Perang kedua antara kaum vampir dan manusia kembali terjadi. Peperangan kali ini membuat banyak dari kaum manusia meninggal, terluka dan menjadi tawanan di Istana Vampir.
Peperangan yang dipicu oleh keserakahan dan kekejaman kaum manusia itu benar-benar pecah, memancing amarah seorang Pangeran Mahkota dari Istana Vampir yang dikenal kejam tanpa belas kasih pada siapapun. Tak pandang bulu, baik itu wanita, ataupun pria.
"Bawa semua tawanan ke hadapanku!" teriakan dari sang Pangeran Mahkota begitu menggelegar, sehingga membuat para petinggi yang berada di aula istana langsung menoleh dengan keringat dingin ke arah para prajurit istana.
Dalam sekejap, tawanan perang digiring memasuki aula istana. Mereka yang menjadi tawanan bukanlah orang sembarangan, semua dari mereka adalah orang-orang penting di kaum manusia.
"Seret semua pria tua bangka ini ke dalam penjara bawah tanah!"
Pangeran Felix, sang Pangeran Mahkota dengan tatapan mematikan itu kembali mengedarkan pandangannya, menatap lekat satu persatu wajah-wajah iba yang tersungkur lemah di hadapannya.
"Gadis itu, beraninya dia menatapku seperti itu!"
Bagai tersambar kobaran api, amarah Felix semakin menjadi-jadi, gadis berwajah putih pucat itu membuang wajah setelah berani menatapnya dengan tatapan jijik.
Dengan amarah yang masih berkobar sehingga membuat orang-orang di sekitarnya merinding ketakutan. Suara sang Pangeran Mahkota kembali terdengar. "Dengar semuanya! Mulai sekarang, dia—" Pangeran Felix mengarahkan telunjuknya ke arah gadis malang itu, "dia adalah pelayan pribadiku!"
Hening, tak ada yang berani mengeluarkan suara, apalagi sampai membantah ucapan Pangeran Kejam itu. Lalu, dengan aura kejam yang begitu lekat, Pangeran Mahkota Istana Vampir itu melangkah mendekati Aurora.
"Dan kamu, mulai sekarang, kamu adalah pelayan pribadiku! Kamu hanya boleh mendengar dan patuh pada perintahku!" ucap Pangeran Felix sembari mengelus pelan kepala gadis malang itu.
"Cih, singkirkan tanganmu dariku, dasar Vampir Menjijikkan!"
Aurora Borealis, dikenal sebagai anak bungsu dari petinggi kaum manusia, satu-satunya orang yang selamat dari peperangan yang menewaskan ayah, ibu dan kakak laki-lakinya, Nicholas.
Gadis bangsawan yang dikenal semua orang karena kecantikan parasnya, dia juga menjadi satu-satunya gadis bangsawan yang tertawan.
"Bawa dia pergi dan bersihkan tubuhnya! Aku tidak ingin memiliki pelayan yang tidak pernah mandi berhari-hari!"
Para pelayan wanita segera mendekat, menggiring Aurora keluar dari aula istana.
"Lepaskan aku! Aku ingin pergi dari tempat menjijikan ini!"
"Tenanglah, Nona. Sebaiknya Anda jangan memberontak lagi sekarang, Pangeran Mahkota bisa saja langsung membunuh Anda," ucap salah seorang pelayan.
"Aku tidak takut mati, lebih baik aku mati, daripada harus menjadi pelayan pribadi dan melayani vampir menjijikkan itu!"
Sayangnya, sekuat apapun Aurora memberontak, para pelayan wanita itu tetap mengiringnya menuju sebuah ruangan. Aurora yang sudah dalam keadaan lemah dan tidak memiliki banyak tenaga lagi dengan beberapa luka di tubuhnya, akhirnya pasrah, mengikuti setiap arahan dari para pelayan wanita istana vampir.
*****
"Sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri?" tanya Pangeran Felix sembari memandangi tubuh Aurora yang terbaring lemah.
"Sejak kami memberinya obat penawar, Pangeran."
"Hmm, keluarlah, dan untuk makan malamku, bawa saja ke sini!"
"Baik, Pangeran."
