Aku berjalan menuju kelas yang sangat membosankan bagiku. Tak ada hal lain yang paling membosankan
daripada harus duduk di bangku paling depan, kemudian mendengarkan dosen berbicara pelajaran yang sama sekali tidak kumengerti.
Terpaksa saja aku melakukan ini demi hak pribadi yang aku miliki saat ini. Mobil, uang, dan segala yang aku
punya saat ini, adalah milik ibu dan ayahku, yang sudah lama meninggalkanku. Semua harta peninggalan dari mereka, kini dikelola oleh kakakku.
Yah... nasib anak bungsu memang selalu seperti ini.
Tragis.
Untuk mendapatkan itu semua, mau tidak mau aku harus menuruti perkataan kakak dan tidak boleh sedikit
pun bertentangan dengannya.
“Huft....”
Percayalah, itu sangat menyiksa batinku.
Kakak memaksaku untuk melanjutkan pendidikanku di Luar Negeri. Namun, Aku berhasil bernegosiasi dengannya. Dengan perjalanan bantah-membantah, serta diskusi panas yang panjang, Alhasil, aku tidak jadi dikirim ke Luar Negeri.
Ah.
Yang ada di pikiranku saat itu adalah kebebasan.
Tapi, tak kusangka, sebagai gantinya aku masih harus tetap melanjutkan pendidikanku di salah satu Universitas
Swasta di Ibu kota, lalu setelah aku lulus, aku diminta kakak untuk membantu mengembangkan perusahaan keluargaku yang hampir jatuh saat ini.
Apa hubungannya denganku?
Aku masih terlalu belia untuk mengemban tugas itu. Bahkan, aku masih belum mengerti, apa yang harusnya
dilakukan untuk menangani beberapa masalah, ketika ada sesuatu yang urgent.
Baiklah. Lewati saja.
Aku berjalan menuju kelasku, yang masih belum aku ketahui itu. Hari pertama saja, sudah bikin kepalaku sakit, karena harus mencari kelas yang tidak kuketahui keberadaannya.
“Ah... nyusahin banget, sih!” Bentakku, sembari tetap mencari ruangan yang sesuai dengan kertas yang
kupegang.
“03... 02....”
Aku menghitung satu per satu dari ujung, hingga akhirnya aku menemukan ruangan yang aku cari.
“01.”
Sesampainya di kelas, Aku duduk di kursi khusus yang sudah direncanakan kakakku dan juga pihak yayasan.
Ia sudah menitipkanku kepada yayasan. Jadi, aku tidak bisa berkutik apapun selama kurang lebih 4 tahun ke depan.
“Penderitaan, baru saja dimulai.” Lirihku, sembari meletakkan tasku, di atas meja.
“Selesai 4 tahun, istirahat napas dulu.” Aku kembali bergumam.
Ya! Paling tidak, aku harus menyelesaikan S-2 untuk bisa membantu kakak dalam menyanggah perusahaan yang hampir collaps itu. Dengan kata lain, butuh lebih dari 4 tahun untuk bisa mendapatkan gelar S-2.
Suasana kelas saat ini mulai ramai. Satu per satu mahasiswa sudah berdatangan, membuat kacau ruangan
ini. Banyak dari mereka yang masih ngobrol, bercanda, saling tukar nomor, ada yang melempar kertas ke sana ke mari.
Ya maklum saja, kami baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Masa di mana kami menghadapi puber, masa
paling indah untuk mengenang cinta pertama. Beruntung kami sudah melewati 7 hari orientasi kampus ini.
Aku hanya duduk sambil mencorat-coret buku catatanku. Tak ada yang bisa kulakukan selain itu. Karena, tidak ada siapa pun yang mau berteman denganku. Aku sengaja memasang tampang jutek kepada mereka, agar aku terhindar dari status sosial yang dapat merugikanku kelak.
“Pesawatnya meluncur!” Teriak seseorang sembari melempar pesawat kertas, yang sepertinya adalah hasil
kreasinya sendiri.
“Pluk....” Pesawat kertas itu mengenai mata seseorang, yang berada di sebelahku.
“Aahh....” Jeritnya sembari memegangi matanya yang terkena ujung pesawat kertas tersebut, membuat banyak
orang berusaha untuk mendekatinya.
“Fla, loe gak papa?” tanya mereka.
Mereka amat simpatik dengan gadis yang disebut bernama Fla.
Tunggu, siapa itu Fla?
Ah.
