Natasya berlari kecil menghampiri orangtuanya yang sudah menunggu di depan aula kampus. Sembari memegang toga yang hampir jatuh dari kepala nya, ia terus melangkah di antara kerumunan orang-orang yang berdesakan.
Senyum lebar tak pernah surut menghiasi wajah cantiknya hari ini atas pencapaian yang ia impikan sejak lama. Dengan perjuangan yang tidak mudah, Natasya akhirnya bisa meraihnya meskipun tidak dengan nilai terbaik.
Kebahagiaan ini tak ia rasakan sendiri. Kedua orangtua yang menjadi support system utama sepanjang usia nya turut berbinar bahagia. Serta sahabat-sahabat yang juga selalu menemani di kala suka dan duka juga ikut hadir di acara wisuda nya hari ini.
"Mama papa kok nunggu di sini? Kan panas." seru Tasya setelah berhasil menemukan kedua orangtuanya di tempat terbuka.
"Di dalam terlalu sesak, sayang." Mama Ratih mengelus pundak putri kesayangannya. "Lagian katanya papa juga lagi nunggu seseorang." lanjut nya lagi.
"Nunggu siapa pa?" tanya Tasya tak sabar karena sedari tadi papa nya tampak celingukan mencari sosok yang ditunggu sejak keluar ruangan.
"Nah itu dia anaknya." seru papa sambil mengangkat tangan memanggil seseorang yang juga tampak celingukan di kejauhan.
"Siapa ma?" desis Tasya di sisi mama nya.
Seorang laki-laki dengan penampilan rapi disertai bucket bunga di tangannya berjalan menghampiri Tasya dan orangtuanya. Sekilas Tasya tersenyum tipis mengagumi ketampanan laki-laki tersebut.
Dengan hati yang penuh penasaran dan sedikit berbunga-bunga berharap bahwa benar lelaki tersebut berniat memberikan bunga yang dibawa untuknya. Tasya sedikit menyenggol lengan mama Ratih menyembunyikan rasa gugupnya karena akan dihampiri sesosok pria tampan sesaat lagi.
"Kenalkan, ini anaknya teman papa, Oliver Gerald." perkenalan singkat dari papa Renaldi.
Pria itu mengulas senyum manisnya dan memberikan bunga yang sejak tadi dibawanya untuk Tasya.
"Hai. Aku Oliver. Ternyata Tasya lebih cantik dari yang difoto ya, om" ucapnya menjabat tangan Tasya kemudian mengalihkan wajahnya ke papa Renaldi.
Dengan tersipu malu, Tasya menyambut uluran tangan Oliver. Mendadak tubuhnya panas dingin karena ada perasaan aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya saat ini.
Ya, Tasya juga gadis biasa yang mudah terpikat dengan laki-laki berparas tampan menawan serta penampilan memukau seperti Oliver saat ini. Diberikan kejutan manis di hari kelulusan nya seketika membuat hatinya berbunga-bunga.
"Oliver ini yang papa cerita kan ke kamu beberapa hari yang lalu, Sya." ungkap papa mengingatkan Tasya tentang pembicaraan mereka tempo hari di ruang keluarga.
Waktu itu, papa menyampaikan ingin mengenalkan Tasya dengan seseorang yang ingin papa jodohkan dengannya setelah lulus kuliah. Tasya sebenarnya belum ada niat untuk menikah, namun rencana lainnya juga belum ada terpikirkan untuk saat itu.
Mungkin ia akan mengikuti jejak teman-teman yang bersiap menyebar surat lamaran dan CV ke berbagai perusahaan. Tapi hal itu masih berupa bayang-bayang samar yang ia sendiri juga masih ragu.
Terbiasa dimanja karena ia putri tunggal papa Renaldi dan mama Ratih membuat Natasya tidak terlalu memikirkan banyak hal untuk masa depannya. Kuliah hanya sekedar mengikuti kebiasaan di keluarga dan sahabatnya.
Meskipun bukan dari keluarga kaya raya, Natasya tidak pernah kekurangan apapun selama hidupnya. Dengan kehidupan sederhana yang penuh cinta kasih keluarga, Natasya bahagia sepenuhnya hingga tidak mempunyai ambisi tinggi dalam kehidupan nya.
"Boleh kami ngobrol berdua, om, Tante?" Oliver meminta izin pada kedua orangtua Tasya agar mereka bisa mengenal lebih jauh satu sama lain.
"Silakan, silakan. Kami juga mau ke belakang panggung dulu bertemu teman lama, dosennya Tasya." ucap papa Renaldi seraya berlalu meninggalkan putrinya dan calon menantunya tersebut.
Ditinggalkan berdua saja dengan pria setampan Oliver membuat jantung Tasya semakin berdebar tidak karuan. Sebenarnya bukan hanya mereka berdua di taman samping gedung wisuda ini. Ada banyak orang yang berkumpul dengan beragam aktifitas.
