Happy reading..
Azzam adalah seorang mahasiswa asal Indonesia yang menempuh pendidikan di Kanada. Ia dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan ambisius.
Begitupun dengan Azahwa, Zahwa juga mahasiswi dari Indonesia yang menempuh pendidikan di Kanada. Azzam dan Zahwa kenal dan menjalin hubungan ketika mereka sama-sama di negeri asing untuk menempuh pendidikan.
Namun Zahwa pulang ke Indonesia lebih dulu di banding Azzam yang masih harus menyelesaikan pendidikan beberapa bulan kedepan.
Mereka bertemu dan menjalin hubungan ketika di Kanada, di Indonesia mereka belum kenal.
Sebelum pulang ke Indonesia, Zahwa memberikan alamat rumahnya pada Azzam, supaya nanti ketika Azzam pulang ke Indonesia mencari Zahwa ke rumahnya.
Dan hari ini adalah hari kepulangan Azzam. Bahkan ia tidak pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Dari bandara rencananya Azzam akan langsung ke alamat yang di berikan Zahwa, ia ingin segera bertemu dengan sang kekasih karena tiga bulan yang lalu semenjak Zahwa pulang ke Indonesia, sejak itu pula Zahwa tidak bisa di hubungi.
Rasa cinta dan rasa rindu yang membuat Azzam memutuskan untuk langsung ke alamat Zahwa.
Setelah berjam-jam penerbangan yang melelahkan, Azzam akhirnya tiba di bandara. Dia mengambil tasnya dan segera menyewa taksi untuk menuju alamat yang telah diberikan Zahwa. Jalanan terasa asing baginya, karena bertahun-tahun Azzam tidak pulang. Namun petunjuk dari Zahwa sangat jelas, sehingga taksi tersebut melaju tanpa kesulitan menuju ke rumah yang dituju.
Setibanya di depan rumah yang tampak sederhana itu, Azzam merasakan degupan jantungnya semakin kencang. Dia membayar ongkos taksi dan berdiri sejenak di depan pagar rumah tersebut. Dengan nafas yang berat, ia membuka gerbang dan melangkah menuju pintu depan.
Azzam mengetuk pintu beberapa kali. Sesaat kemudian, pintu itu terbuka dan seorang wanita paruh baya dengan wajah bingung menyambutnya.
"Selamat siang Bu, saya Azzam." ucap Azzam seraya mengulurkan tangannya hendak menyalami wanita paruh baya yang ia duga itu adalah Ibu dari Zahwa.
Wanita paruh baya itu langsung membulatkan matanya. "Oh, nak Azzam."
Azzam tersenyum simpul, kemudian ia mencium punggung tangan wanita paruh baya di depannya ini. "Iya, Bu. Saya senang akhirnya bisa datang ke sini," jawabnya, sambil matanya mencari-cari sosok Zahwa.
"Mari masuk," ajak Maryamah ibu Zahwa seraya membuka pintu lebar-lebar.
"Terimakasih, Bu." Azzam pun mengikuti langkah Maryamah menuju ruang tamu di rumah ini. "Zahwanya ada Bu?"
"Ada. Sebentar Ibu panggilkan, nak Azzam silahkan duduk dulu,"
Azzam duduk di kursi di ruang tamu, sedangkan Maryamah melanjutkan langkahnya untuk memanggil Zahwa.
Tak lama kemudian wanita mirip Zahwa muncul. Seketika Azzam berdiri lagi, matanya berbinar di sertai senyum yang mengembang di bibirnya, ia bahagia akhirnya bisa bertemu dengan wanita yang ia cintai dan ia rindukan.
Azzam berlari untuk menyusul wanita itu, ia tidak sabar menunggu walau sekedar beberapa detik saja. Azzam langsung memeluknya erat. Sangat erat. Seolah jika ia melepaskannya sedikit maka ia akan kehilangan wanita yang sangat ia cintai ini.
Di pelukan Zahwa, Azzam bisa merasakan kehangatan yang telah lama hilang sejak mereka terpisah di Kanada.
"Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Kenapa kamu tidak bisa di hubungi? Aku khawatir, aku kangen. Tiga bulan disana tanpa kamu rasanya bagaikan tiga tahun,"
Wanita itu hanya membeku di pelukan Azzam, karena yang di pelukan Azzam saat ini bukanlah Zahwa, melainkan Zura saudara kembarnya Zahwa.
