"ELA!!!" Panggil seorang gadis dengan rambut sebahu yang berlari ke arah temannya.
Elaina atau biasa dipanggil dengan Ela, seorang siswi SMA kelas 3 yang kini sedang dalam perjalanan study tour di sekolahnya. Mereka kini harus bermalam di sebuah hotel yang ada di Bali. Setelah 2 hari berada di dalam Bus, akhirnya Ela dan teman-temannya bisa menyentuh kasur. Punggung Ela benar-benar sakit akibat terlalu lama duduk di kursi.
Ada 30 siswa di kelas Ela yang mengikuti study tour ini. Tentu saja, semua harus ikut karena ada pembelajaran di suatu tempat. Terutama di studio yang ada di Surabaya. Tentu saja ini menjadi kesempatan bagus untuk Ela. Setelah perjalanan dari studio Surabaya, Ela dan teman-temannya akan mulai berwisata ke Bali. Yang paling banyak dikunjungi tentu saja Pantai dan wisata pembelanjaan. Tak hanya itu, mereka akan ditugaskan untuk wawancara dengan Bule yang ada di sana.
Dimalam terakhir, mereka akan beristirahat di sebuah Hotel yang bertepatan di Bali. Awal masuk hotel, Ela cukup dibuat merinding dengan hotel tersebut. Ada sebuah kotak kaca yang terletak di lobby hotel. Kotak kaca tersebut berisi sebuah boneka yang memiliki kisaran tinggi 60cm.
Boneka berbentuk anak perempuan dengan rambut hitam di kepang dua. Dress berwarna biru muda yang sangat cantik dengan pita warna putih di bagian kerahnya. Kepang boneka tersebut juga memakai pita dengan warna putih yang serasi dengan dressnya. Dibagian mata, boneka tersebut menggunakan kancing warna coklat yang berukuran cukup besar sebagai mata.
Awalnya Ela tertarik dengan boneka tersebut, tapi lama kelamaan dia merasa aneh dengan boneka tersebut. Seakan boneka tersebut menatapnya. Ada tulisan 'Adzkiya' yang berada di bawah kotak kaca. Ela mengira itu adalah nama boneka tersebut. Tentu sangat sesuai dengan bonekanya yang cantik.
"Ela, ayo ke kamar." Panggil Sena yang sudah siap dengan kuncinya. Ela mengangguk dan membawa tas ranselnya mengikuti Sena.
Sena, gadis yang tadi berlarian masuk ke dalam kamar mereka. Tersenyum melihat Elaina yang sedang menyisir rambutnya. Wajah Sena memerah seperti buah tomat. Beberapa saat yang lalu selepas berdandan, Sena sempat berpamitan kepada Ela untuk menemui orang yang dia suka, Yardan.
"Tau gak tau gak!!!!" Sena tampak sangat bersemangat dengan wajah merahnya itu.
"Apa sih, Sena sayang? Salam dulu kalau mau masuk." Kata Ela yang masih kesulitan menyisir rambutnya.
"Yardan!!!! Dia tadi kasih aku ini!" Kata Sena sembari menunjukkan sebuah gantungan kunci berbentuk boneka beruang dengan warna putih.
Wajah Sena masih memerah dan tentu saja dia pasti sudah menahan salah tingkahnya sampai ke kamar mereka. Yardan sosok ketua kelas yang sangat cerdas dan tegas. Meskipun banyak yang patuh dengannya, ada juga yang tidak suka pada Yardan. Terutama Geng Keiji yang beranggotakan lima orang yaitu, Agam, Andra, Nendra, Evano dan Khandra.
Mereka sangat sulit diatur oleh Yardan. Ada pula Geng Cicipi yang beranggotakan empat orang yaitu, Dahlia, Namira, Yora dan Irene. Sementara anak lainnya masih patuh kepada Yardan. Bukan rasa takut, melainkan rasa hormat kepada Yardan.
Dan Sena adalah orang yang sangat menyukai Yardan. Bukan sekedar cinta, tapi Elaina bisa menjelaskan bahwa perasaan Sena kepada Yardan adalah obsesi. Namun, Ela tidak bisa mengatakan itu kepada temannya sendiri.
"Cantik banget." Kata Ela.
"Iya, kan?! Tapi, nih kayak mirip punya kamu gak sih?" Tanya Sena yang tiba-tiba melihat gantungan kunci yang hampir mirip dengan miliknya.
"Oh, itu dari mantan." Jawab Ela dengan santai.
"Kamu masih simpen?"
"Sayang kalau dibuang. Bagus tau." Jawab Ela seadanya.
"Hilih bilang aja belum move on!" Kata Sena yang kemudian menggoda Ela.
Gadis dengan rambut sepunggung itu tidak menanggapi, dia masih sibuk merapikan rambutnya. Bahkan dia mulai lelah. Sena dengan senang hati mau membantu Ela untuk merapikan rambutnya. Dengan lembut, Sena merapikan rambut Ela yang cukup panjang ini.
"Pelan-pelan loh." Kata Ela.
"Don't worry, Ela. Aku tuh sayang sama kamu, gak mungkin aku mau sakitin kamu." Jawab Sena sembari tersenyum lebar.
Sena hari ini terlihat sangat bahagia. Awal study tour, gadis ini terlihat sangat bahagia. Namun, ketika berada di dalam Bus dalam waktu lama, Sena mulai merasa bosan dan kesal. Bahkan dia tidak bersemangat saat sampai di sebuah tempat wisata yang sangat ditunggu-tunggu oleh Sena. Namun, saat Sena mendapatkan pesan dari Yardan, ekspresi wajahnya berubah. Sena kembali bersemangat.
....
"Zayyan, main game yuk." Ajak Gavin kepada laki-laki yang masih sibuk dengan bukunya.
"Duh males buka hp nih." Kata Zayyan sembari menutup bukunya.
"Aelah, Yan. Bentaran doang."
"Kan bentar lagi juga jam tidur." Jawab Zayyan.
Gavin memajukan bibirnya seolah dia sangat kesal kepada sahabatnya ini. Zayyan hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Gavin. Mereka sangat dekat semenjak SMP. Bahkan hingga sekarang mereka masih berteman baik.
"Iya udah, tapi bentar aja ya." Ucap Zayyan yang seketika membuat mata Gavin berbinar penuh semangat.
Gavin mengangguk-anggukkan kepalanya dan segera mengambil ponselnya yang ada di atas tempat tidur. Dengan cepat, Gavin membuka gamenya dan segera mengundang Zayyan untuk bermain.
....
"DUH!" Ucap Jihan saat Geng Cicipi menjambak rambutnya di toilet Hotel.
"Sakit ya? Aduuh maaf ya!" Kata Namira sembari mengarahkan kepala Jihan ke dinding toilet.
Kepala Jihan mulai berdarah. Dengan cepat Namira melepas genggamannya dari rambut Jihan. Mereka berempat tertawa melihat Jihan yang menahan rasa sakit di kepalanya. Yora begitu puas saat melihat Jihan yang kesakitan sembari memegangi kepalanya. Sejak masuk SMA, Yora sudah sangat membenci Jihan. Dengan alasan, Jihan lebih unggul di akademi daripada Yora. Sehingga Yora yang tiba-tiba menjadi rangking ke dua, mulai sangat membenci Jihan.
Karena gadis itu, orang tua Yora mulai kesal dengan putrinya yang nilainya mulai menurun. Mati-matian Yora belajar untuk menaikkan rangking dan nilainya. Tetap saja dia kalah dengan Jihan. Yora mulai membully Jihan hingga gadis itu kesakitan.
"Hey!" Seorang gadis dengan hijab dan rok panjang mulai masuk ke toilet, Zahra. Dengan cepat dia menghampiri Jihan yang mulai kesakitan.
"Apa kalian gak ada kerjaan lain?! Balik sana ke kamar kalian!" Kata Zahra dengan sangat kesal.
"Kalau gak mau?" Ledek Irene.
Zahra berdiri dan menghadap Irene. Dengan sedikit mengangkat roknya, dengan cepat Zahra menendang perut Irene hingga gadis itu terjatuh ke lantai. Kepala Irene terbentur ke tembok toilet.
