...-Happy Reading-...
...^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^...
Langit yang tadinya berwarna kemerah-merahan mulai berubah menjadi gelap. Nampak seorang gadis tengah berdiri menatap pada gundukan tanah yang masih basah. Satu persatu beberapa orang yang berdiri di sekitarnya sudah mulai pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan gadis itu berdua dengan seorang pria bertubuh jangkung. Dari balik kacamata hitamnya, gadis itu kembali meneteskan air mata.
Zevana Stefanie, gadis berusia 24 tahun itu baru saja menginjakkan kakinya di tanah air tadi siang. Kepulangannya kali ini adalah untuk mengantarkan sahabatnya yang bernama Nadia menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Awalnya Zevana berniat untuk kembali satu minggu lagi dari London. Setelah menyelesaikan semester akhir kuliahnya, Zevana ingin kembali dan bekerja di perusahaan papanya. Namun, Zevana lebih dulu mendapatkan kabar dari sahabatnya yang bernama Lucas atau lebih akrab disapa Luci, jika teman mereka Nadia meninggal karena bunuh diri. Nadia bunuh diri dengan melompat dari roftop rumah sakit kemarin malam.
"Beb, ayo kita pulang," ajak Lucas. Pria dengan gestur tubuh gemulai itu berjalan mendekati Zevana.
"Sejak kapan? Sejak kapan Nadia menjalin hubungan dengan pria itu?" Tanya gadis dengan tinggi 170 cm itu. Dia membuka kacamata hitamnya, lalu menyeka air mata yang menempel di wajahnya. Zevana membalikkan tubuhnya ke samping dan menatap pada Lucas.
Lucas nampak termenung, dia memang sudah menceritakan tentang kematian Nadia yang terjun bebas sambil memeluk foto seorang pria. Dua hari lalu Nadia dibawa ke rumah sakit oleh orang tuanya karena kondisinya yang terlihat seperti orang depresi, Nadia mulai sering mengamuk tanpa sebab.
"Berikan identitas beserta foto pria itu padaku!" Tanpa mendengar jawaban, Zevana melangkahkan kakinya keluar dari area pemakaman, dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir sedikit jauh dari area pemakaman.
Lucas berjalan dengan cepat menyusul langkah Zevana yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. "Ehh, tapi untuk apa, Beb?"
"Tentu saja untuk balas dendam!" Jawab Zevana tanpa menghentikan langkah kakinya.
"Balas dendam? Maksud kamu, Beb?"
Zevana tidak menjawab dan semakin mempercepat langkah kakinya. Dia segera menghentikan langkahnya saat sudah sampai di depan mobilnya. Zevana berbalik dan menatap Lucas dengan lekat. Tadi siang saat berada di rumah Nadia, dia melihat begitu banyak foto seorang pria tertempel di dinding kamar sahabatnya itu. Sepertinya Nadia begitu tergila-gila pada pria bernama Aksa. Itulah sebabnya Zevana merasa tidak terima dan berniat membalaskan dendam pada Aksa atas kematian Nadia.
"Apa polisi tidak memeriksa pria itu?" Tanya Zevana. Raut wajahnya nampak begitu kesal.
"Polisi sudah memeriksanya. Tapi kematian Nadia memang murni bunuh diri, jadi pria itu hanya dimintai keterangan dan langsung dibebaskan," jawab Lucas.
Namun, Zevana tetap merasa tidak terima. Meskipun Nadia meninggal karena murni bunuh diri, tapi semua ini gara-gara Aksa. Jika saja Aksa tulus mencintai Nadia, pasti Nadia tidak akan sampai depresi dan nekad bunuh diri. Zevana tetap ingin membuat perhitungan dengan Aksa.
"Luci, kamu harus membantuku untuk membalas dendam pada pria bernama Aksa itu," tegas Zevana dengan penuh keyakinan.
"Tapi Beb, Nadia meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh. Jadi untuk apa balas dendam?"
Zevana menghembuskan nafas berat, "Kamu sendiri yang bilang jika pria itu adalah seorang playboy. Itu artinya Nadia bukan satu-satunya wanita yang menjalin hubungan dengannya. Bisa saja Nadia bunuh diri karena sakit hati pada pria itu. Nadia terlalu mencintainya!"
