Laki-laki muda dengan usia sekitar dua puluhan tersebut selalu merasa enggan berangkat ke kampus karena dirinya selalu di sambut tak biasa dengan teriakan yang dia dapatkan dari beberapa gadis di kampusnya. Biasanya dia akan di antar oleh iring-iringan mobil hanya untuk berangkat ke kampus tapi kali ini laki-laki yang bernama Nathan tersebut memilih untuk berangkat hanya dengan sopir pribadinya.
Bahkan dia memilih untuk lewat pintu belakang kampus. Dia sendiri juga meminta kepada sopirnya agar di turunkan di dekat gedung yang biasa digunakan para mahasiswa dan mahasiswi untuk melakukan kegiatan perkembangan bakat dan minat mahasiswa. Nathan sendiri kuliah di Universitas Baratayuda dengan usahanya belajar mulai matahari terbit sampai terbenam, karena memang UniBa juga tak membiarkan jika ada mahasiswa yang masuk dengan melalui jalur koneksi.
Nathan yang hari ini khusus datang ke kampus untuk melakukan ujian namun sebelum itu dia ingin mengunjungi seseorang. Setelah turun dari mobil, laki-laki tersebut menuju dimana ruang latihan piano berada. Sesampainya di gedung latihan piano, dengan perlahan pintu kaca ruang latihan tersebut ia buka menampilkan suara alunan keindahan dari tuts-tuts piano.
Hingga suara alunan piano itu berhenti dan tepukan tangan yang berasal dari arah Nathan menggema memenuhi seluruh ruangan. Perempuan yang duduk di dekat piano menoleh saat mendengar tepukan tersebut. Melihat siapa yang datang menemuinya membuat sudut bibir perempuan tersebut terangkat.
“Kapan kamu tiba?" tanya perempuan yang sedang duduk di dekat piano tengah berbinar memandang laki-laki yang mengunjunginya.
Nathan mendekat ke arah perempuan tersebut dan ikut duduk di sebelahnya. "Baru saja."
"Bagaimana penampilan pianoku barusan?"
"Sudah tidak di ragukan lagi sungguh luar biasa." Nathan mengarahkan kedua jempolnya pada Elea— kekasihnya.
Mendengar apa yang baru saja di dengar dari orang tercintanya membuat gadis bernama Elea tersebut bahagia bukan main. Elea dan Nathan merupakan sepasang kekasih, namun keduanya menjalin hubungan secara diam-diam walau memang ada beberapa orang yang sudah tahu mengenai hubungan keduanya.
"Kamu pasti sibuk akhir-akhir ini?" Tanya Nathan dengan tangannya yang mencoba memainkan tuts piano.
"Aku harus latihan sampai hari kompetisi tiba."
Nathan mengangguk dan tampak tidak senang melihat kekasihnya yang sibuk. Elea yang dapat menangkap raut wajah Nathan yang berubah bertanya. "Apa ada hal yang menganggumu?"
Sebelum berucap Nathan menarik nafas panjang, dia memilih membahas topik utama yang ingin dia sampaikan pada kekasihnya. "Papa ku sakit, kemarin aku mendengar pembicaraan Mama dan Nenek kalau mungkin mereka akan memintaku untuk menikah sebentar lagi."
"Menikah?" Elea menjeda ucapannya sejenak. "Aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat, kamu tahu kan mimpiku menjadi pianis terkenal. Tapi, aku juga tidak mau kehilangan kamu." Elea memandang Nathan dengan mata sendunya.
"Aku juga tidak mau berpisah denganmu." Gumam Nathan dengan suara lirih.
“Hmm apa? Aku tidak dengar?”
“Tidak lupakan saja.”
Nathan memandang ke arah Elea intens, alhasil akan hal itu membuat Elea gugup. Suasana yang lenggang membuat keduanya hanyut hingga saat netra Elea memandang ke arah lain di wajah Nathan. Alhasil Nathan memajukan wajahnya begitu juga dengan Elea keduanya semakin mendekat dan hampir saja terjadi sesuatu.
Sesuatu tersebut tidak terjadi karena suara deringan ponsel terdengar, membuat Nathan dan Elea kembali tersadar. Di luar ruangan piano terdapat seorang perempuan yang merutuki kebodohannya sendiri dan buru-buru menekan tombol merah pada panggilan yang masuk ke ponselnya.