Tidak penting juga bagiku.
“Haha kena ya? Sorry deh, gue gak sengaja sih.” Ucap laki - laki itu dengan nada yang sedikit menyeleneh.
Banyak orang yang tak terima dengan sikap dan perlakuannya.
“Wey lu gak harusnya begitu bro!” Lantang orang yang membela Fla tadi.
“Loe mau apa?” Nyelenehnya kembali.
“Apa loe? loe pikir, gue takut sama loe?” tantangnya balik pada orang aneh itu.
“Siapa takut!”
Terjadi adu mulut antara dua laki - laki tersebut. Seseorang diketahui bernama Ray dan satunya lagi, bernama Rafael.
Sempat ada baku hantam antara keduanya. Namun, aku sama sekali tidak memperdulikan mereka semua. Aku
hanya asyik dengan buku catatanku saja. Karena gadget-ku harus diserahkan kepada yayasan pada saat jam pembelajaran dimulai.
Mereka baku hantam di depan teman-teman sekelas yang lainnya. Saat salah satunya hendak menonjok satu
lainnya, seseorang datang dan menghadangan tinjuan mautnya itu.
Apaan, sih?
Seperti di film-film aja!
“Wah... siapa tuh?”
“Iya, gila keren banget.”
“Ganteng lagi.”
“Udah punya cewek belom, ya?”
“Ah, jadi melted gue!”
Sorak banyak wanita yang meleleh, karena aksi heroiknya yang agak telat, alias pahlawan kesiangan gitu deh.
‘Itu tuh geli banget, sumpah!’ batinku yang agak kesal melihat reaksi dari mereka yang terlalu berlebihan.
“Ada apa ini?” tanyanya dengan nada yang dingin.
Spontan para gadis di kelas ini, kecuali aku, meleleh seketika. Mereka pun menyudahi pertengkaran tadi dan
segera merapikan kemeja mereka yang berantakan, akibat ulahnya sendiri.
“Tanya aja sama orang gak tau diri itu!” jawab Ray sembari menunjuk ke arah Rafa.
Rafa yang terlihat tak senang dengan sikapnya Ray, kemudian menarik kerah kemeja Ray, namun dihalangi
oleh teman-teman yang lain.
“Eh, woy santai!”
“Iya bro santai!”
“Jangan asal baku hantam aja!”
“Pake aba-aba, bro!”
“Cukup!” Pekik orang misterius tersebut.
Mereka semua sontak memandang wajah orang itu dengan penuh keheranan.
“Kalian berdua, ikut saya ke kantor Kaprodi.” Tegasnya.
Kemudian segera keluar diikuti dengan Ray dan Rafa.
‘Sebenernya ini kampus apa SMA sih? Banyak bocah di sini,’ batinku mulai merasa risih dengan apa yang terjadi.
Mengapa mereka terlibat dalam masalah besar karena hal sepele seperti itu?
‘Gue sih gak mau! Buang-buang waktu gue aja!’
Ya! Sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya dalam hidup. Tidak bisa menghasilkan uang sedikit pun, malah mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan, misalnya.
Dasar orang-orang idiot.
Aku melihatnya yang nampak seperti orang yang kesakitan. Lama-lama, aku jadi iba dengannya.
“Loe gak papa?” tanyaku kepadanya.
Aku hanya merasa kasihan dengan dia. Jadi, dengan refleks, ya kutanyakan saja keadaannya. Tapi, bukan
berarti aku perduli dengannya.
Tidak sama sekali.
“Gue gak papa ko.” Singkat, padat, jelas jawabannya.
Aku cuma membalasnya dengan anggukan kecil.
Ya, setidaknya tidak terjadi apapun sama dia. Itu sudah membuatku merasa lega.
Tak lama kemudian, orang misterius itu datang kembali ke dalam kelas. Semua orang melihatnya dengan tatapan takut.
Aku? Biasa saja sih.
Ia berdiri di hadapan kami semua, dengan lantang. Aku memandanginya dengan seksama.
‘Yaa paling engga mukanya boleh lah ya,’ batinku berkata demikian, karena aku sangat terusik dengan sikapnya.
Apalagi kalau kuingat kejadian tadi, membuat pandanganku menjadi pegal.
“Brrr....” Aku mendadak merinding.