Lucas menggeleng tanda tidak setuju, "Tapi Beb..."
Zevana meraih kedua tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Luci, kita sudah bersahabat sejak SMA. Apa kamu terima jika Nadia meninggal dengan cara seperti ini?"
Lucas nampak terdiam, dia menatap Zevana dengan lekat. "Tapi beb, gimana caranya balas dendam?"
Zevana tersenyum tipis. "Satu-satunya jalan, agar dia merasakan sakit yang sama adalah dengan satu cara."
"Cara? Cara apa itu?" Tanya Lucas penasaran.
"Lewat jalur cinta," jawab Zevana.
"Jalur cinta? Maksud kamu, Beb?"
Zevana melepaskan tangannya pada genggaman tangan Lucas. Lalu dia berdiri memunggungi Lucas. "Aku akan membuat pria itu jatuh cinta padaku. Setelah itu aku akan mencampakkannya."
🩸
🩸
🩸
Sebuah mobil sport berwarna merah memasuki halaman sebuah rumah. Nampak seorang pria berusia 25 tahun turun dari dalam mobil dengan raut wajah kesal. Pria itu tidak langsung masuk ke dalam rumah, dia berdiri termenung di sisi mobilnya sambil sesekali mengembuskan nafas berat. Untuk pertama kalinya dia harus berurusan dengan polisi hanya karena seorang wanita.
Memiliki wajah tampan, hidung mancung, rahang tegas dan tubuh yang atletis membuat Aksa Madeva digilai banyak wanita. Jika dilihat sekilas mungkin hidupnya terlihat sempurna, selain tampan dan kaya raya dia juga merupakan pewaris sah Libra Group milik keluarga Herman Wibowo, sang papa. Namun siapa sangka dibalik semua itu Aksa memiliki masa lalu yang membuat hatinya selalu merasakan kesepian.
Tiba-tiba pintu rumah itu dibuka oleh seseorang, nampak Herman keluar dan menatap Aksa dengan tatapan marah dan kecewa. Herman berjalan ke arah Aksa dan memberikan sebuah tamparan keras di wajah Aksa. Herman merasa marah sekali karena lagi-lagi putranya membuat masalah dan membuatnya malu.
"Memalukan!! Bisa-bisanya polisi datang ke kantor dan mencari kamu. Apa tidak bisa jika kamu tidak membuat masalah? Contoh kakak kamu, dia tidak pernah membuat masalah dan selalu bisa dibanggakan!" ucap Herman dengan suara bergetar karena marah.
Aksa memegangi pipinya yang terasa perih. Lalu dia menatap papanya dan tersenyum sinis. "Dimata Papa aku memang tidak pernah benar. Jadi kali ini aku pun tidak akan membenarkan apapun atas perbuatanku."
Aksa melanjutkan kembali ucapannya. "Dan satu hal lagi. Wanita dan anak yang Papa bawa ke rumah ini itu bukanlah ibu dan kakakku. Aku tidak pernah memiliki seorang kakak, dan mamaku sudah meninggal gara-gara kelakuan Papa."
"Aksa!!!" Herman mengangkat kembali satu tangannya. Matanya nampak memerah menahan amarah.
"Kenapa? Papa mau nampar aku lagi?" Mata Aksa nampak berkaca-kaca. "Aku bukan anak kecil lagi, Pa. Mulai detik ini Aku keluar dari rumah ini. Jadi Papa tidak perlu lagi menunggu aku pulang."
Setelah berkata demikian, Aksa kembali masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya pergi meninggalkan rumah. Dulu kehidupan Aksa begitu bahagia bersama papa dan mamanya. Namun, kebahagiaan itu lenyap saat beberapa tahun lalu papanya pulang dengan membawa seorang wanita dan anak laki-laki yang usianya lebih tua 3 tahun dari Aksa. Herman memperkenalkan mereka sebagai istri dan anaknya, sejak saat itu Arini mulai sering sakit-sakitan. Hingga beberapa bulan kemudian Arini meninggal dunia karena sakit.
