NovelToon NovelToon

DENTUMAN JARUM JAM | JAKE ENHYPEN

.・゜-: :-PROLOGUE-: :-゜・.

Di saat sebuah kejadian buruk menimpa, semua orang pasti akan merasakan sebuah kesedihan yang mendalam. Entah itu dari kejadian sisi tentang percintaan, atau kehancuran sebuah keluarga. Itu akan sangat menyedihkan jika saja terjadi, tidak ada yang mau hal itu terjadi. Sampai di satu ketika pria itu tidak bisa melakukan apa pun, apa yang sudah ia usahakan kenyataannya tidak membuahkan hasil apa pun.

"Ak-aku bisa jelasin yang-" Tangannya yang mencoba menggenggam tangan sang kekasih. Namun, saat itu di tepis dengan pelan seolah menolak. Gadis itu menangis karena kesalahan yang ia lakukan sendiri.

"Jangan sentuh gw..."

"Sayang, aku bisa jelasin... Ini gak seperti yang kamu lihat-"

"Lalu? Sekarang apa? Gw gak buta sampek gw gak bisa lihat apa yang ada di depan mata, Clara. Udah berapa lama lo sama dia?"

"Enggak gitu, Kita-"

"JAWAB CLARA!" Suaranya meninggi di saat kesabarannya sudah habis, ia memang tidak pernah sampai seperti ini. Tapi ia rasa semua ini terlalu mengecewakan dirinya sendiri.

Gadis itu menangis, mendapati pria yang selalu bersikap lembut dan memanjakannya membentak. Itu membuatnya sakit hati, tapi apa yang ia dapat seperti hasil apa yang ia lakukan selama ini. Arkan melakukan semuanya, dia mau memulai hubungan berawal tanpa perasaan menjadi sebuah perasaan yang tumbuh secara perlahan, ia mau menerima kekurangan Clara tanpa syarat apa pun, dan ia bahkan menjauhi perempuan yang akan mendekatinya. Secara ia menjaga hati seorang perempuan, tapi kenyataannya lain. Apa yang sudah ia lakukan seperti sebuah bencana untuk dirinya sendiri.

Arkan tertawa dengan apa yang ia alami sekarang, ia tidak menyangka jika semua ini akan menimpa hidupnya. Seperti percuma saja ia lakukan. Arkan mencoba bersabar, ia menatap serius gadis di depannya yang justru menangis, entah apa yang dia tangisi sekarang ini. Tetapi, ia ingin menyudahi semua ini sendiri.

"Ayo kita putus."

Clara mendongak, sebagaimana ekspresinya menunjukkan sebuah keterkejutan yang sangat jelas terlihat. Ia seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Arkan bahkan enggan menatap dirinya saat ini, kenapa seolah di sini Clara yang sakit? Padahal di sini yang paling di kecewakan Arkan, bukan Clara.

"Putus?"

"Iya, putus. Bukannya ini yang lo mau? Anggep aja ini hadiah setelah apa yang lo lakuin, gw gak menerima penolakan apa pun. Itu keputusan lo, itu urusan lo. Tapi gw, udah gak ada minat lanjutin hubungan toxic ini,"

"Tapi aku-"

"Terserah... " Arkan berjalan meninggalkan Clara sendirian di sana, menangisi apa yang sudah ia lakukan sendiri. Sampai tepatnya seseorang datang dan memeluknya di saat seperti ini.

Clara di peluk oleh pria lain, dan itu di ketahui oleh Arkan yang kenyataannya belum pergi terlalu jauh. Keputusannya berhenti di sana kenyataannya semakin menyakiti hatinya sendiri, ia hanya diam di sana memandangi sesuatu yang seharusnya tidak ia pandang. Dan, ketika ia akan berniat pergi sejauh mungkin.

Ia melihat seseorang di depannya, gadis itu. Dia menatap ke arah Arkan dengan tatapan yang berbeda, mungkin karena tidak sengaja mereka berdua bertemu di sana dan Arkan mengabaikan gadis itu di sana. Layla, melihat semuanya.

Ketahuilah gadis pendiam tidak semestinya tidak tahu semuanya, ia akan cepat merasakan lawannya tanpa harus bicara apa pun. Layla membalikan badannya melihat punggung Arkan yang semakin menjauh dari sana, merasakan kekecewaan itu sekaligus prihatin. Layla juga saksi, di mana ia melihat kekasih Arkan, atau mantan? Berpelukan dengan pria lain di saat hubungan itu masih di ujung tanduk.

...◇◇◇...

"Tumben berangkat agak awal, kenapa?"

"Enggak apa, pengen aja sih mbak. Ada kerjaan apa lagi nih?"

