Seorang lelaki berparas tampan, dengan hidung mancung menjulang dan rahang yang tegas bak dewa Yunani, sedang duduk di kursi kebesarannya sambil termenung menatap layar ponselnya.
Dia terdiam cukup lama, tanpa memperdulikan bahwa cahaya matahari sore menamparnya melalui jendela kaca besar yang berada tepat di samping ruang kerjanya yang berada di lantai 30 sebuah gedung perkantoran.
Dia memperhatikan foto seorang wanita yang menghiasi layar ponselnya, sesekali rahangnya tampak mengeras menandakan dia sedang menahan amarah yang berkecamuk di dalam dadanya.
Lima tahun sudah berlalu, namun perasaan benci pada wanita yang ada di foto itu belum juga luntur bahkan bertambah besar.
“Shitt!!!” Seketika emosinya meluap dan tanpa sadar, dia membanting smartphone beharga puluhan juta itu hingga terpelanting entah kemana. Pria itu enggan mencarinya.
Lelaki tadi langsung menyambar telepon yang ada di atas meja kerjanya dan menekan nomer ekstensi langsung ke sekretarisnya.
“Selamat sore Tuan Troy, ada yang bisa Saya bantu,” ucap seorang sekretaris dengan lembut dan sopan.
“Panggilkan Oktareli!” ucapnya tanpa basa basi dan langsung menutup telponnya.
Tak berapa lama kemudian, muncullah lelaki yang dia panggil tadi. Seorang lelaki berkulit putih, bermata sipit dengan rambut hitam mengkilat yang tersisir rapi berkat pomade. Lelaki ini pun tak kalah tampan.
“Ada apa, Bos?” tanyanya setelah berdiri tepat di depan meja kerja Bosnya.
“Seminggu lagi kita balik ke Indonesia! Gue mau, Lo cari tau tentang Rani.”
“Rani? Maharani? Mantan pacarmu itu?” Ulang Okta tak percaya dengan ucapan Bosnya yang sekaligus merupakan sahabat baiknya. Saat tak ada karyawan lain, mereka selalu berbicara santai layaknya teman. Ya, mereka memang sudah berteman lebih dari sepuluh tahun, sebelum Okta menjadi asisten pribadi Troy.
“Lo, mau apa? Mau ngajak balikan?” tanya Okta sambil tersenyum smirk.
Lelaki tadi masih terdiam sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di meja kerjanya yang sangat besar.
“Troy! Lo, kok, malah ngelamun!” seruan Okta membangunkan lamunan Troy.
“Nggak apa, gue cuma tiba-tiba aja keingat dia. Gue pengen tahu kabar cewek yang sudah menjual gue dengan uang satu milyar! Sudah jadi apa dia sekarang!” geramnya sambil menahan emosi. Tangannya mengepal kencang.
Okta menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, “Baiklah, gue bakal cari tahu info tentang dia.” Lalu dia berbalik hendak keluar dari ruang kerja Bosnya yang super megah.
“Oiya! Satu lagi!” ucapan Troy seketika menghentikan langkah kaki Okta.
Okta memutar badannya agar bisa menatap Troy.
“Belikan Ponsel lagi, tapi data-data yang di ponsel sebelumnya harus di pindah semua ke ponsel baru! Banyak data penting di sana.”
“Ponsel yang lama kemana?” tanya Okta bingung.
“Entahlah, coba saja cari di sudut sudut ruangan! Gue lupa melemparnya ke arah mana.”
Okta menepuk jidatnya, dalam satu tahun ini, sudah hampir sepuluh smartphone di hancurkan oleh Troy. Sepertinya detik-detik kepulangannya ke Indonesia membuat dia stres karena kembali teringat mantan pacar yang dulu sangat dia cinta.
“Sudah tau banyak data penting, kenapa Lo lempar juga sih!” kesal Okta.
Troy tak peduli, dia malah mengibas kan tangannya mengusir Okta, agar cepat-cepat keluar dari ruang kerjanya.
“Oiya! Jangan lupa, sepulang kerja kita ke bar seperti biasa,” Troy membuka laptopnya dan mulai sok sibuk.
Okta hanya mendesah, sambil berusaha mencari ponsel yang di lemparkan Troy di bawah kolong meja dan lemari kabinet.
“Honey...” Tiba-tiba pintu ruang kerja Troy terbuka dan muncullah seorang wanita cantik berambut ikal dan berwarna kemerahan. Dia mengenakan short dress yang ketat berwarna merah menyala seperti rambutnya. Tak lupa dia juga memakai mantel bulu berwarna kecoklatan yang hanya dia gantungkan di pundaknya.
