NovelToon NovelToon

Terjebak Cinta Berondong

Menolong Seorang Pemuda

Sore hari yang cukup cerah, adalah waktu yang melelahkan bagi para karyawan yang baru saja selesai waktu kerja. Begitu pun dengan Savira, gadis berusia 25 tahun yang bekerja di sebuah Perusahaan besar di Kota ini. Sebenarnya dia tidak cukup mengerti kenapa bisa diterima di Perusahaan ini. Entah karena keberuntungan saja, atau mungkin karena kekeliruan. Yang jelas dia beruntung sekali bisa bekerja disana.

Savira mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, menikmati angin yang menerpa wajahnya. Sampai seseorang yang tiba-tiba berlari ke depan motornya dengan tangan terentang, menghentikan Savira dengan tiba-tiba.

"Ya ampun, eh lo mau mati ya" teriak Savira dengan kaget.

Pemuda itu bukannya minta maaf, dia malah berlari ke arahnya dan naik ke atas jok belakang motor Savira.

"Cepat jalan, aku sedang di kejar pereman" ucapnya dengan terus menepuk bahu Savira agar segera melajukan motornya.

"Apaan si, lo punya utang ya sama mereka? Kenapa sampe di kejar-kejar gitu?"

"Cepetan jala, mereka sudah hampir kesini"

Savira langsung melihat ke arah orang-orang berseragam hitam yang berlari ke arah mereka. Karena takut terlibat juga, jadi Savira melajukan motornya dengan cepat. Dia juga tidak ingin terlibat dengan orang-orang yang terlihat sangar itu.

Sampai dia berhenti di depan rumahnya, Savira jadi ikut ngos-ngosan karena tegang dengan orang-orang yang hampir mengejar mereka. Dia turun dari motor dan membuka helmnya.

"Lo itu sebenarnya lakuin kesalahan apasi? Sampe di kejar orang-orang kayak gitu?" ketus Savira.

Pemuda itu tersenyum sambil mengusap belakang kepalanya. "Hehe, tidak sengaja menendang kaleng bekas dan mengenai salah satu dari mereka"

Savira langsung memutar bola mata malas. Merasa heran dengan kelakuan anak-anak jaman sekarang. "Makanya kalo mau lakuin sesuatu itu, mikir dulu. Udah ah, sekarang lo pergi sana. Gue udah cukup bantuin lo sampe sini aja"

Saat Savira berbalik dan ingin masuk ke dalam rumahnya, tiba-tiba tangan pria itu menahannya. "Kak, gue boleh tinggal disini semalem aja. Gue baru aja di usir dari Kosan, karena gak bayar tiga bulan ini. Tolonglah Kak, gue beneran gak punya siapa-siapa lagi"

Savira langsung menatapnya dengan mata menyipit, takut pemuda ini hanya berbohong padanya. "Lo ada niat jahat sama gue ya? Atau, lo mau melakukan pelecehan? Dasar cowo baji*ngan lo!"

"Tidak Kak, aku tidak mungkin melakukan itu. Aku benar-benar tidak punya uang dan tidak punya tempat tinggal sekarang. Tolonglah Kak" ucapnya dengan memohon.

"Eh, gue gak mungkin nolongin lo. Lagian gue juga gak kenal sama lo"

Pemuda itu langsung menjabat tangan Savira tanpa diminta. "Namaku Shandy, umurku baru 20 tahun. Aku sama sekali gak ada niat jahat kok"

"Dek, kamu bawa siapa?"

Savira langsung menoleh saat mendengar suara Kakaknya. Dia bingung bagaimana menjelaskan. "Em ini Kak, dia..."

Shandy langsung menghampiri Kakaknya Savira dan menyalaminya dengan sedikit memaksa. "Nama aku Shandy Kak. Umur aku baru 20 tahun, aku izin untuk ikut menginap sebentar saja disini. Aku di usir dari kosan dan juga tidak punya uang"

Wanita yang sedang hamil besar itu, malah kebingungan sendiri. Dia menatap adiknya dengan lekat. Dan Savira hanya mengangkat bahunya acuh. Dia juga bingung harus menjawab seperti apa.

"Aku mohon Kak, aku tidak punya siapa-siapa di sini" ucap Shandy dengan wajah memelas.

Savira berjalan melewati mereka sambil berkata pada Kakaknya. "Terserah Kak Mena saja"

Kak Mena hanya menghela nafas pelan, dia juga tidak tega melihat anak ini yang memohon padanya. Dia melihat juga jika anak ini bukan anak yang berniat jahat.