"ARRRGH!!!" Ucap Irene. Teman-temannya yang lain membantu Irene untuk berdiri.
"Main kasar ya!?" Kata Dahlia.
"Ngaca dong! Gak guna kalian bawa kaca kesana kemari tapi gak ngaca kelakuan sendiri kayak gimana. Beraninya keroyokan doang." Ucap Zahra sembari tersenyum lebar ke arah empat gadis didepannya.
"Udah sana balik ke kamar." Ucap Zahra lagi.
Geng Cicipi pun mulai berjalan keluar dari toilet. Namira membantu Irene berjalan. Setelah mereka pergi, Zahra mulai menoleh ke arah Jihan. Gadis dengan hoodie biru muda dan celana hitam panjang itu berusaha menahan rasa sakit kepalanya. Zahra menghela nafas sejenak. Lalu, membantu Jihan berdiri.
"Kita ke ruang kesehatan sekarang." Kata Zahra yang mendapatkan anggukan dari Jihan.
"Aku khawatir kamu gak balik-balik ke kamar. Kata kamu tadi mau ke minimarket sebentar, tapi 30 menit kamu gak balik-balik. Dan bener aja firasatku. Kamu dipanggil Geng Cicipi. Nama kok Cicipi. Cicipi apanya? Jelek banget dah nama Geng mereka." Zahra mulai mengomel.
Jihan yang mendengar ocehan Zahra yang tiada henti saat membicarakan orang-orang yang membullynya, hanya bisa tersenyum. Jihan beruntung memiliki teman seperti Zahra. Selalu mengingatkan dalam kebaikan bahkan membantunya dari gangguan Geng Cicipi.
"Ngomel mulu." Ledek Jihan sembari terkekeh.
"Apa?! Udah dibantuin juga."
"Iya iya maaf, Zahra. Jangan ngambek gitu dong."
"Han!" Kata Zahra yang mulai mengkhawatirkan keadaan Jihan.
"Iya iya."
...
"Duh mainnya bully ya?" Kata Andrian kepada Geng Keiji.
Mada yang berada di sebelah Andrian hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan Geng Keiji yang semakin hari, semakin membangkang. Zidan, yang merupakan teman sekelas Geng Keiji mengalami luka ringan di bagian wajahnya.
Tentu saja luka tersebut dia dapatkan dari pukulan Geng Keiji. Agam terkekeh melihat reaksi Andrian. Sementara Andra, Evano, Nendra dan Khandra hanya menyeringai ke arah Zidan dan kedua temannya yang baru datang.
"Mau jadi pahlawan lagi?" Tanya Agam.
"Tch. Kalian gak ada kapok-kapoknya ya?" Kata Mada.
"Kalian tuh kayak belain cewek yang lagi dikeroyok sama preman tau gak. Emang Zidan nih cewek? Gak, kan? Harusnya dia bisa kali lawan kita berlima." Ucap Nendra.
"Kalian beraninya keroyokan. Mana bisa disebut cowok. Banci yang ada." Ledek Mada.
Geng Keiji terkekeh sejenak. Hingga salah satu diantara mereka mulai melawan Mada dan Andrian. Saling pukul memukul. Mada melawan Khandra, Evano dan Nendra. Sementara Andrian melawan Andra dan Agam.
"Tuh, kan? Keroyokan mainmu. Gak seru ah." Kata Mada sembari menendang perut Khandra dan menghajar wajah Evano.
Dia juga harus fokus ke arah Nendra yang selalu siap untuk melangkahkan kakinya ke arah wajah Mada. Dengan sigap, Mada menghindar dari pukulan Nendra dengan menjadikan Evano sebagai tamengnya. Jadi, yang dipikul oleh Nendra bukanlah Mada melainkan Evano.
Zidan yang gugup dan takut, mulai berlari menjauh untuk memanggil Yardan. Walaupun dengan wajah yang penuh dengan luka, Yardan mengerti keadaan yang dia alami.
"Yardan!!" Panggil Zidan saat bertemu dengan Yardan di lorong.
"Zidan?! Wajah kamu kenapa?"
"Andrian sama Mada... berantem sama.. Geng Keiji!!" Ucapnya sembari terengah-engah.
"Lagi!? Astaghfirullah!"
Yardan berlari menuju ruang olahraga dimana Andrian dan Mada bertengkar dengan anggota Geng Keiji. Berulang kali Geng Keiji melakukan kekerasan fisik, Yardan melaporkannya kepada pihak sekolah. Namun, hingga saat ini, mereka bahkan tidak berhenti untuk melakukan kekerasan fisik dan bullying.
Sesampainya disana, Yardan berusaha melerai mereka. Untung saja Geng Keiji kali ini mau mengalah. Mereka langsung pergi begitu saja saat Yardan melerai mereka. Tatapan Geng Keiji tetap pada Zidan. Mereka seolah memiliki dendam kepada Zidan.
"Dasar mereka." Ucap Yardan sembari menghela nafas lega.
"Maaf, Pak Ketua." Kata Mada yang meringis kesakitan.
"Kalian gak apa-apa?" Tanya Yardan kepada mereka bertiga.
"Kalau kita mah gak apa-apa." Jawab Mada yang disambut dengan anggukan Andrian.
Yardan menoleh ke arah Zidan yang hampir babak belur. Luka yang didapatkannya memang ringan. Namun, banyak sekali goresan diwajahnya. Yardan menghela nafas. Dirinya cukup lelah menghadapi Geng Keiji. Mereka lebih sudah diatur daripada Geng Cicipi.
"Mada, Andrian. Tolong bawa Zidan ke ruang kesehatan ya. Habis itu antar dia ke kamarnya. Kamu satu kamar sama siapa, Dan?" Tanya Yardan.
"Sama aku, Pak Ketua." Jawab Andrian.
"Bagus deh. Mada, balik sana ke kamarmu."
"Pak Ketua kan satu kamar sama saya." Jawab Mada.
"Gak usah formal begitu. Dah ayo balik ke kamar. Kita istirahat." Ucap Yardan yang mendapat anggukan dari ketika temannya ini.
....
"Sialan!!! Kalah lagi!" Ucap seorang anak laki-laki dengan kaos biru tua, Darren.
"Huuu mampus!!! Lihat nih! Jakpot, bro!!!" Kata Rainer.
Theo dan Thomi masih serius dengan permainan judi online mereka. Mereka berempat tidak berada di dalam kamar mereka masing-masing. Namun, mereka berada di atap hotel. Tentu saja Yardan akan mencari mereka dengan alasan jam tidur.
"Gak mungkin Yardan mau nyari kita ke atap. Mana bisa dia naik tangga ke sini." Ucap Thomi.
"Bener. Lagian ya, dia tuh cuman menang di otaknya. Fisiknya mah aduuuh masih kalah kekar sama Mada." Lanjut Theo.
Mereka berempat tertawa bersama-sama. Mereka berempat lebih senang bermain judi online. Terkadang, mereka menjual apapun yang ada di rumah untuk bisa memenangkan permainan. Orang tua mereka tentu saja tidak mengetahui hal ini. Mereka dengan mudahnya mengambil barang pribadi untuk digadaikan. Saat ditanya orang tuanya, kemana barang itu hilang, mereka akan menjawab bahwa hilang dan lupa menaruhnya.
"Jakpot lagi, bro!!!" Kata Theo yang mula bergembira.
....
"Nish, kita mau kemana sih?" Tanya Laila yang ditarik oleh Danish menuju tempat yang sunyi.
"Udah ikut aja, sayang." Kata Danish sembari tersenyum nakal.
Saat berada disebuah ruangan yang cukup gelap dan jauh dari teman-temannya. Danish mulai menutup pintu ruangan tersebut. Laki-laki itu mulai menatap sang kekasih dengan tatapan penuh harapan.
"Duh, jangan disini." Ucap Laila.
"Kan gak ada yang lihat."
"Iya, tapi disini serem tau."
"Asal sama aku, ngapain takut. Ya, kan?" Kata Danish dengan senyum nakalnya.
...
Ela merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Terlihat Sena sedang mendadani gantungan bonekanya dengan sebuah pita berwarna merah. Gadis itu sangat bersemangat semenjak mendapatkan hadiah dari seseorang yang dia suka.