Merasa wanita di pelukannya ini tidak merespon ataupun menjawab pertanyaannya, Azzam pun melonggarkan pelukannya untuk menatap Zura. "Kenapa kamu diam saja, sayang? Kamu tidak senang bertemu denganku?"
Zura mengerjab beberapa kali. "Em.. Bukan tidak senang, maaf, aku masih terkejut." kilahnya.
"Maaf, aku bikin kamu terkejut ya? Kalau begitu kita duduk dulu," ajak Azzam.
Zura menurut saja, mereka duduk di kursi ruang tamu. "Aku masih penasaran, kenapa kamu tidak bisa di hubungi semenjak kamu pulang?"
"Handphoneku hilang waktu di bandara," jawab Zura.
Azzam menghela napasnya. "Pantas saja, semenjak kamu pulang tidak bisa di hubungi lagi. Untung dulu kamu ninggalin alamat rumah, jadi aku bisa langsung kesini."
Zura tersenyum tipis untuk merespon ucapan Azzam.
"Dari bandara aku langsung kesini, demi kamu," ujar Azzam.
Zura memberanikan diri untuk menatap Azzam. "Belum pulang ke rumah?"
Azzam menggeleng sebagai jawaban.
"Kamu nggak kangen sama keluargamu?" tanya Zura.
"Kangen. Tapi mencari kamu lebih penting," jawab Azzam.
"Cari aku kan bisa nanti lagi, yang penting keluarga dulu."
Azzam kembali menarik tubuh Zura untuk di peluknya, rasa rindunya belum juga terobati walaupun sudah bertemu dengan wanita pujaan hatinya. "Aku udah nggak bisa menahan rinduku,"
Lagi-lagi Zura hanya membeku dalam pelukan Azzam.
"Kok kamu nggak bales meluk aku, kamu nggak kangen sama aku?"
Zura tersenyum kaku, perlahan tangannya terangkat untuk membalas pelukan Azzam.
Tak ada rasa curiga atau perbedaan dalam diri Zura. Azzam mengira yang di peluknya saat ini adalah Zahwa. Wanita yang di peluknya ini memang kaku, tapi Azzam menduga itu karena masih shock dengan kedatangan dirinya.
"O ya, secepat aku akan melamar kamu, kita resmikan hubungan kita, aku nggak mau pisah-pisah lagi dari kamu, aku maunya dekat dengan kamu terus." ucap Azzam sontak membuat mata Zura terbuka lebar.
"Nikah?" tanya Zura dalam hati.
"Kenapa buru-buru? Kita baru aja ketemu loh,"
"Tapi kita menjalin hubungan sudah lama. Cukup beberapa bulan yang lalu aku terpisah dari kamu, setelah ini aku nggak mau jauh-jauh dari kamu,"
Zura kembali terdiam, ia bingung harus menjawab apa.
"Zahwa," panggil Azzam. "Kamu bersedia kan, menikah denganku? Kita hidup bersama, jalani hari bersama, dan menua bersama."
"Zahwa?" panggil Azzam lagi karena Zura tak kunjung menjawabnya.
Bagaimana Zura akan menjawab, sedangkan yang sebenarnya di ajak hidup bersama adalah kembarannya bukan dirinya.
"Zahwa, Sayang. Kenapa diam? Kamu tidak mau hidup denganku?" Azzam mengulang lagi pertanyaannya.
Zura mengangguk dalam dekapan Azzam. Zura menuruti Azzam sesuai permintaan Zahwa saudara kembarnya.
Azzam semakin mengeratkan pelukannya. "Makasih, sayang."
"Jangan kenceng-kenceng, aku nggak bisa napas,"
Azzam terkekeh lalu melepas pelukannya.
"Sebaiknya kamu pulang dulu, kasihan keluargamu pasti mereka sudah menunggumu," ucap Zura.
"Aku baru sampai loh, sayang. Masa udah di usir?"
"Bukan ngusir, Mas. Tapi kasihan keluarga kamu di rumah."
"Aku tidak bilang kalau pulang hari ini, jadi mereka tidak akan menungguku," sahut Azzam.
"Ya sudah kalau begitu."
"Tunggu tunggu, sejak kapan kamu manggil aku Mas? Biasanya manggilnya sayang." tanya Azzam.
Zura terdiam sesaat untuk mencari alasan yang tepat, dirinya tidak tahu kalau Zahwa manggil kekasihnya ini dengan sebutan sayang. "Sejak sekarang," jawab Zura pada akhirnya.
"Kenapa di ubah-ubah? Aku lebih suka kamu manggil aku dengan sebutan sayang."