Pandangannya melihat ke seluruh sudut ruangan ini. Satu persatu ia bergantian memandangi kawan sekelasku. Tak terkecuali aku. Saat pandangannya berhenti padaku, aku memandangnya kembali dengan pandangan yang
datar. Aku hampir tidak memperdulikan keberadaannya. Aku melipat kedua lenganku di hadapannya. Terlihat balasan yang tidak enak dipandang darinya. Aku lebih membuat diriku tidak enak dipandang dihadapannya.
“Ada masalah sama saya?” tanyanya dengan nada yang sangat dingin.
Sumpah, kali ini, aku beneran kepincut dengannya. Entah kenapa ada suara tak menentu di dalam hatiku. Entah apa itu yang jelas, aku sangat tidak menyukainya. Logika dan perasaanku diuji di sini. Perasaanku mengatakan “Anjay, keren sih!” tapi logikaku mengatakan “Apaan si?! BASI tau gak!”.
“Gak ada tuh.” Jawabku dengan nada serupa dengannya.
Jelas ada wajah tidak senang yang sedang ia lontarkan kepadaku. Aku tidak memperdulikannya dan malah
mengeluarkan MP-4 yang kumiliki.
Aku memakai headphone dan menyetel lagu dengan sound yang lumayan keras. Ia masih memelototiku dengan tatapan mematikan. Ia kemudian mengeluarkan handphone-nya dan mulai menelepon seseorang.
“Halo....”
“..........”
“Bisa ke ruang kelas 01TPLP001 sekarang pak?”
“.........................”
“Oke, maaf mengganggu.”
“...........................”
Aku tidak memperdulikannya sama sekali. Ia mendekat ke arah telingaku dan berdiri di sebelah kiriku.
“Kamu lolos kali ini.” Ucapnya tiba–tiba.
Aku merasa, ada yang aneh dari yang dia ucapkan tadi. Mengapa dia bersikap demikian? Padahal aku sama
sekali tidak mengenalnya.
Siapa dia? Anak baru disini? Atau kakak senior?
Ah... sudahlah.
Ia pun pergi dari mejaku dan menuju ke meja untuk dosen.
Semua mata terkejut, tak terkecuali aku.
Ia melipat kedua tangannya, sambil menekuk sebelah kakinya.
*‘Ya Tuhan!’*Batinku terkejut.
“Deg....”
Ternyata dia adalah dosen!
Baru mulai kuliah saja, sudah ada masalah semacam ini.
“Maaf teman-teman semua. Di awal pertemuan kita, semua jadi seperti ini akibat ulah kawan kalian. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.” Ucapnya.
Semua mata tertuju padanya. Mungkin mereka tidak menyangka, bahwa manusia aneh semuda itu adalah dosen di universitas ini.
“Perkenalkan, nama saya Morgan. Walaupun kalian hampir seumuran dengan saya, tapi tolong hargai saya disini.” Jelasnya.
Aku menyeleneh dengan omong kosongnya kali ini.
“Dasar gila hormat.” Cetusku lirih.
Ia menoleh ke arahku, yang masih dengan tatapan dingin.
“Emm kamu...” tunjuknya ke arahku.
Aku kaget bukan main. Apakah dia akan mempermalukanku di hadapan teman–teman?
“Tolong bantu saya membawa buku ke ruang dosen.” Pintanya.
Aku hanya diam tak memperdulikannya.
*‘Apa–apaan dia. Nyuruh gue begitu, emangnya dia gak punya tangan apa?’ *Batinku mulai bergejolak.
Dengan sangat terpaksa, aku maju ke depan dan membantunya membawa buku yang lumayan banyak dan tebal.
“Jam kali ini disudahi dulu. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Ucapnya.
Kemudian kami berdua keluar meninggalkan kelas. Sepanjang jalan menuju ruang dosen, aku terus menerus
dibuat kesal olehnya.
“Loe itu ya! Gak bisa, apa kelewat pinter sih?” sinisku.
Ia melirik ke arahku. Gayanya memang di-setting untuk kaku seperti itu mungkin ya?
Hmpphh!
Kesal sekali aku dibuatnya.
“Sudah. Kamu tinggal ikutin kemauan saya saja.” Tukasnya.
“Tapi loe bisa liat gak sih? Gua itu cewek, masa disuruh ngangkat beginian! Harusnya loe itu nyuruh yang lain!”
Bentakku, “lagian... loe ngapain sih bawa gue ke sini? Ini kan bukan ruang dosen.” Sambungku, yang masih bingung dengan keadaan sekitar.
“Tset....”
