NovelToon NovelToon

Unexpected Of Love

1. Kapan Nikah?

Erzan Akhtar Ranendra, lelaki tanpa ekspresi dan dingin sangatlah muak dengan pertanyaan 'kapan nikah?'

Di acara keluarga besarnya pun pasti pertanyaan itu akan terlontar. Meskipun hanya sebagai candaan, tetap saja membuat wajahnya akan berubah masam.

"Emang gak ada pertanyaan lain apa? Seenggaknya tanyain gimana kabar gua. Atau rekening aman? Lah ini mah pertanyaan yang sama yang sama juga jawabannya."

Erzan mendumal sendiri menuju kamar mandi. Dia sudah sangat muak dengan pertanyaan tersebut.

Belum lagi sang adik yang terus mendesaknya agar cepat menikah. Kepala yang awalnya dingin kembali memanas.

"Lu boleh nikah asalkan lu kabulin pelangkah yang gua minta."

"Atuhlah, Bang. Gak kira-kira sih minta pelangkahnya. Abang kira adek sultan Dubai apa?"

Mau memasang wajah semelas apapun, Erzan tak akan luluh pada adik lelakinya itu.

"Terserah lu!" balas Erzan sambil berjalan menuju dapur.

"BANG--"

"Rega pelangkahnya aja apartment mewah yang gua impikan. Dan lu, gua cuma minta mansion doang."

"Doang kata Abang? Itu puluhan bahkan ratusan Milyar, Bang."

Erzan hanya menggedikkan bahu. Dia mengambil alkohol kalengan yang selalu tersedia di lemari pendingin khusus pria.

"Bang, turunin atuh pelangkahnya."

Suara kaleng yang diletakkan dengan keras di atas meja terdengar. Rayyan seketika terdiam. Dia menatap sang Abang yang sudah berwajah sangat datar bak papan bangunan.

"Gua bukan barang dagangan di pasar yang bisa lu tawar. Kata gua segitu, YA SEGITU!"

Sang mami hanya bisa memijat kepalanya jika anak pertama dan ketiganya beradu argumen. Dia hanya berada di tengah. Tak membela siapapun. Rayyan pernah merengek kepada sang papi tentang mansion yang Erzan minta. Namun, tanggapan sang papi malah datar saja.

"Sabar dikit sih, Dek. Kasihan loh Abang kalau dilangkahin terus mah," ucap sang mami dengan begitu lembut.

"Tahu lu! Kencing aja belum lurus," omel Reyn sambil menoyor kepala Rayyan.

"Nih apaan sih datang-datang." Rayyan menatap sang kembaran yang sama sekali tak takut ditatap olehnya.

"Kenapa lu ngebet banget pengen cepet kawin? Udah lu cicipin, ya?"

"Astaghfirullah. Mulut si Abang kalau ngomong gak ada saringannya," sahut Rayyan sambil mengusap dada.

Bisa mematikan Erzan akan keluar kepada siapapun. Dia akan lembut hanya kepada ratu cantik keluarga, yakni Achel.

Setiap kali Erzan datang ke rumah kedua orang tuanya, dia akan tidur bersama sang keponakan. Ada kehangatan yang dia rasakan jika bersama Achel. Ada aura bubu Echa pada diri Achel yang dapat Erzan rasakan.

Dia masih tenggelam dalam rasa rindu kepada orang yang sudah tidak bisa dia temui lagi. Memeluknya pun sudah tidak bisa.

"Andai jika Bubu masih ada, Abang pasti sudah menikah."

Tatapannya tertuju pada sosok Achel yang tertidur begitu lelap. Tangan Erzan mengusap lembut rambut Achel yang lebat.

"Abang rindu, Bubu."

Mata Erzan pun mulai terpejam. Tangannya memeluk tubuh kecil Achel. Balita yang mampu memberikannya kenyamanan.

.

Semakin hari pertanyaan 'kapan nikah?' semakin memekik gendang telinga. Ingin rasanya Erzan berteriak bagai Tarzan.

Jimmy, asisten pribadi Erzan mengulum senyum ketika Erzan tengah menjadi objek perjodohan para koleganya.

"Putri saya lulusan S1 di Singapura. Dia cantik, dan sudah pasti itu termasuk ke dalam tipe ideal Pak Erzan."

Jiwa mafianya meronta ingin keluar. Dia ingin memelintir bibir koleganya itu yang tak henti mempromosikan anaknya kepada dirinya.

"Ini pertemuan pekerjaan apa perjodohan? Muak gua! MUAK!"

