NovelToon NovelToon

Istriku Selingkuhanku

1. Persyaratan

Seorang gadis kurus berpakaian lusuh, kulit kecoklatan, kusam, kering, rambut sebahu kusam dan pecah-pecah, nampak berlari di samping brankar yang didorong perawat menuju UGD.

"Ello, kamu harus kuat. Kakak tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Kamu harus bertahan!" ucap gadis yang tak lain adalah Elin. Kepanikan nampak jelas di wajahnya yang basah oleh air mata.

Beberapa menit kemudian Elin duduk menangis di koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu adiknya menjadi korban tabrak lari dan dilarikan ke rumah sakit tempat dirinya berada saat ini.

Adiknya butuh biaya untuk operasi, namun ia dan adiknya yang merupakan anak yatim-piatu tanpa sanak saudara di kota besar ini, tidak memiliki cukup uang untuk biaya operasi.

Elin adalah gadis yang tidak lulus SMA yang berprofesi sebagai penjual kue keliling. Ia putus sekolah karena ibunya meninggal ketika ia menerima raport semester satu saat kelas 12. Ia menggantikan ibunya menjadi tulang punggung keluarga, melanjutkan usaha ibunya berjualan kue keliling.

Ayahnya? Sepuluh tahun yang lalu ayahnya pamit pergi bekerja, tapi tidak pulang hingga saat ini dan tidak pernah ada kabar beritanya. Entah masih hidup atau sudah meninggal.

Ia dan adiknya tinggal di rumah petakan padat penduduk di lingkungan kumuh dan makan seadanya agar bisa menabung untuk biaya sekolah adiknya.

Ia bekerja keras tanpa lelah, pagi berjualan kue, siang menjadi pemulung dan malam hanya tidur sebentar karena pukul tiga dini hari sudah mulai membuat kue untuk di jual pagi hari. Semua itu ia lakukan agar adiknya bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter. Ia tak ingin cita-cita adiknya kandas seperti cita-citanya yang ingin menjadi seorang guru.

Elin memiliki harapan besar adiknya bisa menjadi dokter karena adiknya sangat cerdas, selalu rangking satu, dan selalu mendapatkan beasiswa. Karena itu selama ini Elin tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk sekolah adiknya dan bisa menabung meskipun tidak banyak.

"Bagaimana caranya agar aku bisa menyelamatkan Ello? Dia saudaraku satu-satunya. Aku harus bagaimana?" gumam Elin menangis terisak-isak memeluk kedua lututnya.

Elin takut kehilangan adiknya, keluarganya satu-satunya yang ia miliki. Elin merasa putus asa karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan adiknya.

Menjual diri? Siapa yang akan tertarik dengan gadis kurus dan dekil seperti dirinya? Menjual organ tubuh? Elin sudah bicara pada beberapa orang perawat dan dokter kalau dirinya ingin menjual ginjal dan hatinya agar bisa membiayai operasi adiknya, tapi perawat dan dokter tidak menanggapinya.

"Kakek bisa membantumu," suara kakek tua terdengar membuat Elin mengangkat wajahnya menatap sang kakek berwajah pucat yang duduk di kursi roda. Seorang pria paruh baya nampak berdiri di belakang kakek tua itu.

"Be.. benarkah?" tanya Elin antara tak percaya dan penuh harap menatap sang kakek.

"Benar. Asalkan kamu menyanggupi persyaratan yang kakek ajukan," sahut sang kakek.

"Saya akan melakukan apapun, asalkan adik saya bisa selamat," ucap Elin yang sudah putus asa. Tidak peduli syarat apa yang diinginkan kakek tua ini, yang penting adiknya bisa selamat.

"Apapun?" tanya sang kakek memastikan.

"Apapun. Menjadi pelayan keluarga kakek seumur hidup pun saya rela. Bahkan.. saya rela memberikan organ tubuh saya jika diperlukan, asal adik saya bisa selamat," jawab Elin penuh kesungguhan masih dengan wajah yang basah oleh air mata.

"Baik. Kita tolong adik kamu dulu, setelah itu kita bicarakan syarat yang kakek inginkan," ucap sang kakek.

