NovelToon NovelToon

Aku Bukan Pujangga

1. Gadis menyebalkan.

Senyum Letnan Trihara tersungging usai mengirim puisi cinta untuk kekasihnya. Dua bulan lagi mereka akan segera menikah, sungguh hatinya sudah tidak sabar membangun biduk rumah tangga bersama gadis jelita pujaan hatinya.

Setelah mengirim pesan tersebut, Bang Hara meninggalkan kamar khusus ajudan menuju warung tenda Pak Susilo, warung tenda favorit para bujangan di depan Batalyon.

Pak Susilo adalah pedagang kaki lima penyelamat perut para bujangan di kala lapar menyerang.

//

Renata tersenyum membaca puisi cinta dari kekasihnya, Letnan R. Trihara. Pria gagah itu selalu menghujaninya dengan kata cinta yang membuatnya terpesona. Entah darimana munculnya setiap kata indah tersebut.

"Renaa.." Pak Supri terdengar memanggil putrinya. Rena pun segera turun dari lantai atas masih dengan membawa rasa bahagia.

Senyum Rena pudar melihat Papanya menggandeng tangan seorang wanita muda, keningnya berkerut melihatnya.

"Mbak Karin??????"

"Mulai sekarang panggil Mama, Mbak Karin ini sudah menjadi Mamamu..!!" Kata Pak Supri.

Senyum bahagia Rena mendadak pudar. Ekor matanya terus menatap wajah ibu tirinya.

"Abriiii..!!!" Teriak Pak Supri memanggil salah seorang anggotanya. Letnan Abrileo.

"Siap.. Panglima..!!"

"Tolong ambil semua barang ibu di mobil."

Sungguh saat itu Bang Abri terkejut hingga rasanya nyaris mati berdiri melihat kekasihnya telah menikah dengan panglima. Bang Abri berbalik badan. Langkahnya terasa berat melihat kekasih hatinya telah bersama pria lain.

"Karin ikut ambil barang deh Mas. Nanti Om Abri tidak tau barang nya Karin." Kata Karin.

"Oke, cepat sana ikuti Abri. Segera masuk ke kamar. Mas tunggu..!!" Pinta Pak Supri.

~

"Karin lakukan hal ini demi masa depan kita, Bang. Setelah uang dua ratus juta itu terkumpul.. Karin akan minta cerai dan nikah sama kamu, Bang..!!"

"Seenteng itu kamu bicara, Karin??? Kenapa kamu tidak sabar menunggu Abang??? Kamu meremehkan Abang. Abang tidak diam saja untuk menghalalkan hubungan kita. Abang juga masih terus berjuang untuk melamarmu." Jawab Bang Abri.

"Tapi Abang terlalu lama. Orang tuaku memilih laki-laki yang punya uang dengan segera, bukan hanya diam dan menunggu sampai anaknya jadi perawan tua." Kata Karin.

"Kau pengen Abang jadi rampok???"

Karin menyambar tasnya lalu menatap wajah Bang Abri. "Pokoknya Karin sudah berjuang dan Abang harus membalas pengorbanan Karin."

"Okeeee.. kau lihat saja nanti."

//

ggrrpp..

Seorang gadis menyambar kantong plastik milik Letnan Hara lalu menyerahkan selembar uang pada Pak Susilo.

"Mbak Rintis, itu pecel lele punya Pak Hara." Kata Pak Susilo.

"Ladies first, Pakde." Jawab Rintis.

Bang Hara memberi kode pada Pak Susilo agar tidak memperpanjang masalah tersebut dan mengembalikan uang gadis 'penuh masalah' itu lalu segera menyerahkan uangnya sendiri untuk membayar pecel lele pada Pak Susilo.

"Apa??? Nggak usah sok ganteng." Celetuk Rintis padahal Letnan Hara sama sekali tidak mengatakan apapun. Namun Rintis tetap menyambar uang tersebut.

