"Mau secantik apapun wanita, kalau gak bisa menghasilkan keturunan?! Sama aja gak berguna," hina Jumiah, Ibu mertua Hanabi.
Mulut Jumiah memang pedas sekali jika sudah mengungkapkan ketidakpuasan nya terhadap Hanabi Lyxia, menantunya. Terkadang, relung hati Hanabi sampai meringis dibuat wanita baya itu.
"Istigfar, Bu. Gak baik berbicara seperti itu," nasihat Hana lembut.
"PERSETAN, AKU MAU CUCU ...!" bola mata Jumiah mendelik.
Suara wanita baya berdaster merah itu menggelegar, meluluhlantakkan harga diri sang menantu yang selalu tak pernah absen dipanggil mandul.
Perih! Ibarat luka menganga, lalu ditoreh dengan perasan limau ... itu lah suasana hati yang Hanabi rasakan kini.
"Bu! Anak itu rezeki dari Tuhan, jika sampai saat ini Hana dan Mas Damar belum dikaruniai seorang anak ... ya, berarti belum rezekinya, Bu ...!" Hana sedikit meninggikan suaranya, hati wanita itu sudah teramat sakit.
"Halah, kalau udah terpojok aja pasti bawa-bawa Tuhan! Kalau emang dasarnya mandul, ya mandul aja ...!" Jumiah menatap sang menantu dengan senyuman mengejek. "Sial amat nasib anakku, harus beristrikan wanita mandul seperti mu ...!"
Jumiah menunjuk wajah Hanabi dengan ujung telunjuknya, tatapan mata sayu itu menukik sinis.
"Jangan bentak-bentak istriku, Bu!" Protes Damar di ambang pintu. Bola mata elang itu menatap tajam sang ibu.
Damar merupakan seorang pria yang mempersunting Hana, tepat enam tahun yang lalu. Pria itu bekerja sebagai artis figuran, sudah tiga tahun lama nya. Sebelumnya, Damar satu profesi dengan istrinya, yaitu sebagai influencer. Namun, tepat tiga tahun yang lalu Damar mendapatkan tawaran casting meskipun hanya sebagai artis figuran.
Tiga tahun yang lalu, karir Hana saat itu sedang meroket. Hanya saja, wanita cantik itu terpaksa harus hiatus karena sang suami ingin Hana istirahat total dan fokus pada program hamil yang sedang mereka jalankan. Meskipun pada akhirnya ... tak membuahkan hasil hingga hari ini sang ibu mertua lagi dan lagi mengamuk seperti biasa.
Loh, kok ada Mas Damar? Tadi kan sudah berangkat syuting, kenapa pulang lagi? batin Hanabi heran.
Jumiah tersentak melihat kehadiran sang anak, ia gugup. Namun, lekas ia menguasai dirinya kembali.
"Kamu tidak terima?!" ketus Jumiah.
Tergesa-gesa Damar melangkah, mendekati istrinya. Lembut pria itu menarik jemari Hana, menggiring nya untuk sedikit menjauh dari sang ibu.
Damar menghela napas berat, bola mata itu tak lepas menatap paras Jumiah.
"Jelas saja aku tidak terima, Bu!" jawab Damar mantap.
"Oh, jadi kamu pilih kasih seka--"
"Hal ini juga berlaku jika Hana membentak Ibu, aku juga tidak akan terima. Jadi, aku mohon, stop menuduhku pilih kasih, Bu!" Damar merapatkan kedua tangan di dada.
"Damar, Ibu kepengen cucu! Tapi kamu malah menikah dengan perempuan mandul seperti dia!" telunjuk Jumiah kembali mengacung pada Hana.
Lagi dan lagi, perasaan Hana harus terluka oleh wanita paruh baya itu. Enam tahun Hana menikah dengan Damar, hampir enam tahun juga sang ibu mertua selalu menyakitinya dengan kata-kata setajam pisau.
"Hana tidak mandul, Bu. Aku juga tidak mandul. Kami berdua sehat secara medis, sudah akurat hasil pemeriksaan nya. Memang belum rezekinya, Bu. Yang sabar lah sedikit." Damar menghembuskan nafas berkali-kali, ia berusaha menahan sabar.
Jawaban Damar sedikit menenangkan perasaan sang istri yang tengah di landa lara.
Memang benar yang dikatakan Damar, mereka berdua sehat secara medis. Dokter menyatakan tidak ada yang salah dengan kesuburan mereka berdua. Namun, entah lah, sudah hampir enam tahun mereka menunggu sang buah hati, tapi, tak kunjung diberi.
Tentu saja, sebagai wanita yang belum mampu memberi keturunan untuk suami, Hana selalu dilanda rasa takut. Takut jika Damar selingkuh, bahkan yang terparah, sampai menikah lagi. Pasti wanita manapun, akan mengalami kecemasan yang sama. Wanita mana yang rela dimadu? Hampir setiap malam, tidur Hana tak pernah nyenyak. Rasa takut itu selalu menggerogoti pikiran nya, untung saja Damar tidak seperti itu. Damar selalu saja berhasil membuang jauh-jauh rasa takut Hana, pria itu selalu sabar dalam menunggu, tidak seperti sang mertua.
"Sabar? Astaga, memang nya Ibumu ini kurang sabar? Enam tahun, Damar, enam tahun! Mau sabar bagaimana lagi? Hah, sudahlah, urus saja istri mandul mu itu ...!" Jumiah masuk ke kamar sembari membanting pintu.