Sebagian sedang asik berswafoto dengan teman semasa kuliah atau juga bersama orangtuanya. Sebagian lain ada yang sibuk video call dengan keluarga yang jauh karena tidak bisa menghadiri wisuda anggota keluarga nya.
Wajah Tasya menjadi semakin bersemu merah saat Oliver tanpa aba-aba meraih tangannya. Dengan senyum manisnya, Oliver mengajak Tasya sedikit mengasingkan diri dari keriuhan orang-orang yang sibuk di sekeliling mereka.
Hingga akhirnya menemukan tempat yang cukup teduh dan kursi untuk mereka duduk, Oliver berhenti. Dia mempersilahkan Tasya duduk dulu, baru kemudian dirinya.
Usai meletakkan bunga pemberian Oliver di sisi lainnya, Tasya memberanikan diri membuka pembicaraan dengan pria yang menjadi calon suaminya ini.
"Kamu habis dari mana?" tanya Tasya sekedar basa-basi.
"Sebenarnya dari kantor, izin sebentar sama om Devano." jawab Oliver singkat.
"Oo.." Tasya menjadi bingung mau bicara apa lagi. Bibirnya seakan kaku tak bisa merangkai kata untuk mencairkan suasana.
"Kamu senang aku datang di hari wisuda kamu?" tanya Oliver kemudian.
Tasya hanya mengangguk dan mengulas senyum salah tingkah karena mendapatkan perhatian manis seperti ini.
"Setelah ini rencananya mau apa? Lanjut S2 atau kerja dulu?" Oliver mulai bicara santai agar Tasya tidak terlalu gugup dengan kebersamaan mereka.
"Mmm, belum ada rencana sih sebenernya. Paling nikmatin masa tenang dulu. Mau istirahat dulu kaya nya. Abis pusing banget ngerjain skripsi." keluar Tasya curcol.
"Hahaha, susah ya? Namanya juga perguruan tinggi, ya harus tinggi juga perjuangan nya." ucapnya bijak sembari mengelus puncak kepala Tasya yang masih tertutup toga.
"Em, aku boleh panggil kamu apa nih? Nama aja atau bang, atau mas?" Tasya mencoba bersikap sopan.
"Terserah kamu. Senyamannya kamu aja. Nama aja juga gak papa, umur kita gak jauh beda kok."
"Oya?" Tasya masih ragu, namun dibalas dengan anggukan oleh Oliver.
Tidak jauh dari tempat mereka duduk, sahabat-sahabat Tasya tengah berjalan mengendap-endap ingin memberikan kejutan untuk Tasya hari ini.
Hingga mereka sudah sangat dekat.
"Cieeee ciieee ciieeee yang lagi pedekate." Lina, Giselle, dan Rachel kompak mengejutkan Tasya.
Tasya dan Oliver hanya bisa tersenyum karena kepergok berduaan. Ketiga sahabat Tasya akhirnya ikut bergabung dalam obrolan ringan kedua sejoli yang baru saja bertemu ini.
"Hayo looo berduaan aja nih. Gak takut digerebek hansip apa?" Rachel mencolek lengan Tasya cukup kuat.
"Iya nih, main mojok aja. Orang lagi pada happy kumpul keluarga eh di sini dia malah kumpul kebo." Lina berucap asal sekehendak hatinya tanpa berpikir.
"Astaga! Kata-kata lo!" Tasya akhirnya buka suara menanggapi Lina yang jika bicara sesukanya asal ceplas-ceplos.
"Iya nih omongan lo keterlaluan tau!" Giselle mencoba menengahi.
"Nih, kita mau ngasih bucket yang jauh lebih berharga daripada bunga punya cowok lo yang sok romantis ini." Rachel menunjukkan bucket uang warna merah yang terbungkus rapi dan cantik ke hadapan Tasya.
Seketika Tasya berbinar semakin bahagia di hari istimewa nya ini. Gak perlu ungkapan manis dan kata-kata romantis, sahabat nya tau apa yang membuat gadis seperti Tasya tak bisa berkata-kata.
Tasya menghambur memeluk ketiga sahabat nya ini. Oliver tau diri dan menyesali keputusan nya yang ternyata keliru kali ini. Memang benar bahwa bunga asli akan kalah dengan lembaran warna merah dengan nominal rentetan 6 angka tersebut.
"Thanks a lot guys." Tasya sungguh-sungguh berterima kasih dengan tulus pada ketiga sahabat nya.
"Yeah, you know kita gak bisa biarin lo kelaparan sampai makan bunga, jadi mending kita kasih Lo mentahannya aja biar Lo bisa milih sendiri apa yang Lo mau." Lina kembali berucap sesuka hatinya tidak mempedulikan wajah Oliver yang kini sedikit berubah masam.
"Ya gak sampe kelaparan juga kali gue. Emangnya kapan lo lihat uang jajan dari papa gak cukup?" Tasya masih meladeni perkataan Lina.
"Ya udah lah ya. Btw, gak mau kenalin gebetan barunya nih ke kita-kita?" Rachel melirik pria tampan yang masih betah berdiam diri di antara cewek-cewek rumpi kaya mereka.