"Kamu bilang kamu mau serius kan? Jadi aku manggilnya Mas aja biar lebih sopan gitu."
"Terserah kamu aja, yang penting kamu di samping aku," sahut Azzam.
To be continued.
Happy reading..
Setelah Azzam pulang. Zura berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kegelisahan terpancar jelas dari raut wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tanda ketakutan dan kebingungan yang mendalam. "Bagaimana ini, Bu? Dia mau menikahi Zura," ucapnya dengan suara yang tercekat.
Ibunya, yang sedang duduk di sofa, menatapnya dengan ekspresi tenang. "Terima saja," jawab Ibunya.
"Tapi Zura nggak mengenal dia, Bu," tolak Zura dengan nada suara yang meninggi. Kepanikan semakin jelas terlihat saat ia menghentikan langkah dan menatap Ibunya, mencari dukungan.
Ibunya menghela napas, berdiri dan mendekatinya. "Zura, ingat. Kamu sudah berjanji pada Zahwa bahwa kamu tidak akan mengecewakan Azzam, kamu juga sudah berjanji bahwa kamu bersedia membahagiakan Azzam sebagaimana Zahwa yang ingin melihat Azzam bahagia." Ibunya mencoba menenangkan, namun Zura hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Zura nggak bisa, Bu. Zura belum siap menikah dengan orang yang bahkan Zura nggak tahu apa-apa tentang dia." cairan di mata Zura semakin menggenang, bibirnya bergetar menahan tangis.
"Tapi dengan kamu menerima pernikahan itu, kamu bisa memenuhi janji-janjimu dulu."
"Tapi nggak secepatnya ini juga Bu."
"Dia pasti laki-laki yang baik. Buktinya, Zahwa sampai menitipkannya padamu."
zura sudah tidak bisa membalas kata-kata ibunya lagi, tubuhnya bergetar karena isak tangis.
Melihat itu, Ibunya mendekap Zura dalam pelukan hangat. "Ingat kata-kata Zahwa, kalau Azzam bahagia maka Zahwa juga akan bahagia. Kamu mau kan melihat Zahwa bahagia?" bisik Ibunya mencoba menghibur. Zura mengangguk perlahan, masih terisak dalam dekapan Ibunya.
"Zahwa bahagia jika Azzam juga bahagia, maka dari itu turuti keinginan Azzam kalau kamu mau melihat Zahwa bahagia." sahut Irman, Ayah Zura. Ia baru saja masuk ke dalam rumah dan mendengar pembicaraan istri dan anaknya.
Irman pun mendukung penuh jika Zura bersanding dengan Azzam.
Walaupun awalnya Irman tidak mengenal Azzam, tapi semenjak Zahwa bercerita tentang Azzam. Sejak saat itu Irman mencari tahu tentang Azzam dan keluarga, dan menemukan bahwa Azzam adalah laki-laki yang baik.
"Tapi, Yah--"
"Tidak ada tapi-tapi!" potong Irman.
Zura mendengkus kesal.
"Betul kata Ayahmu, Zahwa bahagia jika melihat Azzam bahagia," sang Ibu menimpali.
****************
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu rumah memecahkan keheningan malam di rumah keluarga Azzam.
"Assalamualaikum.." ucap salam Azzam sambil membuka pintu rumah yang belum terkunci.
Ia berdiri di ambang pintu, siluetnya tercetak jelas diterangi oleh cahaya lampu pelataran rumah yang remang-remang. Mata Haniyah Mama Azzam yang tadinya terpejam, saat mendengar suara Azzam pun terbuka perlahan, seolah merasakan kehadiran yang sudah lama dinantikan.
Dengan raut muka yang masih diselimuti kebingungan, Mama Azzam bangkit dari sofa, ia mengusap matanya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Azzam, itu kamu?" suaranya terbata, tidak yakin apakah ini kenyataan atau hanya bayangan hati yang terlalu rindu.
Azzam berjalan setengah berlari untuk menyusul sang Mama yang saat ini sudah berdiri. Azzam langsung memeluk tubuh Mamanya.
"Kenapa tiba-tiba sudah di rumah, Zam? Kenapa tidak kasih kabar dulu sama Mama kalau kamu akan pulang hari ini?" tanya Mama Azzam, sambil memeluk Azzam erat-erat. Rasa rindu yang terpendam bertahun-tahun, kini terobati sudah.
Azzam, dengan tas ransel yang masih tersangkut di bahu, tersenyum. "Supaya jadi kejutan," jawabnya dengan mata yang berkaca-kaca menahan haru.