Selesai pertemuan, Erzan bersungut ria. Omelannya tak berhenti sampai dia tiba di kantor.

"Kata gua mah udah sih married. Bungkam mulut mereka."

"Enggak semudah itu, BODOH!"

Jimmy pun berdecak kesal. Erzan tak pernah terbuka perihal kisah asmaranya. Namun, tak ada yang aneh juga selama dia bekerja dengan Erzan. Tak ada tanda-tanda dia dekat dengan seorang wanita. Selesai bekerja, main game atau meneguk alkohol. Monoton sekali hidup seorang Erzan Akhtar Ranendra.

.

Berdiri di balkon apartment dengan menggenggam alkohol kalengan. Dia menatap langit yang begitu ramai.

Sorot mata penuh kerinduan terpancar di sana. Bukan rindu kepada kekasih, melainkan kepada sang nenek terkasih.

"Kalau kamu ingin dicintai dengan besar, cintailah dia yang memiliki luka yang menganga begitu lebar. Cintanya jangan pernah diragukan. Kamu akan dicintai lebih ugal-ugalan dengan penuh ketulusan."

Pesan dari sang nenek yang sampai saat ini masih Erzan ingat. Pesan terakhir seminggu sebelum bubu pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.

Alkohol kalengan sudah dia tengguk. Dahaganya sudah terobati sedikit. Dia pun mengambil rokok di saku celananya. Membakarnya, lalu menyesapnya dengan sangat dalam. Asapnya pun dia buang ke udara.

Begitulah cara dia melepaskan semua pikiran yang mengganjal. Tengah asyik menikmati malam ditemani dua sahabat sejati, bayang wajah seseorang hadir. Senyum kecil pun terukir di bibirnya.

"Di mana dia sekarang?"

Kembali asap rokok itu dia buang. Tak terasa alkohol kalengan sudah habis, dan dia memilih masuk. Merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang cukup besar untuk dia tiduri sendiri.

.

Mendengar suara motor yang bising, balita yang tengah makan berlari keluar.

"Wawa!"

Begitu nyaring suara Achel hingga membuat Erzan tertawa. Achel ingin memeluk tubuh lelaki yang sepertinya menjadi cinta keduanya setelah sang papi.

"Wawa ganti baju dulu, ya." Balita itupun mengangguk setuju.

Jika, ingin melihat kelembutan dan kehangatan Erzan, lihatlah ketika Erzan berbicara dengan Achel. Di mana sikap dingin dan datarnya akan hilang begitu saja.

"Giliran ada Wawa, Papi dilupain," sindir Rega kepada putrinya yang tak mau jauh dari Erzan.

Balita itu memamerkan gigi putihnya. Lalu, berlari menghampiri sang papi.

"Sorry, Papi," ucapnya begitu lembut. Dia juga mengecup pipi papinya.

"Achel miss Wawa so much."

Semua orang pun tertawa termasuk Erzan. Ada saja tambahan kosakata baru setiap harinya yang membuat mereka semakin gemas.

Suara ponsel Erzan berdering. Namun, tak ada di saku maupun di meja. Rayyan mengambil ponsel sang Abang yang berada tak jauh dari dirinya. Dahinya seketika mengkerut melihat siapa yang menghubungi sang Abang.

"Aera," gumam Rayyan.

"Yan, hape gu--"

Kalimat Erzan terhenti ketika Rayyan menunjukkan layar ponsel sang Abang. Di mana seorang wanita cantik menghubunginya.

"Who is Aera?"

Semua mata kini tertuju pada Erzan. Begitu juga dengan Achel yang sudah mengadukan kedua alisnya melihat ke arah layar ponsel sang paman. Mereka semua menunggu jawaban dari Erzan karena lelaki tanpa ekspresi itu tidak pernah menyimpan nomor perempuan selain keluarganya.

"Dia te--"

Crangg ...!

Suara kaca pecah terdengar. Di lantai LCD ponsel Erzan sudah berserakan.

"Achel," tegur sang mami ketika putrinya-lah yang membanting ponsel Erzan.

"Wawa punya Achel. Wawa milik Achel celamanya," jawab Achel.

"Dak boleh ada cewe yang phone Wawa. DAK BOLE!" Bibir Achel pun sudah panjang menahan tangis.

... **** BERSAMBUNG ****...

Tes ombak, yuk! 50 komen up lagi.

Biasakan komen ya kalau udah habis baca. Jangan ditinggal begitu aja.