"Kenalin, ini Oliver. Ini Lina, Rachel dan Giselle." Tasya menyebutkan nama sahabat nya sesuai posisi berdiri mereka dari yang terdekat dengan nya.
"Hai, Oliver. Calon suaminya Tasya."
"Uuuuuuu....." ketiga sahabat Tasya kompak bersorak heboh mendengar perkenalan Oliver yang to the point.
Usai perkenalan singkat antara Oliver dan ketiga sahabat Tasya, mereka pun makan siang bersama. Tidak ketinggalan kedua orang tua Tasya yang ikut serta secara totalitas hari ini membahagiakan Tasya sepenuhnya.
"By the way, dapet calon mantu di mana nih om yang macam Oliver gini?" tanya Lina yang memang sejatinya tidak bisa menata kata-kata dengan baik.
Papa Renaldi yang sudah terbiasa dengan kelakuan sahabat putrinya hanya tertawa lantas menjawab rasa penasaran empat gadis cantik ini. Ya, termasuk Tasya sendiri yang masih menyimpan pertanyaan dalam benaknya akan sosok Oliver.
"Om kenal Oliver dari dia kecil. Anaknya temen om. Tapi karena temen om sempat pindah kerja jadi lama gak ketemu. Tau-tau udah gede aja, cocok banget diambil jadi menantu." jawab papa Renaldi dengan bangga.
"Wiiih ternyata udah dijodohin dari orok ya gengs."
"So, kapan rencana pernikahan nya om?" Giselle ikutan menjelma reporter yang sedang memburu berita gosip artis papan atas.
"Wah kalo itu sih om serahkan ke Oliver dan Tasya aja." ibarat manajer artis yang suka menjawab 'no comment' papa Renaldi melempar pertanyaan ke tokoh utama hari ini.
Semua kompak melirik ke arah Oliver. Bagaimanapun keputusan ada pada pihak laki-laki yang memulai untuk melamar wanitanya.
"Ya, aku sih mau nya gak pake lama. Tapi semuanya tergantung kesiapan Tasya juga." jawab Oliver ringan seraya melemparkan pertanyaan tersebut kepada Tasya lagi.
"Heih? Kok malah bolak balik gini pertanyaan nya?" semua sudah beralih menunggu jawaban dari Tasya.
"Jawab aja say. Kapan Lo siap?" memang kesabaran Lina setipis tisu paling murah sih.
Tasya masih bingung menjawab apa. Hanya sekedar basa-basi atau memang harus ia nyatakan secara gamblang bahwa sepertinya ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada Oliver.
Yes, bagaimana pun Tasya juga gak memungkiri bahwa dia seperti gadis pada umumnya yang menyukai sosok pria tampan. Ditambah lagi dengan penampilan yang seperti tidak ada cacatnya. Plus nya lagi ia memang sepercaya itu pada papa nya yang sudah pasti memilihkan jodoh terbaik untuknya.
"Mmm, pada nungguin yaaa?" canda Tasya membuat semua perhatian padanya buyar seketika. Lina dan Rachel bahkan sudah cuek dan mengambil lauk di tengah meja begitu banyak untuk mengisi piring mereka.
"Hahahaha...." Tasya hanya tertawa garing karena kalimat nya membuat semua orang kecewa dan tidak lagi mengharapkan apapun pada nya.
Semua mulai makan setelah berdoa bersama yang dipimpin oleh papa Renaldi. Dalam doanya, papa Renaldi mengucapkan puji syukur pada Tuhan atas kebahagiaan yang diberikan hingga hari ini.
Belum selesai di situ, papa Renaldi juga turut mendoakan masa depan putrinya dan sang calon menantu. Semua pun mengaminkan dengan khusyuk.
Larut dalam kebahagiaan, semua makan bersama dengan gurauan ringan hingga semua makanan di atas meja habis tak bersisa. Memang kebiasaan dari keluarga Tasya yang tidak memperbolehkan untuk menyisakan makanan. Jadi semua harus dihabiskan tanpa sisa.
Kali ini Oliver yang mentraktir makan siang mereka. Ketiga sahabat Tasya mengucapkan terimakasih sebelum pamit pulang menuju rumah dan kost mereka.
Papa Renaldi dan mama Ratih juga pulang lebih dulu karena harus mempersiapkan rapat rutin di gereja beberapa hari lagi. Papa Renaldi seorang tokoh di gereja yang aktif membantu mengurus gereja mereka.
Oliver mengajak Tasya jalan-jalan dulu sebelum mengantarkan nya pulang ke rumah. Tasya ragu karena ia merasa kurang nyaman dengan outfitnya hari ini cukup menyiksa dengan kebaya dan rok ketat di balik seragam hitam wisuda nya.
Akhirnya Oliver mengajak Tasya ke butik lebih dulu untuk mengganti pakaian nya ke yang lebih nyaman. Tasya pun menyetujui dan ikut masuk ke mobil Oliver.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!