Wanita itu berjalan cepat mendekati Troy dan dengan manjanya langsung menempelkan bokong montoknya di pangkuan Troy.
“Sayang, kenapa susah sekali di hubungi? Telponmu di luar jangkauan terus...” ucapnya manja sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Troy.
“Ponselku rusak,” jawab Troy, datar tanpa ekspresi.
“Berarti kamu harus beli ponsel lagi dong? Ponselku juga sudah ketinggalan jaman nih, belikan satu buatku juga ya, sayang?” pinta wanita seksi itu dengan manja. Dia menempelkan dadanya yang penuh dan membusung, ke dada Troy. Wanita ini sedang menggoda lelaki pujaannya.
“Ross, gue nggak bisa gerak! Gerah!” Troy pastilah berbohong, karena saat ini cuaca di London berada di titik 5 derajat celcius. Sangat dingin tentu saja.
“Janji dulu, belikan aku ponsel,” Ross memeluk Troy makin erat, dia tak akan melepaskan kekasihnya itu sebelum keinginannya di penuhi.
“Okta! Belikan ponsel juga untuk Ross!” Teriak Troy.
Ross terkejut, dia segera bangun dari pangkuan Troy. “Ternyata ada Okta? Hai, O?” sapanya.
Okta hanya menganggukkan kepala. Dia menunjukkan ponsel Troy yang berhasil dia temukan. “Ponselnya cuma retak sedikit sih, mau di benerin aja atau ganti baru?” tanya Okta pada Troy.
“Ganti saja!” tegas Troy.
“Baik, bos,” Okta menganggukkan kepalanya lalu berjalan keluar dari ruangan kerja Troy.
Jujur, Okta sangat tak menyukai pacar baru Troy yang bernama Rosalinda atau biasa di panggil, Ross, itu. Dia terlihat sangat murahan dan matrealistis. Okta tak habis pikir, kenapa selera bos nya bisa berubah drastis. Setelah dicampakkan Rani, Troy memang jadi aneh. Dibanding Ross, Rani memang lebih baik, sangat lebih baik. Rani begitu anggun, sopan dan cantik. Walaupun dia dilahirkan dari strata yang tidak setara dengan Troy, namun Rani sangat pintar membawa diri. Dewasa dan berkarisma. Pantas saja Troy sangat tergila-gila padanya.
Namun sayang, hubungan mereka tiba-tiba saja terputus. Rani meninggalkan Troy demi uang satu milyar yang di berikan Mommy Troy padanya. Sungguh aneh, karena menurutnya, Rani bukan wanita seperti itu.
“Oh iya! Gue harus cari tau tentang Rani!” Okta mencoba mengingatkan dirinya sendiri.
Okta mengambil ponselnya dan menghubungi temannya yang berada di Indonesia yang juga mengenal Rani. Dia ingin bertanya kabar tentang wanita yang pernah bertahta di hati bosnya itu.
“Halo, bro! Lo masih inget gue kan?” ucap Okta saat panggilan telponnya di angkat.
“Gue mau nanya nih, Lo masih kontak-an sama Rani nggak?”
“Rani, Maharani. Masa Lo nggak inget sih?”
“Apa!!!”
Setelah mendapat kabar tak terduga itu, Okta langsung berlari kembali menuju ruangan Troy. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, dia mendobrak pintu itu dengan sekali tendangan.
Hingga membuat Troy dan Ross yang sedang bercumbu mesra terkejut dan hampir terjatuh dari sofa.
“Lo! Gila ya, O!” kesal Troy sambil membetulkan kemejanya yang sudah acak-acakkan.
“Ada berita buruk. Bos!” seru Okta, tak peduli dengan umpatan bosnya.
“Berita apa?” Troy penasaran. Apakah mungkin tendher kerjasamanya dengan perusahaan di London gagal? Apakah ada yang lebih buruk dari kegagalan kerja kerasnya selama lima tahun berada di negri orang?
“Rani...”
“Rani? Kenapa dia?” Troy mengernyit.
“Dia sudah... dia sudah meninggal.”
“....”
Troy Richard Cardinal, adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki perusaan yang bergerak di berbagai sektor bisnis seperti elektronik, otomotif, dan juga fasion bahkan makanan.
Dia mencapai kesuksesan di usianya yang baru menginjak tiga puluh tahun. Berkat didikan orang tuanya yang sangat keras dan tegas, Troy berhasil mencapai semua harapan kedua orang tuanya.