"Yaudah, tapi disini tidak ada kamar lain. Kamu tidak papa tidur di sofa?"

"Tidak papa Kak, aku bisa tidur dimana saja. Terima kasih banyak ya" teriak Shandy dengan semangat. Membuat Kak Mena sedikit kaget. "Eh, maaf Kak, membuat Kakak kaget"

"Tidak papa, sekarang ayo masuk"

Shandy mengangguk dengan bahagia, dia langsung masuk ke dalam rumah sederhana ini yang berada di pinggiran kota.

"Kamu sudah makan belum?" tanya Kak Mena.

Shandy menggeleng pelan.

"Yaudah, sekarang sebaiknya kamu mandi dulu. Nanti kita makan malam bersama"

"Iya Kak, terima kasih. Tapi Kak, aku tidak punya baju ganti" ucap Shandy.

Kak Mena langsung terdiam, lalu dia menghela nafas pelan. "Nanti aku ambilkan, kamu tunggu disini"

Shandy mengangguk saja, sambil menunggu dia menatap ke sekeliling ruangan ini. Hanya ada sofa usang dan juga barang-barang seadanya disini. Sampai Shandy melihat ke arah pintu yang terbuka, mungkin pintu ke arah dapur. Dari sana muncul Savira yang menggunakan jubah mandi dan juga handuk yang menggulung rambut basahnya di kepala.

Savira cukup terkejut, dia merapatkan bagian baju handuknya di bagian dada. "Ish, lo ngapain si pake tinggal disini segala. Kak Mena juga, kenapa terlalu baik sama orang"

Shandy hanya tersenyum saja melihat Savira yang berlalu ke kamarnya dengan menggerutu kesal. Lalu dia mengusap wajahnya kasar setelah Savira berlalu.

"Sial, kenapa dia begitu menggoda"

Shandy langsung menggelengkan kepalanya. Tidak boleh sampai merusak kepercayaan dua wanita di rumah ini dengan kelakuan buruknya ini. Kebiasaan hidup bebas.

"Ini pakaian ganti untuk kamu. Semoga cukup ya. Dan ini juga handuknya"

Shandy menatap Kak Mena yang baru saja menghampirinya dengan membawa baju ganti untuknya. Shandy langsung berdiri dan menerima pakaian itu. Dia melihat sekilas jika mata Kak Mena terlihat memerah seperti habis nangis. Dia juga cukup lama mengambilkan pakaian ganti untuknya.

Ada apa sama dia ya?

"Em, terima kasih Kak. Aku mandi dulu ya"

Kak Mena hanya mengangguk saja, membiarkan Shandy berlalu ke kamar mandi yang berada di dapur mereka. Mena kembali duduk di sofa dengan sedikit susah, perutnya yang sudah besar membuat geraknya terbatas.

"Kak, kenapa izinkan dia tinggal si?" ketus Savira yang baru keluar dari kamar. Ditangannya masih ada handuk untuk mengeringkan rambut.

"Sudahlah Dek, menolong orang lagi kesusahan 'kan tidak salah. Lagian Kakak lihat dia memang sedang membutuhkan pertolongan kita. Kita percaya saja sama dia, kalau memang dia berbuat jahat nantinya, berarti dia sudah menghancurkan kepercayaan kita"

Savira menghembuskan nafas kesal, dia kembali masuk ke dalam kamar untuk menyisir rambutnya. Sementara Mena hanya menggeleng pelan dengan sikap adiknya ini.

"Kamu juga yang bawa dia kesini Dek"

Bersambung

Sikap Ketus Savira

Malam ini suasana rumah terasa lebih ramai karena bertambahnya satu orang yang berada di rumah ini. Makan malam bersama dengan menu seadanya. Namun entah kenapa, bagi Shandy ini adalah makan malam begitu menyenangkan. Karena bisa lebih dekat satu sama lain, bisa mengobrol dengan anggota keluarga lainnya.

"Dek, besok ada banyak pesanan cattering lagi. Siapa yang bisa antar ya" ucap Kak Mena.

"Em, biar aku saja Kak. Aku bisa kok" ucap Shandy tiba-tiba.

Kak Mena dan Savira langsung menatap ke arahnya. Apalagi Savira yang menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Lo bisa memangnya?"

"Ck, iya aku bisa. Lagian ada motornya 'kan?" tanya Shandy.

"Ada, yaudah kalo gitu lo aja. Biar gak gratis-gratis amat tinggal disini" ketus Savira.

"Dek, jangan gitu ah" tegur Kak Mena, namun Savira hanya mendengus pelan.