2. Cinta Kedua

Erzan segera memeluk tubuh Achel. Dia yang ingin marah pun akhirnya tidak tega. Namun, tetap saja Rega harus mengganti dengan ponsel yang sama seperti yang dibanting Achel.

"Wawa halus janji, Waw dak bole phone phonenan sama cewe lain. Wawa punya Achel."

Balita itu masih bersikukuh. Bahkan dia sudah mengacungkan jari kelingkingnya agar sang paman menautkan jarinya juga. Alhasil, sebuah janji sudah Erzan buat dengan Achel.

"Achel cayang Wawa." Balita itu sudah melingkarkan lengannya di leher Erzan, dan meletakkan wajahnya di bahu sang paman.

"Wawa lebih sayang sama Achel."

Semua orang hanya menghela napas kasar melihat tingkah dua manusia beda usia tersebut. Mereka melihat kasih sayang yang tulus yang Erzan miliki untuk Achel. Begitu juga dengan balita dua tahun yang sangat posesif kepada sang paman.

Setelah Achel tidur, keluarga menarik paksa Erzan dari kamar Achel. Mereka mulai menyidang lelaki tak berekspresi itu.

"Katakan, siapa Aera? Apa dia pacar kamu?"

Sang mami sudah memberondong Erzan dengan banyak pertanyaan. Erzan menghela napas kasar sebelum dia menjawab.

"She's my friend."

"Woman?" tanya sang mami dengan tak percaya.

"Emang kenapa? Apa ada yang salah Abang berteman dengan cewek?"

"Bang, gak ada namanya persahabatan yang murni antara cewek dan cowok. Kalau enggak ceweknya yang baper, ya cowoknya yang suka," jelas sang adik bungsu.

"Not me."

"Bang!"

Sorot mata sang mami sudah menyiratkan ingin penjelasan detail.

"Dia teman Abang di Zurich. Dia yang membantu Abang ketika Abang berada tiga bulan di sana. Abang kan di Zurich dilepas bagai ayam ilang sama Papi. Jadi, dialah yang banyak membantu Abang."

"Hanya sebatas itu?" selidik sang adik, Reyn.

"Ya."

Jawaban singkat, jelas dan padat. Mau menelisik sampai mata mereka keluar pun tak akan menemukan jawaban yang lain dari sosok di depan mereka.

"Bang, Mami malah senang akhirnya kamu menyimpan nomor perempuan di ponsel kamu. Bahkan Mami berharap lebih dari apa yang kamu ucapkan tadi," ucap Mami Sasa dengan begitu jujur.

"Tak usah berharap apa-apa, Mi. Just my friend. Meskipun, kalian bilang itu gak mungkin. Tapi, bagi Abang itu mungkin."

Siluet kecewa terlihat jelas di wajah sang mami. Erzan meraih tangan mami Sasa. Menatapnya dengan dalam.

"Jangan pikirkan masalah jodoh Abang. Kan Abang bilang jodoh Abang masih di pusat sortir DC Cakung."

"Di pusat sortir udah mau setahun," balas sang mami sambil bersungut.

"Paket Abang itu spesial. Makanya mereka susah nyarinya."

Lirikan kesal sang mami membuat Erzan tertawa. Lelaki dingin itu memeluk tubuh maminya.

"Mami jangan khawatir. Abang cowok normal kok. Abang gak suka ngadu pedang sama pedang."

"Gelo!" omel Reyn sambil berlalu dari sana.

Erzan pun tertawa sedangkan Rayyan menggelengkan kepala. Dia kembali merengek meminta penangguhan pelangkah.

"Bahas itu lagi, LCD otak lu yang pecah!"

Tatapan seram sudah Erzan tunjukkan dan itu membuat Rayyan segera kabur karena akan ada teriakan bagai Tarzan jika dia masih memancing singa jomblo.

"Tuhan sudah mempersiapkan jodoh terbaik untuk Abang. Makanya, disortirnya lama."

Mami Sasa hanya menghela napas kasar. Senyum teduh putra pertamanya membuat mami Sasa mengangguk.

Lelaki itu mulai berdiri. Dia mulai meninggalkan ruangan itu dan menuju kamar Achel.

"Telpon dari cewek aja hebohnya kayak gua ngebuntingin cewek," keluhnya setelah sampai di kamar sang keponakan.

Erzan memandang wajah Achel yang terlelap dengan begitu damai. Dia menyingkirkan anak rambut yang hampir menutupi wajah keponakan tersayang.