Walaupun mereka pernah berselisih paham, layaknya anak dan orang tua, karena masalah wanita pilihan Troy bukanlah pilihan utama kedua orang tuanya. Alasannya tentu saja karena wanita pilihan Troy adalah wanita miskin dan tak cocok menjadi menantu keluarga taipan terpandang seperti mereka.
Dulu Troy berusaha sekuat tenaga mempertahankan kekasihnya, karena dia begitu mencintainya. Rani bagi Troy adalah seorang malaikat, ratu yang bertahta di hatinya, sesuai dengan namanya, Maharani. Rani adalah tempatnya bersandar, berkeluh kesah dan sumber kebahagiaannya.
Rani merupakan wanita yang bersikap sangat dewasa, walaupun usianya dengan Troy sepantaran.
Troy jatuh cinta pada pandangan pertama, karena Rani memang begitu cantik dan menawan.
Awal mereka bertemu adalah di sebuah cafe, Rani bekerja sebagai waitres di sana. Dan saat itu dia di ganggu oleh beberapa gerombolan pria mabuk dan Troy lah yang membantunya. Sejak itu mereka berteman, dan tak membutuhkan waktu lama, Troy jatuh cinta pada Rani.
Mereka dimabuk cinta, hingga Troy rela meninggalkan keluarganya saat tau hubungan mereka tak di restui. Namun tiba-tiba saja, Rani meninggalkannya, pergi entah ke mana dan tak berselang lama, Mommy Troy mengatakan jika Rani memutuskan untuk berpisah dengan Troy setelah menerima uang satu milyar dari Mommy.
Troy tak percaya, bahkan sampai saat ini, Troy masih belum percaya. Tapi Mommy memiliki bukti kuat, yaitu tanda tangan Rani di sebuah surat perjanjian agar dia meninggalkan Troy demi uang satu milyar.
“Kenapa...?” gumam Troy tak habis pikir. Dia masih termenung sambil menatap pemandangan di luar dari jendela besar yang berada di ruang kerjanya. .
Troy memejamkan matanya, dia kembali teringat kenangan-kenangan indahnya bersama Rani. Malam penuh gairah yang pernah mereka rasakan tak bisa Troy lupakan dengan mudah. Mungkin saja itu karena merupakan pengalaman pertama bagi mereka berdua. Ya, Rani menyerahkan mahkota paling berharganya pada Troy karena mereka berdua benar-benar di mabuk cinta saat itu. Makanya Troy tak habis pikir, jika Rani meninggalkannya hanya karena uang.
“Seharusnya jika kau butuh uang, bilang saja Ran... jangan malah menerima uang mommy dan meninggalkanku!” geram Troy sambil memukul kaca tebal yang ada di depannya.
Pupus sudah harapan Troy untuk mengetahui alasan Rani meninggalkannya. Sekarang orang yang ingin dia mintai jawaban sudah tak ada. Troy harus membuang semua kenangan tentang Rani saat ini juga. Tapi sebelum itu ada yang harus dia urus.
Troy menambil ponsel yang baru saja diberikan oleh Okta dan menekan tombol 3 lalu menelpon, “Halo, O! Kita pulang ke Indonesia sekarang,” ucapnya singkat.
“Hah? Apa?” Kaget Okta. Bagai petir di siang bolong, bagaimana bisa bosnya seenak jidatnya begitu. Tiket kepulangan sudah di pesan untuk lima hari lagi, dan juga hari ini hingga empat hari ke depan, Troy masih memiliki jadwal padat untuk meeting dengan orang-orang penting.
“Nggak bisa gitu, Troy! Lo masih ada jadwal meeting super padat dampai empat hari ke depan,” jelas Okta sambil memijat pelipisnya.
“Siapa bosnya di sini? Gue atau Lo!” ketus Troy.
“Oh My! Come on Troy! Jangan begitu! Lo nggak boleh terbawa suasana dengan kabar kematian Rani. Lo nggak boleh kekanak-kanakkan!” kesal Okta. Troy tak boleh menggagalkan kerja keras mereka yang sudah rela tinggal di negara ini selama lima tahun. Percuma saja jika tinggal sedikit lagi, Troy malah berencana kabur. Okta harus putar otak agar Bos nya yang kekanak-kanakan dalam masalah cinta ini, tak mencampurkan urusan pekerjaan dengan hatinya.
