NovelToon NovelToon

Godaan Suami Tetangga

Bab 1

Arumi berdiri termenung di ambang pintu dapur sambil menunggu air yang tengah ia masak. Namun, seketika perhatiannya teralihkan saat ia mendengar suara aneh.

"Emmmhhh ....!"

Suara aneh mengganggu lamunan Arumi. Suara seorang perempuan yang tengah menikmati permainan.

Setau Arumi di samping rumahnya hanya ada satu rumah, dan rumah itu sudah lama kosong.

Rumah itu berada tepat di samping dapur Arumi dimana Arumi berada sekarang. Selain dua rumah itu, rumahnya terpisah jauh dari rumah tetangga yang lain.

Arumi sedikit melongokkan kepalanya keluar pintu dapur. Bulu kuduknya seketika meremang saat melihat tak ada siapa pun di antara rumput liar yang sudah cukup tinggi.

Rumput liar yang menjadi pembatas antara rumah Arumi dan rumah kosong itu.

"Mungkin anak muda jaman sekarang yang kurang modal lagi mojok disemak-semak." gumam Arumi seraya hendak meninggalkan ambang pintu.

"Aaahhh....!"

Suara itu kembali mengganggu telinga Arumi bahkan sekarang terdengar lebih intens.

Arumi kembali membalikan tubuhnya, tatapannya kembali ke arah ambang pintu yang masih terlihat gelap.

Tapi, seketika pemandangan didepan sana menjadi terang. Lampu di rumah kosong itu tiba-tiba menyala.

Menampakan dua manusia di dalam sana yang tengah menikmati aktivitas menguras keringat di balik jendela rumah itu. Jendela rumah itu menghadap langsung ke pintu dapur rumah Arumi.

Arumi sempat mengira, dua manusia itu anak muda yang kurang modal dan tak mampu menyewa kamar. Jadi, mereka diam-diam memasuki rumah kosong itu.

"Sedikit lagi, Sayang!" lagi terdengar suara wanita.

Arumi yang melihat jelas adegan dua orang itu, seolah terhipnotis dan membeku ditempat, ia justru malah fokus menonton adegan itu bak tengah menonton live streaming.

"Emmhhh ....... Aahh!" wanita itu terus mendesah.

Ia nampak sangat menghayati pergulatan itu.

"Ahhhh ....!" Seketika mulut Arumi reflek mendesah.

Mungkin ia turut terbawa suasana dengan adegan didepannya. Sebuah pertempuran sengit yang jarang sekali Arumi rasakan dari suaminya, Ibrahim.

Pertempuran yang memang menjadi rutinitas mereka dimalam hari. Namun, Arumi sangat jarang mencapai puncak bersama suaminya.

Arumi langsung terhenyak saat melihat pria itu menatap ke arahnya. Sepertinya pria itu menyadari tatapan Arumi.

Namun, anehnya pria itu tak terlihat malu sama sekali atau merasa canggung melihat seseorang menatap aksinya.

Pria itu justru malah mengukir senyum seraya menatap Arumi. Tapi masih tetap fokus pada permainan nikmat di hadapannya.

Pria itu mengangkat dagu seolah bertanya.

'Kenapa?'

'Kenapa apanya?' jawab Arumi dengan isyarat mengangkat kedua lengan dan mengedipkan bahu.

Pria itu kini justru melambaikan tangannya seolah mengajak Arumi untuk bergabung.

Sontak Arumi membulatkan matanya terkejut dengan isyarat pria itu.

Dengan cepat Arumi menutup pintu dapur. Ia bingung harus merasa emosi karena pria itu sangat tak sopan padanya.

Atau ia harus merasa malu karena pria itu tau apa yang ia rasakan.

"Arumi!" Suara teriakan membuat Arumi seketika terkesiap.

Belum hilang rasa terkejutnya atas kejadian barusan, teriakan suaminya kembali membuatnya terkejut.

"Apa, Mas?" Jawab Arumi seraya memutar tubuhnya membelakangi pintu dapur yang sudah ia tutup.

"Katanya bikin kopi? Tapi kok gak beres-beres? Niat bikinin aku kopi gak sih?" Cecar Ibrahim.

"I.. Iya, Mas. Ini baru mau aku bikinin!" jawab Arumi tergagap, debaran jantungnya masih belum pulih sempurna.

"Buruan dong! Kamu lambat banget, sih! Jadi istri gak guna banget!" maki Ibrahim.