Suasana haru dan kegembiraan bercampur aduk di ruang tamu itu. Mama Azzam, dengan tangan yang gemetar, menyentuh wajah Azzam, memastikan bahwa ini bukan mimpi. "Azzam, kamu beneran sudah pulang," ucapnya lirih, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.
"Iya, Ma. Ini Azzam, anak Mama." jawab Azzam, lalu menuntun sang Mama kembali duduk. "Kak Ziza sama Fawwaz dimana, Ma?"
Aziza adalah kakak perempuan Azzam, dan Fawwaz adalah anak Ziza, yang berarti adalah keponakan Azzam.
Sebelum berangkat ke Kanada, Azzam memang meminta sang kakak untuk tinggal di rumah supaya menemani Mamanya sekaligus mengurus pabrik keluarga. Karena Papa Azzam sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Keluarga Azzam memiliki sebuah pabrik walaupun tidak besar, dan saat ini di urus oleh Aziza beserta suami.
"Kakakmu sedang makan malam bersama," jawab sang Mama.
Azzam menggenggam tangan Mamanya sebelum mengutarakan niatnya. "Ma, Azzam ingin melamar seorang gadis. Gadis yang Azzam kenal sewaktu di Kanada, dan sekarang kami sudah sama-sama pulang ke Indonesia, dan Azzam ingin menikahinya."
Mata Haniyah sang Mama melebar seketika. "Kamu baru pulang, langsung mau melamar seorang gadis?"
"Supaya kami menjadi pasangan yang halal," jawab Azzam.
Haniyah pun tersenyum. "Baiklah kalau niat kamu memang niat yang baik, Mama setuju saja yang penting dia gadis baik-baik, dan anak Mama bahagia,"
"Tentu dia gadis yang baik, Ma. Azzam sudah mengenalnya beritahu-tahun."
"Secepatnya kita akan kesana, Mama akan pinangkan dia untuk anak bujang Mama yang gagah ini," ucap Haniyah seraya menepuk bahu Azzam dengan rasa bangga.
Azzam kembali memeluk Mamanya. "Makasih banyak, Ma."
"Seneng banget kamu, udah nggak sabar pengen cepet-cepet nikah ya," goda Haniyah.
"Kan Azzam udah bilang tadi, supaya hubungan kami menjadi hubungan yang halal, Mama nggak mau kan kalau Azzam kelamaan pacaran?"
"Mama setuju kalau kamu nikah, supaya ada yang ngurusin kamu, dan Mama bisa nambah cucu lagi."
"Assalamualaikum.."
Haniyah dan Azzam sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Ziza dan sang suami baru saja masuk ke dalam rumah.
"O Om ganteng!" seru Fawwaz saat melihat Azzam. Ia segera berlari ke arah Azzam.
Azzam merentangkan kedua tangannya untuk menangkap bocah berusia lima tahun itu, dan memeluknya serta di ciuminya.
Walaupun saat Azzam pergi Fawwaz masih berusia 2 tahun, tapi selama ini mereka sering ngobrol lewat video call, jadi Fawwaz tetap dekat dengan Om nya walaupun selama ini berada di tempat yang jauh.
"Dasar adik nakal. Pulang nggak bilang-bilang dulu," protes Aziza.
"Biar jadi kejutan katanya," sahut Haniyah.
Azzam melepas pelukannya pada Fawwaz, lalu beralih memeluk sang kakak sesaat dan bersalaman dengan Abiyan sang kakak ipar.
"Abiyan," panggil Haniyah pada anak mantunya.
"Iya, Ma." jawab Abiyan.
"Sebentar lagi temani adikmu melamar seorang gadis," ucap Haniyah.
"Wah. Kamu mau melamar seorang gadis, Zam?" seru Abiyan.
"Iya, Bang." jawab Azzam.
"Emang ada cewek yang mau sama kamu?" ledek Aziza.
"Adek kakak ini ganteng, banyak cewek yang ngantri," balas Azzam.
"Narsis!" cibir Ziza.
Malam ini menjadi malam yang penuh kehangatan bagi keluarga Azzam. Mereka bercengkerama, mendengarkan cerita Azzam selama di Kanada, sambil sesekali tertawa. Kehangatan keluarga yang telah lama dinanti, kini kembali menyelimuti rumah itu.
To be continued.
Happy reading..