Devi, dia adalah senior Layla yang sudah bekerja lebih dari 1 tahun atau mungkin akan menginjak 2 tahun nantinya. Layla tidak terlalu bisa memahami sesuatu dengan cepat, tapi ia bisa melakukan sebuah pekerjaan dengan tepat walaupun sedikit lambat. Tapi jangan terlalu meremehkan seseorang, terkadang bakatnya tidak ada di dalam pekerjaan yang ia lakukan tapi ada kelebihannya.

Di sebuah kantor, ia hanya bagian promosikan sebuah barang-barang untuk di jual kembali. Menentukan sebuah target dan harus menghitung hasil target dengan tepat, semua pekerjaan pasti ada sebuah resikonya. Layla sering membuat kesalahan, tidak setiap hari dan hanya sesekali karena kecerobohannya sendiri. Tapi untung saja cepat di selesaikan sebelum masalahnya semakin panjang.

"Ini, ada event yang harus di lakukan. Harus memanggil orang, tapi agak susah kayaknya dek, soalnya kadang ada yang mau ngelamar tapi pas kerja gak niat. Kan bikin rugi juga kan, gak sesuai target nanti kita,"

"Iya sih, tapi mau gimana? Nyari orang lain lagi? Tambah lama atuh mbak." Sama-sama harus berpikir jika sudah seperti ini. Layla membaca ulang banyaknya kertas-kertas di atas meja itu, hendak ia berdiri mengambil file yang kosong untuk menyimpan kertas-kertas tebal itu.

Pintu terbuka secara tiba-tiba memperlihatkan seseorang di depan sana yang membuat gadis itu terkejut, sempat keduanya saling menatap singkat. Tetapi, terlebih dahulu Layla membuang pandangannya ke arah lain dan segera menyelesaikan pekerjaannya yang harus selesai tepat waktu.

"Baru berangkat lo?" Rehan menepuk bahu temannya itu, dan segera mengarahkan temannya itu ke ruangan lain. Karena pekerjaannya mereka sudah berbeda di sana.

Arkan sempat menoleh ke arah Layla yang tengah sibuk mencari file di rak buku, tapi segera ia alihkan ke yang lain dan segera mengikuti langkah temannya yang pergi entah kemana. Layla tidak merasakan itu, tapi Devi bisa melihat pemandangan tersebut walaupun ia sedikit bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya.

Setelah acara pernikahan rekan mereka, Layla sedikit berubah. Kurung, dan sering melamun. Banyak yang mempertanyakan akan sikapnya itu, karena biasanya Layla sangat bersemangat ketika mengerjakan apa pun yang ia lakukan. Tapi, akhir-akhir ini ia seperti tidak ada semangat apa pun.

Sedangkan Layla sekarang, yang tengah mengendalikan perasaannya sendiri. Perasaan yang ia punya seperti menyakiti dirinya sendiri semakin parah, banyak luka yang belum sembuh dan perasaan yang ia simpan sekarang menambah luka baru. Gadis itu sempat terdiam di sana, mengabaikan apa yang sudah terjadi dan memilih fokus ke pekerjaannya saat ini.

Di sisi lain, Rehan dan Arkan yang tengah bekerja sama menyelesaikan masalah pekerjaan mereka yang mendadak kacau karena rekan mereka yang lain tidak teliti dalam mengerjakan pekerjaan itu. Mereka juga kategori karyawan baru karena mereka juga belum menginjak 2 tahun di sana.

"Kadang orang tua menyebalkan, iyakan?"

"Lo aja sih, gw biasa aja." Rehan membuang nafas panjang, ia rasa ia terlalu memendam kesalnya itu.

"Lo karena terbiasa ngadepinnya, lah gw? Anjir lah, kadang gw mau emosi tapi takut dosa,"

"Emosi aja, gitu doang susah."

Rehan hendak memukul Arkan saja rasanya, tapi tidak bisa karena tidak mau ia menambah masalah baru. Terkadang ia juga kesal dengan sikap Arkan yang terlalu bersikap acuh kepada semua orang, memang jika sudah dekat sifat asli Arkan akan jauh lebih terlihat, tapi Rehan seperti belum tahu semuanya karena Arkan terlalu pendiam.

Berbeda dengan rekannya yang lain, jarak usia 4 tahun membuatnya seperti yang paling tua di antara timnya. Dia juga yang paling cerewet menasehati karyawan yang lebih muda, sikap seperti itu wajar saja.

"Eh? Lo ngerasa gak sih?"

"Apa?" Walaupun tidak menoleh ke arah Rehan sama sekali, ia berusaha mendengar ucapan temannya itu. Tapi tidak memperhatikan objek yang tengah di perhatikan oleh Rehan di sana.

Rehan tengah melihat keluar ruangan mereka, di mana seseorang lewat di depan sana membawa banyak barang dengan raut wajahnya yang datar. Tidak seperti biasanya, Rehan hanya merasakan sebuah perbedaan saja di sana, entah itu benar atau tidak.

