Assalamualaikum, selamat datang di karya baru author. Yang mampir mohon untuk konsisten bacanya ya agar bisa mencapai retensi. Jangan menumbuk bab, lompat baca dan boom like. Terima kasih. Selamat membaca, semoga suka.🙏
...💵💵💵...
"Kenapa ini harus terjadi, Pa? Mama benar-benar tidak menyangka kejadian masa lalu akan terulang lagi pada putraku." Mama Kinan tergugu, mengusap sudut matanya lalu kembali menatap kearah pelaminan. Di sana keluarga besarnya sedang berfoto bersama kedua mempelai.
"Putra kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Lihat, dia berani mengakui perbuatannya dan mau bertanggung jawab." Papa Azka tersenyum sambil mengusap pundak istrinya. Teringat dua minggu lalu, ketika Darian tiba-tiba mengatakan ingin menikah. Cukup mengejutkan karena selama ini ia tahu putranya tidak pernah dekat dengan wanita manapun selain dengan saudara dan sepupu sepupunya. Setelah diberondong dengan banyak pertanyaan akhirnya Darian mengakui telah meniduri wanita yang bernama Nayra, dan merupakan seorang cleaning service di perusahaannya. Ia sangat kecewa saat itu, namun juga bangga atas kejujuran dan sikap tanggung jawab putranya dan patut ia acungi jempol.
"Sudah, jangan menangis. Ini hari pernikahan putra kita, tidak seharusnya kita terlihat sedih. Apapun penyebab dari terjadinya pernikahan ini, kita harus tetap terlihat bahagia. Anggap saja, Rian memang sudah bertemu jodohnya. Ayo sekarang kita foto bersama, jangan mau kalah sama yang lainnya." Ucap papa Azka, tersenyum sembari merangkul pinggang istrinya dan membawanya menuju pelaminan.
Pernikahannya memang terbilang sangat mendadak. Hanya dalam waktu dua minggu namun, berkat kekompakan keluarga akhirnya berhasil membuat pesta pernikahan yang megah. Hingga malam resepsi, para tamu undangan yang sebagian besar adalah rekan bisnis Darian silih berganti berdatangan memberikan selamat. Seluruh keluarga pun terlihat antusias dari awal acara, seakan kedua pengantin yang sedang bersanding itu memang adalah sepasang kekasih, mereka tidak memperlihatkan kesedihan maupun ketidaksukaan atas pernikahan yang terjadi karena sebuah aib yang memalukan.
Beberapa jam acara berlangsung, para tamu undangan satu persatu meninggalkan aula pernikahan. Dan kini waktunya bagi Darian dan Nayra untuk beristirahat di kamar pengantin mereka.
"Kalian pasti lelah, sekarang masuklah ke kamar dan beristirahat." Ucap mama Kinan yang ikut mengantarkan anak dan menantunya sampai ke depan kamar. Wanita baya itu tersenyum hangat. Benar kata suaminya, tak seharusnya ia memperlihatkan kesedihan apalagi dihadapan sang menantu. Dia pernah berada di posisi Nayra dan sudah pernah merasakan bagaimana rasanya menahan malu berdiri di pelaminan meski para tamu yang hadir tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pernikahan itu. Bedanya, Nayra tetap dinikahi oleh laki-laki yang merenggut kesuciannya, sedangkan dia tidak.
"Iya, Mama juga istirahatlah." Ucap Darian sambil memutar handel pintu kamarnya. Setelah pintu terbuka ia meraih sebelah tangan Nayra dan menggenggamnya. "Ma, kami istirahat dulu, selamat malam Ma." Ujarnya sambil tersenyum.
"Selamat malam Rian, Nayra." Balas mama Kinan kemudian bergegas pergi agar anak dan menantunya itu segera masuk ke dalam kamar.
Setelah mamanya tak terlihat lagi, Darian langsung melepas tangan Nayra dari genggamannya. Senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya pun kini berganti dengan ekspresi datar. "Masuk," ucapnya singkat lalu melangkah lebih dulu masuk ke kamar.
Nayra menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, itu dilakukannya beberapa kali untuk menetralkan rasa gugupnya, sebelum akhirnya masuk ke kamar pria yang telah menjadi suaminya. Yah, pernikahannya memang digelar dikediaman pihak laki-laki. Ia yang seorang yatim piatu dan tidak memiliki sanak keluarga lainnya selain sang adik yang kini berada di rumah sakit menjalani pengobatan, hanya mengikuti saja.