Tubuh Hana seketika luruh ke lantai, hatinya pilu sekaligus malu, air matanya sudah berderai-derai.
Oh,Tuhan! Betapa malunya aku, diperlakukan seperti ini di depan suami ku sendiri. batin Hana meratapi.
Damar menatap Hana sendu, sungguh ia tak tega melihat sang istri meneteskan air mata yang lagi dan lagi disebabkan oleh ibunya.
"Ayo sayang, Mas antar ke kamar." Damar mengulurkan tangannya, membantu Hana berdiri.
Dengan lembut pria ber hoodie kuning itu merebahkan tubuh sang istri di ranjang, di usap pelan rambut Hana, berusaha memberikan rasa nyaman.
"Mas, kok pulang lagi? Gak enak badan ya?" Hana menyentuh kening Damar dengan punggung tangan, tapi, suhu tubuhnya normal.
"Kotak bekal nya ketinggalan, Sayang." Damar mengecup hangat kening gadis cantik itu.
"Duh, iya ya?" Hana tampak kaget. Terbesit rasa bersalah di hatinya, karena dia lah yang mengurus bekal Damar.
"Iya, kamu tau kan, Mas cuma doyan masakan kamu." Damar mengecup bibir Hana dengan wajah penuh gairah.
"Hayolo nanti telat kerja, ini senin, macet banget pasti," peringat Hana saat melihat gelagat Damar yang hendak mengajaknya main kuda-kudaan.
Sontak saja Damar menepuk keningnya. "Bener juga kata kamu, Yank. Ya sudah, Mas berangkat dulu ya."
Hana mengangguk dan mencium tangan Damar dengan takzim.
"Kamu gak usah antar ke depan, Mas bisa sendiri." Damar mengusap pucuk rambut Hana dan menatap dengan penuh kasih sayang.
"Hati-hati ya, Sayang." Hana melambaikan kedua tangan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Matahari sudah mulai menuju barat, Hana tengah bersiap-siap. Sore ini, ia memiliki janji temu kangen bersama sahabat baiknya, Monica Laura. Kesibukan Monica sebagai model terkenal di tanah air, membuat dua sahabat itu cukup lama tak berjumpa.
Hana meraih ponselnya yang ada di atas meja rias, kontak Damar lekas ia buka. Sebuah pesan ia ketik sembari tersenyum manis.
Hana : Sayang, aku izin ke cafe sebentar ya. Ada janji ketemu teman, love you!
Hanya berjarak semenit, ponsel Hanabi sudah berdenting.
Damar : Ok, Yank. Love you too!
Pesan Damar diiringi dengan sebuah screenshoot obrolannya dengan Tuti Pantura, adik sepupu Hana.
Hana membaca screenshoot yang dikirim suaminya dengan saksama. Bibir mungil wanita cantik itu tersenyum tipis. Inilah yang membuatnya jatuh cinta teramat sangat dengan Damar. Suaminya itu kerap meminta izin bahkan untuk hal-hal sekecil apapun, Damar juga selalu melapor tentang apa saja. Termasuk tentang wanita-wanita yang selalu berusaha mengajaknya pulang kerja bersama.
Bagi Damar dan Hana, perselingkuhan itu terjadi bukan karena adanya niat, akan tetapi, karena adanya peluang meskipun hanya sekecil biji selasih. Untuk itu, Damar dan Hana meng-cut-off komunikasi teman-teman yang berlawan jenis.
Hana kembali mengirim pesan balasan dengan hati berbunga-bunga.
Hana : Terimakasih, Sayang, karena sudah selalu memikirkan perasaan ku!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Empat jenis dessert tradisional tersaji di atas meja, sungguh menggugah selera, entah sudah berapa kali Hana meneguk kasar ludahnya. Padahal sejak di hina ibu mertua nya tadi pagi, nafsu makan Hana mendadak hilang.
Hana mencicip sesendok bika ambon. Nikmat, itu lah yang tergambar di wajah wanita cantik itu. Tenggorokan nya hampir meleleh, saking nikmatnya, tak terasa Hana sudah menghabiskan sepiring penuh.
"Laper apa doyan lo, Han?" Monica menatap piring milik Hana yang sudah kosong.
"Dua-duanya." Hana menyengir bagai kuda.
Monica menggelengkan kepalanya, menahan tawa.
"Gue ke toilet bentar ya, Han. Awas aja lo ngembat dessert punya gue, bakal gue slepet pakai tali beha," ancam si pemilik tubuh seksi sambil berlalu.
Monica sudah menjalin persahabatan dengan Hanabi, sejak duduk di bangku SMP. Model cantik nan terkenal itu memiliki 600ribu followers. Cantik, pintar, baik, benar-benar paket lengkap. Kadang, terbesit rasa iri di lubuk hati Hana saat melihat kesuksesan Monica. Namun, apalah daya? Suami tercinta melarang keras untuk berkarir.
Drrt ....
Drrt ....
Drrt ....
Ponsel Monica bergetar di atas meja, lama Hana menatap ponsel yang getarannya tak kunjung henti.
'Apa ada telfon penting?' batin Hana sembari menatap benda pipih itu.
Cemas akan adanya hal penting, mau tak mau, Hana menyambar ponsel tersebut. Namun ternyata, hanya notifikasi para fans yang memberi like dan komentar di postingan sosial media milik Monica.