"Lo ngerasa gak? Kalau Layla agak beda hari ini? Dia salah makan di kondangannya mbak Vika apa gimana ya?"

Ketika di atas keyboard itu berhenti seketika, Arkan mendadak terdiam karena ucapan yang baru saja ia dengar dari Rehan. Sedangkan Rehan yang masih sibuk memandang ke arah yang sama, ia hanya melihat sebuah perbedaan saja di sana. Tatapan yang berbeda dan sikap yang jauh lebih acuh dari yang biasanya. Tentu saja itu akan terlihat aneh di seseorang yang biasanya sangat banyak tingkah di berbagai tempat.

Berbeda dengan Arkan yang tengah mengingat ulang, mengingat kejadian 2 hari yang lalu. Di mana ia melihat gadis itu menatapnya dengan tatapan yang sangat aneh, mungkin aneh untuk dirinya. Tapi ketika ia melihat tatapan itu, seperti ada sesuatu yang menusuk dadanya.

Bahkan ketika ia kembali mengingat kedua pupil mata yang biasanya membesar ketika mengarah kepadanya, tiba-tiba saja terlihat sendu di pandangannya. Bahkan raut wajah kecewa itu ada di sana. Arkan menggelengkan kepalanya sendiri, mencoba melupakan dan mengabaikan apa yang ada di dalam kepalanya. Dan sikapnya itu di lihat oleh Rehan juga.

"Lo kenapa?"

"Enggak, gw cuma lupa sama sesuatu aja. Lo kerjain yang lain aja, gw bisa urus sendiri." Rehan hanya merespon dengan anggukan saja dan pergi ke mejanya sendiri.

Dan Arkan, ia kembali terdiam dan memikirkan apa yang terjadi sebelumnya. Jujur saja, ia mempertanyakan tatapan yang tertuju kepadanya saat itu. Arkan tentu saja tidak sebodoh itu, ia tahu sesuatu tapi ia selalu menepis dan menolak argumennya sendiri.

.・゜-: :-Chapters 1 : MIMPI-: :-゜・.

Layla memutuskan untuk bertemu dengan Raya, temannya satu kantor tapi dia hanya beda cabang saja. Mereka berdua berteman juga karena masalah sepele, satu interview saat itu dan nasib keluarga yang lumayan sama latar belakangnya. Mereka sudah janjian akan bertemu di satu cafe di sekitar kantor, jadi hanya tinggal menunggu Raya datang saja. Tidak beberapa lama gadis yang memiliki rambut sebahu itu datang dengan senyuman ramah seperti biasanya, dan di sambut sapaan hangat dari Layla.

"Lo gak apa-apa kan?"

"Iya, gw rasa gitu. Gw cuma ngerasa udah terlalu cape aja,"

"Kenapa? Apa masih masalah Arkan?" Raya khawatir, terkadang masalah pikiran bisa sampai membuat seseorang sakit dan ia tidak mau jika sahabatnya tiba-tiba saja jatuh sakit hanya karena kecewa dengan seseorang.

Dan respon Layla hanya tersenyum pahit, ia tidak tahu harus bagaimana. Mau melanjutkan perjuangannya itu atau harus berhenti karena sudah terlalu lelah sakit hati. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Arkan, yang salah adalah Layla sendiri yang terlalu memendam perasaannya sendiri.

Dan itu juga cukup lama, berawal ia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja takut melihat Arkan karena wajahnya yang terlihat menakutkan dan galak, dan tiba-tiba juga ia suka dengan pria itu seiring berjalannya waktu tanpa alasan yang jelas. Layla menjalani cinta dalam diamnya itu cukup lama, ia sering makan hati ketika ia melihat Arkan tengah berduaan dengan kekasihnya.

Bahkan mendengarkan semua cerita dari orang-orang yang tahu akan hubungan Arkan dengan Clara. Mereka pasangan yang cocok, Layla rasa begitu. Karena fisik keduanya juga mendukung, apa lagi kepopuleran mereka berdua tidak ada yang bisa menandingi. Sedangkan Layla, ia hanya pegawai baru dengan segala tingkahnya yang terkenal aneh, walaupun sebenarnya orang-orang terhibur dengan sikap anehnya itu. Tetapi, Layla merasa dirinya tidak ada apa-apanya dengan Clara.

"Jangan mikir terlalu berat, itu bikin lo tambah sakit hati. Jadi gimana keputusan lo setelah ini? Lo mau berhenti apa mau terusin?"

"Ide buruk buat nerusin, tapi gw gak bisa semudah itu ngelupain seseorang. Gw gak bisa..." Raya mengusap bahu temannya yang gemetaran menahan tangisan itu, ia sebenarnya tidak tega jika melihat Layla terus seperti ini terus. Tapi, ia juga tidak bisa memaksakan perasaan orang lain.