Akhirnya adik Elin mulai ditangani dokter di ruangan operasi. Selama menunggu adiknya di operasi, Elin dan sang kakek yang ternyata bernama Zhafran tersebut saling memperkenalkan diri. Kakek Zhafran bertanya banyak hal tentang Elin.

Beberapa jam kemudian Elin bisa bernapas lega setelah dokter mengatakan bahwa operasinya berjalan lancar. Setelah operasi selesai, adik Elin di bawa ke dalam ruang pemulihan ( ruang recovery).

Di ruangan recovery, pasien di observasi tanda-tanda vital, keluhan, perdarahan atau masalah lainnya selama 2 – 3 jam. Setelah itu akan dipindahkan ke ruangan rawat inap atau rawat intensif sesuai dengan advis (saran) dokter.

"Menurut dokter, kemungkinan besar adik kamu akan segera pulih, karena semangat hidupnya tinggi. Sebelum kita bicarakan tentang perjanjian kita tadi, kamu ambil dulu semua berkas pribadi mu," ujar Kakek Zhafran.

"Baik," sahut Elin mengikuti Kakek Zhafran yang duduk di kursi roda dan didorong oleh seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah Hadi.

Mereka masuk ke dalam sebuah mobil yang perlahan meninggalkan rumah sakit menuju kawasan perumahan kumuh milik Elin. Jujur, baru kali ini Elin naik mobil mewah. Seumur hidupnya, mobil yang pernah dinaiki Elin hanya mobil angkot, bus dan mobil pick up.

Dari kamar rumah sakit yang berbau obat, Elin bersama Kakek Zhafran dan Pak Hadi keluar menuju dunia yang berbeda. Mobil mewah Kakek Zhafran yang dikemudikan oleh Pak Hadi meluncur mulus di jalanan aspal yang mulus, kontras sekali dengan jalanan berlubang dan berdebu yang biasa Elin lalui. Jendela mobil diturunkan sedikit, angin malam membelai wajah Elin, membawa aroma bunga-bungaan yang asing. Elin memejamkan mata, mencoba membayangkan bagaimana kehidupannya akan berubah dari saat ini.

Mobil melaju semakin jauh meninggalkan rumah sakit. Elin menatap keluar jendela, pikirannya melayang, "Tadinya, aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar adikku bisa sembuh. Sekarang, aku dihadapkan pada kenyataan baru, yaitu syarat yang diberikan oleh Kakek Zhafran yang belum aku ketahui. Aku yakin syarat ini tidaklah mudah. Mungkin ke depannya aku akan menjalani kehidupan yang sangat berbeda dari yang pernah aku bayangkan. Apakah aku siap menghadapi semua ini?" batin Elin bertanya-tanya.

Setelah Elin mengambil semua berkas pribadinya dan menyerahkannya pada Pak Hadi, mereka langsung melanjutkan perjalanan ke perumahan elit di kota tersebut.

Elin tertegun menatap rumah-rumah yang dibangun serta didesain dengan arsitektur yang modern dan elegan, menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi seperti marmer, kayu jati, dan kaca. Luas bangunannya pun sangat besar.

Berbeda 180 derajat dengan perkampungan tempatnya tinggal. Kondisi fisik rumah di perkampungan tempat tinggalnya sangat buruk dan tidak layak huni. Bangunannya terbuat dari bahan seadanya, seperti kayu lapuk, seng bekas, atau bahkan anyaman bambu. Ukurannya pun terbatas dan seringkali tidak memiliki ventilasi yang cukup.

Lingkungan sekitar tempatnya tinggal juga tidak sehat, sanitasi buruk, akses terbatas terhadap air bersih, gang sempit, banyak sampah di mana-mana, bau got menyengat yang membuat perut mual, jemuran berbentuk kacamata dan segitiga warna warni, alias pakaian dalam bergelantungan bebas di atas kepala.

Tempat tinggalnya dan tempat tinggal sang kakek benar-benar jauh berbeda, berbanding terbalik, bagai langit dan bumi.

Tak lama kemudian mobil tersebut memasuki gerbang sebuah rumah besar. Elin menelan salivanya kasar saat turun dari mobil dan melihat rumah yang ada di depannya saat ini.