Ucapanku terpotong, karena ia tiba-tiba saja menarik pinggulku ke ruangan yang ada di pojok kampus.
Tubuhku dipojokkan olehnya. Tidak ada cukup ruang yang bisa membuatku bergerak. Aku seakan terkunci dengannya.
“Apaan, nih?” tanyaku sinis.
Aku berpikir, bagaimana caranya agar aku bisa lepas dari tubuhnya?
“Ah.”
“Bruk....”
Aku sengaja menjatuhkan seluruh buku yang kubawa, dengan harapan, bisa keluar darinya yang mengunci
tubuhku ini. Namun ternyata, itu hanya usaha yang sia–sia. Ia semakin merapatkan luang yang ada.
“Hah?” lirihku, yang merasa sangat takut.
Aku terkejut dan takut, saat ia mulai menatapku dengan tatapan dingin.
“Apa sih yang loe mau?” tanyaku dengan sedikit mengumpulkan keberanianku.
Ia terlihat tidak memperdulikan ucapanku.
Aku takut sekali, kalau saja dia menyakitiku karena sikapku yang tidak baik sebelumnya.
Aku menelan salivaku sendiri. Lama-kelamaan, sedikit demi sedikit, ia mendekatkan wajahnya ke arahku
dan berhenti tepat 5 cm di hadapanku.
“Kamu gak bisa lolos lagi sekarang.”
“Deg....”
Hatiku sangat tidak menentu kali ini.
Apa maksudnya dengan ucapannya yang baru saja ia katakan? Itu ada sangkut-pautnya dengan ucapannya
yang tadi di kelas.
“Apa maksudnya? Loe mau nyakitin gue, haa?” tanyaku sinis, “nih tampol aja gue!” Sambungku, menantangnya.
Ia mengambil jeda dengan tidak menjawab ucapanku. Tatapannya terlihat sangat marah. Mataku menangkap, ia yang melayangkan kepalan tangannya ke arahku. Spontan, aku langsung menutup mataku, karena khawatir dengan apa yang ia lakukan.
“Bruk....”
“Aws....” Rintihnya lirih.
Aku membuka mataku dan menoleh ke arahnya. Terlihat dirinya yang sedang memukul dinding yang ada di belakangku, membuatku sedikit khawatir dengan keadaan dirinya.
“Apa–apan sih loe? Kok nyakitin diri loe sendiri, sih?” Pekikku khawatir, kemudian melihat ke arah tangannya.
Kugenggam tangan kanannya yang luka, akibat sikapnya yang aneh itu, yang mulai mengeluarkan cairan kental.
Aku agak khawatir dengannya.
*‘Halus.’ *Batinku sembari merasakan tangannya, yang begitu halus seperti tanganwanita.
Aku tersadar dari lamunan, dan segera mengeluarkan plester dari dalam sakuku, kemudian memakaikannya pada lukanya.
“Untung gue masih ada sisa satu di kantong.” Ucapku masih dalam keadaan memasangkannya.
Aku terkejut!
Ia mendadak merapikan rambutku yang saat ini menutupi pandanganku. Mendadak, pandangan kita pun
bertemu. Terjadi kesunyian di sini. Aku tak sengaja menatapnya, yang ternyata juga sedang menatap ke arahku.
Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Tiba-tiba saja, aku sangat memperdulikannya.
“Kamu....” Ucapnya menggantung, yang membuatku penasaran.
Kenapa ia selalu mengucapkan kata yang berulang-ulang, dengan nada yang berulang-ulang pula?
Ah.
Aku benci dengan rasa penasaranku ini.
“Kamu...”
“Kamu...”
Aku yang kesal, hanya bisa memandanginya dengan tatapan datar.
“Kamu, kamu! Loe gagap, apa gak bisa ngomong?” pekikku sinis, karena melihat respon yang tidak enak
dipandang darinya.
“Sebenernya mau loe apa sih? Sumpah gue gak ngerti ya mau loe--”
“Cupppss.”
Ucapanku terpotong karena ia yang tiba-tiba saja mengecup keningku.
Aku membelalak ke arahnya, entah apa yang dia pikirkan. Kenapa tiba-tiba ia mengecup keningku?
Gawat! Apakah wajahku saat ini, berubah menjadi merah?
Aku malu sekali, kalau sampai benar wajahku berubah menjadi merah tomat.
Kepalaku mulai berat, dan tubuhku mendadak merinding, menjadi dingin.