"Ela, kamu sama Zayyan gimana? Makin deket gak?" Tanyanya.
"Ngapain ngomongin Zayyan?"
"Gak apa-apa kok. Siapa tau jadi pacar." Ucap Sena.
"Aku gak mau pacaran, Sen."
"Kenapa? Takut bakal dijadiin objek doang kayak mantan kamu? Zayyan gak kayak gitu kok."
"Tau darimana Zayyan gak bakalan begitu?" Tanya Ela.
"Ela sayang, gak semua cowok tuh sama." Jawab Sena.
Ela menghela nafas saat mendengar jawaban dari sahabatnya ini. Ela mencoba membuka ponselnya untuk bermain game atau sekedar menonton video di internet. Namun, beberapa saat kemudian, ponsel Ela tiba-tiba mati. Kemudian muncul sebuah tampilan lainnya.
"Apa nih?" Tanya Ela yang mulai penasaran.
Ada sebuah tulisan mengatakan 'kamu adalah Hider'. Ela cukup bingung apa maksud dari ini. Sena juga mendapatkan pesan yang sama. Beberapa saat kemudian, ada tampilan lainnya. Dengan penasaran, Ela membacanya dengan seksama.
"Perhatian!! Perhatian!! Perhatian!!" Terdengar suara dari ruang pemberitahuan hotel melalui sebuah mikrofon.
"Apa lagi nih?" Tanya Zayyan yang berada di kamarnya.
"Permainan hide and seek. Terdiri dari Hider dan Seeker. Dimana Hider diberi waktu hingga pukul 12 malam untuk bersembunyi. Disaat jam sudah melewati pukul 12 malam, maka Hider akan tertidur hingga menjelang pagi. Tugas sebagai Hider hanyalah bersembunyi di malam hari. Dan di pagi hari, Hider harus mencari siapa yang menjadi Seeker.
Tugas sebagai Seeker, adalah mencari Hider dengan sebuah boneka yang akan kalian dapatkan sesuai dengan pesan yang kalian dapat. Seeker harus mengeliminasi 1 Hider dalam waktu samalam. Saat pagi hari tiba, Hider harus mencari siapa yang menjadi Seeker. Batas waktu pemilihan hingga jam 10 malam. Pastikan kalian tidak menyebarkan data diri kalian. Hanya ada satu polisi diantara kalian. Hanya polisi yang tau siapa diantara kalian yang Hider dan Seeker."
"Ini aturan dari game Hide and Seek. Permainan dimulai. Kalian diberi waktu hingga jam 12 malam untuk bersembunyi. Sekali lagi. PERMAINAN DIMULAI."
Ela dan Sena sama bingungnya. Begitu juga dengan siswa lainnya. Ke empat siswa yang tadi di atap segera turun mencari persembunyian. Mau tak mau Ela dan teman-temannya mencari tempat persembunyian. Meskipun dalam keadaan percaya tak percaya, mereka tetap mengikuti permainan ini.
Yardan mengirim pesan kepada teman-temannya apakah mereka sudah bersembunyi di tempat yang tepat. Hanya ada 28 siswa yang menjawab. Danish dan Laila tidak membalas pesannya.
"Duh mereka gimana nih?" Kata Yardan dengan pelan.
"Udah biarin aja, Dan. Mereka paling gak bawa hp pas lagi sembunyi." Ucap Mada.
Yardan mengangguk, dengan segera mereka berdua mencari tempat persembunyian yang bagus. Jam mulai menunjukkan pukul setengah 12 malam. Setengah jam lagi, para boneka yang dimiliki oleh pafa Seeker akan keluar untuk mencari para Hider.
Ela yang berada di balkon bersama Sena mulai merasa sangat gugup. Sena menggenggam erat tangan Ela. Jam menunjukkan pukul 11.55 malam. Mereka bisa mendengar suara dari kamar mereka. Suara seorang anak kecil yang memainkan sebuah lagu seram.
"Hehehe Ding dong! Apa kalian disini? Tidak ada. Hehehe dimana ya kalian sembunyi?" Ucap suara tersebut.
Ela berusaha menenangkan Sena. Gadis itu memeluk Ela dengan sangat erat. Hingga jam mulai menunjukkan pukul 12 malam. Keduanya mulai tertidur. Suara yang tadinya begitu menyeramkan, kini mulai menghilang.
...
Keesokan paginya, Ela dan Sena terbangun dari tidur mereka. Suara dari mikrofon di ruang pengumuman mulai berbunyi kembali.
"Danish Wijaya, tereleminasi. Danish Wijaya seorang Hider. Laila Permata, tereleminasi. Laila Permata seorang Hider. Voting dimulai."
Suara itu kembali hilang setelah pengumuman tersebut. Ela dan Sena turun dari palkon untuk menemui Yardan dan yang lainnya. Yardan meminta mereka bertemu di lapangan basket yang berada di sebelah hotel. Sesampainya disana, hanya ada 28 anak. Dan benar, dua siswa sudah tereleminasi.
"Kita harus cari mereka." Kata Yardan dengan tegas.
"Segera kirim pesan jika salah satu diantara kalian menemukan mereka." Ucapnya lagi.
Yardan segera membubarkan kelasnya untuk mencari Danish dan Laila. Mereka mencari di kamar hotel lainnya, toilet, ruangan kesehatan, lobby dan ruangan lainnya. Tak ada yang berhasil menemukan mereka. Sudah satu jam mereka mencari keberadaan Danish dan Laila. Semalam, Olivia selaku teman sekamar Laila mengatakan bahwa gadis itu pergi dengan Danish. Entah kemana mereka pergi, Laila bahkan tidak memberitahu Olivia tentang kepergian gadis itu.
"Pasangan yang nyusahin." Kata Thomi.
Beberapa saat kemudian, seseorang mengirim pesan kepada mereka melalui grub kelas.
"Aku dan Andrian ketemu mereka. Mereka ada di gudang sebelah toilet yang udah lama gak dipakai. Kalian cepet ke sini!" Pesan dari Mada.
"Kita ke sana, Sen." Kata Ela yang mendapat anggukan dari sahabatnya.
Begitu juga dengan Yardan yang segera menyusul kedua temannya ini. Anak lain pun ikut serta dalam hal tersebut. Gudang yang sudah lama tak dipakai. Hanya beberapa kasur yang rusak dan seprei yang berantakan. Ada beberapa furniture yang sudah mulai rusak. Ela bisa melihat siapa dua mayat yang berada di kasur tersebut.
Dua mayat tanpa sehelai pakaian menutup tubuh mereka. Dengan keadaan kaki dan tangan yang terpisah dari tubuh mereka. Zayyan meminta Ela dan Sena untuk tidak melihatnya. Zayyan bisa mengerti bahwa Ela sangat takut dengan hal yang seperti ini.
"Astaghfirullah. Innalilahi wa innalilahi Raji'un." Kata Zahra yang segera diikuti teman-temannya.
"Laila...." Olivia mulai meneteskan air matanya. Abila berusaha menenangkan Olivia. Namun, gadis itu masih dalam kesedihannya.
Kematian mereka sangat mengenaskan. Darah mulai berhenti dari tubuh mereka. Namun, tentu saja darah tersebut masih terasa hangat. Yardan dan teman-temannya mengambil beberapa lembar seprei dan membawa kedua mayat tersebut ke tempat lain.
"Kita harus kubur mereka." Kata Ela yang merasa kasihan dengan keduanya.
Mereka meninggal dalam keadaan zina sebelum bertaubat. Sena mengambil catatan yang tertempel diatas kasur di dekat dua mayat tersebut. Sena memberikan catatan tersebut kepada Ela. Catatan yang bertuliskan :
'Jauhi Zina. Percintaan sebelum halal (menikah) itu adalah zina. Jauhi Zina selagi kalian masih diberi kesempatan hidup.'
"Catatan?" Tanya Zayyan yang tiba-tiba dibelakang Ela.
"Mereka melakukan hubungan suami istri sebelum menikah. Dan ini yang mereka dapatkan. Mereka belum sempat bertaubat." Ucap Ela.
Zayyan mengangguk.
"Kita doakan yang terbaik untuk mereka. Ayo susul yang lainnya. Kita harus kubur mereka di belakang hotel."