Pangeran Felix mengitari ranjang tempat tubuh Aurora terbaring, dari jarak sedekat sekarang, ia bisa mencium aroma khas pada tubuh gadis itu. Terutama dari aroma sisa darah yang keluar dari beberapa lukanya.
"Jika kaummu memburu para wanita kami untuk dijual dan dilecehkan, maka kamu berada di sini untuk membayar ulah mereka!"
*****
Kehancuran kota Amartha menjadi tanda kekalahan telak kaum manusia dari peperangan. Kota yang berdiri kokoh dan megah itu kini sudah hancur lebur, menyisakan puing puing bangunan, sangat mengenaskan.
Hanya karena ulah beberapa orang rakus, tamak, kejam dan biadab, semua kaum manusia harus merasakan penderitaan. Para petinggi pria dari kaum manusia yang menjadi tawanan dihukum di penjara bawah tanah Istana Vampir, tanpa kemungkinan pembebasan. Sedangkan para wanita dibawa ke kastil istana di wilayah barat, mereka ditawan di sana, dijadikan pelayan untuk para petinggi kaum vampir.
"Aku di mana?"
Aurora mengedarkan pandangannya, mengamati setiap sudut ruangan dengan pencahayaan yang remang-remang.
"Sudah sadar?"
"Dia? Apa yang dia lakukan di sini?"
Pangeran Felix berdiri, dengan segelas darah segar di tangannya, ia berjalan mendekati Aurora yang masih berdiam diri di atas kasur, menatap jijik ke arahnya.
"Pantaskah seorang pelayan menatap Tuannya seperti itu?" Gelas yang hampir kosong itu menyentuh dagu Aurora. Aromanya tidak begitu menyengat, bahkan tidak tercium seperti aroma darah pada umumnya.
"Aku bukan pelayanmu—"
Belum sempat Aurora menyelesaikan ucapannya, tangan kekar Pangeran Felix sudah terlebih dahulu mencengkeram lehernya, membuat Aurora kesusahan bernapas.
"Jadilah pelayan yang baik, jika kamu masih ingin hidup! Dan patuhilah perintahku, jika kamu masih menginginkan masa depan untuk kaum manusia!"
Dengan kasar Pangeran Felix melepaskan cengkramannya. Hingga tubuh Aurora terhempas ke kasur. "Makanlah! Aku tidak suka pelayan yang kurus kering sepertimu!"
Tatapannya yang tajam, benar-benar menghunus setiap inci tubuh Aurora, hanya dengan ditatap saja, membuat Aurora merasa dikuliti hidup-hidup oleh Vampir Kejam itu!
"Dasar Vampir Menjijikkan! Vampir Kejam!" teriak Aurora setelah Pangeran Felix meninggalkan ruangan tempat ia beristirahat.
"Leherku?" Gadis itu meraba lehernya, bahkan lehernya sekarang masih terasa sakit akibat cengkraman Vampir itu!
"Aku bersumpah, suatu saat nanti, aku akan membuatmu tunduk padaku!"
Entah sadar atau tidak dengan apa yang ia ucapkan, namun tekad Aurora begitu menggebu sekarang. Bagaimanapun caranya, Aurora akan membuat Vampir Sialan itu bertekuk lutut padanya!
Meski ia juga sadar, kalau hal tersebut sangat sulit dijangkau olehnya, dan terdengar hampir mustahil.
******
Tugas Pelayan Pribadi Pangeran Mahkota Istana Vampir. Tugas yang diemban oleh Aurora, bukanlah tugas seperti pelayan pada umumnya. Tugas seorang pelayan pribadi ditentukan oleh sang Tuan. Semua yang diperintahkan oleh sang Tuan adalah tugas yang harus dipatuhi dan diselesaikan.
Bahkan, tugas Pelayan Pribadi juga disamakan dengan tugas seorang Pelayan Darah. Seorang Pelayan Darah hanya memberikan darahnya kepada Tuannya. Namun, apalagi dia adalah seorang Pelayan Pribadi, dan Tuannya menginginkan darahnya, maka dia berkewajiban untuk memberikan darahnya, sebagai bentuk ketaatan pada sang Tuan.
"Bawa sarapan ini ke kamar Pangeran." Seorang Kepala Pelayan memberikan nampan yang berisikan segelas darah segar, beberapa buah-buahan dan daging yang dibakar dengan bumbu-bumbuan khusus pada Aurora.