Hana meletakkan kembali ponsel tiga boba itu di meja, tapi, wanita pemilik lesung pipi itu menarik kembali ponsel tersebut sebelum benda itu sempat menyentuh meja. Bola mata itu mengerjap saat melihat sebuah nama yang tak asing, ikut berada dalam barisan orang-orang yang meninggalkan jejak like dan komentar.
Jantung Hana berdebar kencang, tangannya lemas dan gemetar.
'Aku tidak salah lihat, kan? nama suamiku terpampang di sana, meninggalkan like dan komentar dengan tumpukan emoticon love?'
Sakit, dada Hana sakit! Hana berusaha menguasai diri dan segera meletakkan kembali ponsel dengan warna merah jambu itu di atas meja, saat melihat Monica berjalan mendekat.
"Sorry lama, Han, sakit banget nih perut ...!" Monica datang dan segera menyandarkan tubuhnya.
Monica meraih benda pipih yang sudah berkelap-kelip lampu nya, menatap layar ponsel dengan wajahnya yang datar. Tak ada respon apapun dari bibirnya.
Apa ini? Kenapa dia hanya diam saja? Batin Hana heran.
Mood Hana yang tadinya sudah membaik, kini kembali berantakan.
'Padahal sudah hampir enam bulan kami tidak bertemu, sekalinya bertemu ... aku harus di tampar fakta seperti ini? Apa Monica berselingkuh dengan Mas Damar?'
Air mata Hana nyaris saja tumpah, jika ia tidak mencubit paha nya di bawah meja sekuat hati.
'Gak, Hana, kamu gak boleh berfikir seperti itu. Bukankah menyukai postingan orang lain dan meninggalkan komentar di sosial media merupakan hal yang biasa? Aku aja yang terlalu berlebihan. Tapi, gimana ini? Mood ku sudah berantakan, sepertinya aku gak bisa berlama-lama di sini.'
"Mon, gue pulang duluan ya, kebetulan lagi ada urusan," pamit Hana.
"Yah? Kok pulang sih, Hana? Baru setengah jam loh kita nongki," protes Monica dengan bibir manyun.
"Iya, ada perlu, urgent. Sorry ya, Mon ... Bye." Hana beranjak dari duduknya dan mengecup kedua pipi Monica.
"Yaelah, ntar dong, Han. Lima menit aja, ada yang mau ketemuan sama lo," ungkap Monica.
Hana mengernyitkan dahi, penasaran, tapi dirinya berusaha menghalau perasaan itu. "Sorry."
Dengan langkah tergesa-gesa, Hana melangkah keluar pintu, meninggalkan Monica sendirian. Sialnya, wanita itu tak sengaja menubruk dua orang pria hingga mereka bertiga terjerembab di lantai. Dua pria dengan pakaian serba hitam, meringis kesakitan.
Kedua mulut pria itu misuh-misuh. Namun, bola mata dua pria tampan itu membulat sempurna saat menatap wajah Hana.
"Hanabi?!" seru mereka bersamaan.
"S-siapa ya?" tanya Hana heran, karena setengah wajah mereka tertutup masker dan kepalanya juga tertutup topi.
Dua pria itu secara bersamaan menatap sekitar, sekiranya aman, mereka lekas melepas topi dan masker. Kedua pria tampan itu menatap Hana lekat, bersamaan dengan itu mata Hana membulat.
"K-kalian?!" Hana nyaris menjerit, wajahnya merona.
Detak jantung Hana berdebar tak menentu!
*
*
*
Hallo 🤩 Selamat datang di karya baru ini 🤩
Jika berkenan, boleh di subscribe ya 💚
Like & komentar juga dipersilahkan, mohon dukungannya ⭐⭐⭐⭐⭐
Niat hati Hanabi tadinya hendak pulang, tapi, terpaksa ia batalkan dan berakhir duduk kembali di sebuah cafe yang di pesan secara private oleh Monica. Hanabi duduk tepat di depan tiga orang yang semuanya merupakan sahabat lama. Sahabat saat ia sejak masa pendidikan SMP dulu. Monica Laura, David Bradley dan Gavriil Mendeleev.
David menggeluti bidang yang sama dengan Monica, seorang model yang cukup terkenal dengan 500 ribu followers. Pria tampan itu menjadi topik hangat akhir-akhir ini, karena paparazi mengungkapkan ke media bahwa David telah menyumbangkan dana sebanyak tiga miliar sebagai bentuk rasa kemanusiaan untuk para umat manusia yang di bantai oleh mahluk-mahluk keji di suatu negara yang jauh di sana.
Sedangkan Gavriil, pria berusia 32th yang tak lain merupakan cinta pertama Hana itu sukses menjadi dokter terkenal di sebuah rumah sakit ternama. Pria tampan itu juga memiliki klinik pribadi yang selalu banjir oleh pasien.
Gavriil masih tak berubah, tetap sama seperti dulu, selalu malu-malu saat menatap wajah Hana. Begitu pun dengan Hana, wajahnya tetap merona saat menatap pria yang dulu selalu membuatnya berdebar, meskipun mereka tak pernah punya hubungan spesial. Gavriil, tak pernah percaya akan sebuah pernikahan.
"Gila! Udah enam tahun loh kita gak ketemu, Han!" ujar David.
"Kita? Lo sama Gavriil doang kali, gue mah sama Hana baru enam bulan doang. Ya gak, Han?!" sergah Monica.
Hanabi hanya tersenyum canggung, kemudian mengangguk, membenarkan ucapan Monica sekaligus David.