Elin yang hanya memakai sandal jepit berwarna putih yang tidak lagi putih itu mengikuti sang kakek masuk ke dalam rumah besar, megah nan mewah.

Ia bahkan melepaskan sandal jepitnya sebelum masuk ke dalam rumah karena takut mengotori lantai yang bisa dipakai untuk bercermin karena sangking bersihnya. Para pelayan di rumah itu menatap Elin dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Rumah ini sungguh indah. Cahaya lampu kristal menyinari ruangan, memantul pada lantai marmer yang berkilau. Aku merasa seperti Alice yang tersesat di Negeri Ajaib," batin Elin seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Setiap sudut rumah Kakek Zhafran memancarkan kemewahan yang tak terbantahkan. Lampu kristal yang berkilauan menerangi ruangan, sementara lantai marmer berkilau memantulkan cahaya. Perabotan antik menghiasi setiap ruangan. Dinding-dindingnya dihiasi oleh lukisan yang begitu indah dan hidup, menciptakan galeri seni pribadi yang menakjubkan.

Berbeda jauh dengan rumah petakan tempat tinggalnya yang sempit tanpa perabotan dan hanya diterangi light bulb (bola lampu) 10 Watt. Lemari pakaiannya adalah kardus bekas, dan dirinya tidur hanya beralaskan tikar usang. Tidak ada kursi, ranjang, apalagi meja makan.

"Mira.." panggil Kakek Zhafran, pada seorang wanita paruh baya.

Sedangkan Pak Hadi masih di belakang Kakek Zhafran, siap mendorong kursi roda Kakek Zhafran kemanapun.

"Iya, Tuan besar," sahut Mira yang merupakan kepala pelayan di rumah tersebut sekaligus ibu susu Zion, cucu Zhafran satu-satunya.

"Kamu tunjukkan kamar tamu untuk Elin, agar Elin bisa membersihkan diri," titah Zhafran dengan suara pelan dan wajah yang terlihat pucat.

"Baik, Tuan besar," sahut Mira, kemudian membimbing Elin ke salah satu kamar tamu yang ada di rumah tersebut.

Kakek Zhafran menatap Elin yang dibimbing menuju kamar tamu dengan tatapan penuh penyesalan.

"Aku sadar bahwa kesalahanku telah menimbulkan dampak yang begitu besar bagi keluargamu. Kesalahan ini terasa begitu berat, seakan menindih dada dan menyumbat napasku. Setiap kali mengingat peristiwa itu, penyesalan menusuk relung hati terdalamku. Rasa bersalah ini bagaikan bayangan gelap yang tak pernah lepas dari diriku, menghantui setiap langkah dan menghancurkan ketenanganku. Elin.. maaf.." kata yang tidak terucap dari mulut Kakek Zhafran. Bibirnya nampak bergetar, mata berkaca-kaca dan kedua tangannya terkepal erat.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

2. Tidak Setuju

Hari sudah pagi, Elin di bimbing seorang pelayan menuju ruangan makan. Jantung Elin berdebar kencang saat ia memasuki ruangan makan yang megah. Meja makan yang terbuat dari kayu jati tua dengan ukiran rumit, dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis beludru, membuatnya merasa seperti seorang tamu tak diundang di istana.

Elin dipersilahkan duduk di salah satu kursi meja makan yang di sana sudah ada Kakek Zhafran dan Pak Hadi, orang kepercayaan Kakek Zhafran yang selalu ada di samping Kakek Zhafran.

Di atas meja sudah terhidang nasi putih, berbagai macam lauk pauk dan juga buah-buahan. Peralatan makan pun terlihat lengkap, dari sendok, garpu, pisau, serbet, mangkuk-mangkuk kecil berisi sambal, acar, atau lalapan dan gelas yang diletakkan di samping piring makan masing-masing orang, serta masih banyak peralatan makan yang lain yang bahkan tidak pernah Elin lihat sebelumnya.

Apa yang ada di hadapannya saat ini benar-benar jauh berbeda dengan apa yang ada di kontrakannya, karena ia biasa makan di lantai beralaskan tikar. Jangankan makan dengan banyak lauk seperti ini, bisa makan dengan nasi putih dan kerupuk pun sudah bersyukur.