"Pelan-pelan aja, rasa sakit itu akan terus tapi itu adalah solusi biar lo hampa sama dia. Kalau lo udah ngerasa hampa, dan cape. Lo akan bisa ngelupain dia, tapi kayaknya lo susah ya?" Layla menunduk, ia tidak bisa menahan rasa sakitnya sendiri.

Kejadiannya memang dua hari yang lalu, tapi membekas sampai detik-detik ini. Layla tidak akan semudah itu melupakan sebuah momen, apa lagi melupakan seseorang yang sudah terlanjur mampu masuk ke dalam hatinya. Itu akan sulit di lakukan, walaupun ia berusaha sekeras apa pun.

"Gw bakal dukung apa pun keputusan lo, tapi yang paling penting sekarang. Lo harus lupain dia, pelan-pelan walaupun itu akan lama,okey?"

"Gw usahain... "

...◇◇◇...

"Layla? Lo kenapa? Jangan ngelamun gitu dong, cerita sama gw ada apa?" Naura, dia teman satu ruangan dengannya dengan posisi yang sama. Dia sering bercerita banyak hal kepada Layla, dan begitu juga sebaliknya.

"Gw mimpi aneh semalem,"

"Cuma mimpi, emangnya mimpi apa sih?" Naura memperhatikan Layla, menunggu jawaban sekaligus ceritanya. Ia penasaran, mimpi apa yang membuat Layla terdiam sampai bersikap sangat diam seharian ini.

"Gw kecelakaan di depan kantor nyelametin seseorang, awal gw ketabrak kerasa sakit banget sampek gw gak bisa ngerasain apa pun lagi-"

"Cukup, itu cuma mimpi, Layla sayang. Lagian apa yang di mimpi itu cuma bunga tidur, jangan di pikirin. Mau jajan?" Layla hanya mengangguk seraya tersenyum, tapi di dalam kepalanya masih memikirkan mimpi yang semalam ia rasakan.

Sebenarnya ia tidak terlalu memikirkan tentang mimpinya setiap malam, hanya saja mimpi tadi itu sangat terasa nyata. Itu yang membuatnya terus memikirkan kejadian di dalam mimpinya itu, apakah itu sebuah pertanda atau hanya mimpi biasa seperti apa yang di katakan oleh Naura tadi?

Di tengah lamunan itu, tiba-tiba saja di depannya sudah ada susu kotak. Layla langsung mendongak dan mendapati Alan berdiri tidak jauh darinya, atau lebih tepatnya di sampingnya seraya meminum susu kotak yang sama.

"Ngelamun terus, mikirin apa sih?"

"Ini punya lo?"

"Iya, buat lo. Di minum ya, beli pakek uang itu bukan pakek daun." Setelah mengatakan semua itu dia pun pergi, bahkan Layla belum sempat mengucapkan terimakasih. Layla menatap susu kotak di depannya yang masih dalam keadaan dingin, ia hanya diam dan mengambil susu itu.

Di lain tempat, seseorang yang tengah memegang susu kotak yang sama hanya berdiri menatap punggung Layla dari belakang. Ia baru saja akan memberikan susu kotak yang sama, tapi kenyataannya ia kalah bergerak. Orang lain seperti sudah mencuri star terlebih dahulu.

Tapi Layla tidak menyadari akan orang lain yang tengah memperhatikannya sekarang, ia sibuk memegang ponselnya dan memeriksa riwayat chat di aplikasi chat. Tidak banyak notifikasi masuk sebenarnya, tapi ada satu chat yang membuatnya tertarik dan ia sampai membuka layar chat tersebut karena Layla merasa itu chat penting.

Layla meletakkan ponselnya dengan kasar karena kesal, Valen terus saja bersikap seolah-olah ia tahu segalanya. Layla tahu jika pria itu sekarang adalah dokter ahli, tapi apakah pantas dia memaksa seseorang untuk memeriksakan diri tapi padahal tidak mau, tidak terlalu penting juga bukan?

Gadis itu mengabaikan pesan spam dari Valen dan memilih melanjutkan kesibukannya itu, walaupun ia memang sedikit terganggu dengan spam pesan dari Valen. Pria itu memang tampan, tapi menyebalkan untuk ukuran orang tampan. Tapi ada satu hal yang membuat dokter muda itu seperti mendesak Layla untuk segera memeriksakan diri, tapi apa alasannya?

"Layla? Direktur manggil kamu, cepat ke ruangannya ya saya masih ada urusan lain,"

"Iya, terimakasih informasinya pak."

Layla membuang nafas panjang, ia pun segera beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi dari sana. Pergi ke ruangan direktur yang memanggilnya sekarang, ia tidak tahu apa yang membuat direktur memanggil dirinya. Layla tidak merasa jika dirinya ceroboh akhir-akhir ini, mungkin hanya sikapnya yang sedikit lebih pendiam saja, itu saja yang Layla rasakan dari perubahannya.