"Tunggu sebentar." Ucap Nathan sambil melangkah ke arah pintu mencoba melihat sosok mana yang menguping pembicaraannya bersama Elea.
Namanya Tiffani dia merupakan gadis yang tak sengaja mendengar percakapan antara Nathan dan Elea, gadis tersebut tampak bingung saat mendengar suara derap langkah yang mendekat ke arahnya, dengan segera dia kabur dan menjauh dari ruangan itu. Tapi langkah Nathan yang lebar tidak membiarkan Tiffani lolos begitu saja.
"Hei kamu tunggu!" Nathan ikut berlari mengejar perempuan yang tengah berusaha untuk kabur.
Berkat kaki panjangnya Nathan dapat meraih lengan dan menarik Tiffani gadis itu mendekat ke arahnya, alhasil perempuan itu gugup bukan main. Mata tajam Nathan melihat ke arah perempuan di hadapannya membuat Tiffani takut dan menjadi menundukan pandangannya.
Sadar akan posisi mereka yang cukup dekat, Tiffani memundurkan langkahnya menjauhi Nathan. Sedangkan Nathan tak henti-hentinya menatap tajam ke arah perempuan itu untung saja kampus belakang sepi tidak ada mahasiswa berlalu lalang dan melihat kejadian ini.
"Lepasin!" Tiffani yang berontak memaksa agar Nathan melepaskan genggaman tangan laki-laki tersebut pada lengannya, tapi tenaga Nathan lebih kuat dan tak membiarkan gadis di hadapannya lolos begitu saja.
"Kamu nguping kan?"
Mendapat tuduhan itu Tiffani tidak terima, dia mendongakkan kepalanya dan menggeleng. "Enak saja jangan salah sangka, aku tadi cuma lewat."
Mendengar apa yang Tiffani katakan membuat Nathan tersenyum menyeringai. "Pintar ya alasan kamu, awas aja kalau sampai kamu nyebarin apa yang kamu dengar ke semua orang di kampus!"
Tiffani yang merasa kesakitan dengan genggaman tangan Nathan pada lengannya, dengan tenaga yang kuat dia mencoba melepaskan genggaman itu dengan paksa. "Lepas dulu!"
"Janji! kamu tidak akan menyebarkan berita ini." Ucapan Nathan dengan nada meninggi, meminta persetujuan gadis di depannya.
Tatapan teduh Nathan yang biasa dia perlihatkan saat tebar pesona di kampus berubah menjadi tajam saat mempergoki ada seseorang yang mengetahui rahasianya. Sementara itu Elea keluar dari ruang piano untuk melihat keadaan di luar.
"Nathan, kamu apa disana?" Panggilnya saat dirinya menemukan kekasihnya itu tengah bersama dengan seorang perempuan.
Atensi Nathan teralih dia menoleh untuk menemukan Elea yang memanggilnya di ambang pintu. Melihat kesempatan emas ini Tiffani tidak ingin diam begitu saja dia segera balik badan dan lari secepat mungkin untuk kabur dari hadapan laki-laki yang mengintimidasi dirinya.
"Sial!" umpat Nathan saat mengetahui gadis yang tengah dia ancam tadi kabur.
Elea mendekat ke arah Nathan lantas menggandeng lengannya. "Sudah jangan di perduliin mana mungkin dia berani nyebarin gosip ini tanpa ada bukti." Perempuan itu yang mencoba menenangkan Nathan saat emosinya meletup-letup.
***
Tiffani mengatur napasnya saat dia tidak melihat tanda-tanda seorang laki-laki tadi yang mengejarnya. Dia kembali teralih kepada panggilan di ponselnya yang dia tolak tadi. Gadis tersebut teringat bahwa dia harus ke kantin untuk menemui kedua temannya.
"Kamu dari kamar mandi apa kemana sih, lama banget?" tanya teman Tiffani saat melihat kehadiran perempuan itu yang duduk dengan wajah ngos-ngosan.
Tiffani terduduk di bangku kantin dengan mengambil alih es kepemilikan temannya yaitu Sandra dan dia minum sampai tandas. Sementara yang punya es tersebut hanya terdiam membiarkan Tiffani untuk meminum tanpa protes.