Makan menggunakan pisau untuk mengiris daging? Bahkan makan menggunakan garpu saja Elin tidak pernah. Karena makanan yang dimakan hanya sebatas kerupuk dan sambal. Tahu dan tempe pun sudah merupakan makanan mewah baginya dan adiknya. Prinsipnya adalah lebih baik ditabung daripada menghabiskan uang untuk membeli lauk yang mahal. Karena itu tubuhnya kurus kurang gizi.

Namun meskipun hidup dalam keterbatasan, Elin bertekad untuk menjadikan adiknya sebagai dokter sesuai cita-cita adiknya. Adiknya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, satu-satunya orang yang menyayangi dirinya dengan tulus dan satu-satunya orang yang membuat Elin bersemangat untuk menjalani hidup.

Tak lama kemudian seorang pemuda tampan bertubuh atletis memasuki ruangan makan tersebut. Elin diam terpaku karena terpesona melihat sang pemuda yang begitu rupawan.

"Elin, perkenalkan, ini cucu kakek, namanya Zion. Dan Zion, ini adalah Elin," ucap Kakek Zhafran memperkenalkan keduanya.

Elin yang duduk berhadapan dengan Zion tersenyum tipis dan mengangguk kecil pada Zion. Ia merasa minder berada di depan pemuda yang begitu sempurna menurut dirinya. Sedangkan Zion hanya menatap sepintas pada Elin. Mereka makan malam dengan tenang tanpa obrolan.

"Ambil saja makanan yang kamu suka, Elin," ucap Kakek Zhafran yang melihat Elin nampak canggung.

"Iya, Kek," sahut Elin tersenyum tipis. Sedangkan Zion nampak acuh dan tetap makan dengan tenang.

"Zi, Elin ini pintar membuat kue tradisional, loh! Dia bisa membuat kue coklat lapis," ucap Kakek Zhafran setelah mereka selesai sarapan.

Kakek Zhafran tahu Elin bisa membuat kue tradisional saat ia berbincang dengan Elin di rumah sakit kemarin.

"Benarkah?" tanya Zion yang tadi terlihat acuh jadi antusias. Kebetulan Zion menyukai kue tradisional.

Kakek Zhafran mengusulkan sebuah ide yang tak terduga, "Bagaimana kalau kita belajar membuat kue bersama? Elin, kamu, 'kan, jago bikin kue. Ajarin Zion, ya?" pinta kakek Zhafran.

Elin terkejut. Ia tidak menyangka Kakek Zhafran akan mengajaknya melakukan hal seperti itu. Namun, ia mengangguk antusias. "Tentu saja, Kek. Dengan senang hati," jawabnya tersenyum tipis.

Mereka bertiga berkumpul di dapur yang luas dan modern. Peralatan masak yang lengkap dan bahan-bahan berkualitas tertata rapi di atas meja marmer. Bahan-bahan yang dibutuhkan Elin semuanya ada di meja marmer tersebut.

Elin mengenakan celemek, siap menunjukkan keahliannya. Ia menjelaskan setiap langkah dengan sabar, mulai dari mengayak tepung hingga mengocok telur. Elin yang awalnya merasa canggung di rumah mewah bersama dua orang pria asing beda usia yang baru dikenalnya ini lama-kelamaan merasa tidak terlalu canggung lagi.

Apalagi saat Zion yang awalnya hanya menonton, mulai penasaran dan ingin membantu.

"Boleh aku coba mengocok telur?" tanya Zion sambil menunjuk mixer.

Elin mengangguk, lalu menunjukkan cara menggunakannya. Zion mencoba mengocok telur dengan semangat, namun Zion tak sengaja mengangkat mixzer, hingga adonannya muncrat ke mana-mana membuat Elin, Zion dan Kakek Zhafran tertawa bersama.

"Kakak tidak boleh mengangkat mixzer keluar dari adonan dalam keadaan mesin masih menyala," ujar Elin lembut.

"Maaf, aku tidak tahu," sahut Zion tersenyum bodoh.

"Tidak apa-apa, Kak. Memasak itu menyenangkan, kok, meskipun kadang berantakan," kata Elin tersenyum tipis sambil membersihkan meja.