"Kalau nanti Tuhan memberikan jodoh untuk Wawa. Apakah kamu akan merestui?"

Erzan menyadari jikalau nanti Achel yang akan menjadikan penentu dari jodohnya. Restu Achel-lah yang harus Erzan kejar.

Dia menghela napas kasar ketika teringat kekhawatiran ibunya tentang dirinya. Berbanding terbalik dengan sang papi yang terlihat begitu santai menanggapi lambatnya Erzan menikah.

"Pernikahan yang sesungguhnya itu dimulai setelah ijab kabul. Di mana kamu harus menjadi kepala keluarga sekaligus suami dan ayah. Harus mampu bekerja keras dan yang paling penting kamu harus mampu melindungi keluarga kamu. Berada di garda terdepan untuk istri dan anak kamu. Juga selalu ada untuk mereka."

"Ingatlah, sebanyak apapun uang yang kamu miliki itu tak ada artinya ketika kamu hanya sibuk dengan diri kamu sendiri. Jika, kamu masih belum bisa meletakkan ego dan masa mudamu. Jangan dulu menikah. Itu hanya akan menjadi Boomerang untuk diri kamu."

"Menikah itu di mana kamu sudah memikirkan jauh ke depan bagaimana kehidupan kamu dan keluarga kamu selanjutnya. Bukan bagaimana nanti saja. Tapi, harus ditata dengan sebaik mungkin. Menikah itu bukan hanya cinta, tapi tanggung jawab itu yang utama."

Pesan sang ayah masih membekas. Papinya memang sangat tahu bagaimana dirinya. Di mana dia masih asyik dengan diri sendiri hingga belum bisa membuka diri.

"Maafkan Abang, Mi. Abang selalu membuat Mami khawatir."

Erzan mulai memeluk tubuh Achel. Dan ikut terlelap dengan keponakan cantiknya itu.

.

Mengunjungi makam sang nenek adalah keharusan yang Erzan lakukan di tengah kesibukan. Dia akan membawakan bunga matahari untuk sang nenek tercinta.

"Assalamualaikum, Bubu."

Erzan akan diam untuk beberapa saat. Barulah dia mendudukkan tubuhnya di samping pusara. Mengusap lembut nisan bernamakan Elthasya Afani.

"Bubu, bagaimana di sana? Pasti bahagia, ya. Abang kangen Bubu."

Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Dia kembali terdiam. Matanya mulai berkaca.

"Hampir tiga tahun, tapi Abang masih tenggelam dalam rasa duka. Rasa sayang Abang yang begitu besar tak mampu melupakan Bubu dengan cepat."

"Tahukah, Bubu? Di sini Abang tengah dicecar dengan pertanyaan kapan nikah? Abang bosan bahkan Abang sudah muak mendengarnya. Bukannya Abang tak mau menikah, tapi Abang masih trauma. Abang takut jika akan ada duka di balik bahagia pernikahan. Abang takut, Bu."

Erzan menengadahkan kepalanya ke atas. Menahan laju air mata agar tak menetes.

"Terkadang Abang merasa bersalah dengan keadaan ini. Abang sudah mencekal kebahagiaan Rayyan, dan Abang sudah membuat Mami selalu cemas akan single-nya Abang sampai saat ini."

"Abang sendiri gak ngerti kenapa Abang tidak bisa membuka hati. Abang sendiri juga tak tahu spek wanita seperti apa yang Abang cari. Tapi, Abang masih ingat dengan ucapan Bubu perihal wanita yang terluka. Apakah Abang harus mencari sosok seperti itu, Bu?"

Hembusan napas keluar dari bibirnya. Erzan sudah mulai tak bisa berkata. Dia hanya menatap pusara yang sangat terawat itu.

"Andai Bubu masih ada. Pasti Abang akan meminta dicarikan jodoh. Bubu pasti tahu wanita yang terbaik untuk Abang seperti apa. Bubu adalah wanita yang Abang sayang dan cinta setelah Mami. Bubu adalah cinta kedua Abang. Bahkan, cinta ini masih ada dan masih tetap sama meskipun raga Bubu sudah tak ada."

...**** BERSAMBUNG ****...

Biasakan komen ya kalau udah habis baca. Jangan ditinggal begitu aja.

3. Sekretaris

Kembali ke kantor malah dipusingkan dengan kinerja sekretarisnya yang baru. Semua berkas yang diserahkan oleh sekretarisnya dibanting ke atas meja. Erzan memijat kepalanya yang sudah sangat pusing. Ponsel pun dia raih.