Hari ini Azzam sudah mulai melakukan aktivitas seperti biasanya, ia memasuki pabrik garment milik keluarganya dengan semangat yang membara. Langkahnya yang tegas menelusuri lorong pabrik yang sudah ramai dengan pekerja yang sibuk dengan mesin jahit dan kain-kain yang berserakan.
Di sudut pabrik, Abiyan, kakak iparnya, sedang memeriksa beberapa laporan keuangan. Abiyan, yang lebih tua dan berpengalaman, mengelola pabrik dengan ketat dan cermat. Ketika Azzam mendekat, Abiyan mengangkat kepalanya dan memberikan anggukan kecil.
"Bagaimana keadaan mesin baru di lantai dua?" tanya Azzam, menggulirkan matanya ke arah lantai atas.
"Semuanya berjalan lancar, tidak ada masalah yang serius. Hanya perlu sedikit kalibrasi di mesin jahit nomor lima," jawab Abiyan, matanya kembali tertuju pada laporan di hadapannya.
Azzam mengangguk paham, kemudian bergerak menuju lantai dua untuk memeriksa kondisi mesin tersebut. Ia berinteraksi dengan pekerja, mendengarkan keluhan dan saran mereka dengan penuh perhatian. Setiap instruksi yang diberikan Azzam selalu jelas dan mudah dimengerti, membuat para pekerja merasa dihargai dan dipercaya.
Kesibukan di pabrik terus berlanjut, dengan Azzam dan Abiyan bekerja bersama memastikan bahwa semua operasi berjalan dengan lancar. Meskipun mereka memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, keduanya melengkapi satu sama lain dengan baik, menjaga agar roda pabrik terus berputar dengan efisien.
Matahari mulai condong ke barat ketika Azzam meninggalkan pabrik garment milik keluarganya. Ia tergesa-gesa, tak ingin terlambat untuk acara penting malam ini.
Baju batik yang ia kenakan terlihat rapi dan wangi, tanda ia sudah siap untuk bertemu dengan keluarga Zahwa, kekasih hatinya.
Di rumah, suasana sudah sibuk dengan persiapan. Mamanya menata trayek kue dan camilan, sementara Aziza sang kakak memeriksa ulang cincin yang akan diserahkan sebagai tanda lamaran.
"Sudah siap?" tanya Haniyah pada Azzam yang terlihat gugup.
Azzam duduk sebentar, mengambil nafas dalam-dalam. Hatinya berdebar, campuran antara gugup dan bahagia. Malam ini adalah malam yang akan menentukan masa depannya bersama Zahwa. Ia memandang cincin di tangan kakaknya, berkilauan, simbol janji yang akan ia ucapkan nanti.
"Sudah, Ma." jawab Azzam.
"Kalau semua sudah siap, ayo kita berangkat sekarang." ajak Abiyan.
Mereka berlima masuk ke dalam satu mobil, dan Abiyan yang menyetir mobilnya.
Azzam benar-benar menepati kata-katanya beberapa hari yang lalu, malam ini ia datang ke rumah Zahwa sang kekasih untuk melamarnya. Dengan di temani anggota keluarganya, ada Mamanya, Ziza kakak perempuannya, Abiyan kakak iparnya dan Fawwaz keponakannya juga ikut
Malam ini, rumah Zahwa terlihat lebih cerah dari biasanya. Lampu-lampu dihias dengan rangkaian bunga yang memancarkan keharuman yang menenangkan. Keluarga Zahwa juga telah menanti kedatangan keluarga Azzam.
Setelah melewati beberapa pertimbangan, akhirnya Zura menyetujui pinangan Azzam, ia sudah bertekad akan membuat bahagia Azzam supaya saudara kembarnya juga bahagia.
Azzam dan keluarganya tiba tepat waktu, penuh dengan harapan dan senyum yang mengembang. Mamanya mengenakan kebaya elegan, sementara Ziza, kakak perempuannya, tampak anggun dalam gaun malam yang menawan. Abiyan, kakak iparnya, tampak gagah dengan kemeja batik, dan Fawwaz, keponakannya, berlari kecil kesana kemari dengan setelan yang lucu.
Saat mereka memasuki ruangan, Zura menyambut mereka dengan hangat. Gadis itu terlihat mempesona dalam balutan kebaya modern yang menonjolkan keanggunannya. Azzam, yang tampak tampan dengan batik pilihan, tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Matanya berkali-kali bertemu dengan mata Zura.
"Cantik sekali calon menantu, Mama." ucap Haniyah pada Zura seraya mengusap lengan Zura.