Sudah enam tahun memang Hanabi tak bertemu Gavriil dan David, bahkan tak juga berkomunikasi. Semenjak wanita bermata hazel itu di persunting Damar, Hana memutuskan untuk tak lagi berkomunikasi dengan pria manapun atas permintaan Damar. Suami Hana sangat tidak suka jika sang istri masih berhubungan dengan para teman pria, terutama Gavriil.
"Han, lusa datang ke rumah ya, gue ngadain acara syukuran pindah rumah baru. Bareng Monic aja entar, wanita tengil ini tau alamat gue yang baru." David mengacak-ngacak rambut Monica.
"InshaAllah, Dav. Gue minta izin sama Damar dulu nanti." Jelas Hana sambil tersenyum getir, karena sudah tau jawaban apa yang akan diberikan Damar.
"Kalau lo ngomong sama Damar sih, jelas gak bakalan di kasih izin, Hana!" sergah Monica.
"Ya, mau bagaimana lagi? Namanya juga wanita yang sudah memiliki suami, Mon." Hana mengulas senyuman tipis.
Monica dan David saling melempar pandangan sembari tersenyum kecut.
Ting!
Ponsel Hanabi berdenting, wanita yang mengenakan jumpsuit sage itu merogoh ponselnya yang ada di dalam clutch bag. Sebuah pesan masuk dari Tuti, adik sepupu Hana.
Tuti Pantura : Nongki sama teman-teman bisa ya, Mbak? Tapi pulang sebentar ke rumah ngejenguk Ibu dan ayah mu, gak pernah punya waktu. Kasihan tuh si Mayang, susah mau kemana-mana karena jagain kedua orang tuamu.
Hanabi menarik napas dalam-dalam, hati wanita itu sangat tak nyaman membaca pesan dari Tuti. Hanabi memang sudah lama tak mengunjungi ayahnya. Sebenarnya bukan Hanabi tidak mempunyai waktu, hanya saja wanita itu malas untuk datang berkunjung.
Kemala, ibu tiri Hana, kerap menyindir nya dengan kata-kata pedas setiap kali wanita itu datang berkunjung. Belum lagi harus berselisih paham dengan adik tirinya, Mayang. Apalagi, hubungannya dengan sang ayah juga tak akur.
'Kepala ku ini sudah hampir meledak mendengar celotehan ibu mertua, apa perlu ditambah lagi dengan celotehan adik dan ibu tiri?' batin Hana.
Hanabi menghembuskan nafas kasar, rasanya sangat melelahkan sekali, pundaknya bagai tertindih beban yang sangat berat.
'Sepertinya kali ini mau tidak mau aku harus berkunjung. Eh, tapi, Tuti tau dari mana ya aku nongki bersama teman-teman ku hari ini? '
"Lo kenapa sih, Han? Tarik napas hembus tarik napas hembus, asma?" celetuk Monica.
Hanabi menggeleng dengan senyuman hambar di bibirnya.
"Guys, kayaknya gue cabut duluan deh," ucap Hana murung.
"Yaaaah," serentak tiga sahabat Hana kecewa.
"Mau ke mana sih? Buru-buru amat?!" Monica kesal.
"Ke rumah ayah, Mon," jawab Hana singkat.
Seketika suasana mendadak hening, ketiga sahabat Hana saling beradu pandang. Mereka paham betul bagaimana situasi keluarga Hana.
"Perlu gue temani?" tawar Gavriil.
Hanabi menggeleng lembut. "Thanks, Gav. Gue bisa sendiri, udah biasa."
Hanabi beranjak dari duduknya, mengecup singkat pipi Monica yang sore ini sudah membuatnya badmood karena harus menelan rasa curiga.
Melihat Hanabi mengecup pipi Monica, sontak saja David berdiri menyodorkan pipinya dan mengharapkan perlakuan yang sama.
"Jangan mimpi ...!" Hana menjulurkan lidahnya sembari berlalu menuju pintu cafe.
Begitu keluar dari ruangan tersebut, Hanabi melangkah dan menelusuri jalanan dengan santai, lalu duduk di sebuah bangku halte sambil menunggu taksi online yang ia pesan.
Matanya melirik beberapa pengendara yang berseliweran, pikiran nya melalang buana. Wanita itu kembali teringat komentar dari suaminya di postingan Monica.
Berkali-kali Hanabi menghembuskan kasar nafasnya, sampai orang-orang yang duduk di sekitar pun melirik.
Hanabi tersentak saat melihat jalanan, matanya mengernyit saat menatap sosok yang ia kenal.
"Mas Damar? Ngapain dia lewat sini?"
Hanabi terheran-heran, jalan pulang yang ditempuh Damar kini, merupakan jalan yang berbeda dari lokasi kerjanya hari ini.
Firasat Hanabi mulai tak enak, beragam pikiran buruk mulai bersarang di kepalanya.
"Apa jangan-jangan Mas Damar mau jemput Monica tanpa sepengetahuan ku?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Taksi yang Hana tumpangi berhenti di sebuah rumah dengan nuansa warna hijau. Hana turun dengan hati-hati, ditatap nya langit yang sudah memasuki senja, rumah orang tua Hana tampak begitu sunyi.
"Assalamu'alaikum." Salam Hana saat memasuki rumah Fatur, ayah nya.
Cukup lama Hana mengucapkan salam, berkali-kali.
"Wa'alaikumsalam." Sahut Fatur ketika membuka pintu.
"Yah, bagaimana kabarnya? Sehat?" Hana lekas menyambar punggung tangan ayahnya dan menciumnya dengan takzim.