"Ganti gaunmu dan beristirahatlah, kamu boleh tidur di ranjang ku dan aku sendiri akan tidur di sofa." Ucap Darian sambil membuka jas pengantin nya. Sedikitpun tidak melirik istrinya yang masih bergeming di dekat pintu kamar.
Tak ada sahutan, Darian pun menoleh. "Nay, kamu dengar aku, kan?" Tanyanya terdengar sedikit kesal.
Nayra yang sedang menunduk itu tersentak kaget, dengan cepat dia mengangkat pandangan menatap suaminya. Karena melamun ia jadi tidak mendengarkan ucapan sang suami. "Kak Rian bilang apa tadi?" Tanyanya sedikit terbata, matanya bergerak gelisah tak berani menatap mata suaminya. Malam ini laki-laki yang biasanya selalu bersikap lembut dan ramah itu terlihat menyeramkan di matanya.
"Ck," Darian berdecak pelan, "Aku bilang ganti gaunmu dan istirahatlah. Kamu bisa tidur di ranjang ku dan biar aku yang tidur di sofa." Ujarnya mengulang kalimatnya dengan nada yang ditekan.
"Kenapa Kak Rian harus tidur di sofa?" Tanya Nayra, sekilas melirik ranjang pengantin yang telah dihiasi dengan begitu indah. Jelas saja ia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak berada di ranjang empuk dan besar itu seorang diri sedangkan pemiliknya sendiri harus tidur di sofa.
"Kenapa? Apa kamu berharap malam ini kita akan melalui malam pertama?" Bukannya menjawab, Darian justru bertanya balik sambil tersenyum sinis.
"Sudahlah, Nay, jangan terlalu berangan-angan. Bukankah itu sudah terjadi sebelumnya, kita sudah melakukannya meski secara penuh aku tidak menyadarinya." Ia menghela nafas panjang seraya memalingkan wajahnya dari Nayra. Mengusap wajah dengar kasar mengingat kejadian itu, bisa-bisanya saat itu ia mengira Nayra adalah Vanessa.
"Jujur, aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Tapi, aku tetap harus bertanggung jawab atas apa yang sudah aku lakukan padamu. Aku menikahimu hanya sebatas tanggung jawab. Dan aku minta, kamu jangan terlalu banyak menuntut ku. Teruntuk nafkah lahir, semua kebutuhanmu pasti akan aku penuhi, tapi untuk nafkah batin. Maaf, cukup terjadi pada malam itu saja. Jika kamu tidak kuat menjalani pernikahan ini, kamu bisa minta cerai!" Ucapnya, berharap Nayra benar-benar menggugat cerai dirinya dalam waktu dekat, karena ia sendiri tidak bisa melakukan itu. Sudah cukup membuat kedua orangtuanya kecewa atas apa yang sudah dilakukannya terhadap Nayra, tidak ingin menambahnya lagi jika ia yang harus menceraikan Nayra.
Kedua mata Nayra terpejam sesaat, sebelah tangannya terangkat mengusap dada yang terasa sesak mendengar ucapan suaminya. Namun, itu adalah resiko yang harus ia terima menikah dengan laki-laki yang tidak mencintainya.
"Kak Rian tidur saja di ranjang, biar aku yang tidur di sofa." Ucap Nayra. Yah, ia harus sadar diri bahwa ranjang itu bukanlah miliknya. Dan yang harus ia tanamkan dalam hati, Darian menikahinya hanya karena sebatas tanggung jawab.
Nayra kemudian berjalan ke arah lemari, mengambil sepasang piyama tidur yang telah disiapkan oleh mama Kinan. Setelah menutup pintu lemari, dia berbalik menatap suaminya. "Kak, aku tidak bisa melepas gaunku sendiri. Apa boleh minta tolong untuk turunkan resleting belakang?" Pintanya ragu-ragu melihat tatapan suaminya yang tak bersahabat.
Darian terdiam sejenak, menatap wanita yang telah menjadi istrinya itu dengan lekat. Menghela nafas panjang lalu akhirnya menghampiri Nayra. Ia memalingkan wajahnya ketika jemarinya mulai bergerak menurunkan resleting. Meski tubuh Nayra pernah berada dalam dekapannya, tapi tetap saja ia tidak ingin melihatnya lagi.