Tadi, sebelum Aurora disuruh ke dapur, seorang pelayan menunjukan kepada Aurora di mana letak kamar Pangeran Felix. Kamar dengan pintu yang menjulang tinggi itu sangatlah luas, mungkin 10 kali lipat dari kamar yang ditempati oleh Aurora!
"Masuk!"
Tidak seperti apa yang Aurora bayangkan. Kamar si Pangeran Vampir itu ternyata sangatlah bersih dan tertata rapi, tidak jelek, kumuh dan bau seperti apa yang ada di pikiran Aurora tadi!
"Letakan saja di atas meja. Aku mau mandi, siapkan air untukku!"
"Mandi? Apakah Vampir Busuk sepertinya butuh mandi juga? Hmm, mandi dengan bunga tujuh rupa pun tidak akan bisa menutupi aura kebusukannya!"
"Hah? Apa dia sudah gila! Dianya menyuruhku masuk ke dalam kamar mandi?!"
"Pelayan! Apa kamu tuli?!" teriak Pangeran Felix dari dalam kamar mandi. Aurora bisa merasakan aura kemarahannya dari sini.
"Tidak!"
"Hitungan ketiga kamu belum masuk, matilah kamu! Satu .... Du—"
Dengan sangat amat terpaksa, Aurora akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar mandi dengan mata yang terpejam, ia tidak ingin mata sucinya ternodai oleh tubuh Vampir Kejam Sialan itu.
"Mendekatlah! Gosok punggungku!"
"I-iya."
Aurora membuang muka, dari sekian banyak tugas yang dijelaskan oleh kepala pelayan, Aurora tidak sedikitpun menerima penjelasan tentang 'layanan memandikan Pangeran' seperti ini!
"Gosok yang benar!" titah si Pangeran Vampir yang kini sedang berendam dengan posisi membelakangi Aurora yang sedang menggosok punggungnya.
Meski mengumpat dan terus menerus bersumpah serapah di dalam hati, Aurora menuruti ucapan si Vampir itu. Bukan karena Aurora ingin tunduk padanya! Tapi Aurora ingin main aman saja, kata para pelayan, selama mereka patuh, maka Pangeran Mahkota tidak akan berlaku macam-macam.
"Sabar, Aurora, masa depan anak-anak yang tidak bersalah itu harus tetap kamu pertimbangkan."
Saat masih menjadi tawanan, Aurora sempat mendengar kabar, kalau banyak anak-anak dari kaum manusia yang diamankan oleh kaum vampir setelah peperangan.
Mereka diamankan di sebuah desa pelosok untuk menghindari konflik pasca perang, dan menurut kabar yang beredar, sampai sekarang, anak-anak itu masih di bawah pengawasan kaum vampir. Kapan saja kaum vampir bisa berubah pikiran, dari melindungi jadi memusnahkan!
"Sekarang, kuasa ada di tangan Pria Vampir ini, jadi sebaiknya aku harus menahan diri agar tidak memancing amarah iblisnya."
Aurora terus membatin, memikirkan dan menyusun cara yang tepat agar semuanya bisa berjalan baik-baik saja, tanpa harus mengorbankan siapapun itu.
Tanpa Aurora pernah tau, semua yang ia pikirkan dan ucapkan dalam benaknya bisa terdengar jelas oleh sang Pangeran Mahkota Istana Vampir yang masih diam dan terlihat mulai tenang, mungkin sedang menikmati pelayanan pertama Aurora?
******
Setelah tugas mengantarkan sarapan dan pelayanan mandi pagi selesai, Aurora akhirnya diperbolehkan keluar dari kamar Pangeran Felix, tapi dengan catatan : Aurora harus tetap berada di sekitar kamar Pangeran, dan selalu siap siaga kapanpun Pangeran Felix memanggilnya.
"Dia masih bergelar sebagai Pangeran Mahkota, itu artinya, masih ada Raja Vampir, kan? Tapi, kenapa selama ini aku tidak pernah melihatnya?"
Pertanyaan itu terus menghantui pikiran Aurora. Sampai ia tak sengaja mendengar beberapa pelayan sedang membicarakan tentang upacara penyambutan kepulangan Raja Vampir ke Istana setelah peperangan.