Si cantik Rintis melirik dengan gaya judesnya. "Nggak pernah lihat cewek cantik ya??"

"Ini bocah kenapa dah." Gumam Bang Hara heran. "Kamu siapa? Darimana??"

"Ya dari tadi." Jawab Rintis. "Om ini ajudan Papa yang baru, kan?"

Kening Bang Hara berkerut pasalnya dirinya memang diminta secara khusus untuk mengawal keluarga wakil panglima.

'Apakah nantinya aku akan jaga anak bebek macam ini??'

"Kenapa?? Terpesona ya lihat cantiknya anak komandan." Celetuk Rintis.

"Saya malah kaget, masa iya wakil panglima punya anak cerewetnya seperti pedagang obat pijet di pasar." Kata Bang Hara.

Rasa jengkel Rintis menjadi-jadi, baru kali ini ada laki-laki yang berani mengatainya seperti itu.

"Om mau di pindah tugaskan ulang?"

"Mbak Rintis tidak punya kewenangan apapun untuk memindah tugaskan saya. Semua itu adalah kewenangan Pak Ratanca." Jawab Bang Hara.

"Rintis..!!!! Jam berapa ini??? Kenapa kamu kelayapan????" Bentak Bang Rei tiba-tiba datang ke warung tenda pak Susilo.

"Abaaang??? Ini.. itu.. Bang. Om Hara paksa Rintis keluar."

Bang Samurai menatap wajah pria di hadapannya.

"Oohh.. pacarmu??? Tidak bisakah cari yang manis sedikit??" Ledek Bang Hara.

"Biarpun menjengkelkan begini, dia tetap adik ku..!!" Jawab Bang Rei.

Bang Hara menepuk dahinya. "Ku kira adikmu hanya Katana saja, ternyata masih ada ampas berkerak yang lainnya."

Lirikan Bang Rei beralih pada Rintis. "Pulang kau sekarang..!!"

"Rintis di paksa."

"Kalau di paksa ya lawan donk, Rin. Masa kamu mau aja. Apa memang kamu yang pengen di paksa????" Omel Bang Rei tak sabaran dengan adik bungsunya.

"Aahh.. Abang nih." Gerutu Rintis. "Rintis minta uang donk, Bang. Belum bayar pecel lele."

Tak banyak bicara, Bang Rei segera mengambil uang seratus ribu rupiah dari saku celananya.

Secepat kilat Rintis berlari sembari tertawa-tawa namun naas kakinya tersandung batu hingga dirinya terjungkal ke dalam parit.

bruugghh..

"Aawwhh.. sakiiit..!!!" Pekik Rintis.

"Kapoookk..!!" Ucap mantap Bang Rei saking jengkelnya.

"Inilah azab pengemis terhormat." Gumam Bang Hara kemudian berjalan bersama Bang Rei untuk menolong gadis kecil banyak tingkah itu.

...

"Jangan nangis...!!! Apa sekalian mulutmu Abang plester????" Bentak Bang Rei.

"Sakiiit.. ini sakiiiitt..!!"

Bang Rei semakin menekan luka adik kecilnya. "Rasakan ini..!!!"

"Sini biar aku saja..!!" Bang Hara mengambil obat lalu mengobati luka di lutut dan siku Rintis.

"Lhooo.. kamu kenapa Rin??" Papa Ranca turun dari lantai atas sembari membenahi sarungnya.

"Gara-gara Om Haraaa..!!" Jawab Rintis.

Papa Ranca berganti melirik ajudan barunya. "Ini kamu tabrak atau bagaimana Har??"

"Masuk parit Paaaa.."

"Di dorong Hara?????"

"Enggak.. ehh.. Iyaaaa." Jawab Rintis sembari sesenggukan.

"Yang benar yang mana, Riiiinn?????" Tanya Papa Ratanca seketika ikut jengkel.

"Iya Pa. Enggak."