Gadis itu berhenti di depan pintu direktur, ia menarik nafas banyak-banyak untuk menghilangkan rasa gugupnya. Walaupun beberapa kali direktur menegurnya untuk tidak bersikap terlalu formal kepadanya, tapi tetap saja. Pangkat beliau jauh lebih tinggi darinya.

"Permisi... "

"Akhirnya kamu datang, masuk sini nak. Duduk dulu, saya mau bicara sebentar saja." Layla di amban pintu menatap seseorang yang ternyata sudah berada di sana terlebih dahulu. Pria itu menoleh ke arahnya singkat, dan kembali menghadap ke depan.

Sedangkan Layla semakin tegang dengan suasananya di sana, tapi berusaha ia bersikap senormal mungkin. Layla mengambil kursi di sisi yang kosong, dan menghadap ke arah direktur yang tengah berhadapan dengan laptopnya.

"Kalian berdua saya jadikan tim sementara ya, keberatan tidak?"

"Tidak/Ti-tidak pak." Direktur Lee menatap keduanya, kedua karyawan yang sama-sama belum terlalu lama di dalam perusahaannya. Sedikit konyol ia memasukan Layla ke dalam tim itu, walaupun ia sebenarnya tahu bagaimana kemampuan gadis tersebut.

"Kalau tidak keberatan, kalian mengerjakan beberapa dari ini selesaikan sebelum deadline nya ya? Saya butuh bantuan kalian agar cepat selesai, masalah lemburan dan uang kerajinan tidak perlu di pikirkan. Tentu saja, kalian akan mendapatkan bagiannya juga."

Layla hanya mengangguk tanpa bersuara, sedangkan tangannya yang diam-diam meremas celananya sendiri karena keringat dingin. Ia tidak bisa terus berada di situasi seperti ini, ia hanya seorang tim yang mempromosikan produk sebuah brand untuk di penjual belikan di masyarakat tapi tidak dengan tugas ini. Seperti di luar kemampuannya, mungkin?

"Terimakasih atas kepercayaannya pak, kami akan berusaha yang terbaik." Bukan, bukan Layla yang mengatakan itu. Melainkan Arkan, pria itu yang membuat situasi Layla memburuk saat ini.

Pria itu seolah mengabaikan keadaan Layla saat ini dan memilih fokus kepada pekerjaan yang sudah ada di depan matanya. Setelah segala perbincangan di lakukan, keduanya sama-sama keluar dari ruangan dengan membawa sebuah tanggung jawab bersama. Arkan menoleh ke arah Layla yang memasang raut wajahnya yang datar itu. Terkadang ia berpikir jika, Layla membenci dirinya.

"Jadi, mau di selesaikan bagian mana dulu?"

"Lo kerjain aja yang di tangan lo itu, gw kerjain yang ada di tangan gw. Selesaikan?" Layla hendak akan pergi dari sana. Namun, secara tiba-tiba satu pertanyaan yang membuat langkahnya terhenti.

"Lo ada di sana?" Layla hanya diam, ia tidak tahu pada awalnya dengan apa yang Arkan singgung itu. Tapi ia cepat menyadari ke mana arah pertanyaan itu.

"Cuma kebetulan, gw mau ambil motor gw. Lo enggak usah khawatir tentang masalah lo, gw gak perduli sama urusan lo jadi gw juga gak ada minat buat ngomong itu ke orang lain. Lo jangan khawatir kalau berita lo akan disebar luas, kalau pun terlanjur itu bukan gw." Layla mengatakan itu tanpa menoleh ke arah belakang, bahkan tidak mau melihat wajah Arkan.

Sedangkan pria itu berdiri tidak jauh dari sana melihat punggung itu pergi, bukan itu yang ingin ia dengar sekarang. Memang, Arkan tidak perlu mengkhawatirkan tentang statusnya yang tersebar nantinya, jujur saja ia percaya jika Layla tidak mungkin menyebarkan berita tentang dirinya. Apa lagi setelah kejadian itu.

Arkan menunduk, ia seorang diri di sana memikirkan banyak hal yang membuatnya merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang Layla sembunyikan dari banyak orang, ia tidak akan mencoba mencari tahu tentang apa pun itu. Semoga saja itu bukan sebuah kejadian buruk.

Di lain tempat, Layla masuk ke dalam toilet. Meletakkan berkas-berkasnya di atas kloset yang tertutup. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang, tapi sejujurnya ada yang membuatnya selalu sakit hati. Momen di mana ia harus melihat segalanya, bagaimana caranya Layla menjelaskan tentang apa yang ia lihat dan ia rasakan saat itu?