"Sorry aku lama, kalian udah pesen makan?" Tanya Tiffani yang netranya hanya menemukan sepiring gorengan di meja.
"Belum kita nungguin kamu ini."
"Oke kalau gitu cepat kita mau makan apa?"
Suara teriakan kaum hawa terdengar dari arah luar. Perempuan yang berada di kantin ingin mengetahui sesuatu yang terjadi di luar ikut berteriak, mereka berbondong-bondong menyaksikan hal yang membuat mereka heboh.
Ketiga perempuan yang sedang bingung ingin membeli menu makan apa hanya bisa menoleh untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Hingga seorang pria dengan memakai setelan casual simple berwarna coklat berjalan melewati arah luar kantin.
Melihat sosok tersebut Tiffani malah berusaha menutupi wajahnya berbeda dari mahasiswi lain yang heboh berteriak. Kedua temannya Sandra dan Talitha juga tidak melewatkan hal itu dengan memandang laki-laki tersebut untuk mengagumi ketampanan salah satu mahasiswa di kampus mereka.
"Ngapain mereka pakai teriak-teriak segala, emang dia siapa?"
Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Tiffani, Sandra yang tadinya akan memasukkan gorengan ke mulutnya menjadi urung. "Tif kamu yang bener aja, kamu nggak tahu siapa dia?"
Sementara itu Talitha hanya bisa tepuk tangan mendengar celetukan temannnya yang memang sangat tidak update sama sekali walaupun setiap hari berada di kampus.
"Sini aku kasih tahu." Talitha meminta agar Tiffani mendekat ke arahnya dan berbisik.
"Dia namanya Nathan Airlangga, pewaris perusahaan terkenal SUN Group. Dia merupakan anak yang dilahirkan dengan menjadi sultan." Talitha menceritakan siapa seseorang yang menjadi agung-agungan kaum hawa di kampusnya dengan nada yang dilebih-lebihkan.
Tiffani kembali pada posisinya dia mengedipkan matanya berulang kali lantas berkata. "Oh."
Kedua temannya Sandra dan Talitha saling pandang satu sama lain karena geram dengan reaksi Tiffani. Bagaimana mungkin Tiffani tidak kaget ataupun sampai berteriak saat tahu siapa sebenarnya Nathan Airlangga cowok tampan dan populer di kampus mereka.
"Sudah ah buruan pesan makanan." Tiffani memilih bangkit dan tidak ingin membahas tentang Nathan terlalu jauh.
Semangkok soto sudah di sajikan hadapan mereka. Ketiga teman itu segera melahap makanan yang di sajikan dengan semangkuk nasi putih dengan lauk di atasnya berupa potongan sayur, suwiran ayam, telur dan kuah panas. Setelah memasukkan satu sendok ke dalam mulutnya, ia melamun pikirannya melayang pada seseorang yang mempunyai panggilan sultan tadi.
Baru saja Tiffani tahu bahwasannya cowok tersebut bernama Nathan. Laki-laki itu ternyata berasal dari keluarga kaya pantas saja saat Tiffani tadi di dekatnya aura laki-laki tersebut berbeda dari teman laki-lakinya yang biasa dia ajak main. Bahkan harum bodymist dengan aroma peach dan vanilla dapat tercium saat berada di dekatnya, wajahnya yang mulus menandakan juga bahwa laki-laki itu pasti setiap bulan selalu rutin melakukan facial.
Dan satu hal lagi yang mengejutkan bahwa sebenarnya Nathan sudah mempunyai pacar. Apalagi pacarnya juga merupakan salah satu perempuan yang juga banyak di gandrungi kaum adam di kampusnya dia adalah Elea Daviera, mahasiswi dari fakultas seni yaitu piano yang saat ini sedang berusaha mengejar mimpinya untuk menjadi seorang pianis terkenal.
"Ibu... Tiffani pulang!" Setelah bergelut dengan soal-soal ujian akhir semester dan juga insiden bersama dengan seorang laki-laki yang ternyata berasal dari keluarga kaya Tiffani akhirnya menginjakkan kakinya di rumah.
Tiffani yang tengah membuka sepatunya lantas bersungut-sungut saat adik laki-lakinya berusaha mengganggu dirinya. Bagaimana tidak, baru saja tiba adiknya meminta tolong kepada Tiffani untuk membantu mengerjakan PR menggambar.