"Alaaah terserah. Nggak Mama mu, nggak kamu.. buat Papa vertigo." Gerutu Papa Ratanca kemudian menuju dapur.

.

.

.

.

2. Menangani masalah.

Bang Abri menguarkan asap rokoknya ke segala arah. Kedua bola matanya memerah menahan kesedihannya. Sungguh hatinya benar-benar sesak. Ia tak sanggup membayangkan kekasihnya memadu cinta dengan pria lain.

Tiada siapapun di bagian belakang rumah panglima hingga dirinya bebas meluapkan perasaan dan menangis sesenggukan.

Di saat hatinya sedang goncang, ia mendengar suara tangis yang sama namun suara ini terdengar lebih pilu. Bang Abri segera mencari sumber suara tersebut.

"Rena??"

Rena menoleh menatap Bang Abri sekilas kemudian kembali fokus pada tangisnya.

"Apa sebegitu sulitnya menjaga satu wanita?? Mbak Karin itu pacarnya Bang Abri, kan???"

"Saya juga tidak tau kenapa bisa jadi seperti ini, Ren." Jawab Bang Abri.

"Rena nggak mau punya ibu seperti Mbak Karin..!!! Nggak sudi..!!!! Mbak Karin itu jahat, pernah godain pacarnya Rena." Oceh Rena tidak terima.

Tiba-tiba saja perasaan Bang Abri menjadi campur aduk tak karuan. Dirinya bahkan tidak tau kalau Karin pernah bersama sahabatnya, Hara.

"Pokoknya Rena harus balas kelakuan Mbak Karin..!!"

"Ayo, Abang bantu..!!"

***

"Cepat makannya, dek..!!! Mama sudah telat masuk kerja..!!" Kata Mama Ghiza karena putrinya ogah-ogahan untuk sarapan pagi padahal hari ini sang putri harus melaksanakan kegiatan cap tiga jari di sekolah.

"Titis berangkat sama Bang Rei saja."

"Abang sibuk, ada pertemuan sebentar lagi..!!" Jawab Bang Rei.

"Kalau begitu sama Papa."

"Papa ada undangan demam berdarah di kecamatan." Kata Papa Ratanca.

"Titis sama siapa donk, Pa."

"Sama Bang Har saja ya..!!" Saran Papa Ratanca.

"Nggak mau..!! Papa tau nggak, sepertinya Om Har itu naksir sama Titis lho Pa." Ucap Rintis penuh percaya diri.

"Memangnya apa yang patut di taksir dari kamu dek..!! Yang benar saja? Hara pasti juga sudah punya calon istri." Kata Papa Ratanca.

"Papa meremehkan Titis nih, begini juga.. Titis ini juara satu putri kecantikan di kabupaten." Jawab Rintis dengan bangganya.

"Itu mah pasti jurinya mabok lem." Sambar Bang Rei.

Rintis cemberut dan melipat kedua tangannya di depan dada. Ia memalingkan wajahnya dari Bang Rei lalu bersandar di lengan Papanya.

"Paa.. carikan Titis pacar donk..!!" Pinta Rintis.

"Sekolah dulu, jangan pikir pacaran. Kamu masih kecil. Laki-laki jaman sekarang tuh bahaya, dek. Jangan sembarangan dekat laki-laki tanpa sepengetahuan Papa..!! Awas kamu ya..!!" Ancam Papa Ratanca.

Bang Rei menghabiskan suapan terakhirnya. "Lagian siapa juga yang sudah hilang akal mau sama kamu dek. Kriteria cewek seumuran Abang sudah lumayan tinggi. Minimal body goal, kamu mah dada saja nggak punya."

"Reiiii.. kamu ini..!!" Bentak sang Papa, bisa-bisanya putranya itu sembarang bicara di hadapan putri kecilnya.

Bang Rei paham, masa lalu sang Papa agaknya membuat bapak dengan empat anak itu merasa begitu resah.

"Piiiss Paaa.." Bang Rei nyengir sendiri melihat Papanya melotot.