Setelah berganti pakaian, Nayra pun membaringkan tubuhnya di sofa. Tak membutuhkan waktu lama ia pun terlelap karena memang sudah mengantuk.
Darian yang juga telah berganti pakaian, duduk di tepi tempat tidur memperhatikan istrinya. "Aku sudah memintamu untuk tidur di ranjang, tapi kamu tetap ingin tidur di sofa. Terserah kamu saja!"
"Hem hem, manten baru udah di dapur aja nih pagi-pagi. Gak capek apa?"
Nayra yang sedang membuat nasi goreng, mengulum senyum mendengar pertanyaan absurd dari Stevanie adik iparnya yang baru saja datang. Capek? Iya, tapi itu kemarin saat acara pernikahan, dan pagi ini ia sudah merasa lebih bugar setelah semalaman tidur nyenyak walau hanya tidur di sofa.
"Tadi Bibi sudah larang, Non. Tapi Non Nayra maksa." Sahut ART yang sejak tadi berdiri di samping Nayra. Khawatir anak majikannya itu akan mengadu jika ia membiarkan menantu pertama di keluarga itu bekerja di dapur.
"Gak apa-apa, Bi. Itu namanya istri Solehah." Kata Stevanie sambil tersenyum menatap Nayra, sedang yang ditatap hanya memfokuskan perhatiannya pada nasi goreng yang dibuatnya. Setelah selesai, ia pun memindahkannya ke wadah nasi.
"Nah ini dia, dari tadi Mama cariin rupanya ada di sini." Kedatangan mama Kinan mengalihkan perhatian tiga orang yang berada di dapur. "Mama kira kamu sudah berangkat mengajar." Ujarnya sambil menatap putri bungsunya yang lebih memilih menjadi seorang guru daripada ikut bergabung di perusahaan seperti kedua kakaknya. Darian menjabat sebagai Direktur Utama, dan Stevanno sebagai wakil direktur.
"Belum lah, Ma. Mau sarapan dulu, mana fokus mengajar kalau perut kosong, nanti rok abu-abu kelihatan jadi merah. Ke dapur cari makan, eh lihat istri Solehah lagi bikin nasi goreng." Kekeh Stevanie.
Mama Kinan pun turut tersenyum, perhatiannya berpindah pada menantunya. "Rian sudah bangun?" Tanyanya.
"Belum, Ma." Jawab Nayra.
"Kalau begitu sekarang kamu bangunkan suami kamu, terus kita sarapan sama-sama." Titah mama Kinan.
Nayra mengangguk, ia pun lekas meninggalkan dapur. Sesampainya di kamar, ia langsung membangunkan Darian namun, tak sedikitpun suaminya itu bergerak. Nayra pun duduk di tepi tempat tidur, menatap lekat wajah lelap sang suami.
'Kak, maafin aku. Maaf sudah membuat Kak Rian merasa terjebak dalam pernikahan ini. Walau sebenarnya aku mencintai Kak Rian tapi aku sangat merasa bersalah. Maaf, aku benar-benar terpaksa melakukan ini.' Nayra bergumam, tatapannya tak lepas menatap suaminya. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam. Ingatannya kembali pada dua minggu lalu, saat itu ia sangat terpaksa mengambil keputusan yang begitu berat demi uang.
[Kamu mau adik kamu segera mendapatkan pengobatan terbaik, kan? Maka cepat kerjakan apa yang saya perintahkan!]
Nayra menghela nafas panjang setelah membaca pesan singkat dari seseorang yang bersedia membayar seluruh biaya pengobatan adiknya, namun dia harus mengerjakan sesuatu sebagai timbal baliknya. Orang tersebut telah menemuinya beberapa hari lalu dan memberikannya obat untuk memuluskan pekerjaannya, namun dia tak langsung menyetujui. Begitu berat menjalankan tugas yang harus ia kerjakan.
Ia harus menjebak seorang laki-laki dan membuat seolah-olah mereka telah tidur bersama, kemudian meminta pertanggungjawaban untuk dinikahi. Ia bertanya apa tujuannya, namun orang tersebut enggan memberitahu. Ia hanya diminta menyelesaikan pekerjaan dan akan diberi imbalan setelahnya.