Sebuah perlakuan yang terasa tak asing lagi bagi Arumi kalau ia membuat kesalahan sedikit saja dihadapan suaminya.

Makian itu terkadang menciptakan luka dihati Arumi, tapi ia bisa dengan mudah memaafkan Ibrahim begitu saja.

***

Keesokan harinya....

"Arumi!" lagi Ibrahim berteriak memanggil Arumi.

Arumi yang masih sibuk didapur dengan cepat menghampiri suaminya.

"Apa, Mas?" ucap Arumi setelah tiba di hadapan Ibrahim.

"Berkas-berkas penting aku yang itu kenapa gak kamu masukin juga ke dalam tasku, hah?"

"Berkas yang mana sih, Mas?"

"Itu loh. Yang isinya foto-foto Lisa black pink, sama yang ada Cinta Lauranya." Ibrahim menujuk beberapa buku yang berserak diatas nakas.

"Itu kan, cuma majalah, Mas. Bukan berkas penting."

"Buat aku itu penting, bodoh!" umpat Ibrahim.

"Iya, Mas, nanti aku masukin."

Arumi menyusun beberapa majalah yang dimaksud Ibrahim itu seraya membatin.

"Apa sebenarnya suamiku bukan kerja di kantor, ya? Tapi tukang ojek yang biasa mangkal dipangkalan sambil baca majalah kalau lagi gak ada penumpang."

Tok ... Tok .... Tok

Terdengar suara ketukan pintu. Arumi hendak bangkit dan menunda pekerjaannya untuk membukakan pintu bagi tamu yang datang di pagi-pagi sekali.

"Aku aja yang bukain pintu! Kamu beresin aja berkas pentingku itu, awas!! Jangan sampai ada yang ketinggalan." ucap Ibrahim. Pria itu dengan cepat melangkah menuju pintu.

"Asalamualaikum! Maaf kami mengganggu pagi-pagi!" ucap tamu yang kini berdiri tepat di depan Ibrahim. Tamu yang sepertinya sepasang suami istri.

"Iya, Walaikumsalam! Maaf siapa ya?" jawab Ibrahim dengan dahi berkerut.

"Kenalin, kami penghuni baru rumah sebelah. Saya Erlan, dan ini istri saya Rika." Ucap si tamu pria.

"Oh rumah kosong yang disebelah ya?"

"Iya, Mas."

Arumi yang mendengar percakapan tiga orang didepan, langsung menghetikan aktivitasnya lalu mengintip ke arah depan.

Sontak Arumi menyembunyikan diri dibalik tembok, setelah melihat pria itu ternyata pria yang semalam.

Pria yang menikmati malam panas dengan seorang wanita, yang ternyata wanita itu adalah istrinya.

"Mohon diterima, kami tadi masak banyak buat dibagiin sama tetangga sekalian kenalan." ucap si wanita bernama Rika seraya menyodorkan sepiring makanan pada Ibrahim.

"Ini kalian masak sendiri?"

"Benar, Mas."

Ibrahim seketika menghirup aroma makanan dipiring itu bak seekor kucing. Sebuah kebiasaan kalau ia berada dihadapan makanan seperti sekarang ini.

"Ayo masuk dulu!" ucap Ibrahim pada mereka.

"Gak usah, Mas. Kapan-kapan lagi aja. Kami takut ganggu pagi-lagi seperti ini."

"Enggak kok. Saya masih senggang, sebelum berangkat ke kantor."

Rika dan Erlan nampak saling melempar pertanyaan lewat isyarat. Sampai akhirnya mereka setuju untuk mampir.

"Silahkan duduk dulu, gak usah sungkan!" ucap Ibrahim ramah.

Rika dan Erlan segera duduk di sofa ruang tamu rumah itu.

Erlan sempat menatap Arumi selama beberapa saat, membuat Arumi seketika menatap ke arahnya.

Pria itu mengukir senyum manis. Sebuah senyuman yang sedikit menarik sudut bibir.

Sama persis dengan senyuman yang ia berikan semalam. Senyuman itu seketika membuat Arumi merasa kikuk.

"Arumi, bikinin minum, gih, buat dua tetangga baru kita!" perintah Ibrahim pada Arumi, membuat Arumi sedikit terlepas dari rasa canggung.

"Iya, Mas." Arumi langsung bangkit dan segera melangkah ke arah dapur.

Ia membuat dua cangkir teh manis yang langsung ia sodorkan pada dua tamunya itu.