"Hmm, jadi dia meninggalkan istana selama peperangan? Apakah dia lebih kejam dari anaknya?"
Selama hidupnya, Aurora jarang sekali mendengar cerita tentang sang Raja Vampir, bukan tanpa alasan, kaum vampir dan kaum manusia sebelumnya hidup tenang, tanpa pernah ada pertikaian selama ratusan tahun terakhir.
Kehidupan kedua kaum tersebut berjalan tanpa pernah ingin tau kehidupan satu sama lain, kaum manusia dengan dunia dan kehidupan mereka sendiri, begitu pun dengan kaum vampir.
Beberapa kali, Aurora memang pernah mendengar tentang kekejaman Pangeran Mahkota Istana Vampir, dan bodohnya, dulu Aurora mengira itu hanyalah dongeng semata untuk menakuti para penduduk di perbatasan agar tidak berlaku macam-macam dengan kaum vampir.
"Julukan Pangeran Kejam memang cocok untuknya!" gerutu Aurora sembari terus melanjutkan tugasnya membersihkan area sekitar kamar Pangeran Mahkota.
"Untuk siapa?"
Spontan, Aurora langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan dari suara mengerikan itu. Dan benar saja, sesuai dugaan, si Pangeran Kejam itu kini sudah berdiri di belakang Aurora dengan tatapan tajam!
"Apakah julukan itu untukku?" Pangeran Felix mendekat, membuat Aurora menelan ludah, lalu secara perlahan melangkah mundur. "Sepertinya, kamu sangat ingin merasakan langsung kekejamanku—"
Satu tarikan di pinggang cukup membuat tubuh Aurora terkunci, kini, ia tidak bisa menghindar lagi, si Pangeran Vampir itu benar-benar mengunci pergerakannya.
"Mau mencicipi kekejaman yang seperti apa, wahai Pelayan Pribadiku?"
"Lepaskan aku!" Aurora memberontak saat Pangeran Felix semakin menarik pinggangnya, membuat tubuh Aurora secara otomatis ikut tertarik dan menempel dengan tubuh sang Pangeran.
"Tubuhnya sangat dingin dan wangi—"
Aurora menggeleng pelan. Dengan sisa keberanian yang ada, ia mencoba untuk menatap Pangeran Felix. "Sialan! Kenapa Vampir ini malah menatapku dengan tatapan kejam dan kelaparan?"
"Tidak akan kulepaskan sampai kamu mengerti bagaimana cara bersikap yang benar!"
Dalam satu kedipan mata, Pangeran Felix membawa Aurora kembali masuk ke dalam kamarnya, lalu ia melempar tubuh Aurora ke atas kasur dan dengan gerakan yang begitu cepet, Pangeran Felix sudah berada di atas tubuh gadis malang itu, mengungkung tubuhnya.
"Apa yang akan Vampir Kejam ini lakukan? Apakah dia akan—"
"Argh .... Saakitt!" Aurora melotot saat Pangeran Felix tiba-tiba saja mengigit bahunya, sehingga darah merah segar keluar secara perlahan. "Dasar Vampir Sialan! Kenapa dia tiba-tiba mengigitku! Sialan! Ini sakit sekali!"
Di saat Aurora sibuk menggerutu, Pangeran Felix justru sebaliknya, ia menatap lekat bahu putih Aurora, mengamati setiap pergerakan pelan dari aliran darah yang ia buat. "Darah ini milikku!"
Deg.
Jatung Aurora terasa hampir copot ketika lidah Pangeran Felix menyentuh kulitnya, menjilati darah yang berada di sekitar bahu, lalu menghisap sisa darah yang akan keluar dari luka Aurora dengan pelan?
"Apa yang kamu lakukan?!" Aurora mencoba mendorong dada Pangeran Felix, namun dengan sigap Pangeran Vampir itu mencengkram kedua pergelangan tangan Aurora dengan tangan kirinya.
"Diam!"
Tangan kanan Pangeran Felix mengusap bekas gigitan yang tak lagi mengeluarkan darah itu, tapi masih terlihat merah akibat hisapan pelannya. Lalu, Pangeran Mahkota itu mengalihkan pandangannya, menatap wajah Aurora yang masih berada di bawah kungkungannya.