"Gimana kalau orang tua mereka nyariin ? Apa kita harus kubur mereka?" Tanya Sena.
"Kamu mau lihat mereka dalam keadaan kayak gini? Gak ada tempat lain." Jawab Andrian.
"Ada tempat di deket lapangan golf kok. Kita bisa kubur mereka di sana." Ucap Gavin untuk menenangkan teman-temannya.
"Iya udah. Ayo kita kubur di sana." Ucap Yardan yang disambut anggukan teman-temannya.
Dua anak laki-laki lainnya mengambil cangkul. Beberapa anak laki-laki lainnya membawa dua mayat tersebut yang sudah dibungkus dengan seprai warna putih. Nendra dan Darren menggali lubang untuk ke dua temannya. Kesedihan masih tersisa pada mereka.
Zayyan memimpin doa bersama untuk kedua temannya yang sudah meninggal dunia. Olivia masih meneteskan air matanya. Gadis itu masih belum rela teman dekatnya pergi meninggalkannya begitu cepat. Walaupun Evano mengatakan bahwa tidak ada gunanya membela pezina.
"Evano, gak boleh ngomong kayak gitu. Mereka pasti nyesel lakuin hal kayak gini." Kata Zahra dengan lembut.
"Tetep aja." Evano tetap kukuh pada ucapannya.
"Udah, jangan berantem. Kita berkumpul setelah ini di lapangan. Pastikan kalian semua datang." Kata Yardan lagi.
"Iya."
Ela masih menggenggam catatan yang dia dapatkan dari Sena. Kematian kedua temannya ini benar-benar membuat Ela ingin muntah. Aturan kedua setelah kematian pada Hider. Hider diminta untuk mencari siapa yang menjadi Seeker dan membunuh kedua temannya ini. Seeker menggunakan boneka. Ini akan sangat sulit bagi mereka untuk menemukan jejaknya.
Yang bisa Ela tau hanya dari catatan yang dia dapatkan. Tulisan tangan seorang perempuan. Namun, Ela tak tau pasti siapa yang menulis ini. Tulisan tangannya bahkan sangat aneh. Seakan campuran dari latin. Ini bukan tulisan dari salah satu temannya. Ela juga tidak bisa menebak siapa yang menjadi polisi diantara mereka.
Mereka pun berkumpul di lapangan basket sesuai dengan permintaan Yardan. Ela belum menunjukan catatan tersebut kepada Yardan. Dia masih penasaran apa yang akan terjadi jika mereka mulai memilih Voting untuk Seeker. Apa Seeker akan mendapatkan kematian yang serupa?
"Teman-teman, ini permainan hide and seek. Sembunyi dan mencari. Aku mohon kerja sama kalian untuk mencari tau siapa yang menjadi Seeker diantara kita." Ucap Yardan.
"Bisa jadi ini bukan Seeker yang melakukan pembunuhan terhadap dua sejoli ini, kan? Bisa aja itu karena karma." Ucap Evano.
"Gak mungkin, gak ada pisau di gudang. Pasti mereka dibunuh!" Kata Olivia.
"Kamu membela pezina?!" Kata Evano dengan geram.
"Aku curiga kalau ini kamu, Evano."
"Huh!? Aku?! Yang bener aja! Aku ini Hider. Aku bahkan sembunyi bareng Darren semalam. Ya, kan?"
"Bener. Evano semalaman bareng aku." Jawab Darren.
"Kamu tidur! Bisa aja Evano bangun dan nyariin mereka!!" Olivia tetap tidak terima atas kematian sahabatnya.
"Cukup!" Yardan mulai berteriak ke arah mereka.
"Olivia. Yang berduka gak cuman kamu! Kita disini juga sedih dengan kematian mereka yang mengenaskan. Tangan dan kaki dipotong, jantung keluar dari tubuh, ada yang mau mati dalam keadaan seperti itu!?" Kata Yardan kepada teman-temannya.
Mereka hanya terdiam mendengarkan ucapan Yardan. Laki-laki itu kembali menghela nafas. Mulai berpikir apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan siapa Seeker di balik pembunuhan Danish dan Laila.
"Yardan." Panggil Ela sembari berdiri menghampiri Yardan.
"Aku Nemu catatan ini. Aku yakin ini bukan tulisan anak kelas kita." Kata Ela.
Yardan mengambil catatan kecil dari tangan Ela. Membacanya sebentar sebelum menatap ke arah teman-teman sekelasnya.
"Ada yang bawa bolpoin?" Tanyanya.
"Aku bawa." Jawab Jihan sembari mengeluarkan bolpoin dan secarik kertas dari sakunya.
"Ada yang bawa buku tulis?" Tanyanya lagi.
"Aku nemu ini di sana." Ucap Mada yang membawa buku berukuran sedang.
"Aku minta kalian untuk nulis sama persis yang ada di kertas ini. Semuanya!" Kata Yardan.
Bergantian mereka menulis sesuai dengan perintah Yardan. Yang terakhir menulis adalah Yardan dan Mada. Untuk mencocokkannya, Yardan meminta Ela dan Sena yang lebih teliti dalam hal ini. Tak ada yang sama dengan tulisan di catatan tersebut.
"Gak ada yang sama." Ucap Ela.
"Yardan, bukannya tuh catatan kayak bawa-bawa agama ya? Bisa aja Zahra, kan?" Kata Irene sembari menatap ke arah gadis dengan hijab berwarna hitam tersebut.
"Aku!? Ngapain juga aku bawa-bawa agama dalam hal ini?!" Kata Zahra yang mulai kesal dengan ucapan Irene.
"Bisa jadi, kan? Kalau bukan kamu mah gak usah semarah itu dong. Santai aja kali." Kata Irene.
"Udah! Kalian semua kembali ke kamar. Kecuali Ela, Sena, Zayyan, Mada, Gavin dan Andrian. Kalian tetap disini." Ucap Yardan.
"Ayo, Ra." Ajak Jihan. Zahra menurut.
Anak-anak lain mulai meninggalkan lapangan kecuali yang disebutkan oleh Yardan. Tersisa tujuh anak yang masih disana. Ela, Sena, Zayyan, Gavin, Mada, Andrian serta Yardan. Sena dan Gavin membantu meneliti kembali tulisan yang sama dengan catatan tersebut. Sementara Ela, Zayyan, Mada, Andrian dan Yardan kembali ke tempat dimana kedua temannya meninggal dunia.
Bersambung....
Anak-anak lain mulai meninggalkan lapangan kecuali yang disebutkan oleh Yardan. Tersisa tujuh anak yang masih disana. Ela, Sena, Zayyan, Gavin, Mada, Andrian serta Yardan. Sena dan Gavin membantu meneliti kembali tulisan yang sama dengan catatan tersebut. Sementara Ela, Zayyan, Mada, Andrian dan Yardan kembali ke tempat dimana kedua temannya meninggal dunia.
Yardan tidak mengajak anak lainnya, karena dia tau bahwa teman-temannya itu akan semakin beradu argumen. Saling tuduh menuduh dan itu membuatnya semakin stress. Untuk itu Yardan meminta yang lain tetap berada di kamar mereka, agar mereka bisa tenang dengan kejadian seperti ini.
Darah Danish dan Laila masih ada di tempat yang sama. Tidak ada bekas goresan di atas tempat tidur yang dipakai oleh dua sejoli ini. Yang mereka temukan hanya sebuah jejak kaki kecil yang berlari keluar ke arah pintu. Zayyan mencoba mengikuti jejak kaki kecil itu, namun saat menuju pintu, jejak itu tiba-tiba menghilang begitu saja.
"Ela." Panggil Zayyan.
"Kenapa, Yan?" Tanya gadis itu kepada seorang anak laki-laki yang berada diambang pintu.
"Di deket pintu nih darahnya kayak jelas banget. Tapi, aku ngerasa Seeker ngambil boneka itu tepat di depan pintu. Lihat deh, dari sana ke sini, jejak kakinya jelas banget kan. Dan ini bukan jejak kaki manusia, ini kaki boneka."
Mendengar itu, Ela memperhatikan jejak kecil yang dimaksud oleh temannya ini. Jejak yang tadinya sangat jelas tiba-tiba menghilang begitu saja. Jika benar Seeker mengambil boneka tersebut. Pasti di pakaiannya akan terlihat jelas bekas darah.