Rupanya sebelum menikah dengan mamanya Aksa, Herman sudah lebih dulu menjalin hubungan dengan seorang wanita hingga melahirkan seorang anak. Dulu kedua orang tua Herman tidak merestui hubungan mereka karena perbedaan status sosial, hingga mereka menjodohkan Herman dengan Arini, mamanya Aksa.
Aksa merogoh ponselnya dari balik jasnya, dia menelfon seseorang.
"Siapkan kamar dan seorang wanita malam ini juga!" Perintah Aksa.
"Baik Tuan," jawab sang asisten.
Aksa mematikan sambungan telefonnya dan menyimpan kembali ponselnya di balik jasnya. Dia melajukan mobilnya menuju ke arah hotel. Malam ini dia ingin melupakan masalahnya dengan bersenang-senang di kamar hotel dengan seorang wanita.
...💫💫💫...
Malam ini Zevana memutuskan untuk menginap di kamar hotel. Dia ingin menangkan diri terlebih dahulu. Kepergian Nadia yang begitu mendadak menyisakan kesedihan yang begitu mendalam di hati Zevana.
Zevana membuka tasnya dan mengambil sebuah foto yang terbingkai. Itu adalah foto dirinya bersama dengan Nadia dan Lucas, foto itu diambil saat mereka masih duduk di bangku SMA. Dipandanginya foto itu cukup lama, lalu diusapnya dengan lembut.
"Maafkan aku, Nad. Aku tidak ada disaat masa-masa sulit kamu." Zevana meneteskan air matanya lalu dia memeluk foto itu dengan erat.
Seandainya saja Zevana bisa kembali lebih awal, mungkin masih ada kesempatan untuk bertemu dengan Nadia. Mungkin dia akan tau apa yang terjadi pada Nadia sampai sahabatnya itu mengalami depresi dan nekad mengakhiri hidupnya.
Drrddtt...
Drrddtt...
Drrddtt...
Ponsel Zevana bergetar, rupanya ada panggilan masuk dari sang mama. Zevana meletakkan foto ditangannya diatas ranjang, lalu dia segera meraih ponselnya dari atas nakas dan menggeser tombol hijau.
"Zevana, kamu dimana sayang? Kenapa belum pulang?" Tanya Devi dengan nada khawatir.
"Malam ini aku menginap di hotel ya, ma? Zevana sedang ingin sendiri," jawab Zevana.
"Tapi sayang, kamu kan baru kembali tadi siang. Nanti kalau papa kamu pulang dan nanyain kamu gimana?"
Devi merasa khawatir, suaminya memang belum mengetahui tentang kepulangan Zevana yang mendadak. Tadi siang saat Zevana pulang, papanya sedang berada di kantor. Zevana pulang hanya untuk menaruh kopernya, setelah itu dia pergi dengan Lucas menuju kediaman keluarga Nadia.
"Besok sebelum pulang ke rumah, aku akan mampir ke kantor papa untuk menemui papa. Mama jangan bilang dulu sama papa kalau aku sudah pulang. Aku ingin memberikan kejutan untuk papa," ucap Zevana berusaha menenangkan mamanya.
Devi menghembuskan nafas panjang. "Ya sudah, kamu jaga diri ya sayang? Kalau begitu mama tutup dulu telefonnya."
Sambungan telefon terputus, Zevana meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Diambilnya kembali foto miliknya dan ditatapnya sebentar, lalu dia meletakkan foto itu di samping ponselnya dengan posisi tengkurap.
Zevana merasakan badannya sangat letih sekali, karena seharian ini dia belum beristirahat sama sekali. Dia terbang jauh-jauh dari London, setelah itu pulang ke rumah sebentar hanya untuk setor muka saja karena dia harus menghadiri acara pemakaman Nadia.
Zevana segera bangun dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi. Dia ingin mandi lebih dulu supaya badannya terasa lebih segar.
☘️
☘️
☘️
Aksa masuk ke dalam kamar hotel nomor 116, dia membuka jasnya dan melemparkannya ngasal ke arah sofa. Dari dalam kamar mandi terdengar suara gemericik air. Itu pasti suara wanita yang sudah disiapkan sang asisten untuk menemaninya malam ini.