“Oh iya! Gue sudah cari tau juga penyebab Rani meninggal. Dan Gue punya berita yang lebih menggemparkan lagi buat Lo, tapi ini masih dalam proses investigasi. Kalau Lo mau sabar sampai lima hari ke depan, gue bakal cari tahu semuanya secara detail, buat Lo!”
Troy berpikir sejenak, dia menghela napas dan akhirnya setuju.
“Oke! Tapi awas saja jika kabar itu nggak seheboh yang Lo bilang! Gue pecat Lo!” kesal Troy sambil melempar ponselnya dan untungnya, ponselnya melayang dan jatuh tepat di atas sofa empuk yang ada di dekat Troy.
Okta menatap ponselnya, Dia melotot dan mengomeli bos nya melalui ponsel itu. Tentu saja hanya itu yang bisa dia lakukan,tidak mungkin kan, dia memarahi bosnya langsung, itu sama saja dia cari mati. Namun Okta akhirnya bisa bernapas lega karena Troy menuruti permintaannya.
“Lo bakal terkejut dengan kabar ini, Troy! Gue yakin,” gumam Okta sambil menunjuk-nunjuk ponselnya, seolah olah ponsel itu adalah Troy.
***
Akhirnya empat hari berlalu dengan cepat, walaupun pikirannya bercabang karena memikirkan kepulangannya ke Indonesia dan tentang Rani yang sudah meninggal, Troy nyatanya bisa menyelesaikan semua pekerjaannya dengan sempurna.
Akhirnya, malam harinya, Troy menghadang Okta dan tidak mengijinkannya untuk pulang sebelum dia menceritakan kabar yang katanya ‘mengejutkan’ itu.
“Apa gue nggak bisa menceritakannya nanti saja, saat di pesawat. Gue udah capek banget, Troy,” keluh Okta. Tentu saja dia lelah, dia bangun dari subuh dan bahkan baru makan sepotong sandwich seharian ini, padahal sekarang sudah pukul 10 malam waktu London.
“Gue nggak nyuruh Lo, membajak sawah. Gue nggak nyuruh Lo, mengerjakan sesuatu yang pakai tenaga. Lo bisa cerita sambil duduk santai, nyaman, nggak perlu sambil lari. Bagian mana nya yang membuat Lo capek?” Jelas Troy sambil melipat kedua tangannya di dada dan menatap asisten pribadinya dengan tajam.
Okta menarik napas dan menghembuskannya dengan keras, dia kesal. Bos nya itu memang kadang-kadang seperti prajurit Jepang pada masa penjajahan. Okta merasa jadi budak romusha, sekarang. Untung gajinya besar, kalau tidak sudah sejak lama dia mengundurkan diri.
“Oke, dengarkan gue baik-baik.” Okta mengubah posisi duduknya, agar dia merasa nyaman.
“Rani meninggal lima tahun yang lalu karena pendarahan hebat setelah melahirkan.” Okta terdiam dan menatap Bosnya yang tampak mematung.
“Troy?’
Troy seperti terbangun dari lamunannya, “Sorry, Lo tadi bilang apa?”
“Rani meninggal karena pendarahan setelah melahirkan,” ulang Okta.
“Gue udah cari informasi, dan yang gue dapat, Rani tak berhubungan dengan lelaki manapun setelah dia putus dari, Lo.” Okta kembali terdiam.
“Jadi maksudnya? Lo kalau ngasih info jangan setengah-setengah, damn! Bikin gue emosi aja!” Troy tampak menahan emosi. Jantungnya berdebar tak karuan mendengar kabar yang di ucapkan Okta.
“Kemungkinan besar, yang Rani lahirkan itu... anak Lo, Troy. Tapi ini juga belum pasti, kita tetep harus cek DNA bocah itu.”
Troy membelalakan matanya, tak percaya.
“Huaaa!!!” Teriakan seorang bocah laki-laki bertubuh gemuk, menggelegar di sebuah taman yang ramai karena banyak anak-anak bermain di sana.
“Jhoni, sayang. Kenapa?” seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk persis seperti anak yang menangis itu, mendekat dan memeluk anaknya yang terus menangis.
“Dia pukul aku, Ma...” adu si bocah gemuk bernama Jhoni.
Sang Ibu tampak marah, dia pun menoleh dan menatap bocah yang di tunjuk anaknya.
Bocah laki-laki berumur sekitar lima tahun dan berwajah sangat tampan dengan mata berwarna hazel dan potongan rambut berponi yang berwarna kecoklatan, hanya terdiam saat dirinya di tunjuk-tunjuk oleh Jhoni.