Jika itu orang lain, Nayra tidak akan berpikir dua kali, ia sangat butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Namun, yang menjadi masalah, laki-laki yang harus dijebaknya adalah teman baiknya semasa SMA sekaligus Direktur Utama di perusahaan tempatnya bekerja sebagai cleaning service.
Bagaimana ia akan tega melakukan itu, sementara di saat ia kesusahan mencari pekerjaan baru setelah dipecat dari restoran sebagai pelayan karena sering datang terlambat. Temanya tersebutlah yang menawarkan pekerjaan padanya, meski hanya sebagai cleaning service, namun ia sangat bersyukur.
Tling... Kembali terdengar notifikasi pesan masuk di ponsel Nayra. Masih dari orang yang sama.
[Saya tahu, kamu juga menyukainya, kan? Maka ini kesempatan bagus buat kamu agar bisa memiliki dia. Jadi apalagi yang membuat kamu berpikir, segera kerjakan perintah saya dan adik kamu juga bisa segera mendapatkan penanganan yang terbaik.]
Nayra cukup terkejut membaca pesan berikutnya, darimana orang tersebut bisa mengetahuinya. Padahal, dia tidak pernah menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan, selama ini ia hanya memendamnya karena cukup sadar diri. Apakah orang tersebut memata-matainya?
Nayra menyimpan ponselnya di atas nakas yang terletak di samping brankar tanpa membalas pesan tersebut, kemudian menatap wajah pucat adiknya yang masih belum sadarkan diri.
Tanpa Nayra sadari, orang yang sejak tadi mengirim pesan padanya sedang memperhatikannya dari balik celah pintu ruang rawat adiknya yang tidak tertutup rapat.
"Dek, ayo bangun. Jangan buat kakak jadi takut begini. Kakak gak punya siapa-siapa lagi selain kamu," air mata Nayra menetes. Beberapa jam lalu, Dion adiknya mengalami sesak nafas kemudian akhirnya pingsan di teras rumah. Beruntung ada tetangga yang lewat melihat dan langsung menghubunginya.
Dion mengidap penyakit jantung bawaan. Adiknya yang kini telah berusia 15 tahun itu bahkan tidak pernah bersekolah lantaran penyakitnya dan tidak bisa beraktivitas seperti teman-teman seusianya. Tumbuh kembang Dion pun berbeda dengan teman sebayanya. Selama ini, Dion hanya rawat jalan. Ayahnya yang hanya seorang buruh bangunan dan ibunya tukang cuci gosok tak mampu memberikan pengobatan yang terbaik untuk Dion.
Maka itu ia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan memilih bekerja untuk membantu orangtuanya. Namun, hingga saat ini tetap saja tidak bisa mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk adiknya yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi gajinya yang juga tak seberapa banyak itu harus ikut terbagi untuk kebutuhan sehari-hari dan sewa kontrakan.
Terlebih sekarang, dia harus berusaha sendirian untuk adiknya setelah kedua orangtuanya meninggal 3 bulan lalu karena kecelakaan. Motor yang dikendarai kedua orangtuanya saat hendak menebus obat untuk Dion, bertabrakan dengan sebuah mobil yang pemiliknya berhasil selamat dan melarikan diri.
Tling... Notifikasi pesan masuk di ponsel Nayra kembali terdengar. Dengan gerakan malas ia meraih ponselnya.
[Penyakit adik kamu itu sangat serius, harus segera mendapatkan pengobatan terbaik. Jangan buang-buang waktu dengan banyak berpikir, atau kamu mau tunggu sampai adik kamu tidak bisa tertolong lagi!]
Tangan Nayra seketika gemetar membaca pesan berikutnya. Tidak, ia tidak mau adiknya sampai kenapa-kenapa. Hanya Dion yang ia punya saat ini. Dengan cepat ia menghubungi nomor si pengirim pesan.
Pria paruh baya yang masih berdiri di depan pintu, langsung menjauh tatkala Nayra menelponnya. Beruntung ponselnya mode silent, jika tidak, Nayra akan mengetahui keberadaannya.
"Pak, saya menerima tawaran Bapak. Malam ini juga saya akan melakukannya, tapi tolong jangan ingkari janji Bapak untuk membiayai pengobatan adik saya." Nayra terbata-bata saat mengatakannya, sementara lawan bicaranya tampak menyunggingkan senyum.