Di satu momen yang seharusnya ia ikut bahagia karena pernikahan temannya, ia justru mendapati momen menyedihkan untuk dirinya sendiri. Ia tidak menyangka saja jika matanya sendiri akan melihat semua itu. Layla memang menyukai Arkan dengan jangka waktu lama, dan gadis itu juga tahu jika Arkan sudah memiliki kekasih. Itu resikonya menyukai seseorang, sebuah alasan yang membuatnya selalu diam di berbagai situasinya.

Tapi sungguh, Layla tidak bisa membayangkan jika Arkan datang dengan kekasihnya seraya bergandengan tangan. Tidak, itu tidak ada yang salah. Di sini Layla yang salah karena menaruh perasaan kepada seseorang yang kenyataannya sudah memiliki pasangan. Dan mungkin tanpa Layla sadari juga, jika tatapan matanya menggambarkan sebuah kekecewaan bersamaan dengan air mata yang di tahan.

"Haha, kenapa gw sebodoh ini? Gw bodoh, gw bodoh... "

.・゜-: :-Chapters 2 : JANGAN CEPAT DEWASA-: :-゜・.

"Lo jangan terlalu banyak ngelamun gitu dong, gw jadi khawatir sama lo. Enggak biasanya lo kayak gini, jadinya gw kan-"

"Gw gak apa-apa kok, lo jangan berlebihan. Gw emang lagi banyak kerjaan aja makanya kepikiran, yaudah ya. Gw mau pulang dulu,"

"Besok lo libur ya? Mau kemana?" Layla berpikir di pertanyaan itu, di sana Alan ikut mendengarkan percakapan di antara Naura dan Layla. Sebenarnya ia juga duduk di sekitar sana, ia tidak berniat menguping di percakapan itu.

"Gw kayaknya di rumah aja deh, lagian mau ke mana juga? Gw gak punya temen kalau mau pergi-pergi jauh."

Tanpa mengatakan apa pun, Layla langsung pergi dengan motornya keluar dari parkiran. Di sana juga Naura merasa ada yang aneh dengan Layla, memang seminggu ini seperti sebuah hari yang aneh baginya. Layla berubah entah kenapa, itu sebuah tanda tanya besar. Jika alasannya masalah pekerjaan, kenapa tidak dari lama saja dia bersikap seperti itu? Mengapa baru sekarang?

Alan memperhatikan Layla sampai gadis itu tidak terlihat sama sekali, sebenarnya beberapa orang yang memang dekat dengan Layla pasti akan merasakan perubahan gadis itu. Menjadi diam secara tiba-tiba dan tidak terlalu banyak bicara, rasanya suasana menjadi sepi saat kenyataannya teman mereka yang ceria itu menghilang.

...◇◇◇...

Sesampainya di rumah, Layla berhenti di depan rumahnya dan melepaskan helmnya. Ia memikirkan banyaknya kejadian yang ia alami selama seharian ini, begitu menguras energinya. Layla turun dari motor, dan langsung masuk ke dalam rumah neneknya.

Layla tinggal bersama neneknya, kurang lebih selama hampir 2 tahun. Semua kejadian di dalam hidupnya seperti sebuah siksaan selama ia masih hidup. Entah kenapa semuanya terasa berat, Layla berusaha mengendalikan dirinya sendiri untuk tetap bersabar dan terus melakukan segala kegiatannya dengan normal. Seolah tidak ada lagi beban di dalam hidupnya, kenyataan pahit terkadang menghancurkan senyumannya.

Dari sisi yang banyak orang tahu, Layla adalah gadis ceria dengan segala tingkah anehnya yang memancing tawa banyak orang. Tapi dia akan menjadi sosok lain ketika sudah berada di rumah, ia akan sangat pendiam dan jarang berbicara, ia bahkan tidak pernah terlihat tersenyum. Apa lagi setelah mamanya harus pergi keluar negeri untuk mencari nafkah. Itu semakin membuatnya merasa kesepian, di saat ia ingin merasakan sesuatu yang sama sekali belum pernah ia rasakan sejak kecil.

Layla duduk di sisi ranjang yang berukuran sedang, bisa untuk tiga orang di sana. Di sana ia baru pulang setelah bekerja sampai malam, ia melihat kedua adik laki-lakinya yang tidur bersama dengan sangat pulas.

Entah kenapa ia mendadak merasa iri dengan adik-adiknya, iri karena mereka bisa tidur dengan nyenyak tanpa harus memikirkan, bagaimana kedepannya? Dewasa memang semenyakitkan itu, realita menghancurkan secara bayangan dan cita-citanya yang sudah ia bangun sejak lama.