“Saya gak pernah mau benci kamu.” Ucapnya dengan aneh.
Lagi-lagi aku membelalak.
Apa maksudnya semua itu?
Perkataannya, tingkahnya, apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Aku sama sekali tidak mengerti keadaan.
“Apa si mau loe?” geramku.
Ia tersenyum padaku. Aku tahu, itu adalah senyum palsu.
“Nanti juga kamu tahu.” Gumamnya sembari tersenyum.
Ia langsung meninggalkanku di sana, tanpa mengucap sepatah kata pun.
Sungguh aneh!
“Kenapa sih? Apa yang salah dari gue?? Apa yang dia pengen dari gue sih? Kenal aja engga, malah begitu!” Kesalku.
Aku melihat semua buku yang berhamburan di lantai. Aku kemudian merapikannya, dan bergegas menuju ruang
dosen untuk meletakkannya di sana.
Sesampainya di sana, aku segera mencari ruang dosen idiot itu. Di sana, terlihat seseorang yang sedang sibuk
memainkan laptopnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mendekatinya.
“Permisi, Pak.” Sapaku dengan ramah.
Ia tersadar dan menoleh ke arahku. Ia kemudian tersenyum, membalas senyumanku.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sangat ramah.
'Gila, manis banget senyumannya' Batinku dibuat melting olehnya, ‘apa semua dosen di sini, ganteng dan muda? Morgan ganteng, bapak ini juga ganteng.’ Sambungku, masih memikirkan hal yang tidak-tidak.
Aku tersadar dari pikiranku yang agak aneh tentang Morgan. Kenapa aku memikirkan ketampanannya, sih?
'Eh tapi dia gila hormat juga gak, kayak si idiot itu?' batinku yang masih keheranan.
Ia terlihat menatap wajahku dengan penuh rasa heran.
“Emm.,. hey?” Pekiknya.
Aku tersadar dari lamunanku. Aku merasa malu dengannya.
Aku merapikan rambutku dengan tergesa-gesa. Ia terlihat hanya tertawa kecil.
“Menurut ilmu psikologi, orang yang merapikan rambut di depan orang lain secara terang-terangan, itu tandanya dia suka kepada orang tersebut.” Gumamnya menjelaskan, seperti sedang mengajakku bercanda.
Jantungku terpacu, karena mendengar pernyataan aneh darinya.
“Apa sih? Aku biasa aja tuh.” Jawabku dengan nada yang salah tingkah.
Ia mentertawakanku dengan renyah.
“Gak, bercanda kok...” lirihnya, aku hanya terdiam, “eh tapi serius, lho.” lanjutnya, membuatku merasa
keheranan.
“Kok bapak bisa tau?” tanyaku.
Lagi - lagi ia tertawa kecil.
“Saya kan... dosen psikolog.” Jawabnya angkuh, membuatku menyipitkan mata ke arahnya.
Aku sangat tidak suka dengan nada bicaranya itu. Aku menyeringainya dan melontarkan tawa paksa.
“Ada apa ini?” tanya seseorang dengan tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah sumber suara.
'Yah dia lagi.' batinku merasa kesal.
Ia langsung mendekati kami.
“Emm maaf Pak Morgan, saya cuma lagi bercanda sama salah satu mahasiswi baru di sini.” Jawabnya.
Terlihat tatapan yang tidaksenang dari seorang Morgan. Dosen itu terlihat sedang memperhatikan Morgan.
“Mmm... sepertinya, Pak Morgan ini tidak senang ya dengan hal ini? Saya mohon maaf apabila menyinggung
dan lancang.” Ucapnya.
Morgan terlihat tak menghiraukan itu. Ia langsung menoleh ke arahku. Tetap pada sikapnya yang dingin.
“Meja saya tuh di sana.” Tegas Morgan sembari menunjuk ruangannya.
Aku mengerenyitkan dahiku.
“Ya mana gue--” Aku menghentikan ucapanku.
Aku melihat ke arah dosen itu, kemudian melihat ke arah Morgan kembali.
“Ya mana saya tahu kalau ruangan Pak Morgan di sana? Saya murid baru di sini.” Tegasku balik.
Morgan mendecap, sembari menggelengkan kecil kepalanya.
“Nih bukunya!” Ucapku kesal.
Aku memberikan semua buku yang kubawa kepada Morgan.
“Lain kali, jangan suruh saya untuk ngangkat buku lagi ya pak.” Ucapku kepada Morgan.