"Laporkan setelah pekerjaan kamu selesai, maka saya akan akan langsung mengurus biaya pengobatan adik kamu. Dan ingat, pekerjaan kamu harus bersih, jangan sampai menyeret nama saya. Untuk adik kamu, biarkan dia dirawat selagi kamu melakukan tugas yang saya berikan, saya yang akan membayar biaya rawat inap nya. Tapi jika kamu gagal, maka kamu harus mengganti uang yang sudah saya keluarkan!" Sambungan telepon pun terputus.
Nayra menggenggam erat ponselnya seraya memejamkan mata. Dengan berat hati, ia harus melakukannya demi sang adik. Jika mungkin ini juga jalannya ia bisa bersama dengan laki-laki yang dicintainya dalam diam selama ini, seperti yang dikatakan orang tersebut. Ini adalah kesempatan baginya. Tapi tekad terkuatnya adalah demi uang untuk biaya pengobatan sang adik.
Sementara diluar ruangan, pria paruh baya tersebut kembali mendekat mengintip ke celah pintu. Ia dapat melihat Nayra yang tampak menyeka air mata. Beberapa saat memperhatikan, ia pun kemudian bergegas pergi meninggalkan rumah sakit.
Nayra ke kembali ke kantor setelah adiknya siuman, dan langsung menghampiri kepala cleaning service untuk mengucapkan terima kasih sekali lagi karena diizinkan pulang. Selama bekerja di kantor itu, dia tidak pernah dipersulit dan selalu diizinkan pulang di saat adiknya tiba-tiba drop.
"Sama-sama, Nayra. Tidak perlu sungkan begitu, adik kamu yang terpenting, " ujar pria paruh baya yang bernama Rinto, kepala cleaning service. Namun, sebenarnya ia kesal setiap kali Nayra meminta izin pulang. Karena hal tersebut ia sering mendapatkan sindiran dari beberapa cleaning service lainnya yang menganggap dirinya tidak adil. Nayra diperbolehkan pulang sementara yang lainnya tidak. Jika bukan karena perintah bos, ia juga tidak akan mengizinkan Nayra meninggalkan kantor di jam kerja.
"Kalau begitu, saya pamit kembali bekerja, Pak." Ujar Nayra.
"Tunggu sebentar," cegah pak Rinto ketika Nayra hendak pergi. "Tadi Pak Rian berpesan pada saya, kamu disuruh ke ruangannya kalau sudah kembali ke kantor." Ujarnya.
"Ada apa ya, Pak, saya dipanggil?" Tanya Nayra sedikit cemas. Meski dia berteman baik dengan sang bos, namun tak menampik jika ia hanyalah bawahan yang harus ditegur jika mempunyai kesalahan. Atau jangan-jangan ia dipanggil karena lagi-lagi meninggalkan kantor di jam kerja?
"Tidak tahu, Pak Rian hanya berpesan itu pada saya, " jawab pak Rinto.
"Baiklah, Pak." Nayra pun bergegas menuju ruangan Direktur Utama. Sepanjang langkah pikirannya bercabang, memikirkan bagaimana menjalankan tugasnya malam ini serta bertanya-tanya dalam hati kenapa ia dipanggil?
Baru saja tangan Nayra terulur untuk mengetuk pintu, namun pintu sudah lebih dulu terbuka dari dalam. Sontak ia mundur beberapa langkah.
"Kamu sudah datang rupanya, baru saja aku mau menyusul kamu ke rumah sakit." Ujar Darian.
Nayra tampak tersenyum canggung, "Maaf, Pak. Kenapa ya saya di panggil?" Tanyanya.
Darian berdecak mendengar panggilan yang disematkan Nayra, "Nay, pleas deh. Jangan panggil Pak," ujarnya sambil memutar kedua bola matanya malas. "Kak aja, seperti biasanya ya?"
"Tapi aku gak enak kalau ada karyawan lain yang dengar." Ucap Nayra.
"Ya udah, kalau di depan karyawan lainnya kamu boleh panggil Pak. Tapi kalau berdua gini, panggilan biasanya aja."
Ragu-ragu Nayra mengangguk. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah tentang rencananya malam ini.