"Ke ruangan gua!"

Siapa lagi jika bukan Jimmy yang dia hubungi. Jimmy Barata adalah asisten pribadi Erzan. Namun, dia memiliki ruangan tersendiri dikarenakan Erzan tak mau ada orang lain di ruangannya termasuk

Jimmy adalah manusia yang kesabarannya setebal dompet Erzan. Bukan tanpa sebab dia bertahan bekerja dengan lelaki tanpa ekspresi itu. Dia hanya seorang anak kuli bangunan, di mana dia membutuhkan uang untuk biaya pengobatan sang ibu yang tengah sakit parah. Dia mencoba melamar ke anak perusahaan Zenth Corporation dan diterima. Tiga bulan training dengan kinerja yang bagus, akhirnya dia diangkat menjadi asisten sang direktur utama, Erzan Akhtar Wiguna.

Awal bekerja dengan Erzan, dia merasa sangat tidak kuat. Mulut Erzan yang sangat berbisa. Emosi yang meluap-luap bahkan dia pernah ditonjok oleh lelaki itu karena berbuat kesalahan. Namun, demi kedua orang tuanya dia tetap bertahan. Tak dia pungkiri gaji di perusahan itu cukup besar untuk kalangan sepertinya. Dan seiring berjalannya waktu, dia melihat sisi lain dari Erzan.

Di balik sikapnya seperti itu, ada kebaikan yang tak pernah Erzan tunjukkan. Dia membiayai semua pengobatan sang ibu tanpa Jimmy tahu. Bahkan, ketika ibunya meninggal pun semua biaya pemakaman dan lainnya ditanggung oleh Erzan. Itulah kenapa sekarang dirinya mengabdi kepada Erzan. Bukan karena balas budi, tapi memang dia senang bekerja dengan Erzan.

Benar kata pepatah, jangan lihat buku dari sampulnya karena kita tidak pernah tahu bagaimana isinya. Itulah Erzan. Jimmy pun merasa nyaman bekerja dengan lelaki itu. Meskipun terkadang sang bos tantrum tak jelas. Juga bisa mematikan sering keluar dari mulutnya, Jimmy akan santai saja dan menganggapnya hanya angin lalu.

Bahkan Erzan meminta Jimmy untuk tidak memanggilnya Bapak jika tengah berdua. Dia sangat tidak suka dengan panggilan tersebut. Apalagi mereka berdua seumuran. Itulah yang membuat mereka bukan seperti bos dan bawahan. Melainkan seperti teman.

"Kena--?"

"Cari sekretaris lain!"

Jimmy menghela napas sangat kasar. Dia menghampiri Erzan yang sudah memasang wajah sangat datar. Dia duduk tepat di depan meja Erzan.

"Berikan gua alasannya."

"BAU KETEK."

Jimmy berdecih. Dia melipat kedua tangannya dan menatap Erzan dengan sangat malas.

"BAPAK ERZAN.TERHORMAT," ucapnya penuh penekanan.

"Apakah Anda sadar jika sebulan ini saja sudah tujuh sekretaris yang Anda pecat. Tanpa ada alasan yang benar-benar masuk akal." Jimmy mulai memaparkan.

"Sekretaris pertama, alasannya kutuan."

"Sekretaris kedua, alasannya bibirnya gak simetris."

"Sekretaris ketiga, alasannya ada tahi lalat di atas bibir."

"Sekretaris keempat, alasannya karena mulutnya bau."

"Sekretaris kelima, alasannya mukanya lonjong kayak si Patrick."

"Sekretaris keenam karena rambutnya keriting."

"Dan sekarang karena bau ketek."

"Pertanyaan yang nempel sekarang di otak gua, YANG ENGGAK WARAS SIAPA?"

Jimmy pun sedikit murka. Namun, Erzan malah memasang wajah datar yang sangat amat menyebalkan.

"Setiap tiga hari sekali mereka Anda pecat. Di mana-mana masa training itu tiga bulan, BAPAK ERZAN," terang Jimmy dengan nada yang kesal.

"Bekerja dengan gua masa trainingnya lebih singkat. TIGA HARI!"

"Serah lu, Zan! Serah!" Jimmy pun frustasi.

"Makanya cari lagi! Apa susahnya sih?" bentak Erzan.

Jimmy memutar bola matanya kesal kepada sang atasan. Meskipun begitu, dia harus tetap mencarikan sekretaris yang baru daripada dia harus dibebani pekerjaan sekretaris. Menjadi asisten Erzan saja pekerjaannya segunung.