Jelas saja Papa Ratanca tidak bisa berbuat banyak, sebab putranya memang sudah matang jika menginginkan seorang wanita untuk di ajak berumah tangga.

...

Pagi ini mau tidak mau Rintis pergi berangkat sekolah bersama Bang Hara dan juga Prada Putra sebagai mudi nya.

"Nanti Rintis pulang sendiri, mau jalan-jalan sama teman." Kata Rintis.

"Sudah bilang bapak?" Tanya Bang Hara.

"Nggak perlu, Rintis sudah dewasa. Banyak yang harus di selesaikan..!!" Jawab Rintis dengan ucapnya yang memang sok dewasa.

"Biar saya kawal..!!"

"Rintis bilang nggak perlu. Kenapa sih Om Har ribet sekali, mau tau saja urusan wanita dewasa." Oceh Rintis.

"Atasan saya adalah Pak Ratanca. Bapak meminta saya untuk mengawal Mbak Rintis, jadi saya akan melaksanakan perintah Bapak semampu saya." Kata Bang Hara tenang namun tidak dengan wajahnya yang terlihat kaku dengan sikap dinginnya. "Ngomong-ngomong, saya butuh tau kegiatan wanita dewasa seperti apa yang Mbak Rintis maksud."

"Itu rahasia." Jawab Rintis masih bersikeras.

"Kalau begitu, nanti siang kita langsung pulang saja..!!"

...

Siang hari, Bang Hara menangkap basah Rintis yang hendak kabur dengan memanjat pagar dinding sekolah.

Tak perlu banyak suara, Bang Hara mengambil sebuah batu kecil lalu menyentilnya hingga tepat mengenai pan*at Rintis.

"Aawwhh.." pekiknya hingga kemudian Rintis melepas pegangannya pada dinding pembatas sekolah dan jatuh di atas rerumputan tinggi yang belum sempat terpangkas.

bruugghh..

"Rintiiiiiss..!!!" Latifah, kawan rintis sampai sampai menjerit ketakutan melihat situasi buruk ini.

Dengan langkah santai, Bang Hara menarik kerah pakaian Rintis kemudian mengangkat Rintis ke atas bahunya dan memanggulnya.

"Turunkan..!!! Turunkan..!!! Jangan sembarangan bawa orang atau Om akan Rintis laporkan sama Papa..!!" Ancam Rintis.

Tak ada jawaban ataupun suara dari Bang Hara. Ia tetap memanggul Rintis sembari merokok dengan santainya.

"Sungguh laki-laki yang menyusahkan. Bisa-bisanya Tuhan pertemukan aku dengan laki-laki merepotkan macam ini." Pekik Rintis.

"Buka pintunya, Put..!!" Perintah Bang Hara pada Prada Putra.

Prada Putra segera membuka pintu mobil. Terlihat Bang Hara langsung membanting tubuh Rintis yang meronta-ronta kemudian mengikat tangan serta kakinya yang hendak kabur lalu menutup mulut Rintis dengan plester.

ploooookk..

"Kurang ajar kau ya..!!" Teriak Latifah.

"Astagaaa.. Ifaaa.. kau jangan ikut campur..!!!" Prada Putra begitu panik melihat Latifah melempar sepatu di kepala Bang Hara. Untung saja Dantonnya itu tidak menanggapi ulah Latifah.

"Hajaar Bang..!! hajaar..!!!" Pinta Latifah. "Abang nggak berani lawan dia?? Abang kan tentara..!!!"

"Ifaaaa.. diaaam.. Ya Allah..!!" Prada Putra kelabakan menutup mulut Latifah yang terus saja mengoceh.

"Masuk, Put..!!" Ajak Bang Hara.

Prada Putra pun segera meninggalkan Latifah setelah mengusap kening gadis itu sekilas.

"Rintiiiss, tenang..!! Aku pasti bantu balaskan dendam mu..!!" Teriak Latifah mantap sembari melihat ponselnya.