"Yan, semisal bener ini diambil sama Seeker. Pasti Seeker itu punya bekas darah dari kaki bonekanya. Entah di pakaiannya atau malah di tangannya. Tapi, semisal Seeker gendong nih boneka, udah pasti di pakaiannya ada bekas darah." Kata Ela.
"Bener juga. Dan nih boneka kayaknya cukup gede deh. Paling tingginya 50cm." Ucap Zayyan.
Ela mengangguk. Mereka kemudian mendiskusikan hal tersebut kepada Yardan dan teman-teman lainnya berada di lokasi yang sama. Yardan kembali memastikan yang dikatakan Ela dan Zayyan mengenai jejak kaki. Jejak kaki itu seperti milik boneka beruang berbulu.
"Kamu yakin nih boneka berbulu?" Tanya Mada.
"Aku yakinnya pas deket pintu ini, jejak boneka itu ada sedikit goresan di sekelilingnya. Aku yakin ini boneka berbulu. Dan pasti bakalan lama buat keringin darah yang berada di kain ini." Jawab Yardan.
"Oke deh. Kita cek mereka satu persatu. Apa ada bekas darah di pakaian mereka." Ucap Mada yang segera mendapatkan anggukan dari teman-temannya.
Yardan mulai mengirim pesan di grub kelasnya untuk meminta teman-temannya menuju lapangan dimana mereka pertama berkumpul. Setelah beberapa lama menunggu, Ela dan Sena mulai mengecek pakaian para siswi. Sementara Mada dan Zayyan mengecek pakaian para siswa.
Tidak ada bekas apapun di pakaian mereka. Pakaian mereka dengan yang tadi pagi digunakan juga sama. Kecuali satu orang, Haru. Gadis dengan rambut di kepang itu mengatakan bahwa dia dalam masa haid. Itu sebabnya dia harus mandi di pagi hari dan mengganti pembalutnya.
"Bisa kita cek baju yang kamu pakai tadi pagi?" Tanya Sena.
"Boleh. Ayo." Ucap Haru tanpa ragu menuju ke kamarnya.
Haru menunjukkan pakaian yang sempat dia pakai semalam. Ada bekas darah tepat di bawah sakunya. Sena dan Ela saling bertatapan. Seolah pemikiran mereka sama mengenai Haru. Namun, mereka juga tidak yakin apa benar ini Haru? Seingat Ela, tadi pagi Haru masih memakai dress ini. Akan tetapi, tidak ada bekas darah seperti ini. Bisa jadi ini sebuah jebakan untuk Haru.
"Ada apa?" Tanya Haru yang mendapati dua temannya saling beradu pandang.
"Kita ke lapangan sekarang." Jawab Ela sembari membawa dress milik Haru.
Gadis itu mengangguk sembari mengikuti Ela dan Sena. Sesampainya di lapangan, Ela memberikan dress milik Haru kepada Yardan. Dress warna putih dengan pita di bagian kerahnya. Dibawah saku bagian atas, Yardan melihat ada bekas darah di pakaian milik Haru.
"Haru sekamar sama siapa?" Tanya Yardan.
"Aku sekamar sama Cellyn." Jawab Haru.
"Pas kamu mandi tadi, Cellyn ada di kamar?" Tanya Ela.
"Gak, dia tadi ke kantin hotel. Ya kan?"
"Bener." Jawab Cellyn dengan santai.
Ela kembali menatap Yardan.
"Dan, aku ngerasa ini jebakan. Aku ingat betul tadi pagi dress Haru masih bersih kok." Kata Ela.
"Kamu yakin, El? Bisa jadi kamu lupa, kan? Gimana kalau beneran Haru yang jadi Seekernya?"
"Aku gak tau pasti."
Mada, Andrian dan Gavin berlari ke arah teman-temannya. Mereka terengah-engah setelah berlari dari ruang security menuju lapangan yang jaraknya sebenarnya tidak cukup jauh. Mada mengambil nafas sebentar sebelum berbicara kepada Ketua Kelas.
"Dan, cctv-nya gak ada yang nyala. Gavin dan Andrian berusaha nyalain. Tapi, ada yang putusin kabelnya."
"Udah dibenerin?" Tanya Yardan.
"Kita gak tau dimana putusnya kabel itu. Seakan semua kabel cctv emang sengaja dirusak." Jawab Mada yang masih terengah-engah.
Ela mengambil tiga botol minuman yang berada di pojok lapangan untuk ketiga temannya baru saja datang. Mada dengan cepat mengambil botol tersebut dan meminumnya.
"Pelan-pelan." Ucap Ela.
"Cie perhatian." Ledek Mada.
"Aduh! Sakit, El." Kata Mada yang tiba-tiba kakinya diinjak oleh Ela. Seakan gadis itu memang sengaja melakukannya.
"So? Siapa yang jadi Seekernya? Haru?" Tanya Namira dengan wajah judesnya.
"Kita belum tau pasti, Ra. Bisa jadi ini jebakan buat dia, kan?" Kata Ela.
"Halah. Kamu disogok berapa sih sama Haru!? Sampai kamu bela-belain dia. Gimana kalau dia nanti juga bakal bunuh kamu?"
"Tapi, aku beneran bukan Seeker." Ucap Haru.
Terlihat jelas rasa takut diwajah Haru. Jika sudah berhadapan dengan Geng Cicipi, nyali Haru seketika menciut. Gadis itu memang tidak ingin membuat masalah dengan Geng Cicipi. Sejak awal masuk, Geng Cicipi memang lebih sulit diatur. Namun, tentu saja Geng Keiji lebih sulit diatur.
"Gimana kalau ternyata Evano?" Kata Olivia yang masih teguh dengan pilihannya ini.
Laila adalah sahabat dekatnya, apapun yang terjadi pada Laila juga derita bagi Olivia. Laila senang, Olivia ikut senang. Laila sedih, Olivia juga ikut bersedih. Evano yang dituduh pun tidak terima. Sejak awal, pasangan ini sudah sangat menyusahkan baginya.
"Aku!?" Ucapnya dengan sangat marah.
"Kamu kan licik, Evano. Bisa jadi kamu sengaja buat jebak Haru." Kata Olivia dengan amarah yang sama dengan Evano.
"Gimana kalau bukti yang sebenarnya ada di Haru? Udah jelas kan kalau bukti bekas jejak kaki boneka itu ada pada Haru?"
Keduanya terus berdebat dan membuat Yardan semakin pening. Mada berusaha menghentikan perdebatan mereka, namun Yardan menahan Mada untuk tidak melakukannya. Yardan ingin mendengar apa saja yang ada pada pemikiran dua orang ini. Jika Yardan menjadi Evano, dia pasti juga akan berpikir bahwa Haru bisa jadi adalah Seekernya.
Wajah Haru memang terlihat sangat polos seolah gadis itu tidak memiliki kesalahan apapun. Seolah dia tidak melakukan apa-apa yang dituduhkan padanya. Akan tetapi, Yardan juga tidak bisa sepenuhnya percaya pada Haru. Banyak yang bermuka polos seakan tidak mengerti apapun, namun ternyata dia adalah pelakunya. Ela juga kembali mengingat-ingat apa benar tadi pagi dia melihat bekas kaki itu atau tidak pada dress milik Haru.
Haru terlihat penuh harapan kepada Ela. Seakan dia percaya kepada gadis itu akan membelanya. Akan tetapi, jika Ela terus membela Haru padahal sudah jelas bukti yang ada, Haru tetap akan kalah. Dia tetap akan di eksekusi walaupun bukan kesalahannya.
"Gimana kalau kita coba voting?" Tanya Yora.
"Voting? Kamu gila!? Bisa jadi kalau aku yang kepilih, aku yang mati!" Kata Evano.
"Bener. Lagipula belum tentu kita kok!" Kata Haru dengan tegas.
"Orang mana ada yang mau ngaku salah sih? Mereka pasti bakalan kelihatan busuknya." Ucap Namira.
"Bener, gimana kalau kita voting salah satu diantara mereka. Sebagai bukti?" Tanya Irene.