"Kenalin, namaku Ibrahim, dan dia istriku, Arumi." ucap Ibrahim setelah Arumi ikut duduk disampingnya.

"Kalian pengantin baru, ya?" lanjut Ibrahim bertanya pada Rika dan Erlan.

"Iya, Mas. Kalau Mas Ibrahim sama Mbak Arumi sendiri?" Erlan balik bertanya.

"Kami udah lama nikah, udah hampir enam tahun."

"Terus kemana anak-anak? Apa mereka udah berangkat sekolah?" Rika mengedarkan pandangannya seolah mencari jejak anak-anak di rumah itu.

"Kami belum dipercaya sama Allah." jawab Ibrahim dengan raut wajah murung.

Membuat Rika dan Erlan seketika tak enak hati karena sudah mengungkit masalah itu.

"Mas Ibrahim kerja apa?" Tanya Rika mengalihkan pembicaraan.

"Aku kerja di kantor swasta. Kalau kalian?"

"Aku salah satu guru disekolah SMA Nganu. Sedangkan Mas Erlan, dia seorang fotografer. Rencananya kamu mau bikin galeri di rumah."

"Kamu seorang seniman?" Tatapan Ibrahim kini tertuju pada Erlan.

"Iya, Mas."

"Pantesan, banyak tatonya." ucap Ibrahim enteng.

"Hehehe." Erlan hanya tersenyum lalu menutup kedua tangannya yang memang dipenuhi oleh tato dengan melepas gulungan lengan kemejanya.

"Bukannya Mas Ibra juga banyak Tatonya?" bisik Arumi tepat di telinga Ibrahim.

"Kalau itu sih bukan tato, Bodoh!"

"Terus itu apa, yang bertebaran di dadanya Mas Ibra?" tanya Arumi polos.

"Itu Panu, Arumiiii!!!" jawab Ibrahim jengkel.

Arumi hanya mengangguk-nganggukan kepala mendengar jawaban suaminya.

"Kalau Mbak Arumi kerja di mana?" Kali ini giliran Rika bertanya pada Arumi.

Arumi hendak menjawabnya, tapi dia sudah keduluan suaminya.

**********

**********

Bab 2

"Dia gak kerja. Dia cuma diem aja dirumah. Dia kayanya perempuan yang gak punya banyak keahlian, gak ada pekerjaan yang cocok sama dia. Jadi, aku biarin diem dirumah aja. Lagian dia bisanya cuma beres-beres rumah, jadi biar aku aja yang kerja." jelas Ibrahim.

Sejak dulu Arumi memang tak diijinkan berkerja oleh Ibrahim. Ibrahim mengatakan Arumi adalah perempuan yang kurang pintar, Ibrahim melakukan itu juga untuk membatasi interaksi Arumi dengan dunia luar.

Semenjak Arumi di peristri oleh Ibrahim, Arumi tak di ijinkan ke mana-mana tanpa izin dari Ibrahim.

Aku tak di ijinkan berbaur, tak di ijinkan berkumpul dengan teman-temannya, atau hanya sekedar berbelanja untuk menghilangkan rasa bosan.

Sekalinya di ijinkan keluar rumah, Arumi harus temani Ibrahim. Pria itu akan ikut kemana pun Arumi pergi.

Menurut Arumi sikap Ibrahim yang seperti tak terlalu menjadi masalah besar baginya.

Selama Ibrahim bisa membuatnya bahagia, Arumi akan menjadi istri yang penurut untuk Ibrahim.

Arumi yang sudah lama hidup sendiri tanpa merasakan kasih sayang orang tua, sudah merasa sangat bersyukur saat ada seseorang yang mau menerima dirinya.

"Kami ijin pulang, ya, Mas, Mbak. Kami gak mau ganggu aktivitas Mas Ibrahim sama Mbak Arumi. Di rumah juga masih banyak yang harus beresin. Soalnya masih berantakan banget." ucap Erlan setelah cukup lama berbincang.

"Iya silahkan, Mas. Ada yang bisa kami bantu gak?"

"Gak usah, Mas! Kita gak mau ngerepotin." ucap Erlan dan Rika bersamaan.

Rika dan Ibrahim bangkit dari sofa ruang tamu, disusul oleh Arumi. Erlan yang juga hendak bangkit, kembali duduk saat ponsel di saku celana tiba-tiba berdering.

"Ini koleksi burung, Mas Ibrahim, ya?" Pandangan Rika seketika teralihkan pada sangkar yang berisi koleksi burung milik Ibrahim.