Kemudian dengan segera, aku meninggalkan mereka dan segera menuju ke ruang kelasku.
Aku berjalan menyusuri koridor, dengan perasaanku yang kesal.
“Apa-apaan dia? Bisa-bisanya dia nyium gue, trus bersikap seolah-olah kalau dia tuh pacar gue, yang kalau gue bercanda sama orang lain, trus dia marah? Gue ini jomblo, dan gue free! Gue gak suka dikekang kayak gitu!” Aku sangat kesal dan geram dengan kelakuannya yang menjijikan itu.
“AWASS BOLA!!” Teriak seseorang dengan sangat keras.
'Ah, bola?' batinku yang lambat dalam berpikir.
Tanpa berpikir panjang, aku menunduk dan melindungi kepalaku dengan kedua tanganku.
“Bruk....”
Terdengar suara benda jatuh yang menabrak sesuatu. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Hey....” Pekik seseorang.
Ia merangkul tubuhku yang lemas karena kehilangan tenaga.
Apa-apaan ini? Seperti ini saja, aku tidak dapat merasakan tubuhku lagi. Apa aku benar-benar jantungan?
“Gak apa-apa, udah gak ada kok yang bisa nyakitin loe.” Gumamnya, membuatku agak sedikit tenang.
Aku pun bangkit, dan melepaskan tanganku dari wajahku.
“Yang tadi i-itu apa?” Aku bertanya, masih dengan nada yang gugup.
Aku sangat kaget dengan hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba. Ia terlihat melontarkan senyum ke arahku.
“Udah gak ada lagi yang bisa nyakitin loe kok. Itu tadi bola basket, hampir kena kepala loe.” Jelasnya, aku hanya mengangguk kecil.
“Makasih.”
“Iya sama-sama.” jawabnya.
Aku melihat pundakku yang masih ia pegangi. Ia tersadar dan melepaskan rangkulannya. Aku mendadak menjadi
salah tingkah.
Untuk ke tiga kalinya, aku melihat ada pangeran di universitas ini. Entah mengapa keberuntungan berpihak padaku hari ini. Walaupun, seimbang dengan kesialan yang kualami.
Suasana menjadi sangat canggung di sini.
“Oh sorry, gue gak sengaja.” Ucapnya yang berusaha mencairkan suasana.
Aku menyeringainya dan mengangguk kecil padanya.
“Okey. Gue pamit dulu ya.” Ucapku, yang sepertinya tak dihiraukan olehnya.
“Bisma.” Gumamnya, sambil menyodorkan tangan ke arahku.
Kulihat tangan kecilnya itu.
Lucu.
Seperti tangan wanita.
Aku menjabat tangannya.
“Tset....”
Seseorang mengambil tangannya dengan cepat.
“Morgan.” Ucapnya berkata demikian.
Aku sangat kesal. Kenapa dia selalu muncul di saat yang tidak tepat?
Aku sedang beruntung bertemu dengan beberapa pria tampan pada hari ini. Tapi kenapa selalu ada dia?
Apa dia membuntutiku?
Aku sama sekali tidak mengerti.
“Loe lagi aja.” Gumamku dengan nada malas.
Morgan melepaskan tangannya itu.
“Makasih ya, sudah nolongin PACAR saya.” Tukas Morgan, dengan menekankan kata PACAR.
Bisma terkekeh renyah dengan ucapannya itu.
“Hah? Pacar?” Kagetku.
Morgan tersenyum manis kepadaku, tentunya hanya di depan Bisma.
Aku terus-menerus mendumel di belakang Morgan. Kenapa dia menyebut aku sebagai pacarnya?
Hey!
Kita berdua baru saja bertemu, tidak lebih dari 3 jam yang lalu.
Apa secepat itu?
Aku belum tahu dia itu siapa, dan dia dengan entengnya berbicara kalau aku adalah pacarnya?
“Huft....”
Sudahlah.
“Oh, dia itu pacar loe yaa? Okey deh.” Ucap Bisma dengan singkat, kemudian, Bisma melangkah maju bersampingan dengan Morgan, dan berhenti tepat di sebelah Morgan.
“Jaga baik-baik cewek loe....” Lirihnya, sembari tersenyum licik.
Morgan masih dengan sikapnya yang dingin dan datar, tidak menunjukan ekspresi apapun.
Sebenarnya dia itu manusia atau robot, sih? Tak ada sedikit pun ekspresi di wajahnya.
Hanya datar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!