baik kita mulai saja." Tukas Kakek Rudi.

Getaran mulai memenuhi dadanya. Kean rasa saking kencangnya getaran di dadanya mungkin, orang-orang disekitarnya pun mampu mendengarnya.

"Rileks aja gak usah tegang ya." Nasehat Ustadz Abyan.

"Iya Ustadz." Balas Kean walaupun hatinya tak berkata seperti itu.

"Keandra Ralionel Adfas saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan cucu saya Natasila Damara Fathin binti Almarhum Fahmi Julian dengan mas kawin emas 50 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinannya Natasila Damara Fathin binti Almarhum Fahmi Julian dengan mas kawin emas 50 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai." Dengan satu tarikan nafas akhirnya Kean mampu mengucapkan kalimat itu walaupun jantungnya bergemuruh hebat.

"Sah." Ujar semuanya dengan bahagia.

"Alhamdulillahirobbilalaamiin."

Semua orang menengadahkan tangan untuk mengaminkan doa yang di pimpin oleh Ustadz Abyan. Semua orang mengusap wajah mereka sambil mengaminkan setelah doa' selesai di lafadzkan.

"Selamat ya, saya bangga sama kamu. Jaga istri kamu baik-baik karena mulai sekarang kamu yang telah mengambil tanggung jawab seutuhnya atas diri Tasila." Nasehat Ustadz Abyan.

"Pasti Ustadz saya akan selalu berusaha menjaga istri saya." Ustadz Abyan tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Kean.

"Kean..." Panggil Kakek Rudi.

"Iya Kek?" Kean mencium punggung tangan Kakek Rudi dengan takdzim.

Kakek Rudi tersenyum seraya mengusap punggung cucu menantunya itu dengan penuh kasih.

"Jaga Tasila ya. Kakek percaya sama kamu. Ijab kabul itu sangat sakral. Walaupun kita disini hanya 8 orang namun, pengucapan ijab kabul tadi telah disaksikan oleh para malaikat secara langsung bahkan janji ijab kabul itu mampu menggetarkan sang Arsy. Jadi Kakek memohon dengan sangat, jangan pernah kamu memainkan janji yang teramat sakral ini." Kean mengangguk-angguk memahami nasehat Kakek Rudi.

"Tidak akan Kek, Kean jamin. Kean minta doa juga ya sama Kakek semoga Kean bisa Istikomah menjalani pernikahan ini."

"Aamiin. Pasti Nak Kean, Kakek akan selalu mendoakan yang terbaik untuk cucu cucu Kakek."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!