Elin teringat pada masa kecilnya ketika ia dan ibunya sering membuat kue sederhana di dapur rumah kontrakan mereka. Ia merasa sedih mengingat kenangan lalu itu karena ibunya telah tiada.

Elin dan Zion berdiri berdampingan di dapur, tangan mereka berlumuran tepung. Zion, dengan serius mencoba mengikuti instruksi Elin, sesekali spatula yang dipegangnya mengenai mangkuk kaca hingga adonan sedikit berceceran. Elin terkekeh, lalu dengan lembut membantunya membersihkan kekacauan kecil itu.

Setelah adonan jadi, dengan sabar Elin menunjukkan cara membuat lapisan demi lapisan kue. Zion merasa kagum dengan kesabaran dan keuletan Elin dalam membuat kue. Ia pun ikut mencoba melapis kue.

"Ternyata bikin kue itu ribet banget, ya?" gumam Zion yang merasa kepanasan saat melapis kue, karena terkena uap air dari dalam kukusan.

"Membuat kue itu butuh kesabaran, Kak. Setiap langkahnya penting," jawab Elin sambil tersenyum, "tapi, hasilnya akan sepadan, kok," lanjutnya.

Kakek Zhafran yang sedari tadi memerhatikan keduanya pun tersenyum melihat interaksi mereka, "Kalian berdua cocok sekali," ucap Kakek Zhafran tersenyum tipis.

Menurut prognosis dokter, mungkin hidupnya tidak akan sampai satu bulan lagi, bahkan mungkin bisa lebih cepat dari satu bulan. Hali ini karena Kakek Zhafran tidak mau lagi di rawat di rumah sakit.

Setelah setengah jam di kukus, kue cokelat lapis pun matang. Mereka menyantap kue yang dibuat Elin dan Zion sambil berbincang-bincang santai.

"Enak sekali, Lin. Aku nggak nyangka kamu bisa membuat kue seenak ini," puji Zion sambil menikmati kue yang dibuatnya bersama Elin.

"Aku hanya bisa sedikit, Kak," sahut Elin tersipu malu. Elin tadinya takut pada Zion karena terlihat acuh, tapi ternyata Zion adalah pemuda yang hanya terlihat acuh dan dingin di luar, tapi peduli dan hangat di dalam.

"Kamu mengingatkan aku pada nenekku Nenekku juga suka sekali membuat kue tradisional. Sulit menemukan kue tradisional seenak buatan nenek. Tapi, kue buatan kamu rasanya sama seperti kue buatan nenek," ucap Zion dengan wajah sendu mengenang mendiang neneknya.

"Kamu bisa sering makan kue buatan Elin, karena Elin akan tinggal bersama kita," ucap Kakek Zhafran.

"Benarkah?" tanya Zion terlihat senang.

"Iya, kamu bisa makan berbagai macam kue tradisional yang dulu suka dibuat mendiang nenekmu. Elin bisa membuat semuanya," ucap Kakek Zhafran tersenyum tipis dengan wajahnya yang pucat.

*

Hari sudah malam. Kali ini Elin tidak terlalu canggung lagi berada di meja makan bersama Kakek Zhafran, Zion dan Pak Hadi. Meskipun Elin merasa malu karena terlihat kaku saat menggunakan peralatan makan.

Usai makan malam bersama, Kakek Zhafran mengajak Zion, Elin dan Pak Hadi ke ruangan kerjanya. Zion bertanya-tanya dalam hati kenapa kakeknya mengajaknya ke ruangan kerja bersama gadis yang baru saja dikenalnya.

"Zion, ada hal penting yang ingin kakek sampaikan sama kamu," ucap Kakek Zhafran dengan suara yang terdengar agak pelan dan wajah pucatnya karena sakit kanker stadium lanjut yang dideritanya. Menurut prognosis dokter, umurnya sudah tidak lama lagi.

Prognosis? Prognosis adalah perkiraan atau kemungkinan akhir dari suatu penyakit seperti kemungkinan kesembuhan, harapan hidup, kemungkinan terjadi kecacatan, dan sebagainya berdasarkan dari kondisi penyakit pasien serta statistik berdasarkan penelitian.