"Kak ayolah bantuin." Adik laki-lakinya itu sedang merayu dengan menarik-narik lengan Tiffani.
"Nanti aja deh!" Tiffani yang lelah hanya menjanjikan untuk membantu mengerjakannya nanti, lantas dia bergegas menuju ke arah kamarnya. Pikiran Tiffani sudah tidak karuan bisa-bisanya dia tetap memikirkan seorang laki-laki yang tadi dia buat emosinya naik.
Perempuan itu menaruh tas tote bagnya di atas meja belajarnya lantas merebahkan tubuhnya di kasur. Pandangannya menatap langit-langit kamarnya, sekilas harum aroma tubuh peach dan vanilla menyeruak ke dalam hidungnya.
"Ya ampun Tif, sadar!" Perempuan itu menepuk pipinya yang sedari tadi terus terbayang-bayang bagaimana rupawannya wajah Nathan dan aroma tubuh laki-laki tersebut.
Dia meraih ponselnya yang berada di sisinya. Jemarinya mengetikkan sesuatu di layar ponselnya, rupanya Tiffani sedang mencari tahu apa benar Nathan Airlangga merupakan keturunan dari SUN Group seperti apa yang di katakan oleh temannya.
Detik berikutnya Tiffani menutup mulutnya tak percaya tatkala ponsel pintarnya menunjukkan bahwa seorang Nathan Airlangga memang merupakan pewaris ketiga dari SUN Group. Banyak sekali artikel yang memuat mengenai siapa Nathan yang sebenarnya, dan merupakan pewaris selanjutnya dari perusahaan di Indonesia tersebut.
"Gila gila, bisa-bisanya aku nggak tahu dia siapa." Tiffani mendudukkan dirinya di tepi kasur untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Nathan sebenarnya.
Sedangkan akibat ulah Bara yang membuat geram kakaknya alhasil Tiffani membanting pintu kamar saat menutupnya membuat adik laki-lakinya menjadi tersentak kaget karena tingkah kakak perempuannya. Jika sudah seperti ini maka dia menyerah dan akan merayu kembali kakaknya nanti.
Dengan langkah lunglai Bara--- adik laki-laki Tiffani berjalan ke arah kamarnya.
Ibunya yang sibuk memotong bahan makanan di dapur hanya bisa geleng-geleng kepala melihat hal yang baru saja terjadi. Bahkan setiap hari ibunya selalu menemukan pemandangan itu.
Ibunya setiap hari harus menyiapkan bahan makanan untuk dijual. Keluarganya mempunyai bisnis kedai makanan, yaitu dengan menjual lauk pauk yang sudah matang. Ayahnya yang kebagian untuk menjaga dan menjual di kedai sedangkan ibunya menyiapkan lauk yang telah masak di rumah.
Setiap hari keluarga Tiffani di sibukkan dengan selalu mencari pundi-pundi rupiah. Keluarganya dulu berasal dari keluarga berada, ayahnya pun punya perusahaan namun tak bertahan lama perusahaannya bangkrut. Banyaknya warisan yang di dapatkan oleh ibu Tiffani dari ayahnya juga habis digunakan bertahan hidup dan membangun bisnis kembali sampai akhirnya sekarang keluarganya bisa di bilang berada di garis ambang kemiskinan.
"Pak kenapa sudah pulang?" Tanya Ibu Tiffani saat melihat kehadiran suaminya.
"Kedai masih sepi, aku mau mandi sekalian makan saja dulu." Ayah Tiffani masuk ke dalam kamar lantas beberapa menit kemudian keluar dari kamarnya membawa beberapa pakaian dan masuk ke kamar mandi.
"Jaga kedai kok sering pulang. Gimana kalau bekerja jadi buruh lagi bisa-bisanya pulang kerja isinya cuma ngeluh aja karena kecapekan." Gerutu ibu Tiffani yang berada di dapur untuk menyiapkan makan malam.
Semenjak suaminya bangkrut dan uang warisan habis mereka berjuang hidup dengan di imbangi hutang sana-sini, alhasil saat ini mereka hidup dengan pas-pasan dan dikejar oleh penagih hutang. Semenjak itu pula hubungan Ayah dan Ibu Tiffani menjadi tidak harmonis setiap hari selalu terjadi cekcok hanya karena keadaan ekonomi.