"Wait, kita masih ada waktu kan? Kenapa kita gak coba selidiki lagi? Mungkin ada bukti yang tertinggal?" Tanya Gavin.
"Tapi, kita udah dua jam selidiki tempat tadi, Vin. Bukti yang ada cuman kertas tadi sama jejak kaki." Jawab Mada.
"Iya bisa jadi, kan?"
"Tunggu, Seeker kan punya boneka. Dan pasti mereka bakal sembunyiin boneka tersebut di kamarnya, kan? Kita gak geledah aja?" Tanya Zayyan.
Yardan berpikir sejenak untuk mempertimbangkan ucapan Zayyan. Anak laki-laki itu mengangguk sebagai tanda setuju. Mereka pun mulai menggeledah setiap kamar yang ada. Namun, tidak ditemukan satupun boneka di sana.
Sementara Olivia mulai berdebat dengan Evano. Seakan gadis itu benar-benar yakin bahwa Evano yang berada di balik ini semua. Akan tetapi, Geng Keiji malah berpikir bisa jadi Haru yang Seeker. Gadis itu tentu saja mengelak bahwa bukan dirinya yang menjadi Seeker. Tentu saja Geng Keiji dan Geng Cicipi tidak percaya pada Haru.
"Kita voting dia!" Kata Irene sembari mengeluarkan ponselnya.
Irene mencari nama Haru di daftar kelasnya. Gadis itu menekan yang bertulisan nama 'Haru Vianika' pada layar ponselnya. Barulah muncul tampilan 'memilih' dan 'batal'. Segera Irene menekan layarnya yang bertuliskan 'memilih'. Pemberitahuan muncul kembali dengan menyebutkan nama Irene dan Haru.
"Irene memilih Haru."
"Yang bener aja!?"
"Apa? Kalau bukan kamu mah santai aja kali." Ucap Irene.
"Masalahnya ini nyawa! Kalau nyawaku 9 gak apa-apa. Nyawaku cuman satu." Kata Haru.
Hal yang sama terjadi, Haru memilih Irene. Seketika Irene menghampiri Haru dan mendorongnya seakan dia tidak terima mendapatkan voting. Wajah gadis itu terlihat memerah karena amarahnya. Sama halnya dengan Haru, gadis itu berdiri dan mendorong Irene hingga terjatuh. Begitu Irene terjatuh, Haru memukul kepala Irene ke arah lantai.
"Haru!"
Sena dan Ela dengan segera memisahkan mereka. Dua gadis itu benar-benar didalam amarahnya. Ela membantu Irene untuk berdiri. Sementara Sena menjauhkan Haru dari Irene.
"Aku gak salah dalam hal ini!" Ucap Irene yang tidak terima.
"Belum tentu juga aku yang salah!" Kata Haru.
"Cukup!" Yardan menghela nafas sejenak sebelum berbicara kembali.
"Dan." Panggil Gavin.
"Apa?"
"Aku cek lagi bukunya dan ada salah satu yang sama dengan catatan ini. Maksudku tulisannya." Ucap Gavin.
Anak laki-laki dengan kaos abu-abu itu menunjukkan salah satu tulisan yang mirip dengan di catatan. Sena dan Ela juga memperhatikan buku dan catatan tersebut. Sekilas mereka terlihat sama.
"Ini tulisannya Haru." Ucap Sena.
"Udah terbukti!" Kata Irene.
"Bukan aku!" Kata Haru.
"Ela, percaya ini bukan aku! Ini jebakan kan, La!" Ucapnya lagi kepada Ela.
Ela memandangi gadis yang terus memohon pertolongan di depannya. Kali ini Ela tidak bisa membela Haru. Dia berpikiran yang sama dengan teman-teman lainnya bahwa Haru adalah Seeker. Beberapa anak sudah mulai memilih Haru, kecuali Ela yang masih bimbang dalam pilihannya.
Jam sudah mulai menunjukkan pukul 9 malam. Anak lain juga memilih Haru. Gadis itu berusaha menahan teman-temannya untuk tidak memilih dirinya.
"Bukan aku!"
"Tapi, buktinya di kamu!" Teriak Irene kepada gadis kepang dua itu.
"Ela..."
"Maaf, Haru. Buktinya semua di kamu. Aku gak bisa bela kamu. Maaf." Ucap Ela dengan tatapan sedihnya.
"Elaina memilih Haru."
"Ela..."
Mereka meninggalkan Haru di lapangan. Mereka segera mencari tempat persembunyian terbaik. Sementara Haru masih berada di lapangan. Air matanya mengalir deras, dia tidak percaya dirinya akan mati dalam permainan bodoh ini.
"Voting selesai."
Gadis berkepang dua itu tiba-tiba hilang kesadarannya dan jatuh ke lantai. Diambang pintu lapangan, terlihat satu sosok anak perempuan yang menghampiri Haru. Gadis kecil itu tersenyum melihat siapa yang ada dihadapannya.
"Hehehe ding dong!"
Gadis itu menusukkan pisau ke arah dada Haru. Membelah dadanya hingga terlihat jantungnya. Dirasa kurang, gadis kecil itu kembali membelah dada Haru hingga ke perut. Hingga terlihat semua organ Haru yang masih dalam keadaan segar. Bahkan jantungnya masih berdetak walau sudah dibedah dengan cara kasar.
"Cap cip cup. Jantung? Hati? Atau lambung? Kayaknya jantung aja deh!"
Gadis kecil itu mengangkat dan menarik paksa jantung Haru hingga benar-benar terlepas dari tubuhnya. Gadis kecil tersebut cukup mengalami kesulitan saat menariknya. Tapi, dia terlihat senang saat jantung itu benar-benar terpisah dari tubuh Haru. Dia terkekeh kecil melihat jantung milik Haru kini berada di tangannya.
"Kali ini, jantungnya punyaku! Tunggu."
Gadis kecil itu mencoba melihat bola mata milik Haru. Warnanya yang cantik menggoda Gadis kecil itu. Bola mata dengan warna biru muda yang cantik.
"Aku juga mau punya mata kayak gini." Ucapnya.
Dia mengambil pisaunya dan mulai mencongkel kedua mata Haru. Darah mengalir dimana-mana, namun gadis kecil itu tampak bergembira dengan pilihannya. Satu jantung dan satu mata yang dia dapatkan.
"Kayaknya cukup deh. Selamat beristirahat, Haru. Hehehe."
"Haru Vianika tereleminasi, Haru adalah Hider."
"Sayang banget temen-temen kamu voting yang bukan Seeker. Permainan ini semakin menarik saja. Hehehe."
Gadis kecil itu tertawa sembari berjalan keluar. Sementara anak lain yang mendengar pemberitahuan itu, beberapa diantaranya menyesal sudah memilih Haru. Seperti yang diduga oleh Ela, ini adalah jebakan untuk gadis itu. Seeker menyembunyikan dirinya dengan cara yang baik. Bahkan dia membersihkan namanya dari segala tuduhan.
"Bukan Haru." Kata Ela.
"Sialan." Ucap Zayyan.
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Gadis kecil itu bisa melihat beberapa boneka yang dikirimkan oleh Seeker mulai mencari-cari anak-anak tersebut. Beberapa diantaranya masuk ke dalam toilet, dapur, serta kamar tidur tamu.
"Aku harus kembali. Setidaknya aku harus membersihkan diri sebelum kembali ke tempatku." Ucapnya sembari berjalan ke arah lain.
Bersambung...
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Gadis kecil itu bisa melihat beberapa boneka yang dikirimkan oleh Seeker mulai mencari-cari anak-anak tersebut. Beberapa diantaranya masuk ke dalam toilet, dapur, serta kamar tidur tamu.
"Aku harus kembali. Setidaknya aku harus membersihkan diri sebelum kembali ke tempatku." Ucapnya sembari berjalan ke arah lain.
Ada empat boneka yang berlarian ke sana kemari. Boneka dengan bentuk beruang, anak laki-laki, kelinci dan kucing berwarna putih. Mereka tampak serius dengan masing-masing tugasnya. Sementara gadis kecil tadi berjalan menuju arah lain dengan senandung kecilnya. Hatinya tampak sangat bergembira dengan membawa jantung dan satu bola mata milik Haru.