"Aku juga ada hal penting yang ingin aku sampaikan sama kakek. Ini privasi," ucap Zion melirik Elin sekilas.

Sedangkan Elin merasa tidak enak hati dan hanya bisa menunduk mendengar perkataan Zion, karena merasa dirinya adalah orang luar.

"Mulai sekarang Elin bukanlah orang luar," ucap Kakek Zhafran yang mengerti maksud perkataan Zion, "baiklah, kakek dulu yang bicara. Kamu tahu sendiri kalau umur kakek sudah tidak panjang lagi. Karena itu, kakek ingin kamu segera menikah," ucap kakek Zhafran to the point.

Sedangkan Elin nampak terkejut mendengar orang yang telah menolong adiknya ternyata umurnya sudah tidak panjang lagi. Meskipun dari awal bertemu Kakek Zhafran, Elin memang curiga kalau Kakek Zhafran sedang sakit. Ia bisa melihat hal itu dari wajah Kakek Zhafran yang pucat.

"Aku memang ingin bicara soal pernikahan sama kakek. Aku ingin menikah dengan Farah," ucap Zion tegas.

"Kakek tidak setuju. Kamu harus menikah dengan Elin," tegas Kakek Zhafran yang tiba-tiba terlihat emosi.

Kakek Zhafran mengepalkan kedua tangannya, mengingat hutang budi dan dosanya sepuluh tahun yang lalu pada keluarga Elin.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

3. Cinta Dan Kewajiban

Zion terperangah mendengar perkataan kakeknya. Ia tidak mengerti kenapa kakeknya ingin ia menikahi gadis yang baru dikenalnya dan terlihat.. benar-benar jauh dari kata serasi dengan dirinya. Apa keistimewaan gadis ini hingga kakeknya meminta ia menikahi gadis ini? Itulah pertanyaan yang ada di dalam benak Zion.

Sedangkan Elin.. seketika ia tertegun. Elin merasakan jantungnya berdebar kencang hingga terasa sesak di dadanya. Ia tidak menyangka akan mendengar semua ini.

Dari pertama kali bertemu Zion, Elin bisa melihat betapa rupawan dan sempurnanya pria itu. Aura kemewahan terpancar jelas dari setiap inci tubuhnya.

Mata Elin tidak berani bertemu dengan tatapan tajam Zion. Ia merasa seperti serangga di bawah mikroskop, kecil dan tidak berarti. Ketampanan Zion bagaikan sinar matahari yang menyilaukan, membuatnya merasa semakin kecil dan tidak layak.

Elin menunduk, jari-jarinya meremas ujung rok,"Aku ini siapa?" gumamnya dalam hati. Gadis desa yang bahkan belum pernah merasakan cinta

Bagaimana bisa seorang gadis sederhana seperti dirinya dijodohkan dengan pemuda sesempurna Zion? Meskipun dari pertama kali bertemu Zion, ia langsung terpesona pada pandangan pertama dan timbul rasa kagum saat membuat kue bersama, tapi ia sadar siapa dirinya. Ia merasa tidak pantas. Sangat tidak layak bersanding dengan Zion.

Mata Zion menyapu tubuh Elin dari atas hingga bawah, tatapannya penuh penilaian. Senyum tipis tersungging di bibirnya, lebih mirip cemoohan daripada senyuman ramah

"Kakek serius, ingin menikahkan aku dengan dia? Dia? Dengan semua kekurangannya?" tanya Zion dengan suara yang terdengar meremehkan dan penuh ejekan, seolah Elin adalah sebuah lelucon.

Awalnya Zion suka pada Elin karena ketrampilan, kesabaran dan keuletannya dalam membuat kue, tapi Zion jadi tidak suka setelah tahu maksud kakeknya membawa alin tinggal bersama mereka adalah karena ingin dinikahkan dengan dirinya.

"Jika kamu tidak mau menikah dengan Elin, kakek akan memberikan semua harta kakek pada Elin," tegas kakek Zhafran.

Lagi-lagi Elin terkejut mendengar perkataan Kakek Zhafran, "Ada apa ini? Apa aku nggak salah dengar? Apa alasan kakek melakukan semua ini?" batin Elin menatap Kakek Zhafran dengan tatapan tak percaya dan penuh tanda tanya.