"Iya, saya suka koleksi burung."

"Kebetulan saya juga suka, Mas."

"Oh ya?"

"Bener, Mas."

"Kamu mau lihat koleksi burung-burung aku."

"Mau kalau Mas Ibrahim mengijinkan."

Ibrahim dan Rika berjalan ke arah sangkar burung besar yang terletak di pojokan teras.

Sementara Arumi hanya bisa diam ditempat, berdiri di antara sofa yang masih diduduki oleh Erlan yang kini tengah fokus menerima panggilan yang entah dari siapa.

Arumi sempat menatap Erlan sebentar. Tapi, tiba-tiba Arumi ingat dengan adegan semalam. Ia mengingat Erlan yang sedang memadu kasih dengan seorang perempuan.

Pria itu terlihat sangat trampil dalam permainan diatas ranjang.

Arumi seketika memalingkan wajahnya saat Erlan tiba-tiba menatap ke arahnya. Arumi dengan cepat hendak menyusul Ibrahim.

Tapi sayang, lutut kaki Arumi malah menabrak gelas milik Erlan yang hanya setengahnya lagi. Membuat isi cangkir itu tumpah tepat di pangkuan Erlan.

Pranggg!!!

Gelas kaca itu terjatuh ke lantai sampai membuat suara berisik. Suara itu membuat perhatian Ibrahim dan Rika kembali ke arah ruang tamu. Lebih tepatnya ke arah Arumi dan Erlan.

"Arumi!" Teriak Ibrahim kencang.

"Kamu itu kenapa sih, hah! Ceroboh banget, kamu! Terus aja bikin masalah!" cecar Ibrahim seraya berjalan ke arah ruang tamu.

"Coba kamu lihat, celana Erlan jadi basah gitu! Cepat bersihin!"

"Iya, Mas." jawab Arumi dengan suara gemetar karena teriakan Ibrahim.

Teriakan yang selalu saja keluar dari mulutnya saat Arumi berbuat kesalahan.

Teriakan yang tak hanya membuat Arumi merasa tersakiti, tapi juga merasa sangat malu. Karena pria itu melakukan hal itu tepat di hadapan orang lain.

Apalagi orang itu masih sangat asing bagi Arumi. Rika dan Erlan bahkan sampai dibuat terkejut dengan sikap Ibrahim.

"Aku gak papa, kok, Mas. Aku bisa ganti celana nanti dirumah!" ucap Erlan berusaha mencairkan suasana.

"Biarin aja, biar istriku tau diri, Erlan. Biar dia jera. Dia terlalu sering berbuat ceroboh. Buruan bersihin, Arumi! Bersihin celananya Erlan!"

"Iya, Mas." jawab Arumi seraya menundukan pandangan.

Arumi dengan cepat meraih beberapa lembar tisu lalu ia berlutut di hadapan Erlan. Ia berlutut di lantai, sementara Erlan masih duduk di sofa seperti sebelumnya.

Arumi dengan tergesa-gesa mengusap pangkuan Erlan yang basah dengan tisue yang ia pegang. Usapan tangan Arumi tanpa sadar semakin naik keatas.

Sretttt....

Arumi merasakan sesuatu.

"Apa itu?" batin Arumi.

Sretttt....

Arumi malah mengulang gerakannya karena penasaran.

"Tegang banget!" batin Arumi lagi.

"Apa ini alat tempurnya dia? Gede banget. Lebih gede dari punya Mas Ibrahim. Pantesan Rika kemarin kaya menikmati banget."

Sretttt..

"Emhh .... Ingin sekali aku... "

Arumi menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran mesumnya itu.

"Arumi... Apa-apaan sih kamu! Bisa-bisanya kamu berpikir kotor kaya gitu. Tapi...."

Sretttt...

Arumi justru malah mengulanginya lagi.

"He.. he..." Entah kenapa Arumi malah tiba-tiba cengengesan.

Sretttt

Arumi jadi mengulangi gerakannya.

"Mbak!" panggil Erlan dengan suara pelan.

"Iya, Mas?" Arumi seketika menatap wajah Erlan.

Karena posisi mereka memang membuat wajah Arumi dan wajah Erlan saling bertatapan.

"Mbak Arumi mau bangunin Si Putin ya?"

"Si Putin siapa, ya?" Tanya Arumi bingung.

"Ini." Erlan menunjuk ke arah bawah dengan matanya.