"Kamu pasti belum makan, yuk masuk. Kebetulan di dalam ada makanan." Tanpa menunggu persetujuan, Darian langsung menarik tangan Nayra masuk ke ruangannya. Mengajaknya untuk duduk di sofa.
"Nay, tapi makanannya sisa aku. Gak apa-apa ya, dulu di sekolah kamu juga suka kok makan makanan sisa aku." Darian terkekeh mengingat saat itu. Setiap kali ia hendak membuang makanan sisanya, Nayra langsung mengambil dan memakannya disertai dengan ceramah panjang lebar.
Nayra hanya tersenyum, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mulai memakan makanan itu. Ia memang sedang lapar saat ini. Sesekali ia melirik Darian yang sedang bermain ponsel, rasanya tak sanggup untuk menjebak laki-laki sebaik itu, namun karena keadaan ia harus terpaksa melakukannya.
"Nay, pulang nanti bareng ya. Biar aku antar sekalian aku mau jenguk adik kamu."
"Iya," jawab Nayra. Ia memejamkan mata sejenak, ajakan Darian untuk pulang bersama adalah peluang untuknya. Senang? Tentu saja tidak, justru sekarang ia sudah merasa bersalah meski misinya belum terlaksana.
Setelah menghabiskan makanannya, Nayra pun pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.
Sore hari, Darian menunggu di dalam mobilnya. Saat Nayra datang, ia langsung menyuruhnya masuk ke mobil. "Wah, kebetulan sekali kamu bawa air. Minta dong, aku haus."
"Tapi ini bekas aku," kata Nayra sembari memperlihatkan botol minum ditangannya yang isinya tinggal setengah.
"Gak apa-apa," Darian langsung mengambil botol minum itu dan meminumnya hingga habis. Kemudian mengembalikan botol yang sudah kosong itu pada Nayra," Terima kasih, dan maaf airnya aku habiskan." Ia tersenyum.
Nayra pun hanya membalas dengan senyuman, menatap botol minum yang sudah kosong itu dengan perasaan campur aduk. Air yang baru saja di minum Darian telah ia campurkan obat yang bisa mempengaruhi kesadaran, dan juga membuat penggunanya mengalami halusinasi. Seperti mendengar, merasakan dan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
"Oke, sekarang kita langsung ke rumah sakit." Ucap Darian sambil memasang sabuk pengaman.
"Kak, bisa antarkan aku pulang dulu? Aku ingin mengambil pakaian, malam ini aku akan menginap di rumah sakit." Ujar Nayra.
"Ok, kasih tau arahnya ya," Darian pun melajukan mobilnya meninggalkan pelataran kantor. Sepanjang perjalanan, keduanya mengobrol banyak hal seputar masa putih abu-abu dulu.
"Jadi selama ini kamu tinggal di sini?" Tanya Darian begitu baru saja memasuki area pemukiman. Ini adalah pertama kalinya ia mendatangi tempat tinggal Nayra. Selama ini ia tidak tahu bagaimana kehidupan Nayra sebenarnya dan tidak mengenal keluarganya. Ia baru tahu beberapa hari belakangan jika adik Nayra sedang sakit dan kedua orangtuanya ternyata sudah meninggal.
Darian memijat pelan pelipisnya sambil mengamati keadaan sekitar, kepalanya tidak sakit tapi tiba-tiba saja rasanya seperti linglung dan sedikit mengantuk.
"Iya, Kak. Itu rumah aku." Nayra menunjuk sebuah rumah yang ukurannya tak seberapa besar. "Kak Rian mau ikut masuk?" Tanyanya sambil menepuk pundak Darian.
Darian sedikit terkejut ketika pundaknya ditepuk, dia menoleh dan seketika tersenyum menatap wanita di sampingnya. 'Nessa,' gumamnya tanpa suara, kemudian mengangguk. Ia melepas sabuk pengaman dan ikut turun dari mobil, berjalan dengan tatapan tak lepas dari wanita yang berjalan di depannya hingga masuk ke dalam rumah.
"Kamu kemana saja beberapa hari ini, kenapa susah sekali dihubungi?" Darian menarik tangan Nayra yang baru saja menutup pintu, tatapannya sayu menatap wanita itu.
Nayra tersentak, namun dengan segera ia menormalkan ekspresinya. Sepertinya obat itu sudah bekerja. Ia memilih Teto diam dan tersenyum.