Fatur tak menjawab, hanya mengangguk singkat. Kemala pun keluar, ikut menyambut kehadiran Hana. Sementara Mayang, Hana hanya sempat melihat gorden jendela di kamar adiknya yang tadinya terbuka, tiba-tiba saja tertutup.
'Dasar anak aneh!' cibir Hana dalam hati.
"Gimana nih? Udah ngisi belum, Han?" tanya Kemala dengan senyuman mengejek.
Hanabi menggeleng lemah, lagi dan lagi, harga dirinya harus terluka oleh pertanyaan yang sama. Hana lekas duduk, tubuhnya sedikit lelah.
Wanita baya dengan gelang emas penuh di kedua pergelangan tangannya, lekas duduk bersandar di sofa teras. Kedua kakinya menyilang angkuh, sengaja ia menggerakkan kedua tangan agar gemerincing gelang jelas terdengar.
Hana memutar malas bola matanya, ia tau, Kemala pasti sangat ingin mendengarkan komentar darinya. Hana menarik nafas sedalam-dalamnya. "Udah kayak toko emas berjalan aja, Bu."
Pelan Hana hembuskan nafasnya, berusaha menjaga kewarasannya.
"Mahal loh ini, pemberian dari Mayang. Kamu tau kan, adikmu itu sekarang jadi artis? Tuh, Ayahmu saja sampai dibelikan motor sama si Mayang," Kemala tersenyum angkuh.
"Tau, mungkin besok toko emas Baba Aliong di ujung gang sana, bakal di belinya untuk Ibu," sahut Hana malas.
"Oh, pasti dong, sekarang kan Mayang sudah sukses! Gak kayak kamu, karir mu sudah redup semenjak menikah. Sekarang, kamu hanya mengandalkan uang suami doang, toh? Makanya, jadi gak bisa berbakti sama kedua orang tuamu!" sindir Kemala.
Hana mendadak panas, ia tak suka dengan perkataan Kemala.
"Kedua orang tua? Orang tua Hana kan tinggal satu, Bu. Dan penyebabnya, ya Bu Kemala sendiri kan?" Hana tersenyum lebar.
"Hanabi, jaga ucapan mu ...!" bentak Fatur.
Hanabi terkesiap, lalu menatap tajam. "Hanya Hana yang harus menjaga ucapan di sini, Yah?"
Sudah lama Fatur dan Hanabi tak pernah akur, sejak kematian istrinya, sikap Fatur terhadap Hanabi berubah drastis. Pria baya itu seperti menyiratkan rasa benci.
"Sabar, Sayang, jangan marah-marah begitu. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti ini sama anak mu." Kemala mengusap punggung pria yang duduk di samping nya, lalu menoleh pada Hanabi. "Pantesan aja kamu gak hamil-hamil, Han. Kamu gak pantes jadi orang tua, soalnya, kamu selalu dzolim pada kami berdua."
DEG!
Jantung Hana berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang.
Hana menahan gejolak emosinya, padahal ia ingin sekali menerjang mulut ibu tirinya sambil berteriak KAMEHAMEHA!
"Memangnya, kalian berdua sudah pantes jadi orang tua?" sindir Hana, kesabarannya habis sudah.
"HANA ...!" Suara Fatur melambung tinggi ke angkasa.
"Yang mengaku jadi ibu, sibuk mencari-cari kekurangan ku. Sementara yang mengaku jadi ayah, tak pernah hentinya membenciku. Padahal ia tau, bahwa semua mimpi buruk yang terjadi di masa lalu itu bukan salahku. Apa salah jika aku bertanya tentang pantasnya kalian menjadi orang tua?"
BRAK!
"Jangan kurang ajar kamu, Hana! Dasar anak durhaka! Gak tau di untung ...!" Fatur menggebrak meja di depannya, kilat amarah menyala-nyala di bola mata yang sudah menukik tajam.
"Jangan diladeni, Yah," suara Mayang terdengar dari ruang tamu.
Pemilik suara cempreng itu muncul di ambang pintu, Tuti alias sepupu Hana, mengekor di belakangnya.
"Dari dulu kita kan tau, Mbak Hana ini minim attitude. Wajahnya saja yang cantik, tapi, sifatnya seperti wanita rendahan. Makanya, karirnya hancur lebur, di tambah lagi jadi wanita mandul. Pasti bawaannya emosi mulu, ya kan, Mbak?" cibir Mayang.
PLAK!
Tangan Hanabi yang sejak tadi bergetar, akhirnya melayangkan tamparan keras. Emosi yang bergejolak membawa kakinya berdiri tepat di hadapan Mayang.
"Mayang!" Kemala menjerit saat wajah putri satu-satunya di gampar Hana.
Wanita baya itu beranjak dari sofa, lalu berlari menuju putrinya. Keras Kemala mendorong tubuh Hana, hingga wanita itu terhuyung.
"Beraninya kau menampar wajah anakku?! Apa kau tidak tau? Adikmu ini artis terkenal, dia merupakan tulang punggung keluarga ini. Gak seperti kamu, Hana, gak berguna! Kau tau? Wajah cantik ini merupakan asetnya! Tega sekali kau menyerang wajah Mayang!" Kemala berteriak geram.
"Gak berguna? Hanya karena aku sudah tidak membiayai hidup kalian lagi, lantas aku menjadi anak yang tak berguna? Enam tahun yang lalu, apa kalian lupa? 90℅ gaji ku, kalian yang pegang dan kalian habiskan untuk berfoya-foya, lupa? Gak berguna? Kurang ajar? Durhaka? Tak tau di untung? Astaga, apa hidup kalian hanya tentang uang?" Hana menatap tajam Kemala, lalu melirik sinis pada Mayang.