"Coba Mbak lihat, dia jadi ngembang kan?"

Arumi seketika menganga lebar.

"Mbak Arumi mau kenalan ya sama dia?"

"Apaaa!!"

Arumi tersentak kaget. Dengan cepat Arumi melepaskan tangannya dari pangkuan Erlan dengan rasa malu yang sangat luar biasa.

"Maaf, Mas. Ss.. Saya nggak sengaja." ucap Arumi gugup.

"Sengaja juga gak paра, Mbak." jawab Erlan seraya menarik sudut bibirnya.

Arumi seketika menoleh ke arah Ibrahim dan Rika. Beruntung perhatian mereka kembali ke arah burung-burung dalam sangkar, jadi mereka sama sekali tak tahu percakapan antara Arumi dan Erlan.

Arumi tak menanggapi ucapan Erlan. Ia segera beranjak pergi untuk menghindari rasa canggung dan juga rasa malu.

"Ayo, Mas!" ajak Rika pada suaminya beberapa saat kemudian.

Erlan mengangguk, ia segera bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Arumi dan Ibrahim.

Tapi saat hendak keluar, Erlan melirik ke arah Arumi dan menunjukan senyum miringnya. Tentu saja itu tanpa di sadari oleh Ibrahim dan Rika.

***

"Haaahhhh!!" Arumi menghela nafas lelah sambil melakukan aktivitasnya di dapur.

Setiap jam lima sore, Arumi sudah mulai menyiapkan makan malam untuk Ibrahim sebelum ia pulang. Sebuah rutinitas yang terkadang membuat Arumi bosan. Jenuh dengan aktivitas yang terus terulang setiap hari.

"Hi ... Hi ... Hi....!" Samar-samar Arumi mendengar suara tawa.

Arumi sedikit melongok ke arah pintu. Rupanya suara tawa itu datang dari tetangga barunya yang nampak sedang bersenda gurau sambil menata furniture di ruangan yang berhadapan langsung dengan ruangan dapur Arumi.

Ruangan yang sepertinya akan dijadikan galeri foto milik Erlan seperti yang mereka bicarakan tadi pagi.

Mereka sangat berbeda dengan keadaan Arumi. Mereka pasangan yang terlihat bahagia.

Arumi dan Ibrahim dulu juga seperti itu. Mereka sangat bahagia menjalani pernikahan karena Ibrahim tak sekasar sekarang.

Dulu pria itu sangat menyayangi Arumi. Namun, perubahan itu terjadi seiring berjalannya waktu. Saat mereka sudah sama-sama lelah menunggu si calon buah hati yang tak kunjung datang.

"Ini disimpan di mana, Lan?" tanya Rika pada suaminya seraya membawa pot bunga berukuran sedang di tangannya.

"Di simpan di sana aja." Erlan menunjuk sisi tembok di sebelah kiri.

"Ahhhh ..." Tubuh Rika oleng kerena tersandung sesuatu di lantai, dan tiba-tiba saja ....

Pyarrrr!!

Pot yang dibawanya jatuh dan pecah begitu saja.

"Kamu gak papa?" Tanya Erlan seraya menghampiri Rika.

Ia merangkul tubuh istrinya dengan ekspresi wajah khawatir.

"Aku gak papa." jawab Rika.

"Udah, kamu duduk aja, ya. Kamu gak usah ikutan beres-beres. Biar aku aja yang ngerjain semuanya. Lagian, aku juga gak mau kalau kamu sampai kecapean." ucap Erlan setelah memapah tubuh Rika untuk berjalan mendekat ke arah kursi di ruangan itu.

Erlan sama sekali tak menunjukkan ekspresi marah di wajahnya saat istrinya menjatuhkan pot bunga, sampai membuat lantai di ruangan itu jadi sangat berantakan.

Sikap Erlan sangat berbeda dengan Ibrahim. Kalau saja yang melakukan itu Arumi, Ibrahim pasti akan sangat marah besar dan mungkin akan memaki Arumi habis-habisan.

"Hmmmm... Seandainya aku punya suami kaya dia." ucap Arumi lirih.

"Apa-apaan sih pikiranku ini. Bisa-bisanya aku punya pemikiran kaya gitu." Arumi menepuk-nepuk kepalanya yang di bilang Ibrahim sama sekali tak ada isinya.

**********

**********

Bab 3

Saat tengah malam Arumi terus mondar-mandir di dalam rumah sambil menunggu kepulangan Ibrahim yang tak kunjung datang.