Meskipun sudah sering berkencan dengan banyak wanita, Aksa belum pernah sampai melakukan hubungan badan. Dia mengencani wanita-wanita itu hanya untuk sekedar hiburan saja. Bahkan dari banyak wanita yang dia kencani, tidak ada satupun dari wanita-wanita itu yang membuat hatinya bergetar. Aksa juga selalu ingat pesan mamanya dulu untuk menjaga dan tidak merusak seorang wanita hanya karena nafsu. Sehingga biasanya mereka hanya sekedar berciuman sedikit pemanasan saja, dia tidak berani sampai berbuat lebih.
Aksa melepaskan dasi yang mengikat dilehernya dan membuka dua kancing kemeja atasnya, lalu dia mendudukkan dirinya diatas sofa. Ingatan tentang pertengkaran dirinya dengan papanya tadi kembali terngiang di benak Aksa. Sebenarnya Aksa tidak ingin menjadi anak yang durhaka, hanya saja dia sudah merasa muak terus dibandingkan dengan kakaknya, Arvan.
"Apa yang sedang dia lakukan di dalam kamar mandi? Kenapa lama sekali," gumam Aksa menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, nampak seorang gadis keluar dengan menggunakan bathrobe sambil kedua tangannya sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna putih. Aksa yang melihat gadis itu langsung berdiri dari duduknya, membuat gadis itu merasa kaget dan menjatuhkan handuk ditangannya ke lantai.
"Si-siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di kamarku?" Tanya gadis itu yang ternyata adalah Zevana.
Aksa menatap wajah wanita yang berdiri dihadapannya itu, memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah dengan dengan seksama. Kemudian dia tersenyum tipis dan berjalan menghampiri ke arah Zevana.
"Jangan berpura-pura polos. Asistenku pasti sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan malam ini bukan? Malam ini kamu akan menemani aku disini."
Zevana nampak terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru dia dengar. "Apa kamu sedang mabuk? Asisten siapa yang kamu maksud? Aku tidak mengerti apa maksud kamu. Lebih baik kamu keluar sebelum aku panggil petugas hotel untuk menyeret kamu keluar."
Aksa tersenyum sinis mendengar ucapan gadis dihadapannya. "Apa kamu tidak kenal siapa aku?"
"Aku tidak peduli siapa kamu, itu tidak penting bagiku. Keluar sekarang atau aku akan..." Zevana tidak melanjutkan kata-katanya, dia nampak terdiam sambil memperhatikan wajah Aksa.
"Kenapa wajahnya begitu familiar? Dimana aku pernah melihatnya?" Batin Zevana bertanya-tanya.
Drrddtt...
Drrddtt...
Drrddtt...
Zevana melirik ponselnya di atas nakas, dia menatap Aksa sebentar sebelum berjalan ke samping ranjang untuk melihat siapa yang mengirimkan pesan.
Zevana meraih ponselnya dari atas nakas dan melihat ada pesan masuk dari Lucas. Dia segera membuka pesan itu. Betapa terkejutnya Zevana saat melihat pesan yang dikirimkan oleh sahabatnya. Rupanya Lucas mengirimkan foto Aksa beserta identitas pria itu. Pantas saja dia merasa tidak asing saat melihat wajah pria yang kini berada satu ruangan dengan dirinya. Tadi siang dia memang sempat melihat foto-foto Aksa di dinding kamar Nadia.
"Aksa Madeva? Bagaimana mungkin dia bisa ada di hadapanku sekarang? Mungkinkah Tuhan mengirimkan dia untuk melancarkan misi balas dendamku?" Batin Zevana.
Zevana menyimpan kembali ponselnya di atas nakas, bisa-bisanya dia ceroboh dan lupa mengunci kamar hotel yang dia sewa hingga Aksa bisa masuk dengan bebas.
Zevana mencoba bersikap tenang, dia menarik nafas panjang lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekati Aksa kembali.
"Kamu pasti salah kamar, aku tidak mengenal kamu."