"Artis terkenal apa sih? Main film apa memang kamu? Yang ku tau, kau hanya artis figuran yang nongol hanya lima detik di televisi, itupun hanya adegan mengipas ayam bakar." Hana tergelak, lalu menoleh kembali pada Kemala. "Ah, ibu, kau lucu sekali. Kau terlalu menyombongkan putrimu itu!"
PLAK!
Suasana yang amat berisik, mendadak hening. Fatur menampar keras pipi Hana, senyuman kemenangan terbit di bibir Kemala dan Mayang.
Hana terkesiap, tubuhnya membeku. Meski ia tau Fatur amat membencinya, tapi, ia tak menyangka bahwa ayah kandungnya setega itu sampai sanggup menampar wajahnya.
"Angkuh sekali dirimu? Perkara pernah menafkahi keluarga ini dengan uangmu yang tak seberapa itu saja sudah belagu! Anggap saja itu untuk bayaran karena sudah menghadirkan engkau di muka bumi ini ...!" Rahang Fatur mengetat.
"Apa aku pernah minta dilahirkan? Jika di dalam rahim ibuku, aku sudah mengetahui akan memiliki seorang ayah yang lebih membela orang lain ketimbang anak kandungnya, aku lebih memilih untuk tak dilahirkan! -- Wah, apakah uang tujuh ratus juta itu tak seberapa bagimu, Yah? Belum lagi uang seratus juta ku yang dicuri oleh cecunguk-cecunguk ini?! Bagi orang yang mengumpulkan uang itu dari pagi ketemu pagi, nominal itu tak bisa diremehkan, Yah!" Hana mengeluarkan semua emosinya.
"K-kau?! Benar-benar anak tak tau diri...!" Fatur berkacak pinggang.
Hana terkekeh, semua mata memandang nya dengan tatapan aneh. "Itulah kenapa aku sangat muak dan mual berkunjung kemari. Aku paham betul, seperti apa aku akan diperlakukan di sini. Dan jika aku membela diri, maka aku akan dianggap sebagai anak tak tau diri." Hana menoleh pada Tuti dan menatapnya tajam. "Tuti, kau sengaja kan meminta ku untuk datang kemari demi untuk melihat pertunjukan norak seperti ini?"
Mulut Tuti menganga lebar. "Enggak loh, Mbak. Aku meminta Mbak kemari, karena kita sudah lama banget gak bersilaturahmi. Apa Mbak Hana gak kangen sama orang tua mu, Mbak?"
"Coba kau tanyakan pada orang yang menyandang status sebagai orang tua ku, Tut. Apa mereka merindukan aku?" sinis Hana, lalu melemparkan pandangan pada Fatur.
"Terimakasih untuk tamparan mu, Yah. Tapi, ku peringatkan, itu adalah tamparan pertama sekaligus terakhir. Jika hal seperti ini terjadi lagi, aku akan melakukan hal yang sama sebagai bentuk pertahanan diri." Hana melemparkan pandangannya pada Kemala. "Oh, ya, TANTE. Menurut TANTE, Mayang sudah sukses ya? Kalau begitu, tolong kalian transfer uang 100juta milikku yang dulu pernah kalian pakai tanpa seizin ku. Aku tunggu hari ini, jika tidak, aku akan melaporkan hal ini pada pihak yang berwajib," gertak Hana.
Dengan angkuh, Hana melangkah, menjauh dari ibu sambung dan anaknya yang tengah menganga. Langkah Hana terhenti, ia segera berbalik badan dan menatap tajam Fatur.
"Aku sudah berusaha keras, kita sudah selesai, Yah!"
Hana mengulas senyuman hambar, kemudian berbalik badan dan kembali melangkah, menjauhi kediaman orang tuanya dengan hati lara.
Hana menelusuri jalan setapak. Air mata yang sudah tak terbendung lagi, akhirnya mengalir deras, bersamaan dengan turunnya hujan yang begitu lebat dan cahaya petir yang mengkilat-kilat. Tubuh Hana bergetar hebat, wanita itu kehabisan energi, langkahnya terhuyung-huyung. Badannya menggigil, pandangan matanya perlahan mulai gelap.
BRUGH!
*
*
*
Penasaran sama kelanjutannya? klik minta update✅
Suka sama ceritanya? klik like ✅
Ingin support Author? bisa klik gift iklan, mawar/vote✅
Jangan lupa subscribe 😒
"Ayah selingkuh, Bu. -- Dengan Tante Kemala, sahabat Ibu," ungkap Hana.
Perkataan Hanabi terasa bagai petir di siang bolong bagi Paramitha. Wanita baya itu pelan mengurut dada nya yang terasa nyeri.
Dengan hati-hati Hana menjelaskan, bahwa Fatur dan Kemala sudah menjalin hubungan dua tahun lama nya. Gadis itu pun baru-baru ini mendapatkan informasi tersebut.
Kemala, janda beranak satu itu, merupakan sahabat baik Paramitha. Tak disangka, ternyata wanita itu menjadi duri dalam rumah tangganya.
Paramitha mendengarkan dengan baik setiap informasi yang diberikan Hana. Meskipun hatinya memanas, tapi, ia berusaha tenang.