***
"Makasih Pak." Nathan masuk ke dalam rumahnya setelah keluar dari mobil, dan mengucapkan Terima kasih kepada sopir yang hari ini mengantarnya berangkat ke kampus.
Rumah mewah dengan luas hampir seperti mall. Bahkan konsep rumahnya sangat berbeda yaitu seperti villa dengan setiap orang mempunyai bilik bangunan sendiri-sendiri namun masih dapat terhubung satu sama lain.
Masuk ke dalam rumah, Nathan menemukan Neneknya yang tengah duduk di ruang tengah sambil sibuk membaca majalah. Rumah menjadi sepi semenjak Papanya masuk ke dalam rumah sakit dan Mamanya yang dengan setia menunggu suaminya tersebut.
Wanita paruh bayah yang melihat cucunya telah pulang dari menuntut ilmu menjadi sendu, karena hari-hari cucunya yang setiap berada di rumah selalu di bilik kamrnya hanya di temani sepi.
“Nathan sini kemarilah." Panggil Nenek Nathan, menyuruh cucu laki-lakinya untuk ikut bergabung duduk bersamanya.
Tanpa penolakan Nathan langsung duduk di sofa dekat Neneknya. Neneknya yang usianya sudah di atas kepala enam dengan rambut yang memutih namun tetap mempunyai semangat muda tersebut merupakan seseorang yang seperti pilar di keluarganya. Dia selalu menjaga keluarganya dengan baik, dan menebarkan kehangatan di antara sesama. Walaupun Papa Nathan sudah sepenuhnya memegang perusahaan namun Neneknya tetap membantu jika ada terjadinya masalah dalam perusahaan yang sudah susah-susah dibangun oleh suaminya.
"Ada apa Nek?" Tanya Nathan.
Nenek tersenyum memperlihatkan garis keriputnya yang telah memenuhi wajahnya. "Kamu harus bersiap ya cucuku?"
"Maksud Nenek apa?"
"Kamu harus bersiap untuk meneruskan perusahaan yang di bangun sama Kakek kamu."
Berkali-kali Nathan mendengar bahwa dirinya lah yang akan meneruskan jejak Papa dan Kakeknya. Sebenarnya Nathan sama sekali tidak siap tapi hal itu tidak berguna sama sekali saat waktunya tiba siap tidak siap Nathan harus bisa menerima kenyataan untuk menjadi orang yang siap menerima banyak beban dengan memikul beban dan menanggung mata pencaharian orang-orang yang bekerja untuk perusahaannya.
"Nenek tidak perlu khawatir, Nathan dari kecil selalu di latih untuk meneruskan perusahaan bukan?"
"Tentu sayang, Nenek sangat percaya sama cucu Nenek yang satu ini."
Nenek Nathan mendekat ke arah cucunya dan membelai rambut hitam milik Nathan. Walaupun Nathan anak kedua dan dirinya masih mempunyai Kakak perempuan namun tetap seorang laki-laki lah yang akan meneruskan perusahaan.
Semenjak kecil sekitar umur delapan tahun Nathan sudah mempunyai banyak kegiatan, dia mengikuti les sana-sini. Waktu bermainnya juga sangat singkat sekali. Selain itu Nathan sudah di latih untuk menjaga sikap.
Sampai dia remaja, Nathan bahkan mungkin tidak mengenal bagaimana itu kenakalan remaja yang biasa dilakukan remaja laki-laki pada umumnya. Seperti main game tanpa kenal waktu, balapan liar, atau dugem sampai malam.
"Nek, Nathan ke kamar dulu ya?" Pamit Nathan saat merasa bahwa tidak ada hal lagi yang Neneknya katakan.
"Iya cucuku, istirahatlah."
Pulang dari kuliah Nathan selalu berada di kamarnya, dia akan di sibukkan dengan membaca buku ataupun jika bosan dia akan melakukan kegiatan di luar rumah seperti berkuda yang merupakan olahraga favoritnya. Di kamarnya banyak sekali tumpukan buku-buku yang memang hal tersebut adalah keinginannya sendiri, dan merupakan salah satu hobinya juga.