"Aku tidak mungkin salah kamar. Asistenku yang sudah memesankan kamar ini untukku." Aksa merogoh ponselnya dari saku celana. Dia membuka pesan yang dikirimkan oleh asistennya tadi dan menunjukkan isi pesan itu pada Zevana.
'Hotel Mawar kamar nomor 116. Wanita itu bernama Tiara'
Zevana nampak mengernyitkan keningnya begitu membaca pesan di ponsel Aksa. Pantas saja Nadia patah hati, rupanya Aksa memang seorang playboy yang suka bermain dengan wanita dikamar hotel.
"Tapi aku bukan Tiara. Namaku..."
"Aku tidak peduli siapa nama kamu. Malam ini kamu temani aku disini," potong Aksa.
"Sudah aku bilang, aku tidak mengenal siapa kamu. Jadi jangan harap aku mau menemani kamu!"
Zevana menarik tangan Aksa dan membawanya berjalan menuju pintu. Dia membuka pintu kamar hotel dan mendorong pelan tubuh Aksa keluar. Dia memang ingin membalas dendam pada Aksa, namun bukan dengan cara menemani Aksa bermalam di kamar hotel. Jika ada yang melihat mereka berdua disana pasti akan terjadi kesalah pahaman.
Zevana ingin menutup pintunya kembali namun segera ditahan oleh Aksa.
"Apa mau kamu? Sudah aku bilang aku tidak mengenal kamu!"
Aksa tidak ingin mendengar protes dari Zevana. Dia membuka pintu itu hingga terbuka lebar, membuat langkah kaki Zevana terdorong dua langkah ke belakang. Aksa segera meraih pergelangan tangan Zevana dan menggenggamnya erat.
"Lepaskan! Atau aku akan berteriak." Zevana terpaksa mengancam Aksa. Dia mencoba menarik tangannya dari genggaman Aksa, namun genggaman pria itu begitu kuat.
"Teriak saja. Aku sudah membayar kamu, jadi malam ini kamu harus menemani aku."
Zevana tidak kembali protes, dia melihat ke beberapa orang yang lewat dan sedang melihat ke arah mereka. Zevana segera menarik tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan Aksa. Dia kembali mendorong tubuh Aksa keluar dari pintu kamar. Orang-orang itu pasti mulai menduga-duga tentang apa yang terjadi, apalagi dia hanya menggunakan bathrobe dan penampilan Aksa nampak berantakan dengan beberapa kancing kemeja yang terbuka bagian atasnya.
"Sekali lagi aku bilang jika aku bukan..."
"Zevana!!!"
Belum sempat Zevana menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara seorang pria memanggil namanya dengan nada membentak. Zevana dan Aksa menoleh ke arah sumber suara itu, betapa terkejutnya Zevana saat melihat papanya yang masih berpakaian formal sedang berdiri tidak jauh darinya bersama seorang pria disampingnya.
"Papa..." ucap Zevana dengan lirih.
...☘️☘️☘️...
Malam ini Adrian baru saja bertemu dengan salah satu kliennya yang berasal dari luar kota. Klien itu bernama Tuan Arthur. Tuan Arthur menginap di salah satu hotel di Jakarta, lebih tepatnya di hotel Mawar.
"Besok siang saya akan datang berkunjung ke perusahaan anda, Tuan Adrian," ucap Tuan Arthur. Saat ini mereka sedang berjalan keluar dari kamar yang disewa oleh Tuan Arthur untuk menginap.
"Baiklah, saya akan menunggu kehadiran anda untuk melanjutkan kembali pembicaraan kita tadi," jawab Adrian.
Kedua pria yang usianya tidak lagi muda itu melangkahkan kakinya menuju ke arah lift sambil terus mengobrol. Langkah mereka terhenti saat melihat sedang ada keributan di depan salah satu kamar hotel dan sedang menjadi tontonan beberapa orang disana. Adrian yang mendengar suara seorang wanita merasa tidak asing dengan suara itu. Karena penasaran dia berjalan mendekat ke arah seorang wanita dan seorang pria yang sedang ribut di depan kamar hotel.
"Zevana!!!"