"Ini hanya peringatan untukmu, jika kamu masih terus berpikiran untuk membangkang, maka aku akan menggigit dan menghisap darahmu sampai kamu mati kehabisan darah!"
"Sepertinya itu terdengar jauh lebih baik daripada harus melayani Vampir Kelaparan ini seumur hidupku."
Pangeran Felix yang bisa mendengar setiap apa yang Aurora pikirkan mulai menyeringai. "Ini bukan hanya tentang hidupmu, tapi juga tentang masa depan kaum manusia, pikirkanlah baik-baik semua itu!"
Aurora langsung terdiam seribu bahasa, ia tidak tau pasti apakah Pangeran Vampir ini bisa membaca pikirannya atau tidak, tapi jika iya, maka itu sangatlah menakutkan!
Hush
Tubuh Pangeran Felix yang tadinya berada di atas tubuh Aurora kini sudah berdiri tegak di pinggir kasur. "Rapikan kasurku!"
Setelah memberikan perintah tersebut, si Pangeran Mahkota Istana Vampir itu pun melangkah keluar dari kamarnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Darah gadis itu lumayan juga!"
Pangeran Felix mengusap sudut bibirnya. Sebenarnya, Pangeran Felix tidak sedang marah pada Aurora, tapi ia merasa tidak puas dengan menu sarapan yang Aurora bawa. Alhasil, keinginan untuk mencicipi darah Aurora pun terlintas dan terjadilah drama peringatan tadi.
Sementara itu, di dalam kamar Pangeran Felix. Aurora terduduk lesu di pinggir kasur, ini baru hari pertama ia menjadi Pelayan Pribadi si Pangeran Vampir dan sudah ada kejadian seperti ini! Lalu bagaimana dengan hari kedua? Ketiga? Keempat? Dan seterusnya? Apakah Aurora masih bisa bertahan?
"Aurora, tenang, kamu harus tenang! Dengan menjadi Pelayan Pribadi Pangeran Vampir itu kamu bisa mendapatkan akses yang luas di dalam istana ini. Dan apa yang dia katakan tadi memang benar, ini bukan hanya tentang hidupmu, Aurora! Tapi tentang masa depan kaum manusia! Anak-anak itu tidak bersalah, baik kamu ataupun mereka sama-sama korban sekarang!"
Aurora menarik napas dalam. Mungkin sekarang ia terkesan seperti menjilati ludahnya sendiri, tapi bagaimanapun itu, mengorbankan nyawa anak-anak yang tidak bersalah bukanlah jalan keluar dari permasalahan ini!
"Pelayan Pribadi, aku akan memanfaatkan posisi ini!"
Aurora tidak tau si Pangeran Vampir itu sedang ke mana, yang pasti, ia merasa sangat lega karena diberikan waktu istirahat sampai beberapa jam kedepan.
"Sial, luka-luka ini masih terasa sangat nyeri, waktu istirahatku jadi tidak bisa terpakai dengan maksimal!"
Aurora bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah cermin. Wajah cantiknya kini terlihat begitu pucat, dengan tubuh yang dipenuhi luka, memang tidak terlalu besar, tapi luka-luka itu cukup dalam sehingga butuh waktu lama untuk benar-benar sembuh total.
Masih dengan tatapan yang tertuju pada pantulan cermin, Aurora meraba bahunya, bekas gigitan Pangeran Vampir itu terlihat sangat jelas di atas kulit putihnya dan masih terasa sakit jika disentuh.
Hanya bisa menghembus napas pelan. Aurora kembali melangkah mendekati kasur, merebahkan tubuhnya di sana. Mengeluh tidak akan merubah keadaan, sebaiknya Aurora sekarang mulai beristirahat, setidaknya ia harus menggunakan kesempatan berharga ini, meski tidak bisa beristirahat dengan tenang dan nyenyak seperti sediakala.
Sebelum memasuki pertengahan malam. Seorang pelayan wanita membangunkan Aurora, meminta Aurora bersiap-siap menyambut kepulangan Pangeran Mahkota Istana Vampir dan Raja Istana Vampir.