"Ada kriteria khusus gak?" tanya Jimmy.

"Kalau bisa mah yang seksi."

"Cari di tempat karaoke atau club," sahut Jimmy dengan sangat santai.

"Bang Sat!"

Kini giliran Jimmy yang memijat kepalanya. Direktur utama susah sungguh sangat sulit untuk ditebak. Apa yang dia mau harus dilaksanakan. Sungguh amat menyebalkan.

"Padahal dia yang nge-interview. Dia yang setuju, tapi dia yang mecat. Heran banget gua," omel Jimmy setelah dia duduk di kursinya.

Membuka kembali lowongan untuk jadi sekretaris Erzan. Sebenarnya Jimmy sudah capek setiap tiga hari sekali membuka lowongan pekerjaan. Tapi, bosnya malah bersikap seenaj jidat

"Udah dapat?" tanya Erzan ketika keesokan harinya.

"Banyak yang ngasih CV. Tapi, belum gua seleksi."

"Gua butuh dua kandidat. Pilih yang terbaik dari segi pengalaman," balas Erzan.

"Segi pendidikan gak lu nilai?"

"Banyak yang lulusan sarjana, tapi cuma kebanyakan gaya. Gua gak suka."

Begitulah Erzan dalam mencari karyawan. Dia tidak melihat seberapa tinggi tingkat pendidikan, tapi seberapa banyak pengalaman yang mereka miliki. Untuk meminimalisir ketidak cocokan, Jimmy membawa semua CV kepada Erzan. Biarkan dia yang memilih.

"Terus gunanya lu apa?" sergah Erzan ketika Jimmy sudah menyerahkan semua CV pelamar.

"Sekali-kali lu turun sendiri untuk mencari sekretaris yang sesuai dengan apa yang lu mau."

"Siyalan!" umpatnya dengan keras.

"Gua potong gaji lu!"

"Sesuka hati lu ajalah, Zan."

Jimmy pun berlalu meninggalkan ruangan Erzan. Umpatan demi umpatan yang terlontar tak membuat Jimmy marah. Dia memang tengah sengaja memancing ketantruman direktur utama.

Bukannya makan siang, Erzan mulai melihat CV yang tadi dibawa oleh Jimmy. Cukup banyak CV yang masuk. Satu per satu dia lihat dengan serius. Dia juga sudah lelah karena harus sering gonta-ganti sekretaris.

Alasan utama Erzan memecat tujuh sekretarisnya setelah tiga hari bekerja karena ketidakmampuan mereka dalam bekerja. Satu kali Erzan memaklumi, tapi ketika sudah tiga kali terus melakukan kesalahan sudah pasti Erzan tendang. Dia ingin mempekerjakan orang-orang yang berkompeten.

Saking seriusnya, dia tak melihat masih ada satu CV yang belum dia lihat. Sedangkan dia sedang memilih dua kandidat yang akan diinterview. Tengah serius ponselnya malah berdering. Dan nama Jimmy-lah yang tertera.

"Hmm."

"Mau makan siang apa?"

Jimmy tahu Erzan tengah sibuk melihat CV yang masuk dan akan lupa dengan jam makan. Makanya dia menghubungi Erzan dan menanyakan perihal makanan untuk makan siang.

"Gua lagi pengen burger sama kopi tanpa gula."

"Oke."

Jimmy adalah manusia yang selalu mengurus Erzan. Itulah yang membuat Erzan seakan tak memerlukan sosok perempuan pendamping.

Bolak-balik melihat CV para pelamar tak jua membuat Erzan bisa memilih. Bukan karena mereka terlalu bagus, tapi feeling Erzan mengatakan mereka tak ada yang berkompeten. Dia pun menyandarkan tubuhnya sambil memijat pangkal hidung yang terasa pusing. Seketika kedua alisnya beradu ketika masih ada satu CV di atas meja.

"Gua kira cuma segitu doang," gumam Erzan.

Tangannya mulai meraih CV yang tertinggal untuk diperiksa. Kedua alisnya semakin beradu ketika membaca nama si pelamar.

"Aruna Cyra Sachikirani," gumamnya. Nama itu tak asing untuknya.

Rasa penasaran pun mulai muncul. Dan wajahnya seketika berubah ketika melihat foto yang ada di CV.

"Wajahnya ... Namanya ...."

"Apa dia Cyra?"

...*** BERSAMBUNG ***...

Biasakan komen ya kalau udah habis baca. Jangan ditinggal begitu aja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!