Adrian merasa sangat terkejut saat melihat wanita yang sedang berbicara itu ternyata adalah putri kandungnya. Zevana yang mendengar suara papanya langsung menoleh dan merasa sangat kaget sekali saat melihat papanya sudah berdiri tidak jauh darinya.
"Papa..." Ucap Zevana dengan lirih.
"Anda mengenal gadis ini, Tuan Adrian?" Tanya Tuan Arthur pada Adrian.
Adrian nampak gelagapan untuk menjawab, "Ya, Tuan Arthur. Dia adalah putriku."
Sebenernya Adrian merasa sangat malu sekali karena Tuan Arthur harus melihat putrinya yang berada di kamar hotel bersama dengan seorang pria.
"Lalu pria ini, siapa dia?" Tanya Tuan Arthur lagi.
"Dia... Dia adalah calon menantuku," jawab Adrian sekenanya.
Tidak mungkin jika Adrian mengatakan tidak tau, bisa-bisa Tuan Arthur mengira jika putrinya adalah seorang wanita gampangan yang suka menginap di kamar hotel bersama seorang pria. Sebagai orang yang bergelut di dunia bisnis, sebenarnya Adrian juga cukup mengenal pria yang sedang bersama dengan putrinya itu. Pria itu merupakan putra dari Herman Wibowo, pemilik perusahaan Libra Group.
Tuan Arthur nampak tersenyum sambil manggut-manggut, dia sangat paham betul kelakuan anak muda jaman sekarang. Apalagi saat melihat penampilan Zevana yang baru selesai mandi dengan rambutnya yang masih basah dan penampilan Aksa yang nampak sedikit berantakan. Tentunya sudah bisa ditebak apa yang baru saja dua anak muda itu lakukan di dalam kamar hotel.
"Baiklah, saya antar sampai di sini saja. Kalau begitu saya pamit kembali ke kamar saya. Sampai bertemu besok Tuan Adrian." Tuan Arthur menyalami Adrian sebelum dia pergi kembali ke kamarnya.
Zevana yang sedari tadi diam merasa sangat takut melihat tatapan mematikan papanya. Padahal niatnya besok dia ingin membuat kejutan untuk sang papa, namun malam ini justru papanya dibuat terkejut lebih dulu dengan keberadaan dirinya yang berada di depan kamar hotel bersama seorang pria. Semua ini gara-gara Aksa, jika saja pria itu menurut saat tadi dia menyuruh untuk keluar, pasti masalahnya tidak akan panjang.
"Pa, ini tidak seperti apa yang Papa...."
"Diam kamu Zevana! Ganti baju kamu dan ikut dengan Papa pulang sekarang!" Ucap Adrian dengan nada membentak.
Zevana langsung bungkam dan tidak berani bicara lagi. Percuma menjelaskan pada papanya sekarang, papanya pasti sudah salah paham. Lebih baik dia menuruti perintah papanya sekarang sebelum masalahnya bertambah panjang. Mungkin Zevana akan menjelaskan pada papanya nanti dirumah saja.
Zevana menatap Aksa dengan tatapan marah sekaligus benci, pria itu juga sedang menatapnya dengan tatapan datarnya. Lalu Zevana masuk kembali ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya. Dia meninggalkan papanya berdua bersama dengan Aksa di depan kamar hotel. Beberapa orang yang tadi menonton pun mulai bubar.
Adrian menatap kecewa pada Aksa, lalu dia meninggalkan Aksa tanpa mengatakan sepatah katapun. Setelah ini mungkin dia akan menghubungi Herman dan akan membicarakan tentang kelakuan anak-anak mereka yang sudah menghabiskan waktu bersama di kamar hotel.
Sementara itu di depan sana nampak seorang pria baru saja keluar dari dalam lift. Pria itu berlari ke arah Aksa dan berdiri di hadapannya. Dengan tubuh sedikit bergetar, pria itu menundukkan wajahnya tanpa berani menatap wajah majikannya. Keringat dingin juga nampak menempel di dahinya.
"Tu-tuan, maaf..." Ucap Dani dengan nafas tersengal-sengal. "Maaf karena saya sudah salah mengirimkan alamat kamar. Seharusnya kamar nomor 118, bukan 116."