“Oh... jadi ini si anak nakal yang suka memukul? Pantas nggak sopan, anak nggak punya orang tua, makanya nggak ada yang ngajarin sopan santun!” ketus Ibunya Jhoni.
“Aku punya Mama!” teriak si anak yang berwajah tampan, dia tak terima dirinya di sebut tak punya orang tua.
“Hah? Mama? Mama mu masih terlalu muda, makanya dia nggak bisa ngajarin kamu dengan benar! Anak sama Ibunya sama saja! Nggak punya sopan santun!” ketus si Ibu gemuk itu terdengar mengejek.
“Cuma punya Mama, tapi Papa nya nggak jelas! Dasar anak haram!”
“Hey, Bu! Jaga omonganmu di depan anak kecil!” tiba-tiba terdengar suara teriakan yang sangat lantang, mengagetkan Ibunya Jhoni.
Si anak tampan menoleh dan tersenyum senang, “Mama...” teriaknya.
Perempuan yang masih memakai seragam kerja sebuah minimarket, yang di panggil Mama itu, dengan segera berlari mendekati anaknya dan kemudian menggedongnya.
“Kamu nggak apa-apa, sayangku?” tanya si perempuan sambil memperhatikan wajah anak lelaki itu dengan seksama, takut ada luka memar atau apapun.
“Nggak papa, Ma. Aku pukul si gendut itu tadi. Soalnya dia ngejek Mama,” adu si bocah.
“Memangnya dia bilang apa?”
“Katanya Mama itu pengemis, kerjanya cuma di toko kecil, nggak kaya Ayahnya yang kerja di gedung bertingkat.”
Si perempuan menoleh ke arah Ibu-ibu bertubuh gemuk sambil melotot, “Anakmu itu yang lebih nggak tahu sopan-santun! Masih kecil sudah pintar menghina!” kata si perempuan berseragam mini market dengan ketus.
“Lain kali, kalau ada orang menghina kamu, pukul perutnya! Biar dia tahu rasa!” perintah perempuan berseragam mini market itu dengan tegas. Dia justru membela perbuatan anaknya yang berani membela dirinya.
Si bocah tampan tersenyum, “Siap, Ma!”
“Bintang, anak kesayangan Mama...” Si perempuan memeluk anaknya erat, sambil menciumi pipinya dan membawanya pergi meninggalkan taman diiringi tatapan tajam dari si ibu bertubuh gemuk.
Kriing...
“Sebentar, sayang. Mama terima telpon dulu ya,” Si perempuan tadi menurunkan anak tampannya yang bernama Bintang, agar dia bisa mengangkat panggilan telpon.
“Halo?”
“Halo, Tia. Kamu di mana? Aku ada info loker, nih. Kamu mau ambil apa nggak?” cerocos sebuah suara dari seberang telpon.
“Gila ya, mau lah. Dimana?”
“Kamu ke sini, kita ngobrol sambil makan.”
“Kamu yang traktir!” tegas Tia.
“Iyalah, bawel! Bawa juga ponakan ku yang ganteng, gemes aku sama dia!”
“Ok!” Tia mematikan telponnya, lalu memasukkannya ke dalam saku celana jeansnya.
Kemudian dia menatap anak gantengnya yang masih diam sambil memandanginya.
“Tante Prita ngajakin kita makan, Bintang mau?”
“Mau dong..” seru Bintang sumringah.
***
“Bintang... keponakan Tante yang ganteng...” Sambut seorang wanita berambut sebahu yang masih mengenkan setelan kerja berwarna coklat muda.
Bintang tersenyum, namun dia memeluk Mamanya dengan erat walau si wanita bersetelan itu memaksanya agar mau pindah ke dalam gendongannya.
“Bintangnya nggak mau, Prita!” Tia tampak kesal sambil menjambak rambut indah Prita.
“Auw! Dasar emak-emak galak!” Pekik Prita sambil mengusap-usap kulit kepalanya yang terasa pedas karena jambakan Tia. Namun karena mereka berdua sudah berteman sejak masih duduk di bangku SMP, baik Prita maupun Tia tak pernah punya dendam atau marah pada perbuatan satu sama lain.
“Ma, Bintang mau main prosotan, boleh?” Bintang meminta ijin sambil menunjuk area bermain mini yang ada di tengah restorant siap saji itu.
“Boleh aja, tapi nanti kalau makanannya sudah datang, Bintang makan dulu, oke?”