"Kemana Mas Ibrahim jam segini belum pulang? Dia lagi ngapain ya?" gumam Arum dengan raut wajah cemas.

"Atau jangan-jangan suamiku ternyata piara tuyul. Terus malam ini dia ketangkap sama warga, lalu di arak keliling kamu sama mereka." pikiran Arumi kini mulai ngelantur kemana-kemana.

Arumi mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu, lalu ia meraih ponselnya yang tergeletak diatas meja.

Ia mencari nomor ponsel Ibrahim dan mencoba menghubunginya. Namun, panggilannya tak mendapat jawaban sama sekali.

Arumi terus menguap sampai beberapa kali. Matanya sudah mulai terasa berat. Namun, Arumi tak mungkin bisa tidur nyenyak sebelum Ibrahim pulang ke rumah.

Jadi, Arumi memutuskan untuk tetap terus menunggunya sambil rebahan diatas sofa ruang tamu.

Brakkkk!! Brakkkk!! Brakkkk!!

Arumi yang mendengar suara gedoran pintu seketika terbangun dari tidurnya.

Rupanya Arumi sampai ketiduran saat rebahan di atas sofa tadi.

"Sepertinya itu Mas Ibrahim." Gumam Arumi seraya menoleh ke arah jam di dinding yang ternyata sudah pukul 02:15.

Brakkk!! Brakkk!! Brakkkk!!

Arumi kembali mendengar suara gedoran pintu. Tapi, sekarang diiringi dengan suara teriakan Ibrahim.

"Arumi, cepetan bukain pintu!" teriak Ibrahim dari luar.

Arumi bergegas bangkit dari duduknya dan dengan cepat melangkah menuju pintu.

"Mas Ibrahim." ucap Arumi setelah membuka pintu.

Kini ia disunguhkan dengan penampilan Ibrahim yang berantakan. Seperti biasanya, pria itu pulang dalam keadaan oleng.

"Ayo masuk, Mas!" Ucap Arumi seraya membopong tubuh Ibrahim untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Mas Ibrahim minum banyak kom*x lagi, ya?" tanya Arumi polos.

"Enak aja kamu! Hari ini aku minum yang mahal, tau. Aku minum minuman cap orang ompong." jawab Ibrahim dengan suara sengau khas orang mabuk.

"Cuma minum Amer aja udah songong banget. Sekali-kali beli minuman itu sekelas Wine atau Vodka dong, Mas, yang agak mahalan dikit." jawab Arumi ketus.

"Kenapa, sih, Mas Ibrahim akhir-akhir ini sering mabuk-mabukan gini? Nggak bagus tau, Mas, buat kesehatan!" lanjut Arumi.

Namun seketika Ibrahim menarik lenganya dari rangkulan Arumi.

"Itu semua buka urusan kamu!" ucap Ibrahim dengan tatapan sengit.

"Aku ini istri kamu, jadi aku punya hak buat...."

Plakkk!!

Tiba-tiba saja sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi Arumi yang sedikit berjerawat.

Pria itu terkadang sampai tega berbuat kasar saat emosinya terpengaruh oleh minuman beralkohol.

"Kamu apa-apaan sih, Mas?" ucap Arumi seraya melirik tajam ke arah Ibrahim. Ia terus mengusap pipinya yang kini mulai memerah.

"Itu balasan karena kamu udah berani sok-sokan ngatur hidup aku!"

"Aku bukan mau ngatur hidup kamu, Mas. Tapi aku cuma ... "

"Berhenti!" teriak Ibrahim.

"Aku males denger ocehan istri gak berguna kaya kamu. Asal kamu tau aja, aku jadi seperti ini juga gara-gara kamu."

"Apa maksud kamu, Mas?" Arumi terlihat tak mengerti dengan ucapan Ibrahim.

"Aku ini pusing karena mikirin kamu. Pusing karena kamu yang masih belum mampu ngasih aku anak. Aku lelah terus di tanya sama orang lain, kapan kita punya anak! Aku udah bosen di remehin sama mereka! Karena kenyataannya, kamu yang nggak guna jadi seorang istri. Kamu itu gak subur Arumi!"

"Kamu bilang apa, Mas??" tanya Arumi dengan mata sudah mulai berkaca-kaca.

Perkataan itu sebenarnya sudah sering di ucapkan oleh Ibrahim. Dan ucapan itu selalu berhasil mengorek luka di hati Arumi yang sudah mulai kering.