Zura hanya tersenyum untuk membalas ucapan calon ibu mertuanya ini.
Zura mempersilakan mereka duduk di ruang tamu yang sudah diatur sedemikian rupa. Azzam duduk di samping Mamanya, sementara yang lain menempati tempat yang telah ditentukan. Suasana penuh dengan keceriaan namun juga dihiasi dengan rasa haru. Azzam mengambil nafas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan.
"Dengan segala hormat, kami datang ke sini malam ini untuk melamar Zahwa," ucap Azzam dengan suara yang bergetar sedikit. Haniyah yang berada di samping Azzam, ia mengusap lembut punggung Azzam untuk memberikan dukungan.
Ayah Zahwa, yang duduk di seberang mereka, tersenyum bijaksana. "Kami sangat terhormat, dan tentu saja kami dengan senang hati menerima pinangan nak Azzam. Mereka sudah sama-sama dewasa, sudah semestinya mereka segera menikah untuk mengindari dosa,"
Azzam menatap penuh arti pada Zura. Zura hanya menunduk, dalam hati sebenarnya ia merasa kalut, karena yang ada di posisinya saat ini seharusnya Zahwa, bukan dirinya. Meskipun atas permintaan Zahwa sendiri.
"Sayang, buka kotak cincinnya." ucap Abiyan pada sang istri.
Aziza segera membuka kotak cincin lalu menyerahkannya pada Azzam. Azzam mengambil satu cincin yang berukuran lebih kecil, ia tersenyum simpul lalu mengambil tangan Zura kemudian di pasangkan cincin di jari manis Zura, dan di akhiri dengan kecupan di tangan Zura.
Aziza beralih menyerahkan kotak cincin pada Zura. Dengan gerakan tangan yang ragu, Zura mengambil cincin kemudian memasangkannya di jari manis Azzam.
Tepuk tangan riuh dari semua yang hadir malam ini.
"Jadi kita tinggal mencari hari yang pas untuk melangsungkan akad?" tanya Mama Azzam.
"Iya, Bu." jawab Ibu Zura.
Percakapan berlangsung dengan lancar, penuh dengan tawa dan cerita dari kedua belah pihak. Fawwaz sesekali menyela dengan candaan kecil yang membuat ruangan semakin riuh. Mamanya Azzam dan ibu Zahwa berbagi cerita tentang masa kecil Azzam dan Zahwa, sementara Ziza dan Abiyan sesekali memberikan komentar mereka.
"Sayang. Kamu tidak terlihat bahagia malam ini," ucap Azzam pada Zura dengan suara pelan.
Zura pun memaksakan senyumnya. "Bukan tidak bahagia, Mas. Tapi aku nervous." jawab Zura beralasan.
"Iya, kamu terlihat tegang. Senyum dong, hari ini adalah hari bahagia kita, dimana malam ini kita mulai menyatukan cinta dan keluarga kita."
Zura kembali memaksakan senyumnya, dan kali ini lebih lebar. "Aku bahagia, Mas."
Azzam menggenggam tangan Zura. "Nah gitu dong, senyum. Kan makin cantik kalau senyum gitu."
"Azzam." panggil Haniyah.
"Iya, Ma." jawab Azzam.
"Kita pulang sekarang? Acara sudah selesai,"
"Iya, Ma. Kita pulang sekarang, kasihan Fawwaz kalau kita pulangnya kemalaman," jawab Azzam.
Setelah momen manis acara lamaran yang penuh dengan tawa dan harapan, suasana menjadi lebih hangat saat Azzam bersama keluarganya mulai berpamitan untuk pulang. Zura, dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya, mengantarkan mereka sampai ke depan pintu.
Di antara ucapan terima kasih dan salam perpisahan, Azzam menatap Zura dengan pandangan yang penuh arti, memegang tangannya sebentar sebagai tanda tidak ingin berpisah. "Semoga waktu cepat berlalu sehingga kita tidak perlu berpisah lagi," ucap Azzam yang terlihat tidak sabar ingin segera serumah dengan Zura.
Zura mengangguk seraya tersenyum tipis.
Azzam melepaskan genggaman tangan Zura dan mengikuti keluarganya menuju mobil yang telah menunggu.
Zura melambaikan tangan, matanya tidak lepas dari sosok Azzam sampai ia benar-benar tak terlihat lagi. Di balik senyum yang tersungging, hati Zura terasa berat. Kebahagiaan yang sebenarnya bukan miliknya, namun milik kembarannya.
To be continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!