Di hari yang sama, Paramitha mendatangi rumah kontrakan sahabatnya itu. Pintu kontrakan Kemala di tendang kasar, wanita baya nan anggun itu seketika menjadi bar-bar saat melihat sepatu seseorang yang sangat ia kenal, sepatu pemberian nya untuk Fatur.
"Keluar kalian pasangan zinah ...!" Jerit Paramitha sambil menendang pintu, wanita baya itu melontarkan segala kata-kata kasar.
Kemala yang sudah tak tahan mendengar segala caci maki dari Paramitha, akhirnya membuka pintu juga.
Dada Paramitha sangat sesak, Fatur berdiri di ambang pintu dengan posisi memperbaiki resleting nya.
Suasana semakin tegang, Hana berusaha menenangkan sang ibu. Paramitha tak menggubris, ia menyerang bagai singa menerkam mangsa. Tubuh Kemala sampai terlentang terlungkup dibuatnya.
Sampai akhirnya, tubuh Paramitha tiba-tiba tersungkur. Tangan wanita baya itu mencengkram dadanya yang terasa nyaris meledak. Situasi menjadi tak terkendali, Hana panik setengah mati. Bulir-bulir bening menggenang di pelupuk mata Hana.
Paramitha dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dokter berusaha menolongnya semaksimal mungkin. Namun, nasib berkata lain, nyawanya tak dapat tertolong.
Senja itu, merupakan senja tergelap dengan rintik hujan dan cahaya kilat. Senja penuh duka, dalam kehidupan Hanabi.
"Ibu ...!" jerit Hanabi dengan keringat bercucuran.
Napas Hana naik turun, wanita itu berusaha menenangkan diri. Jemari yang bergetar, ia kepal erat.
Setelah sedikit tenang, kening Hana seketika berkerut.
"Aku di mana?" Hana terlihat bingung saat melihat ruangan yang tampak begitu asing.
Bola mata hazel itu menyipit dan mengedarkan pandangan.
Beberapa saat kemudian, pria bertubuh atletis masuk ke ruangan tersebut. Bola mata Hana nyaris melompat.
"Gavriil?!" pekik Hana.
Pria tampan itu tersentak.
"Udah bangun? -- Lo di rumah gue." Gavriil mengulas senyuman tipis.
Alih-alih menjawab, Hana lekas melihat pakaiannya. Mata Hazel itu nyaris copot, pakaian yang ia kenakan kini, berbeda dari pakaian sebelum ia pingsan. Hana mendelik, menatap tajam dan hendak mengamuk.
"Wop wop santaaaai, Monica yang nuker pakaian lo. Baju lo basah kuyup," jelas Gavriil sebelum Hana ngamuk.
Hanabi menghembuskan nafas lega. "Monica di sini?"
Gavriil mengangguk. "Tapi udah pulang."
Pria itu berdiri membelakangi Hana. Entah apa yang ia cari, dari tadi sibuk membongkar isi laci nakas di kamar itu.
'Monica di sini? Apa mereka berkencan? -- Eh tunggu tunggu, kenapa aku bisa di sini?' batin Hana penasaran.
"Lo pingsan tadi, kebetulan gue melintas. Ya gue bawa aja lo kemari, gak mungkin kan gue bawa lo ke rumah yang lo kunjungi tadi? Apalagi ke rumah Damar, tambah gak mungkin." Jelas Gavriil tiba-tiba, seolah mengetahui pertanyaan yang ada di benak Hana.
Padahal yang sebenarnya terjadi, Gavriil, David dan Monica mengikuti Hana secara diam-diam ke rumah keluarganya. Mereka siaga, takut terjadi hal-hal tak terduga.
Drrt!
Drrttt!
Hana menoleh pada benda pipih yang bergetar di atas meja dan lekas menyambar nya, ponsel boba tiga itu masih sedikit basah. Hana mengerjap, melihat tujuh belas panggilan tak terjawab dari suaminya.
"Gav, tolong antarin gue pulang."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Hay, wanita yang tak punya anak, aku lapar. Mana makanan nya?" Jumiah menatap Hana yang sedang sibuk di dapur, dengan senyuman mengejek.
Hana menghela napas berat, kalimat yang Jumiah lontarkan sungguh menyakiti hatinya. Namun, dari pada ucapan ibu mertua, ada hal yang lebih menyakiti Hana. Pagi ini, Damar sedikitpun tidak membela dirinya yang tengah direndahkan. Dada Hana seketika terasa sesak.
"Sedang disiapkan, Bu. Sabar," sahut Hana.
Pagi ini, suasana memang tak seperti biasa. Damar lebih banyak diam semenjak Hana terlambat pulang tadi malam. Tentu saja hal ini membuat Hana merasa gelisah, meskipun ia tak melakukan kesalahan apapun.
"Kopi atau teh, Mas?" tanya Hana pada Damar.
"Terserah," jawab Damar datar.
Meskipun kalimat Damar tak enak di dengar, Hana berusaha tersenyum hangat seperti biasa. Wanita itu gesit menyajikan beranekaragam menu di atas meja makan. Mereka bertiga makan dengan lahap.
"Kapan Ibu pulang ke rumah Mbak Dinar?" tanya Damar.
"Kenapa? Gak boleh ibu lama-lama di sini?" Jumiah menyipitkan matanya.
Sudah satu minggu Jumiah menginap di rumah Damar dan Hana, ibu dua anak itu memang sering menginap. Jumiah aslinya tinggal bersama Dinar, kakak Damar yang seorang janda tanpa anak. Tempat tinggal Dinar hanya berjarak 1KM saja dari rumah Damar.