"Kata siapa aku gak subur, Mas? Mungkin emang Tuhan belum percaya aja sama kita buat jaga anak-anak. Kita cuma bisa sabar, Mas. Aku gak mau Mas Ibrahim nyerah kaya gini." ucap Arumi lirih.

"Sabar kamu bilang!!" jawab Ibrahim yang masih diselimuti emosi.

"Aku harus sabar kapan, Arumi! Aku sebenarnya udah cape sama kekurangan kamu. Aku udah cape sama keadaan kamu yang gak bisa punya anak!"

"Udah, Mas!!" Arumi yang mulai tersulut emosi tanpa sengaja membentak Ibrahim.

"Mas Ibrahim jangan pernah lagi bilang kaya gitu sama aku! Aku wanita normal, Mas! Dokter gak pernah bilang kalau aku gak bisa punya keturunan kaya yang Mas Ibrahim tuduhkan sama aku."

"Persetan sama semua bantahan kamu! Karena kenyataannya sampai sekarang kamu masih belum bisa hamil. Karena kamu gak bisa ngasih aku anak!"

"Bisa aja kan kalau ternyata Mas Ibrahim yang gak subur!" Jawab Arumi enteng.

Entah mendapat keberanian dari mana ia sampai berani berkata seperti itu dihadapan Ibrahim.

"Kamu bilang apa, hahh!" Jelas Ibrahim langsung naik pitam setelah mendengar ucapan Arumi.

Plakkk!!

Tamparan yang lebih keras kembali mendarat di pipi Arumi. Sebuah Tamparan yang membuat tubuh Arumi seketika limbung dan akhirnya terduduk di lantai.

Prang!!

Sebuah vas bunga yang berada di meja tanpa sengaja terjatuh saat tubuh Arumi limbung tadi.

"Aaawww!" Arumi meringis kesakitan saat kakinya tanpa sengaja terkena pecahan vas bunga itu.

Namun, Ibrahim sama sekali tak peduli akan hal itu. Amarahnya masih tetap saja bertahan.

"Sekarang kamu udah mulai berani, ya, ngatain aku kaya gitu!" Ibrahim kembali mencecar Arumi seraya mengayunkan kakinya ke arah tubuh Arumi.

Duukkkkk!!!

Terdengar suara kaki yang membentur keras. Tapi, anehnya Arumi sama sekali tak merasakan apa pun.

"Kenapa, nggak berasa, ya?" batin Arumi dalam hati.

"Apa sebenarnya, diam-diam aku punya ilmu kebal" lagi Arumi membatin.

"Aaawwwwcchhhh!" Ibrahim berteriak seraya memegangi kakinya.

"Kamu kenapa, Mas?" tanya Arumi panik.

"Berengsek! Bisa-bisa aku malah nendang kaki meja." umpat Ibrahim.

Hampir saja Arumi tertawa terbahak setelah mendengar jawaban Ibrahim. Tapi, sekuat tenaga ia berusaha menahan tawannya agar tak meledak.

Namun, sialnya Ibrahim berhasil mengetahui raut wajah Arumi yang tengah menahan tawa. Dan tentu saja hal itu membuat Ibrahim semakin naik pitam.

Membuatnya kembali melayangkan kakinya ke arah tubuh Arumi. Tapi yang kali ini tepat mengenai sasaran. Ia terus melakukan itu sampai berulang kali tanpa belas kasihan sedikit pun.

"Udah cukup, Mas!" Arumi meringis kesakitan sambil terus memohon.

Namun, na'as pengaruh minuman beralkohol itu membuat Ibrahim seolah kehilangan akal sehatnya.

Pria itu terus saja menghantam tubuh Arumi tanpa ampun, ia sama sekali tak perduli kalau itu sudah melukai tubuh Arumi.

Tapi, hantaman itu seseketika terhenti saar mereka mendengar suara benturan keras dari arah halaman rumah.

"Suara apa itu??" ucap Ibrahim seraya menghentikan aktivitas kejamnya. Kaki yang sebelumnya menghantam tubuh Arumi kini melangkah arah pintu.

Ibrahim bergegas membuka pintu dan melihat apa terjadi di luar sana.

Arumi yang awalnya memeluk lututnya di lantai, menggeliat pelan dan seketika merasakan tubuhnya yang remuk redam akibat ulah Ibrahim tadi.

Arumi yang juga merasa penasaran dengan apa yang terjadi diluar berusaha sekuat mungkin untuk bangun dari duduknya.