Seperti saat ini seusai mandi, Nathan duduk di sofa kamarnya sambil membawa sebuah buku. Namun tak biasanya kali ini pikirannya tak fokus sama sekali dia pikirannya melayang kepada kejadian tadi di kampus. Ada hal yang mengganjal pikirannya. "Bagaimana kalau dia sampai bercerita kepada orang-orang tentang hubunganku bersama Elea." Nathan merasa cemas dengan tingkah mahasiswi yang tadi dia pergoki tengah menguping pembicarannya saat berduaan dengan kekasihnya.
"Kalau sampai Mama mendengar hal ini apa yang harus aku perbuat untuk Elea." Gelagat Nathan tampak gelisah sedari tadi saat dia mandi, sampai-sampai sekarang dia menghentikan aksi membaca bukunya.
Orang yang paling disiplin adalah Mamanya, wanita yang telah melahirkannya itu melarang anak laki-lakinya untuk membuat kekacauan dengan berita bahwa dirinya tengah berkencan dengan perempuan. Satu berita negatif yang keluar akan mempengaruhi saham perusahaan. Hal tersebut Mama lakukan karena dia tidak ingin suaminya menjadi uring-uringan akibat ulah anak laki-lakinya.
"Awas aja sampai ketemu dia lagi, aku nggak akan biarkan itu perempuan sampai lolos." Nathan kembali di kuasai oleh emosi, dia bahkan menandai bagaimana rupa gadis tersebut dalam otaknya.
Nathan sendiri hanya mengetahui bagaimana rupa gadis itu, dan dia tidak mengetahui lebih lanjut tentang siapa wanita itu ataupun dia berasal dari fakultas mana.
"Baru kali ini ada perempuan yang berani kabur dari aku!"
Laki-laki tersebut berbaring di sofa individu, memandang ke arah asal di kamarnya sambil memikirkan bagaimana caranya membuat gadis tadi bungkam. Sampai Nathan berpikir rela memberikan imbalan uang tutup mulut agar berita tersebut tidak sampai di telinga keluarganya.
Nathan keluar dari rumah menuju ke halaman lebih tepatnya ke parkiran rumah dengan menenteng tas berwarna hitam. Tas tersebut merupakan kepunyaan Papa nya karena tadi Mama nya menelpon dirinya dan meminta agar anaknya tersebut membawakan keperluan Papa nya menuju ke rumah sakit.
"Mau saya antar?" Tanya sopir yang memang di pekerjakan untuk keluarga Nathan, saat Nathan akan membuka pintu mobil sang sopir mendekat dan bertanya.
"Nggak perlu biar saya berangkat sendiri saja." Nathan masuk ke dalam mobil dan menaruh tas berwarna hitam tersebut di kursi samping.
Setelah menyalakan mesin mobil barulah kendaraan yang ditumpanginya berwarna merah tersebut meninggalkan halaman rumahnya. Dengan kecepatan di atas rata-rata Nathan mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan yang macet di sore hari.
Bukan tanpa alasan Nathan menaiki mobil sendiri tanpa bantuan sopir, hal tersebut dia lakukan karena jika bersama sopir Nathan merasa tidak bisa bebas kemanapun. Membutuhkan waktu hampir tiga puluh menit akhirnya Nathan sampai di rumah sakit yang terkenal dengan pelayanan terbaik.
Kakinya langsung membawanya menuju ke bagian bangsal VIP rumah sakit yang berada di lantai atas. Nathan membuka pintu ruangan tempat dimana Papanya di rawat.
Tampak pria paruh bayah yang sudah berusia kepala lima tengah tidur terbaring di atas bed dengan terpasang infus dan juga alat monitor jantung beserta masker oksigen. Mama yang terlihat banyak pikiran tengah duduk di sofa.
Nathan yang baru saja tiba langsung menyerahkan tas yang tadi diminta oleh Mamanya. "Ini Ma tasnya."
"Kamu kesini sama siapa?" tanya Mamanya begitu Nathan datang dan ikut duduk di samping Mamanya tersebut.
"Sendirian Ma, apa Mama mau pulang? Biar Nathan antar."
Dengan cepat Mamanya menggeleng. "Mama belum mau pulang sampai keadaan Papa kamu membaik."