"Bukan begitu, aku cuma nanya. Ibu nih kebiasaan, sensian," cibir Damar.
Jumiah menjeling sinis. "Nanti lah, tunggu masalah kamu kelar."
"Uhuk ...!" Damar tersedak makanannya, lekas pria itu menyambar segelas air, lalu meneguknya.
Pria itu sedikit gelisah, Jumiah berusaha menenangkan Damar melalui tatapan matanya.
Jumiah melirik sinis pada Hana yang tengah mengunyah. "Hey, Mandul."
Ucapan Jumiah membuat mulut Hana berhenti mengunyah. Hana menelan paksa makanan dalam mulutnya yang masih terasa serat.
"Aku tak mandul, Bu." Hana menurunkan kedua tangannya ke bawah meja.
"Halah, itu terus jawabanmu! -- Ndul, dengar baik-baik ucapanku, aku mau menyampaikan hal penting. -- Besok, Damar akan menikah lagi, ku harap kau berlapang dada dan tak membuat masalah!" jelas Jumiah.
Hana merasa kepalanya baru saja dihantam palu godam. Wanita itu menepuk-nepuk gendang telinganya yang mendadak berdenging, memastikan bahwa ia sedang tidak salah dengar.
Hana menatap Damar tajam, meminta penjelasan. Namun, Damar sedikitpun enggan meliriknya, pria itu sedikit merasa bersalah.
"Apa aku tidak salah dengar, Bu? Ibu, bercanda kan?" tanya Hana gelisah.
"Sudah mandul, bodoh pula! Ngapain juga aku bercanda sama wanita bodoh sepertimu? -- Ucapanku serius, Damar akan menikah lagi." Jumiah meletakkan sendok dalam genggaman nya ke atas meja, lalu menyambar segelas air dan meneguknya hingga kandas.
"Kenapa, Bu? Kenapa?" Hana berusaha menahan tangis, suaranya mulai bergetar.
"Kenapa? Haduh, bodoh banget sih kamu ini, Han? -- Ya karena kamu mandul lah ... gitu aja pake nanya segala!" sinis Jumiah.
"Aku tidak mandul, bu! AKU TAK MANDUL ...!" Suara Hana menggelegar, membuat Jumiah dan Damar tersentak.
"Aku tak mandul, Bu ...." Air mata Hana akhirnya menetes. Kepalanya tertunduk.
Damar hendak berdiri, menenangkan sang istri. Namun, Jumiah mencekal pergelangan tangannya, kepala wanita baya itu menggeleng.
"Kau jelas mandul, Hana. Terimalah fakta itu, Damar akan menjadi seorang Ayah," papar Jumiah.
Hana mendongak, matanya basah. "Maksud Ibu apa?"
Jumiah memutar malas bola matanya, menatap Hana jengah.
"Kekasih Damar hamil, sudah tiga bulan."
"K-kekasih?!"
Hana melemparkan tatapan tajam pada Damar, pria itu menundukkan kepala saat netra mereka beradu pandang.
"Kau berselingkuh dariku, Mas?!" suara Hana tercekat di tenggorokan. "Siapa? Siapa wanita itu, Mas?"
Damar mengatup mulutnya rapat-rapat.
"Aku tak mandul, Mas. Dan kau paling tau itu, bisa-bisanya kau berpaling," suara dan ekspresi Hana begitu dingin dan tajam, seperti serpihan es.
"Sudahlah, Hana. Kau harusnya bersyukur, Damar tidak menceraikan wanita mandul sepertimu." Ucapan Jumiah semakin membuat Hana sakit.
Hana berdiri, mata basah itu menatap sengit pada Jumiah.
"Aku tidak mandul, aku akan membuktikan ucapanku ini padamu, Bu. Begitu aku berhasil membuktikan ucapanku ini, aku sendirilah yang akan menceraikan putramu."
Ucapan Hana membuat Damar tersentak. Meskipun ia yakin Hana tak akan bisa membuktikan ucapannya, tetap saja pria itu merasa gelisah. Perceraian tak pernah ada dalam pikiran nya. Meskipun berselingkuh, Damar tau bahwa ia sangat amat mencintai Hana.
"Yank, tenanglah, ini demi kebaikan kita." Damar berusaha menenangkan dengan kalimat yang tak masuk akal.
"Kebaikan kamu lebih tepatnya." Hana hendak melangkahkan kakinya, ia ingin segera meninggalkan ruangan itu.
Namun, belum sempat kakinya melangkah, Jumiah sudah mencekal tangannya.
"Jangan kemana-mana, duduk di sini. Ibu mau buka pintu, ada tamu." Jumiah memaksa Hana untuk kembali duduk.
"Aku tidak punya urusan apapun dengan tamu Ibu," Hana kesal.
"Tentu saja ada, apa kamu tidak ingin melihat calon madu mu?" Jumiah tersenyum lebar, Hana terhenyak.
Ibu mertua Hana lekas membukakan pintu yang sejak tadi di ketuk. Wanita dengan dress merah muda masuk dan mencium punggung tangannya dengan takzim.
Jumiah membawa wanita itu ke ruangan makan.
Damar mengulas senyuman tipis saat menatap calon istrinya. Sedangkan Hana, wanita itu mendelik, tangannya gemetar luar biasa. Ia benar-benar tak menyangka saat melihat calon madu nya.
"K-kau??"
*
*
*
Tebak-tebakan yuk, menurut kalian Damar selingkuh sama siapa? 👀
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!