Di bawah cahaya rembulan yang bersinar terang, di antara barisan para pelayan wanita, Aurora berdiri paling depan, mengikuti acara penyambutan kepulangan sang Raja.
Dari tempat Aurora berdiri sekarang, Aurora bisa melihat dengan jelas tubuh tegap Pangeran Felix yang berdiri di sisi kanan seorang pria yang tak kalah gagahnya, dialah sang Raja Vampir.
Berbeda dengan Pangeran Felix yang memancarkan aura bengis dan kekejaman, wajah dan bahasa tubuh Raja Vampir justru sebaliknya, ia tampak sangat berwibawa tanpa ada kesan mengintimidasi orang lain. Tampak gagah tanpa ada aura kekejaman sedikit pun.
"Tidak, Aurora, kamu tidak boleh tertipu dengan wajah pria itu, kamu tidak pernah tau seperti apa sifat aslinya!"
Aurora tersentak saat seorang pelayan mencubit tangannya, memberikan isyarat agar Aurora ikut mendudukkan kepala, memberikan hormat pada Pangeran Mahkota dan Raja.
"Matilah aku, kenapa dia menatapku seperti itu!"
Buru-buru Aurora ikut mendudukkan kepalanya, bukan berniat memberikan hormat, lebih tepatnya untuk menghindari kontak mata dengan si Pangeran Vampir!
Semua rombongan Raja Vampir sudah memasuki istana. Kini, para pelayan ditugaskan untuk menjamu tamu-tamu istana yang berada satu rombongan dengan Raja.
"Aurora, kamu tidak perlu ikut menjamu tamu, sebaiknya cepatlah ke kamar Pangeran Mahkota, sepertinya Pangeran sudah menunggumu!" ucap kepala pelayan, membuat Aurora langsung membeku, kaku.
Dengan langkah gontai, mau tak mau Aurora melangkahkan kakinya menuju kamar maut itu. "Semoga nasib baik berpihak lagi padaku."
Belum sempat Aurora mengetuk pintu kamar, suara Pangeran Felix sudah terdengar terlebih dahulu. "Masuk!"
"Dia tau kalau aku sudah ada di depan kamarnya?" gumam Aurora, lalu dengan sangat pelan ia membuka pintu kamar Pangeran Felix.
"Siapkan air hangat untukku!"
Aurora hanya menjawab dengan anggukan pelan.
"Tuan, panggil aku Tuan, aku adalah Tuanmu! Mengerti!"
Meski merasa jengkel, sekali lagi, Aurora mencoba untuk memasang wajah tenang dan tersenyum. "Baik, Tuan. Saya mengerti."
Pangeran Felix tersenyum samar. "Sana, pergi siapkan airnya!"
"Baik, Tuan. Tunggu sebentar." Aurora bergegas pergi menyiapkan apa yang Pangeran Felix perintah, tak lupa sembari menggerutu di dalam hati.
"Dasar Vampir Pemaksa! Maunya selalu dituruti! Mau selalu dilayani! Dan sekarang mau dihormati! Tuan? Dia memintaku untuk memanggilnya Tuan?! Jika tidak terpaksa, aku tidak akan pernah sudi memanggilnya Tuan! Aku bukan pelayan!!"
*****
Di lantai dasar Istana Vampir, semua tamu sibuk menikmati jamuan, tak satupun dari mereka berani menanyakan keberadaan sang Pangeran Mahkota yang seharusnya ikut menikmati jamuan juga.
Sedangkan orang yang tidak menghadiri jamuan malah sedang tersenyum lebar di dalam kamar.
"Pelayan!!"
Teriakan Pangeran Felix lagi-lagi mampu memekakkan telinga Aurora. Dengan wajah kesal, Aurora kembali berlari mendekati kamar mandi, namun ia tidak berani masuk. "Saya di sini, Tuan."
"Masuk!"
"Apa? Aku harus masuk lagi?! Tadi dia menyuruhku untuk menyiapkan baju! Sekarang?! Dasar Vampir Menyebalkan!"
"Kamu tuli?!"
"Tidak, Tuan."
"Cepat!"
"Baik, Tuan."
Kejadian tadi pagi terulang kembali, bedanya, kali ini Aurora tidak bertugas untuk menggosok punggung si Vampir Kejam itu, melainkan Aurora diminta untuk memijat bahu dan juga lengannya.