Sedangkan Zion tertawa tanpa suara mendengar perkataan kakeknya, "Aku tidak percaya kakek akan melakukan itu," ucap Zion menampilkan senyuman yang menyempurnakan rasa tidak percayanya akan ancaman kakeknya.

"Kakek tidak bercanda. Kakek sudah menyiapkan semua surat-suratnya. Jika kamu tidak setuju menikah dengan Elin besok, maka malam ini juga kakek akan mengalihkan semua harta kakek pada Elin," ucap kakek Zhafran terlihat serius, "selama ini kakek tidak pernah meminta apapun darimu. Apa satu permintaan sebelumnya kakekmu ini meninggal pun tidak bisa kamu lakukan?" tanya Kakek Zhafran menatap Zion lekat.

"Deg"

Jantung Zion terasa seperti di pukul dengan batu besar saat mendengar dua kalimat terakhir dari kakeknya. Selama ini kakeknya memang tidak pernah meminta apapun pada dirinya, bahkan selalu menuruti apapun yang ia inginkan.

Zion menghela napas panjang, lalu menatap kakeknya dengan tatapan lembut, "Kek, aku tidak bisa menikah dengan gadis pilihan kakek, karena... Farah sedang mengandung anakku," ucap Zion dengan ekspresi tak berdaya.

Zion tertunduk dengan kedua tangan yang terkepal erat Sebenarnya ia merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi satu permintaan dari kakeknya yang hidupnya sudah tak lama lagi. Tapi ia juga tidak bisa meninggalkan Farah yang sedang mengandung darah dagingnya.

Seandainya saja Farah tidak sedang mengandung anaknya, ia pasti akan memenuhi keinginan kakeknya dan berusaha menerima gadis yang dijodohkan kakeknya dengannya.

"Apa? Anak brengseek! Kau.." Kakek Zhafran nampak sangat emosi saat mengetahui cucunya telah menghamili seorang gadis. Hingga dadanya terasa sakit dan tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Kakek.." panggil Elin terlihat khawatir.

"Tuan, sabar," ucap Hadi mengenggam jemari tangan Kakek Zhafran.

Untuk beberapa saat Kakek Zhafran berusaha menenangkan diri dan mengontrol emosinya. Hingga akhirnya ia terlihat lebih tenang.

"Kamu boleh menikahi perempuan itu, tapi... hanya sebatas istri kedua dan tidak berhak apapun atas harta yang kakek miliki," ucap Kakek Zhafran datar.

"Apa maksud kakek?" tanya Zion tak percaya mendengar perkataan kakeknya.

"Istri pertama kamu adalah Elin dan pewaris semua harta kakek adalah anakmu bersama Elin, bukan anakmu dengan perempuan itu, atau perempuan lain," ucap Kakek Zhafran tegas meskipun suaranya terdengar lemah.

"Kek.."

"Keputusan kakek tidak akan berubah. Kamu tanda tangani berkas-berkas pernikahan kamu dengan Elin atau kakek akan menandatangani surat pengalihan harta kakek kepada Elin," ucap Kakek Zhafran memotong kata-kata Zion.

Kakek Zhafran memberi isyarat pada Pak Hadi dan Pak Hadi langsung menunjukkan pada Zion berkas-berkas pernikahan dan juga surat pengalihan harta Kakek Zhafran pada Elin yang semuanya sudah siap untuk ditandatangani. Pria paruh baya itu mengamati ekspresi wajah Zion dan Elin bergantian dengan wajah datarnya.

Zion tidak bisa lagi membantah ucapan kakeknya, karena kakeknya begitu keras kepala. Dengan terpaksa ia menuruti keinginan kakeknya menandatangani berkas-berkas pernikahan dengan Elin saat itu juga.

Zion menghela napas panjang. Ia menyesali keputusannya untuk berhubungan dengan Farah. Sebab sejak awal kakeknya sudah melarangnya. Alasan kakeknya tidak menyukai Farah adalah karena Farah perempuan matre.

Ya, Zion sadar akan hal itu, namun, ia tidak bisa membohongi perasaannya. Farah telah memberikannya kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Sekarang ia merasa terjebak antara kewajiban dan cinta. Kewajiban memenuhi permintaan kakeknya dan cintanya pada Farah yang terpaksa harus menjadi istri keduanya.