Nathan melihat kembali ke arah Papanya yang tidak berdaya, biasanya sosok Papanya yang setiap hari Nathan temui dengan penuh wibawa dengan muka tegasnya kali ini tampak berbeda, terkapar tak berdaya. Sejak di derita mempunyai penyakit jantung Papanya sering bolak-balik rumah sakit.
Namun kali ini yang terparah sampai opname di rumah sakit. Padahal Papanya sosok yang selalu menjaga kesehatan dengan rajin check-up ke dokter dan rajin berolahraga namun siapa sangka gaya hidup yang dimulai dari makanan dan beban pikirannya membuat Papanya di diagnosa memiliki penyakit yang bermasalah dengan jantung tahun lalu.
"Papa tidur sudah dari tadi Ma?" Tanya Nathan saat mendekat ke arah Papanya yang pulas.
"Baru saja Papa kamu tidur." Mamanya yang sekarang tengah mengupas apel agar bisa di makan oleh sang putra.
"Mama nggak perlu khawatir Papa pasti kuat, dan Papa bisa melalui ini." Nathan yang kembali duduk di sofa mencoba menghibur Mamanya.
"Gimana Mama nggak khawatir melihat Papa kamu yang terbaring lemah seperti itu." Mamanya yang kembali menatap suaminya dengan iba.
"Kemarin Kakak menelpon dan tanya keadaan Papa." Kakak perempuan Nathan tidak tinggal di Indonesia bersama keluarganya melainkan tinggal di New York sendirian karena menempuh pendidikan di sana.
"Kakak kamu kok tahu? Siapa yang mengabari?" Mendengar apa yang ditanyakan Mamanya membuat Nathan mengambil napas besar. Bagaimana mungkin Mamanya lupa jika keluarganya selalu tersorot media apalagi jika menyangkut Papanya pasti media tak akan melewatkan kesempatan ini untuk mengeluarkan berita terbaru.
"Ma sepertinya Mama sangat lelah."
Mama Nathan yaitu Mila Almira menatap ke arah anak laki-lakinya. "Kakak kamu dapat kabar dari siapa?" tanya Mamanya sekali lagi.
Nathan dapat menangkap kantung mata Mamanya yang menghitan karena kurang tidur.
"Kakak tahu dari berita Ma." Jawab Nathan.
"Ya ampun Mama sampai lupa." Mila sampai menepuk jidatnya tatkala dia tersadar akan kekacauan pikirannya.
"Mama sebaiknya pulang dan tidur sebentar." Nathan yang masih berusaha membujuk Mamanya. "Biar Nathan yang ada di sini menjaga Papa sampai nanti malam. Kalau Mama seperti ini nanti gantian Mama yang sakit bagaimana?"
Akibat kekacauan pikirannya yang lupa jika keluarganya selalu di sorot media, membuat Mamanya kembali tersadar. Hingga akhirnya dia pun menyetujui, wanita tersebut langsung mengemas barang pribadinya.
"Kamu makan ya apelnya." Mamanya menunjuk beberapa potongan apel yang sudah dia kupas berada di atas meja.
Melihat Mamanya yang akan bersiap pulang, Nathan bangkit. "Biar Mama aku antar ke bawah dan aku bantu carikan taksi."
"Sudah tidak perlu kamu disini saja, nanti kalau Papa kamu bangun terus tidak ada siapa-siapa bagaimana."
Akhirnya laki-laki itu hanya mengantarkan Mamanya hanya sampai bangsal VIP saja setelahnya Nathan membiarkan Mamanya turun kebawah sendirian. Nathan kembali ke ruangan Papanya di rawat, dan duduk di sofa mengambil potongan apel lalu melahapnya.
***
Di rumah, Nenek tengah bergelut di kamarnya mencari barang peninggalan suaminya tersebut. Setelah lama mencari karena Nenek sudah lupa menaruh barang itu kemana akhirnya Nenek menemukan kotak tersebut.
"Akhirnya kamu ketemu." Nenek membawa kotak kayu tersebut ke sisi ranjangnya.
"Ibu sedang apa?" Mila, menantunya muncul dari balik pintu kamar.
Melihat kehadiran menantunya Nenek menjadi urung untuk membuka kotak itu dan mengalihkan atensinya kepada menantunya.
"Kamu sudah pulang? Bagaimana kabar Yusuf?" Nenek yang langsung menanyakan kabar tentang anaknya.