.

.

.

.

3. Ulah si cantik.

Sesampainya di rumah, Bang. Hara segera membuka ikatan tali di tangan dan kaki Rintis lalu membuka plester di mulutnya.

"Awas kau nanti.." Ancam Rintis tanpa takut. Rintis segera masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di ruang tamu, Bibi melihat Rintis menangis, tentu saja bibi begitu cemas melihatnya. "Non.. kenapa nangis?"

Rintis tidak menjawabnya kemudian berlari naik ke lantai atas.

"Pak Hara, kenapa Non Titis menangis?"

"Nggak apa-apa Bi. Biasa anak muda." Jawab Bang Hara tenang ekor matanya melirik Rintis yang kemudian masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat.

...

Sore itu Bang Hara sudah lepas tugas. Ia berniat menemui Rena di kediaman panglima namun di setengah perjalanan, ia tidak sengaja melihat Bang Abri pergi bersama Rena dengan motor. Keduanya nampak begitu akrab melebihi batas kewajaran. Diam-diam Bang Hara pun mengikutinya.

Di sepanjang jalan, hati Bang Hara terasa panas. Matanya membendung cairan yang memenuhi bingkai mata. Dengan jelas ia melihat Rena begitu mesra bersama sahabatnya.

Untuk kedua kalinya hatinya kembali sakit melihat motor tersebut masuk ke dalam pelataran hotel sampai kemudian Rena bergandengan tangan dengan Bang Abri.

Diam-diam Bang Hara mengikuti keduanya. Tidak sulit bagi seorang tentara melakukan hal itu dan sesampainya di pintu kamar, Bang Hara terpaku hingga detik waktu berjalan memperdengarkan suara dua insan manusia yang tengah di mabuk cinta.

Suara tersebut sungguh membuat sekujur tubuhnya terasa meriang, tenaganya seakan hilang. Bang Hara melangkah gontai dan menjauh berusaha mewaraskan hati dan pikirannya.

...

Usai sholat isya, Bang Hara duduk bersandar di dinding masjid yang tidak jauh dari batalyon dan rumah wakil panglima.

Sedari tadi perasaannya berantakan hingga membuat dadanya terasa sesak. Ingin rasanya menghajar sahabatnya namun entah kenapa hatinya memilih 'tidak peduli'

'Apa yang kurasakan?? Jika benar aku sungguh mencintai Rena, seharusnya aku sudah menghajar keduanya tapi aku lebih memilih untuk bersyukur, Tuhan menunjukkan padaku tentangnya. Setidaknya dia bukan ibu dari anak-anakku. Mungkin akan jauh berbeda jika dia adalah ibu dari anakku.'

Bang Hara mengusap wajahnya kemudian menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan hingga perasaannya sedikit tenang.

//

"Coba dulu Tis..!! Bagaimana ideku??? Bagus, kan??" Kata Latifah di seberang sana. "Jangan lupa di tunjukan..!!"

"Benar juga kamu Fa. Oke, Fa.. aku bilang ke Papa sekarang juga..!!" Rintis mematikan sambungan telepon lalu berlari menuruni anak tangga.

Saat melihat sang Papa dan juga Bang Rei yang baru pulang kerja, Rintis pun mencoba merangkai kata yang pas untuk meyakinkan Papa dan Abangnya.

"Pa.. Bang.. Titis mau bicara..!!" Kata Rintis memasang wajah sendu.

"Ada apa? Kamu nangis???"

Sebelum Rintis menjawab pertanyaan Papa Ratanca, bibi sudah datang membawakan teh hangat untuk kedua majikannya.

"Dari siang, Pak. Ini saja baru keluar dari kamar dan belum makan." Sambar bibi yang sebenarnya begitu prihatin.

"Ada masalah apa?" Tanya Bang Rei.