“Ok, Ma!” Bintang mengangkat tangannya seperti memberi hormat pada Mamanya, lalu dengan cepat dia berlari menuju area bermain.
Tia mendesah sambil melihat anak tampannya, dia tersenyum bangga karena anaknya tumbuh dengan baik dan sehat.
‘Kak Rani, lihatlah anakmu yang semakin besar. Dia tampan sekali, kan?’ batin Tia sambil menatap Bintang yang tampak bahagia bisa bermain.
“Heh! Ngelamun, ya!” Prita menabok punggung Tia dengan keras, membuat Tia merasa perih dan berdenyut-denyut saking sakitnya.
“Gila ya, tenagamu! Aku kaya di tendang kebo!” pekik Tia sambil mengelus punggungnya, walaupun tak tergapai oleh tangannya.
“Hahaha, tadi kan kau jambak rambut ku!” kelakar Prita sambil berjalan menuju mejanya dan duduk di sana, diikuti Tia yang masih komat kamit karena kesal.
“Aku nggak nyangka, kamu bisa ngerawat Bintang sampai sekarang. Tadinya aku pesimis loh,” kata Prita memulai percakapan.
Tia mendesah, “Memang aku punya pilihan apa? Masa iya, aku telantarkan anak kakakku yang paling baik itu,” Tia memandang Bintang dengan tatapan sedih.
“Aku inget, dulu kamu hampir saja berhenti sekolah karena harus merawat Bintang yang saat itu masih bayi, dan kita masih duduk di bangku kelas dua SMA,” Prita menyangga dagunya sambil ikut menatap Bintang dari kejauhan.
“Kamu sudah tau, siapa bapaknya?”
Tia mengangkat kedua bahunya, “Belum. Dulu kakak memang pernah punya pacar, tapi aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya.”
“Bapaknya pasti ganteng, lihat saja Bintang, masih kecil tapi sudah seganteng itu!”
Tia hanya terdiam.
Prita melihat kesedihan di wajah sahabatnya itu, akhirnya dia mengganti topik pembicaraan. “Eh, mau pesan apa?” tanya Prita.
“Aku nasi ayam aja sama Bintang, dua porsi. Punyaku pakai Cola, punya bintang pakai susu coklat.”
“Iye! Tunggu bentar, biar aku pesen dulu,” Prita bangkit dari duduknya dan pergi untuk memesan makanan.
Tak lama, Prita pun muncul sambil membawa nampan yang berisi makanan. Lalu dia pun meletakkan semuanya di atas meja.
“Silahkan...” ucapnya sambil tersenyum dan duduk.
“Bintang, ayo makan dulu,” panggil Tia pada anaknya.
“Oh iya, Prit. Memangnya ada lowongan kerja di mana?” tanya Tia sambil menyeruput collanya.
“Oh, iya. Hampir lupa sama tujuan ku. Di perusahaan aku ada lowongan jadi office girl, kamu mau nggak? Lumayan kan kerjanya cuma dari pagi sampai sore. Nggak kaya di minimarket ada sift malamnya. Gajinya juga UMR. Tapi ya itu, kerjanya jadi tukang bersih-bersih di kantor, kamu malu nggak?” tanya Prita.
“Kamu nggak tau? Sejak kecil aku sudah biasa bersih-bersih rumah. Memang dari kecil aku sudah di didik bermental babu. Jadi nggak mungkin aku malu kerja jadi OG apalagi di perusahaan besar seperti tempatmu kerja,” ucap Tia bersemangat.
Prita mendesah sambil tersenyum, tadinya dia sempat berpikir dua kali untuk menawarkan pekerjaan ini pada sahabatnya itu. Dia takut sahabatnya marah atau merasa di rendahkan. Ya, Tia memang tak melanjutkan kuliah seperti dirinya. Setelah lulus SMA, Tia langsung sibuk mencari uang agar bisa menafkahi keponakan dan Ibunya yang sakit-sakitan. Dulu, kakak Tia lah tulang punggung di keluarganya, kini karena kakaknya sudah tiada, Tia harus menggantikkan posisinya di saat usia Tia masih belasan tahun. Dan Tia memang hebat, dia bisa bertahan hingga sekarang.
“Oh ya, nama perusahaanmu apa? Biar aku langsung tulis surat lamarannya nanti malam,” tanya Tia sambil mengambil kertas struk pembelian makanan yang ada di atas nampan dan pulpen, dia akan menuliskan alamat yang dia minta di kertas itu.
“Richard Cardinal Company.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!