"Masih sama seperti kemarin Bu, namun besok masih harus di cek lagi jika hasilnya bagus maka bisa secepatnya boleh pulang. Saya pulang kembali ke rumah untuk tidur sebentar soalnya di rumah sakit saya tidak bisa tidur nyenyak, Nathan yang sekarang gantian menjaga Papanya."
Nenek mengangguk saat mendengar penjelasan dari menantunya. Lantas atensi Nenek menjadi teralih kembali pada kotak kayu yang berada di tepi ranjang.
"Oh iya sini masuklah ada yang ingin aku tunjukkan."
Dengan sisa-sisa tenaga Mila masuk ke dalam kamar ibu mertuanya dan ikut duduk di sisi ranjang. Selanjutnya Nenek membuka kotak kayu tersebut dan menunjukkan logam mulia berwarna emas berbentuk setengah love.
"Apa ini Bu?" Tanya Mila yang tak mengerti kenapa hanya terdapat satu potongan bentuk love saja di kotak itu.
"Ini kepunyaan ayah mertuamu, di dalam kotak ini juga terdapat wasiat dari Ayah mertuamu. Sebelum Ayah kamu meninggal, dia berpesan padaku agar kelak menjodohkan cucunya bersama dengan cucu dari temannya. Temannya tersebut berjasa sekali dalam membuat perusahaan kita sampai seperti ini. Melihat kursi perusahaan yang kosong karena Yusuf sakit maka aku ingin agar Nathan mulai sekarang terbiasa dengan kursi itu."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari ibu mertuanya, Mila hanya bisa menyetujui dan tidak menolak saat putranya akan di jodohkan karena dia dulu saat bertemu dengan Yusuf suaminya juga karena perjodohan tak di sengaja. Menolak pun juga tidak akan bisa, karena di dalam wasiat Kakek siapapun yang meneruskan kursi takhta perusahaan ketiga maka dia harus di jodohkan oleh perempuan yang sudah Kakek pilihkan untuknya.
"Lalu apa ibu sudah tahu dimana keluarga teman ayah sekarang?"
"Kemarin ibu menyuruh beberapa orang kita untuk mencari tahu tentang keluarga teman ayahmu." Nenek menjeda ucapannya sekilas.
"Lalu Bu, bagaimana hasilnya?" Mila yang tak sabaran untuk segera mendapatkan informasi mengenai perempuan yang akan menjadi menantunya.
"Mungkin ini sudah takdirnya, siapa sangka kalau Nathan dan perempuan tersebut ternyata satu kampus." Nenek tersenyum memandang ke arah menantunya.
Sementara Mila dia bingung harus bereaksi apa, bagaimana jika ternyata Nathan sudah mengenal gadis itu dan tidak bersedia menikah ataupun bagaimana jika gadis itu juga menolak. Nenek yang bisa membaca raut wajah menantunya lantas wanita tua itu memegang tangan menantunya.
"Kamu tidak perlu khawatir, Ayah kamu pasti tidak akan memilih seseorang dari keluarga yang tidak baik. Perihal perempuan tersebut lama kelamaan dia pasti dapat beradaptasi dengan keluarga kita seperti kamu dulu, dan bisa menerima Yusuf."
Mendengar apa yang diucapkan mertuanya, Mila hanya kembali menganggukan kepalanya. Mila teringat dengan dirinya sendiri dulu waktu awal menikah, bagaimana dia harus menjaga sikap selain itu Mila juga tidak bebas pergi sembarangan seperti teman-temannya yang lain karena keluarga suaminya itu yang selalu di sorot oleh media.
Berkali-kali juga Mila selalu mendapatkan nasehat bahwa 'Satu perbuatan baik memang akan mendapatkan perhatian dari publik, namun satu kesalahan yang kamu lakukan akan lebih bahaya karena selalu diingat dan terus diungkit oleh publik'. Semenjak itulah Mila pernah merasa menyesal bahwasannya menikah dengan Yusuf berarti dirinya harus banyak beradaptasi, dan terikat dengan hal ini dan itu. Bahkan Mila harus menyerah dengan mimpinya yang ingin menjadi seorang penyanyi. Menikah dengan keluarga yang terpandang tak selalu enak, hal tersebut yang setelah menikah baru dia sadari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!