"Aku baru sadar kalau Vampir Menyebalkan ini memiliki bahu kekar dan otot lengan yang sangat besar. Eh, aku kok jadi berpikiran ke sana!!!"
"Pijat yang benar!"
"Baik, Tuan."
Pangeran Felix kembali memejamkan matanya, sebelum Aurora masuk ke dalam kamar mandi, ia selalu menggunakan kekuatannya untuk memberikan efek buram pada air yang ada di dalam bak mandi tempat ia berendam, agar Aurora tidak bisa melihat bagian privasinya. Meski sebenarnya ia tau kalau Aurora tidak akan mengintip juga! Tapi, apa salahnya jaga-jaga!
"Aku harus mengobati lukaku setelah ini, rasanya tangan dan kakiku keram dan nyeri sejak tadi."
Pangeran Felix yang tadinya terpejam berdehem pelan setelah mendengar ocehan hati Aurora. "Hmm, keluarlah! Dan pergi ambilkan makan malam untukku!"
"Baik, Tuan."
Aurora menghembus napas lega. Meski tugasnya belum selesai, setidaknya tugas pelayanan mandi untuk Pangeran sudah terlewatkan!
Kepala Pelayan yang melihat Aurora yang berjalan lemas ke arah dapur, segera memberikan isyarat pada beberapa pelayan, agar mereka menyiapkan hidangan makan malam Pangeran Mahkota.
"Minumlah!"
Aurora menatap segelas susu yang Kepala Pelayan sodorkan. "Untukku?"
"Iya, ini susu sapi terbaik yang istana vampir miliki, minumlah!"
"Tapi, aku ke sini untuk—"
"Makan malam Pangeran Felix sebentar lagi siap, sembari menunggu, duduk dan minumlah terlebih dahulu!" ucap Kepala Pelayan menyela ucapan Aurora.
"Baiklah, terimakasih."
Aurora pun menerima segelas susu tersebut dengan tersenyum canggung. Dari awal Kepala Pelayan memang selalu berlaku baik padanya, tapi Aurora tetap merasa sungkan. Bagaimanapun, Aurora sebelumnya hanyalah orang asing di istana ini, dan tetap menjadi orang asing sampai selamanya!
Setelah menghabiskan segelas susu yang Kepala Pelayan berikan, Aurora pun melanjutkan tugasnya, ia mengambil nampan yang berisi makan malam untuk Pangeran Felix, membawa nampan itu menuju kamar sang Pangeran dengan hati-hati.
"Tuan, ini makan malam—"
Ucapan Aurora terhenti ketika melihat Pangeran Felix sedang berdiri di dekat jendela kamar yang terbuka, hingga hembusan angin malam yang cukup kencang membawa serta aroma tubuh pria itu.
"Harum."
Aurora tertegun ketika tatapan Pangeran Felix tertuju padanya. Dengan langkah pelan, Vampir itu mendekati Aurora. Senyum yang entah apa maknanya membingkai wajah yang tampak terlihat lebih segar itu.
"Kamu menyukai aroma tubuhku?"
"Eh?"
Seperti maling yang sedang kepergok, Aurora kikuk, mau menyangkal, tapi bibirnya tak bisa mengeluarkan kata-kata!
"Jadi, mana yang benar? Aroma tubuhku busuk atau harum?" tanya Pangeran Felix, masih dengan langkah yang semakin mendekati Aurora.
"Tuan, saya harus taruh di mana makan malam—"
Deg.
Aurora semakin dibuat melongo setelah Pangeran Felix mengambil alih nampan ya ia pegang, lalu dengan santai melempar nampan tersebut ke arah meja, anehnya, nampan itu malah mendarat dengan mulus, bahkan tidak setetes pun dari darah yang berada di dalam gelas itu tumpah!
Melihat raut wajah Pangeran Felix yang tiba-tiba saja berubah seperti seorang serigala yang kelaparan dan siap menerkam mangsanya, Aurora pun mulai melangkah mundur. Hendak melarikan diri.
"Kenapa dia tiba-tiba menatapku seperti itu lagi? Apa yang akan dia lakukan?! Heh! Jangan semakin mendekatiku!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!