"Ingat, sedikit saja kamu menyakiti Elin, maka kakek akan melakukan hal yang sama pada kekasihmu itu. Hadi yang akan memastikan segalanya. Selain itu, Elin akan tidur di kamarmu, bukan perempuan itu ataupun perempuan lain," ucap Kakek Zhafran penuh ancaman.

Sedangkan Elin benar-benar tidak mengerti, kenapa Kakek Zhafran yang baru dikenalnya mau menikahkan dirinya yang serba kekurangan dari segi apapun dengan cucu kakek Zhafran yang sangat rupawan dan begitu sempurna. Padahal baru kemarin ia bertemu dengan kakek Zhafran.

Zion keluar dari ruangan kerja kakeknya dengan perasaan kesal. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa kakeknya memaksanya menikah dengan gadis yang bahkan lebih cantik dan lebih bersih dari cleaning service di kantornya.

Di ruangan kerja Kakek Zhafran.

"Maaf, Kek. Kakek yakin ingin menikahkan aku dengan cucu Kakek? Aku.. aku tidak pantas menikah dengan cucu Kakek. Aku hanya gadis miskin berpendidikan rendah," ucap Elin dengan wajah tertunduk. Ia belum menandatangani berkas-berkas pernikahan.

Melihat sikap Zion, jujur Elin merasa takut kalau dirinya menikah dengan Zion nanti dirinya akan diperlakukan sesuka hati oleh Zion. Elin bisa membayangkan dirinya diperlakukan seperti pembantu dan dihina serta di cerca setiap hari. Meskipun Kakek Zhafran sudah mengancam Zion agar tidak menyakiti dirinya, tapi bagaimana jika Kakek Zhafran sudah meninggal nanti?

"Kakek yakin kamu adalah wanita yang paling cocok mendampingi Zion. Percayalah, jika Zion sudah mengenal kamu, maka perlahan dia akan mencintaimu. Dan sesuai perjanjian kita, kamu akan menuruti semua persyaratan dari kakek, bukan? Kamu baca dulu, setelah itu kamu tandatangani surat perjanjian ini," ucap Kakek Zhafran memberikan isyarat pada Pak Hadi untuk memberikan map yang dipegang oleh Pak Hadi.

Dalam perjanjian itu tertulis kalau Elin berjanji akan menikah dengan Zion, namun tidak berhak meminta cerai dari Zion. Jika melanggar perjanjian, maka Elin harus mengembalikan semua uang yang diterimanya dari Kakek Zhafran dan harus membayar denda seratus miliar.

Perjanjian yang pastinya tidak akan bisa dilanggar oleh Elin yang tidak punya apa-apa. Benar-benar perjanjian yang menjerat leher Elin.

"Setelah menandatangani surat perjanjian ini kamu akan menjadi istri Zion selamanya," ucap Kakek Zhafran serius.

"Aku mengerti," sahut Elin menatap surat perjanjian itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya gemetar saat pena menyentuh kertas.

Bukan hanya karena ia harus menyerahkan masa depannya, tapi juga karena ia merasa dikhianati oleh nasib. Ia telah berjuang keras untuk membiayai sekolah adiknya, namun kini semua harapannya sirna. Apakah setelah ini ia bisa mewujudkan impiannya dan impian adiknya menjadi dokter?

Selain ingin adiknya menjadi dokter. Di masa depan ia ingin memiliki toko kue untuk menyalurkan hobi dan bakatnya membuat kue. Namun sekarang kehidupan yang ia impikan terasa begitu jauh.

Elin sama sekali tidak berani menolak keinginan Kakek Zhafran ini, karena ia sudah berjanji akan menerima syarat apapun dari Kakek Zhafran yang telah membiayai operasi adiknya. Apalagi ia bukan tipe orang yang suka ingkar janji. Baginya janji adalah hutang.

"Besok kamu akan menikah dengan Zion," ucap Kakek Zhafran.

"Iya," sahut Elin patuh.

Sedangkan Pak Hadi nampak tersenyum samar melihat berkas-berkas yang telah ditandatangani Zion dan Elin.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!