Sedikit merapihkan daster lusuhnya yang cukup berantakan lalu Arumi berjalan dengan sedikit tertatih ke arah pintu.

Ceklekkk!!

Arumi membuka pintu, ia dengan perlahan melangkah ke halaman rumah lalu ikut mematung di samping Ibrahim saat melihat sebuah mobil mewah menabrak pagar rumah dan membuatnya rusak parah.

Sepertinya suara tadi berasal dari mobil itu yang menabrak pagar rumah mereka.

Arumi dan Ibrahim sontak membelalak sempurna saat melihat siapa orang yang turun dari mobil yang ternyata orang yang tak asing bagi mereka.

Yups!! Pria itu ternyata adalah Erlan, tetangga baru mereka.

"Maaf ya, Mas! Aku nggak sengaja nabrak pagar rumah kalian." ucap Erlan seraya melangkah ke arah Arumi dan Ibrahim.

"Kamu lagi ngelindur, ya?" jawab Ibrahim ketus.

Sepertinya pria itu merasa sedikit kesal, namun ia masih berusaha menyembunyikan emosinya.

"Hehehe Iya, Mas. Aku ngantuk banget tadi di mobil." jawab Erlan tanpa rasa bersalah seraya menyeringai.

"Tapi, Mas gak usah khawatir, aku pasti tanggung jawab kok. Nanti pagi-pagi aku panggilin tukang ya buat benerin pagar rumah kalian." lanjut Ibrahim.

"Ya udah kalau gitu." jawab Ibrahim seraya melengos ke dalam rumah tanpa menghiraukan Erlan sama sekali.

Saat Arumi hendak menyusul langkah Ibrahim, namun ia tiba-tiba saja ia merasakan cekalan di lengannya.

"Mbak Arumi baik-baik aja kan?" ucap Erlan dengan raut wajah khawatir.

"Maksud Mas apa ya?" tanya Arumi seraya kembali memutar tubuhnya menghadap Erlan.

"Mas Ibrahim tadi lagi nyakitin Mbak Arumi, kan? Aku tadi sempat denger perdebatan kalian." jawaban Erlan berhasil membuat Arumi tersentak kaget.

Sontak Arumi menelan ludahnya dengan susah payah.

"Jadi, Mas Erlan emang sengaja nabrak pagar rumah saya buat menghentikan perbuatan Mas Ibrahim?" tanya Arumi ragu, tapi Erlan justru malah menganggukan kepalanya.

"Sebaiknya Mas Erlan gak usah ikut campur sama urusan keluarga saya." ucap Arumi ketus.

Ucapan yang tak seharusnya keluar dari mulut Arumi untuk membalas kebaikan Erlan. Karena sebenarnya Arumi sangat berterima kasih atas perbuatannya yang terbilang cukup konyol itu.

"Mas harus tau kalau sebenarnya tadi Mas Ibrahim gak lagi nyakitin aku. Kami cuma lagi berdebat biasa." dusta Arumi untuk menutupi aib suaminya.

Arumi hendak kembali melangkah memasuki rumah, namun ia kembali menghentikan langkahnya saat kembali mendengar suara Erlan.

"Sebentar, Mbak!" ucap Erlan seraya melangkah ke arah Arumi.

"Pakai ini, Mbak. Kaki Mbak Arumi luka." ucap Erlan seraya menunduk, menatap ke arah bawah lutut Arumi tanpa Arumi sadari mengeluarkan darah cukup banyak.

Sepertinya luka itu akibat tendangan Erlan tadi yang masih menggunakan sepatu kantor.

Arumi tersentak saat Erlan tiba-tiba meraih tangannya, ia meletakan sebuah sapu tangan ke dalam genggam tangan Arumi.

Ternyata luka di kaki Arumi yang berhasil meyakinkan Erlan kalau memang benar tadi Ibrahim tengah menyakiti Arumi.

"Aku permisi, ya, Mbak." ucap Erlan seraya melangkah pergi setelah melakukan hal yang membuat jantung Arumi berdebar tak menentu.

"Tunggu, Mas!" Kali ini giliran Arumi yang menghentikan langkah Erlan.

Pria itu dengan cepat menoleh ke arah Arumi. "Kenapa, Mbak?"

"Emmhhh Terima kasih banyak, ya, Mas." ucap Arumi pelan seraya menundukan pandangannya lalu berlari kecil kearah rumah.

**********

**********

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!