Secepatnya Rintis menyerahkan ponselnya pada Bang Rei. Di saat itu juga Bang Rei dan Papa Ratanca melihat Rintis di panggul kemudian di ikat dengan tali, mulutnya pun di tutup plester.

"Apa-apaan ini??" Emosi Papa Ratanca pun terpancing.

"Titis di perk**a Om Hara." Kata Rintis.

"Apaaaa??? Dimana Hara?? Panggil dia sekarang..!!!!!" Perintah Bang Rei.

Papa Ratanca terdiam, agaknya beliau syok berat hingga tidak sanggup berkata-kata.

"Tadi keluar, Bang..!!"

Tak lama terdengar suara motor Bang Hara. Tak membuang waktu lagi, Bang Rei segera menghampiri sahabatnya kemudian menarik jaketnya dan menyeret sahabatnya itu ke ruang tamu.

"Ada apa sih Rei??" Tanya Bang Hara yang sebenarnya memang tidak paham dengan permasalahan yang sedang di permasalahkan.

Papa Ratanca sudah berdiri membawa parang. Bang Rei pun sudah melepas ikat pinggangnya.

Kepribadian seorang Hara membuatnya tetap tenang menghadapi situasi yang mungkin begitu membahayakan nyawa.

"Beraninya kamu mengacak-acak adik saya..!!" Ucap Bang Rei sudah penuh aura geram.

Parang panjang di tangan Papa Ratanca sudah nyaris mengayun tapi melihat begitu tenangnya ekspresi dan sikap seorang gadis yang baru saja di 'perk*sa' membuat Bang Hara hanya bisa menghela nafas panjang. Kejadian hari ini pun sudah memberikan pelajaran berharga baginya bahwa enam tahun kebersamaan bukan menjadi jawaban bahwa kesetiaan dan cinta akan menyertainya juga.

"Apa ada buktinya??" Tanya Bang Hara sembari melirik Rintis yang sedang tersenyum penuh kelicikan.

Bang Rei mengambil ponsel milik Rintis lalu menyerahkan ponsel tersebut pada Bang Hara. Dengan segera Bang Hara melihatnya. Letnan satu itu kembali membuang nafas panjang.

'Ternyata video tadi, pasti si Ifa temannya Rintis yang turut membuat kegaduhan ini.'

"Saya bisa minta tolong di panggilkan Prada Putra?? Dia ada disana tadi." Pinta Bang Hara.

~

"I_jin Panglima, saya tidak di tempat." Ucapnya tegas namun sedikit ada keraguan.

"Baiklah, sebenarnya Putra adalah saksi utama. Tapi jika Pak Ratanca dan Rei tidak percaya dengan saya, silakan berikan sanksi apapun pada saya. Saya akan menerimanya." Jawab Bang Hara.

"Kalau kau tidak melakukan sesuatu yang buruk, lantas kenapa kau perlakukan anak saya seperti itu. Putra yang kau bilang saksi utama juga tidak menguatkan posisimu." Bentak Pak Ratanca. Jelas sekali pria tersebut begitu takut.

Bang Hara memilih diam pasalnya ia pun merasa kasihan dengan ulah bengal putri Pak Ratanca yang ternyata di sinyalir mengikuti sebuah kelompok tersebut. Bang Hara cemas kelompok tersebut akan membuat Pak Ratanca syok dan kecewa.

"Saya akan menerima sanksi apapun." Ucap tegas Bang Hara.

Pak Ratanca kini sungguh benar-benar syok. Istrinya masih berada di luar kota dan besok baru akan kembali pulang sedangkan Katana putranya sedang dalam penugasan.

"Nikahi Rintis..!!" Perintah Papa Ratanca.

"Titis nggak mau nikah, Pa."

"Diam kau, Rintis..!!!" Bentak Bang Rei setengah mati ikut pusing.

Kekesalan Bang Rei begitu menjadi, ia sampai menghajar sahabatnya karena tidak terima dengan apa yang di lakukan Hara pada adiknya.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!