"Kamu tega sekali membuat aku rindu." Tanpa diduga Darian menarik pinggang Nayra dan merapatkan ke tubuhnya. Sebelah tangannya membelai wajah wanita itu. "Aku sudah lelah menyembunyikan hubungan kita," ujarnya.
Nayra tetap diam, namun dalam hati bertanya-tanya tentang siapakah wanita yang dimaksud Darian. Mungkinkah kekasihnya, tapi ia tidak pernah melihat Darian bersama wanita lain selain saudara dan sepupu sepupunya.
Sekujur tubuh Nayra terasa meremang ketika Darian semakin merapatkan tubuh mereka dan perlahan mendekatkan wajahnya.
"Malam ini juga aku akan mengatakan pada keluarga kita tentang hubungan kita. Dan sekarang kamu harus bertanggungjawab sudah membuat aku rindu beberapa hari. Kamu seperti sengaja menghilang," Darian semakin memangkas jarak, fokusnya hanya tertuju pada bibir ranum di depannya. Selama ini ia selalu menahan diri untuk tidak berbuat lebih, tapi sekarang ia tidak bisa menahannya lagi. Lagipula setelah ini ia akan mengatakan pada seluruh keluarga tentang hubungan mereka.
Nayra menjerit dalam hati ketika Darian memaggut bibirnya, ingin mendorong namun ia tidak mungkin mengacaukan pekerjaannya yang hampir rampung. Yang dilakukannya hanyalah mencengkeram erat jas Darian. Ia baru bernafas lega ketika tubuh Darian perlahan luruh ke lantai, matanya sesekali tertutup dan akhirnya tidak sadarkan diri.
Dengan sekuat tenaga Nayra memapah tubuh Darian menuju kamarnya dan membaringkan di tempat tidurnya. Menatap pria itu sejenak kemudian membuka seluruh pakaiannya. Setelahnya ia mengambil ponsel dan mengambil gambar Darian.
Beberapa jam berlalu, Darian akhirnya bangun. Saat membuka mata, ia tersenyum melihat wanita disampingnya yang berbaring miring membelakanginya. Untuk beberapa saat ia hanya memandangi punggung polos itu, rasanya seperti mimpi mereka benar-benar telah melakukannya. Hal yang mati-matian ia tahan dan sekarang sudah ia lakukan. Menyesal, tentu saja tidak karena setelah ini ia akan mengumumkan hubungan mereka yang sudah beberapa bulan terjalin secara sembunyi-sembunyi.
"Sayang, bangun." Darian menyentuh pundak dan menggoyangkannya pelan. Begitu tubuh itu berbalik menghadapnya, ia seketika tersentak. Kedua matanya membulat menatap wanita itu.
"Nayra, bagaimana bisa kamu ada di sini? Dan apa ini?" Darian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memijat pelipisnya sembari mengumpat ketika tatapannya tertuju pada foto Nayra yang terpajang di dinding kamar. "Tidak, ini tidak mungkin!" Nafasnya memburu, tatapannya nanar menatap wajah yang basah oleh air mata. "Nay, bisa kamu jelaskan tentang ini?"
"Apa yang harus aku jelaskan, Kak? Aku menyesal meminta Kak Rian mengantarku pulang, tega sekali Kak Rian melakukan ini padaku." Nayra mengusap air matanya. Ia benar-benar menangis karena merasa bersalah telah melakukan ini pada lelaki sebaik Darian.
Darian mengusap wajahnya kasar. Ia baru teringat sebelumnya mengantarkan Nayra pulang, tapi bagaimana ini bisa terjadi. Ia merasa melakukannya bersama Vanesa, bukan bersama Nayra.
"Jangan menangis, aku akan bertanggungjawab." Ucap Darian diiringi dengan helaan nafas berat. Niat hati ingin mengumumkan hubungannya dengan sang kekasih, justru harus mengumumkan pernikahannya dengan Nayra. Hal yang tak pernah terbayangkan akan terjadi.
Begitu Darian turun dari tempat tidur dan masih masuk ke kamar mandi. Nayra pun meraih ponselnya di atas meja dan mengirim pesan pada seseorang.
[Tolong tepati janji Bapak, pekerjaan saya sudah selesai.] Isi pesannya disertai foto Darian tanpa busana yang ia ambil sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!