"Semoga aja kita bisa pergi cepet dari sini, kakak gak sanggup kalau kalian terus denger omongan orang-orang jahat itu... Karena kakak sendiri udah gak bisa tahan lagi di sini, rasanya mau nyerah aja kayak yang mereka bilang... "

Seketika air mata yang sekian lama ia tahan tidak bisa di tahan lagi, semuanya turun begitu saja. Layla menangis setelah sekian lama membendung kesedihannya sendiri, kenapa cobaan itu turun tanpa henti? Menyerangnya secara bersamaan?

Ucapan seseorang memang tidak perduli di dengarkan, tapi telinga itu bekerja dengan normal, bagaimana caranya agar Layla tidak mendengar semua ucapan jahat itu? Apa lagi ucapan mereka yang mendoakan jika mamanya yang bekerja jauh itu segera hancur, siapa yang tidak sakit hati mendengarkan semua itu?

Layla sudah bertekad akan membalas dan membuktikan kepada semua orang, ucapan mereka salah besar, mereka semua yang akan hancur. Tetapi, Layla baru setengah jalan untuk menggapai apa yang ia ingin dan sekarang saja, ia sudah hampir tumbang.

Darah yang menetes itu seolah pembuktian, jika Layla sudah terlalu keras dengan dirinya sendiri. Memaksakan diri agar tetap berdiri padahal seharusnya ia harus berbaring sejenak, anak pertama yang harus memperjuangkan sebuah hak untuk kehidupan yang jauh lebih layak.

"Enggak apa-apa, selama belum mati... Gw masih bisa cari uang."

...◇◇◇...

Jarum suntik yang menembus kulitnya tidak mengubah raut wajahnya saat ini, ia tetap tenang di atas bangsal itu. Seolah menikmati apa yang ia rasakan, rasa sakitnya seperti sebuah kebiasaan. Suasana dingin di dalam ruangan itu, di mana ia bersama seseorang yang akan menemaninya melakukan pemeriksaan.

"Lo gak usah ke rumah sakit lagi, kalau hasil tesnya keluar gw ke rumah lo-"

"Enggak perlu, kita ketemu aja." Layla memegangi kapas yang sudah mengandung obat bius, untuk meredakan rasa sakit di bekas suntiknya tadi.

Valen terdiam di sana, kenapa? Layla terus saja menyembunyikan apa yang ia rasakan, penderitaan yang seperti di kuburan sendirian tanpa ada orang lain yang tahu. Padahal sebenarnya Layla butuh perhatian orang lain, tapi Valen sudah cukup tahu dengan keadaan lingkungan Layla sekarang. Semua orang di sana seolah tidak akan memperdulikan orang lain, mau hidup atau mati pun rasanya akan sama saja.

Pria itu menunduk, ia duduk di sisi bangsal dan menggenggam tangan yang lebih kecil darinya. Valen tahu, semuanya sepertinya berat di jalani, tapi mau bagaimana pun dunia akan tetap terus berputar meskipun di paksa berhenti.

"Inget, gw selalu ada sama lo. Jangan terlalu mikir kalau di dunia ini lo cuma sendiri, itu salah. Lo ngertikan?"

"Lo kenapa serius banget sih, Len? Gw baik-baik aja, ini cuma gejala biasa paling juga demam-"

"Jangan sepelekan gejala ringan, Layla. Gw tahu setiap gejala akan bertahap, itu bahaya-"

"Iya-iya pak dokter, saya tahu kok... Mau makan? Gw traktir."

...◇◇◇...

"Siapa sangka kalau kita bakal ketemu dalam keadaan kayak gini, lo mau periksa ternyata dokternya temen sendiri, iyakan?"

"Iya, gw baru ketemu sama lo. Teman-teman pada bilang kalau lo ngilang banget setelah lulus SD, gak ada tuh yang satu sekolah sama lo. Ternyata lo jadi dokter muda, siapa sangka kan? Apa lagi lo dulu di ship sama Lala dulu, gimana perasaan lo?" Valen tersenyum tipis, kenangan di masa kecil mereka. Saling mengejek itu hal biasa untuk kalangan anak-anak apa lagi mereka ada di masa suka dengan seseorang secara random.

Valen dulu termasuk murid pintar, populer karena dia juga tampan. Banyak yang tahu kehidupannya yang sedikit gelap itu, banyak murid tahu jika dia baru saja kehilangan ibu kandungnya saat menginjak kelas 3 SD. Terlalu menyedihkan untuk kalangan anak kecil, tempat asalnya bukan ada di tempat sekarang. Dulu Valen orang jakarta bukan orang semarang.

Dia pindah untuk mengganti suasana, bersama ke-3 kakak perempuannya yang membangun sebuah usaha swalayan di satu daerah dan tempat itu lumayan ramai juga. Valen termasuk orang kaya di kalangan teman-teman nya, hanya saja dia tidak begitu mencolok karena terlalu apa adanya. Saat masih sekolah, uang satunya hanya dua ribu rupiah sehari, padahal teman-teman nya yang lain bisa sampai lima puluh ribu sehari.