Aksa menatap tajam pada Dani, rahangnya mengeras menandakan dia begitu marah. Namun dia enggan untuk menjawab ucapan Dani, bisa-bisanya asistennya itu melakukan kesalahan fatal seperti ini.
"Ma-mari Tuan, nona Tiara sudah menunggu di kamar nomor 118," ucap Dani menunjukan ke arah kamar nomor 118.
"Aku sudah tidak berminat!!"
Aksa pergi meninggalkan Dani, dia melangkahkan kakinya menuju ke arah lift dan memilih pergi meninggalkan hotel. Bukannya tenang, pikiran Aksa malah bertambah kacau. Harusnya malam ini dia sudah bersenang-senang. Namun karena kecerobohan Dani, dia harus kembali berada dalam masalah. Hari ini benar-benar menjadi hari yang sial bagi Aksa.
☘️
☘️
☘️
"Memalukan!! Bisa-bisanya kamu menginap berdua dengan seorang pria dikamar hotel." Adrian merasa sangat marah sekali. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumahnya.
Devi menatap suaminya yang sedang berdiri di hadapannya, suaminya itu sudah menceritakan tentang apa yang dilihatnya tadi di hotel.
Devi menoleh ke arah Zevana yang duduk di sampingnya, "Katakan sayang, apa maksudnya semua ini? Kamu baru kembali dari London tadi siang lho, tapi kamu malah menginap di hotel dengan seorang pria. Apa jangan-jangan selama di London kamu..."
Zevana segera memotong ucapan mamanya, "Ma, ini cuma salah paham. Kejadian tadi itu tidak seperti apa yang papa lihat. Aku juga tidak tau kenapa pria tadi bisa berada di dalam kamar hotel yang aku sewa."
Adrian yang sedang berdiri pun berjalan mendekat ke arah istri dan putrinya, "Apa kamu tau, Tuan Arthur adalah klien penting Papa. Beliau pasti sudah berfikir yang tidak-tidak tentang kamu."
Adrian merasa sangat malu sekali karena Tuan Arthur harus melihat kejadian di hotel tadi. Tuan Arthur pasti berfikir jika putrinya adalah seorang wanita yang memiliki pergaulan bebas.
"Papa tidak mau tau, besok malam kita akan bertemu dengan keluarga Herman Wibowo untuk membahas masalah ini."
"Maksud Papa?" Tanya Zevana tidak mengerti.
"Papa akan membicarakan tentang pernikahan kamu dengan putra Tuan Herman, yaitu pria yang bersama kamu tadi, Aksa Madeva."
Zevana yang mendengar ucapan papanya langsung berdiri dengan tegak dan menggeleng tidak setuju, "Tapi Pa, aku benar-benar tidak mengenal siapa pria itu. Jadi mana mungkin aku mau menikah dengannya. Pokoknya aku tidak setuju!!"
"Papa tidak mau tau, setuju tidak setuju kamu harus setuju. Ini menyangkut nama baik keluarga kita. Apa yang akan dikatakan oleh orang-orang jika mereka tau kamu menghabiskan waktu bersama dengan seorang pria didalam kamar hotel? Sekarang kamu masuk ke kamar kamu, kita akan membicarakan lagi masalah ini besok dengan keluarga Herman."
Tanpa ingin mendengar protes dari putrinya lagi, Ardian langsung bergegas pergi menuju kamarnya dengan disusul oleh istrinya. Mereka meninggalkan Zevana sendirian di rumah tamu. Zevana yang masih syok dengan ucapan papanya mendudukkan dirinya lemas di atas sofa. Cukup lama Zevana termenung, lalu dia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dibukanya kembali pesan yang dikirimkan oleh Lucas tadi saat dikamar hotel.
Zevana memandangi foto Aksa dengan tatapan penuh kebencian.
"Mungkin ini saatnya aku membalaskan dendam atas kematian Nadia. Aku tidak akan menolak keinginan papa, aku akan menerima pernikahan ini demi misi balas dendamku," gumam Zevana dengan sorot mata tajamnya.
...🩸🩸🩸...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!