"Hehehe aku akan tidur nyenyak setelah ini! Sampai jumpa di permainan selanjutnya!" Ucapnya sembari menyanyikan sebuah lagu menyeramkan.
Ding dong!
I know you can hear me.
But, you try to ignore me.
Why? Because, are you afraid of me?
You know I'm not scary.
I just want to take something from you!
Like your beautiful eyes!
I want everything to be MINE!
Maybe, I want your head too!
Hehehe...
Gadis kecil tersebut terus berjalan melewati lorong-lorong hotel sembari bernyanyi ria. Sementara boneka lainnya melakukan pekerjaan mereka. Keesokan harinya, Ela terbangun dari tidurnya. Gadis itu bersembunyi di tempat lain, terpisah dengan Sena. Ela tertidur di bawah tempat tidurnya. Perlahan dia merangkak keluar dari kolong tempat tidur.
Terlihat Sena juga membuka lemari pakaian. Semalaman, Sena bersembunyi di dalam lemari. Dan sekarang gadis itu menahan rasa sakit di punggungnya. Seakan tidurnya tidak nyenyak. Melihat Ela yang berusaha merangkak keluar dari kolong tempat tidur, Sena segera membantunya.
"Makasih, Sena." Ucap Ela sembari berdiri.
Sena tersenyum memandangi sahabatnya ini. Dia tidak tega jika melihat Ela dalam kesulitan. Sena sangat menyayangi Ela seakan dia seperti adiknya sendiri. Apapun yang terjadi pada Ela, kesedihan atau kebahagian Ela, semua juga terbagi dari diri Sena. Meskipun terkadang Sena merasa iri dengan Ela yang memiliki sisi positif, sehingga banyak yang menyukai gadis ini.
"Darren Kristian tereleminasi, Darren adalah Hider. Rainer Mustafa tereleminasi, Rainer adalah Hider. Theo Wilson tereleminasi, Theo adalah Hider. Thomi Loman tereleminasi, Thomi adalah Hider."
"Empat orang sekaligus!?" Zayyan yang baru saja keluar dari kolong tempat tidur di kamarnya menghela nafas.
"Mereka benar-benar gak ada belas kasihan? Sialan. Siapa sih Seekernya!?" Ucap Mada yang sangat marah.
Yardan dengan segera meminta teman-temannya untuk berpencar dan mencari ke empat mayat ini. Sementara Ela dan Zayyan kembali ke lapangan untuk melihat kondisi Haru. Kondisi gadis itu lebih tragis dari yang sebelumnya.
Jantung dan bola mata sebelah kirinya diambil. Air mata Ela mulai mengalir deras melihat kondisi temannya ini. Disaat dia membutuhkan bantuan, tidak ada yang membantunya. Haru mati dalam keadaan sendiri. Benar-benar sendiri.
"Tenang, Ela." Kata Zayyan.
Mereka pun segera mengambil kain seprai yang sudah dibawa. Dengan segera mereka membungkus mayat Haru dan membawanya ke lapangan golf untuk dikubur. Di sana, mereka bertemu dengan Yardan dan juga anak-anak lainnya. Mereka membawa empat mayat dari orang yang baru saja ditemukan.
Darren meninggal dengan keadaan kepala lepas dari tubuhnya. Rainer meninggal dengan keadaan lebih tragis. Seluruh tubuhnya hancur seolah dia di cincang. Theo meninggal dengan keadaan kepala yang terbuka, hingga otaknya keluar dari kepalanya. Sementara Thomi, dia meninggal dengan keadaan lebih mengharukan. Seluruh badannya hampir hancur hingga organ-organnya keluar dari tubuhnya. Seakan tubuh Thomi ditimpa oleh sesuatu yang sangat berat.
"Organ mereka masih ada?" Tanya Ela yang penasaran apakah kematian ke empat temannya sama dengan Haru.
"Masih, La." Jawab Sena.
"Mata Haru yang sebelah kiri dan jantungnya gak ada." Kata Zayyan.
"Kok bisa?" Tanya Yardan yang ikut penasaran.
"Kita gak tau. Aku penasaran. Kenapa milik Haru diambil sementara mereka ber-enam gak?" Tanya Zayyan.
"Apa yang mengeliminasi Haru bukan Seeker?" Ucap Abila tiba-tiba.
"Bisa jadi. Mereka ber-enam dibunuh oleh Seeker. Sementara Haru dibunuh karena hukuman voting kita kemarin." Jawab Gavin yang seketika mendapatkan anggukan dari teman-temannya.
Ela merasa sangat jijik dengan permainan ini. Seolah para Seeker dan pembuat permainan ini tidak memiliki rasa ampun terhadap pemainnya. Seakan beliau ingin menghancurkan mereka dalam kematian yang tragis. Ela benar-benar sangat muak. Ela ingin segera keluar dari permainan ini.
"Aku mau pulang." Ucap Nendra tiba-tiba.
"Aku juga." Kata Evano.
"Aku gak tahan disini!" Kata Nendra yang berlari keluar diikuti oleh Evano.
"HEY KALIAN!" Yardan dan anak lain mulai mengikuti kedua temannya yang berlari lebih dahulu.
Mereka semua juga tidak tahan dengan permainan bodoh ini. Permainan yang akan membawa nyawa mereka lebih cepat menuju Tuhan. Evano dan Nendra berlari keluar hotel. Saat mereka sampai diluar, terdengar suara dari mikrofon yang berada di luar hotel.
"Peringatan keluar dari permainan! Peringatan keluar dari permainan! Peringatan keluar dari permainan!"
"Bodo amat!" Ucap Evano dan Nendra yang tiba-tiba keluar dari perbatasan permainan.
Saat teman-temannya hampir menyentuh jalan raya, mereka melihat Evano dan Nendra kehilangan kesadaran mereka. Yardan hendak membantu mereka. Namun, peringatan dari mikrofon yang kembali muncul membuat Yardan menghentikan langkahnya.
"Ada batasnya?" Ucap Zayyan yang bingung dimana letak batasnya.
"Yan, ada leser dari ujung sana. Sepertinya leser itu mengelilingi hotel." Kata Ela yang melihat samar-samar sebuah leser merah menyala.
"Sialan. Kita emang benar-benar dijebak disini." Zayyan mulai terlihat sangat kesal. Wajahnya memerah karena amarah.
Yardan dan anak lain mulai mundur beberapa langkah. Sementara Evano dan Nendra tiba-tiba terbangun dengan keadaan mata merah. Darah mengalir di mata mereka. Evano tiba-tiba berlari ke arah Nendra. Begitu juga sebaliknya. Mereka berdua saling membenturkan kepala hingga darah mengalir deras.
"Astaghfirullah." Kata Jihan dan Zahra.
"Ini gimana?! Tolong mereka!" Kata Olivia.
"Gimana mau nolong kalau ada batasan gini?! Yang ada kita bakal mati!" Ucap Mada.
Para siswi berteriak histeris saat menyaksikan Evano dan Nendra saling membenturkan kepala mereka. Meskipun darah sudah mengalir deras, mereka masih terus membenturkan kepala hingga salah satunya mengalami kehancuran. Kepala Nendra mulai hancur. Sementara kepala Evano mulai terlihat jelas otak yang akan keluar dari kepalanya ini.
"Dan!! Ini gimana!?" Teriak Kaizy.
"Kamu tanya aku, aku juga gak tau!" Jawab Yardan.
Beberapa anak perempuan berteriak histeris, sebagai mengeluarkan air mata mereka. Mereka benar-benar tidak tahan melihat penderitaan di tempat ini. Beberapa saat kemudian, Evano dan Nendra berhenti saling membenturkan kepala mereka. Mereka berdua terjatuh ke tanah.
"Hah... astaghfirullah." Ucap Abila.
"Evano Pandawa tereleminasi, Evano adalah Hider. Nendra Aditama tereleminasi, Nendra adalah Hider."
"Kita gak bisa bawa mayat mereka masuk. Kita harus gimana? Kita gak mungkin ninggalin mereka kayak gini." Kata salah seorang anak perempuan, Kaizy.