Ia tidak membicarakan hal buruk tentang ibu sambungnya, tapi namanya juga anak kecil dia akan bicara jujur. Ibunya yang memberikan uang dua ribu rupiah itu sebagai uang saku, itu pun kalau ingat. Kalau saja seharian Valen tidak membawa uang saku, dia akan diam di dalam kelas dan menggambar di buku tulisnya. Kasihan? Itu adalah kenangan yang lumayan buruk untuk anak kecil.

Tapi itu dulu, karena sekarang Valen mempunyai tempat tinggal sendiri. Jadi dia bebas melakukan apa saja yang dia mau, yang belum sempat tercapai sekarang bisa ia gapai. Layla cukup kagum dengan usaha Valen untuk meraih kebebasannya itu.

"Beruntung ya lo, lo udah bisa lepas dari keluarga lo yang toxic itu,"

"Cuma orang tua gw, kakak gw sebenarnya baik cuma mereka juga tekanan juga waktu itu. Uang kuliah juga di pegang sama ibu, jadi gak bisa apa-apa. Kalau ada apa-apa juga kakak gw pakai uang hasil swalayan mereka, buat biaya tugas kuliah yang katanya ibu cuma karangan. Gw kira karangan beneran, ternyata tugas kuliah membunuh memang."

Valen nampaknya antusias saat ia bercerita tentang kehidupannya kepada Layla, seolah ia tidak memikirkan apa pun lagi selain menumpahkan semua beban pikirannya kepada gadis di depannya saat ini. Apa lagi sekarang, ia seolah hanya memiliki Layla saja dan tidak ada orang lain.

Ia beruntung waktu itu memang sedang ada jadwal, walaupun tidak terlalu penting sebenarnya. Tapi justru ketika ia datang, ia bertemu dengan Layla saat itu. Awalnya Layla tidak mengenali dirinya, tidak mengenali Valen dengan alasan pria itu berubah sangat pesat. Dari postur tubuhnya yang dulu kurus dan postur wajah sangat tirus, dan sekarang semuanya berubah. Pria itu menjadi lebih tampan dari yang dulu, badannya juga sudah lebih berisi.

"Kayaknya emang kita di takdirkan buat ketemu lagi,"

"Menurut lo gitu? Kenapa?" Valen mengangkat bahunya, ia ragu harus mengatakan sesuatu.

Melihat Layla yang sekarang, entah kenapa ia tiba-tiba mengingat masa lalunya. Gadis itu dulu enggan dekat dengannya, karena mungkin Layla dulu tahu jika salah satu temannya menyukai Valen. Tidak mau ada masalah jadi dia memilih menjauhi Valen saja, Layla tipe orang yang malas mencari masalah jika itu tidak penting baginya. Tapi begitu juga jika seseorang mengganggunya, ia tidak akan ragu menghajar orang tersebut.

Valen rasa jika semua ini memang takdir untuknya, ia selalu berharap sejak dulu jika ia bisa diberikan kesempatan bertemu dengan gadis satu angkatannya, hanya pernah satu kelas sekali di kelas 4 SD saat itu. Tapi memiliki banyak kesan, ia pernah pertama kalinya memperhatikan gadis itu dulu. Ketika nilai mereka selisih 2, dalam pelajaran bahasa Indonesia yang nilainya lebih unggul adalah Layla bukan dirinya. Padahal yang terkenal pintar itu Valen, dan Layla sebaliknya.

Seperti langit dan bumi saja bukan? Tapi kenyataannya yang masih sama, sekarang Valen menjadi dokter muda dan Layla adalah pasiennya. Siapa yang akan menyangka jika semua ini akan terjadi? Ia tidak berharap lebih akan harapannya selama ini, tapi setidaknya ia ada kesempatan.

"Lo ada waktu minggu depan?" Layla melirik ke arah Valen, ia ragu harus menjawab dengan jawaban apa sekarang.

"Tidak tau, mungkin besok senin gw bisa aja. Tapi gw gak yakin bakal dapet libur di hari itu, itu cuma perkiraan gw aja." Valen memperhatikan Layla, pergerakan gadis itu selalu ia lihat seksama. Ia tidak pernah merasa bosan untuk sekedar memandang saja.

"Kita mungkin bisa ketemu beberapa kali ke depan, karena nanti yang cek lo setiap bulan bukan gw. Tapi temen gw, dia partner gw tapi tenang aja. Dia cewek kok, bukan cowok jadi lo jangan khawatir,"

"Gw gak masalah asalkan gak nyebelin aja, emang lo mau kemana?"

"Ada, satu tempat di mana gw harus ke sana. So, kita ketemu hari senin minggu depan?"

"Okey, kalau bisa." Valen tersenyum tipis, seandainya kesempatan itu ada untuknya sekali saja suatu saat nanti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!