"Aku gak tau, Zy. Kita gak bisa keluar. Yang bia lakukan cuman biarin mereka kayak gini. Maafin kami, Nendra, Evano. Kita gak bisa bantu kalian." Ucap Yardan sembari menghela nafasnya.
Sama dengan anak lainnya, Yardan juga tidak tahan melihat 9 temannya sudah mati terbunuh. Tersisa 21 anak lagi yang masih bertahan. Mereka harus segera menemukan siapa yang menjadi Seeker diantara 21 siswa. Mereka kembali ke lapangan lain. Karena, di lapangan basket sebelumnya, ada beberapa anak perempuan yang tidak tahan melihat darah.
Yardan akhirnya memindahkan mereka ke lapangan volly untuk berdiskusi. Mereka harus membicarakan ini sebelum membersihkan lapangan basket. Seperti sebelumnya, ada uang berdebat dan saling menuduh siapa Seekernya. Alhasil Yardan meminta mereka untuk berpisah dan menemukan bukti kematian ke-empat temannya.
Sementara, Yardan dan Mada membersihan lapangan basket. Ela, Zayyan, Sena dan Zidan masuk ke salah satu tempat dimana Darren meninggal. Ada pisau berukuran besar untuk memotong daging di sebelah wastafel. Terlihat pisau itu masih belum sepenuhnya kering, bahkan di bawah pisau tersebut ada air yang menetes. Yang artinya, pisau itu baru dipakai beberapa jam yang lalu.
"Seeker gak keringin ini dulu." Kata Sena.
"Aku nemu darah netes disini." Ucap Zidan.
Terlihat setetes darah yang berada di lantai dekat dengan wastafel. Bahkan di lap yang terlihat sangat bersih, Zayyan menemukan sebuah bekas darah yang sepenuhnya belum hilang dari lap tersebut.
"Artinya Seeker terluka pas nyuci pisaunya." Kata Ela.
"Kita harus kasih tau Yardan dan yang lainnya." Ucap Sena.
"Tunggu, aku nemuin catatan." Kata Zayyan yang membuat ketiga temannya berhenti dan menatapnya.
Catatan tersebut memiliki tulisan yang sama dengan sebelumnya. Hanya saja ini berbeda dengan sebelumnya. Disini seolah mengatakan sesuatu yang selalu dilakukan oleh Darren.
'Apa Judi itu sangat berharga bagimu sampai kamu berani menaruhkan segalanya? Kamu pikir ini tidak akan merusak hidupmu?'
"Lagi? Sebelumnya tentang zina." Kata Ela.
"Kita ke Yardan dulu." Ucap Sena.
Ela mengangguk dan segera mengikuti ketiga temannya yang berlari menuju lapangan Basket. Terlihat para siswa lain juga sudah berkumpul di sana. Lapangan Basket kini bersih. Tidak ada darah Haru lagi. Namun, Ela menduga lapangan basket ini akan menjadi tempat hukuman para orang yang di voting.
"Aku Nemu catatan ini." Kata Sena sembari menunjukkan catatan kecil yang dia bawa kepada Yardan.
"Ini sama? Ke empatnya sama." Ucap Yardan.
"Aku gak mau ada yang mati lagi." Ujar seorang gadis dengan rambut kuncir kuda, Cellyn.
"Tapi, kita gak bisa biarin teman-teman kita mati gitu aja. Kita harus tau siapa yang bunuh mereka." Ucap Ela.
"Bener." Kata Yardan.
"Tapi, bisa gak kita gak voting ? Siapa tau itu malah membantu kita." Ucap Zidan.
"Gimana kalau kita yang malah mati?" Kata Agam sembari mendorong Zidan.
"Udah cukup." Zayyan memisahkan mereka berdua dan menjauhkan Agam dari Zidan.
"Ada bukti lain yang aku temukan." Ucap Ela.
Gadis dengan hoodie biru muda itu mulai mengatakan tentang setetes darah dekat wastafel dan pisau yang masih belum sepenuhnya kering. Ela mengatakan bisa saja Seeker sedang terluka akibat luka saat membersihkan pisau.
"Kita cek semua tangan kalian." Kata Yardan.
Satu persatu Ela dan Sena membantu Yardan mengecek tangan teman-temannya. Ada satu siswa yang membuat Ela penasaran, Khandra. Jari kelingkingnya terlihat ada goresan yang masih baru. Ela menatap anak laki-laki didepannya itu.
"Apa?! Bukan aku!"
"Jari kamu kok bisa sobek gini?" Tanya Ela.
"Ini kejepit pintu." Jawab Khandra.
Gadis itu tidak sepenuhnya percaya kepada Khandra. Gadis dengan hoodie biru muda itu mulai menjauh. Beberapa anak lain memiliki luka atau goresan. Namun, jika melalui catatan itu bukan milik Khandra. Anak laki-laki itu tidak mungkin menulis tentang perjudian, apalagi dirinya tidak dekat dengan Darren dan juga teman-temannya yang lain.
"Dan, gimana kalau kita gak voting dulu? Aku benar-benar gak mau kehilangan temen-temen lain." Ucap Kaizy yang membuat Sena muak dengan gadis ini.
Seolah Kaizy sengaja membuat suaranya lembut dan terlihat sangat lemah untuk menarik perhatian Yardan. Wajah gadis itu berusaha menahan amarahnya dan bersikap setenang mungkin. Yardan menghela nafas dan memandang teman-temannya yang lain. Sama seperti Kaizy, Yardan juga tidak ingin kehilangan teman-temannya lagi. Sudah cukup untuk sembilan mayat.
"Kita gak voting dulu." Kata Yardan.
"Gimana kalau kita gak voting, kita juga bakal tetep mati?" Tanya Gavin dengan wajah polosnya.
Yardan kembali bingung dengan pilihannya. Dia tidak ingin kehilangan teman-temannya lagi. Apalagi ini empat orang yang meninggal, dia tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Namun, jika yang dikatakan Kaizy benar, bisa saja mereka akan selamat.
"Kita coba dulu." Kata Yardan.
"Coba!? Ini perkara nyawa loh!" Ucap Irene yang tidak terima dengan pilihan Yardan.
"Ini idenya Kaizy, jika ada yang mati, kita tinggal voting dia." Kata Sena dengan wajah judesnya.
"Kok gitu?" Tanya Kaizy yang seolah tak terima. Gadis dengan dress merah muda dan putih itu menatap Sena. Seakan dia tidak suka dengan keputusan Sena.
"Bener. Ini ide Kaizy." Kata Namira yang disambut anggukan para Geng Cicipi.
"Tch. Okay! Kita coba!" Kata Kaizy yang akhirnya setuju. Meskipun ini akan mengambil nyawanya juga.
Kaizy merasa takut dengan apa yang akan terjadi padanya. Namun, teman-temannya setuju dengan pendapatnya. Awal sebenarnya, dia hanya ingin mencari perhatian agar bisa berbicara dengan Yandra. Akan tetapi, dia juga tidak menyadari bahaya pada dirinya. Terlihat jelas wajah Sena sangat tidak suka pada dirinya. Sena mengatakan hal tersebut seolah ingin menjebak Kaizy menuju jurang kematian.
Meskipun beberapa anak lain memiliki perasaan tidak ingin kehilangan teman-temannya. Saat mendengar Yardan akan mencoba, mereka setuju. Mereka mulai menyimpan ponsel mereka masing-masing di dalam kantong.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tidak ada yang melakukan voting. Mereka dalam keheningan menunggu apakah cara mereka berhasil. Jam mulai menunjukkan pukul 10 yang harusnya waktu voting selesai.
"Apa ini bakal berhasil?" Tanya Ela kepada Sena.
"Kita lihat."
Jam menunjukkan pukul 10 malam lewat. Mereka mulai lega. Kaizy lega idenya tidak gagal. Sena dan Ela saling berpelukan. Namun, disisi lain Ela merasa ada sesuatu yang aneh di permainan ini. Beberapa saat kemudian, suara dari mikrofon kembali terdengar.
"PERINGATAN UNTUK MENGAMBIL VOTING! PERINGATAN UNTUK MENGAMBIL VOTING! PERINGATAN UNTUK MENGAMBIL VOTING! PERINGATAN UNTUK MENGAMBIL VOTING DALAM WAKTU 1 MENIT!"
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!