"Kakak masuk dan istirahat aja. Biar Vira yang beresin ini"

Mena hanya mengangguk saja, menuruti ucapan adiknya. Dia berlalu ke kamar. Sementara Savira langsung membereskan bekas makan mereka. Membawa piring kotor ke Wastafel disana.

Shandy mengikutinya, ingin membantu maksudnya. Namun sikap judes Savira selalu tidak ingin dia dekat dengannya.

"Sana lo, ngapain disini" ketus Savira.

"Kak, cuma mau bantuin aja kok" ucap Shandy yang mengambil piring di tangan Savira dan membersihkannya di air mengalir.

Savira tidak berkata lagi, dia hanya melirik sinis pada Shandy. Dia terus menyabuni semua piring kotor, dan membiarkan Shandy yang membersihkannya.

"Oh ya Kak, sejak tadi aku gak lihat suaminya Kak Mena. Dia kerja jauh ya?" tanya Shandy.

Piring terakhir di tangannya langsung terjatuh dan pecah menjadi beberapa bagian. Savira terkejut dengan itu, dia langsung ingin mengambil pecahan piring itu tapi malah mengenai jemarinya hingga terluka.

Shandy yang terkejut dengan reaksi Savira saat dia menanyakan itu, lebih terkejut lagi melihat tangan Savira yang berdarah. Dia langsung meraih tangan Savira dan mencucinya di bawah air mengalir.

"Kenapa gak hati-hati, Kak"

Savira hanya terdiam, dia menatap Shandy yang memegang tangannya. Tersadar dari lamunannya, dia langsung menarik tangannya dari genggaman Shandy.

"Gara-gara lo tangan gue jadi luka. Udah lo minggir aja deh, cuma ganggu doang"

Shandy mematikan kran air, dia menarik tangan Savira dan mereka duduk di krusi meja makan disana. "Jangan marah-marah mulu Kak, nanti cepet tua. Dimana kotak obatnya? Biar aku obati lukanya"

"Gue bisa sendiri"

"Kak!"

Savira tiba-tiba terdiam saat melihat tatapan begitu dingin dari Shandy. Seolah anak itu memang tidak dibantah. Akhirnya Savira menunjukan dimana kotak obat berada. Dan Shandy pun segera mengambilnya.

Duduk di depan Savira, dia meraih tangan Savira dan mengobati luka di tangannya. "Lain kali hati-hati, Kak"

"Gara-gara lo juga" ketus Savira.

"Apaan si? Aku 'kan cuma tanya tentang suami Kak Mena. Kenapa juga jadi kaget kayak gini?" ucap Shandy, dia tidak merasa bersalah dengan ucapannya itu.

Savira langsung menghela nafas pelan. Dia menarik tangannya dari genggaman Shandy setelah anak itu selesai mengobati lukanya.

"Lo gak bisa nanyain tentang itu, apalagi di depan Kak Mena. Lo gak lihat apa, tatapan Kak Mena saat tadi lo datang memakai baju itu?"

Shandy langsung terdiam, dia ingat tatapan Kak Mena yang seperti terkesima. Bahkan terlihat matanya sampai berkaca-kaca. Tapi Shandy tidak tahu kenapa bisa sampai seperti itu.

"Baju yang lo pake itu, adalah baju almarhum Kakak gue. Dia baru meninggal beberapa bulan lalu"

Shandy langsung terdiam, cukup terkejut dengan apa yang dia dengar. Langsung merasa tidak enak karena sudah mengungkit sebuah luka lama. Apalagi saat melihat wajah Savira juga sudah menunduk sedih.

"Kak, maaf, aku gak tahu kalo..."

"Udah gak papa, lagian gak semua orang tahu dan sebenarnya pertanyaan lo wajar aja. Cuma gue mohon banget sama lo, buat gak pernah nanyain tentang ini di depan Kak Mena. Jangan sekalipun membahasnya"

Shandy langsung mengangguk, dia bisa mengerti dengan perasaan Kak Mena sekarang. Pastinya dia sangat sakit sekali, ditinggalkan suaminya dalam keadaan hamil seperti ini.

"Udah ah, gue mau tidur ngantuk. Lo kalo mau tidur, di sofa aja"

Shandy kembali mengangguk tanpa membantah.

*

Malam ini Savira tiba-tiba tidak bisa tidur. Kembali teringat dengan mendiang Kakak laki-lakinya. Pria yang melindunginya setelah orang tua mereka tiada. Lalu, kebahagiaan Savira bertambah saat Kakaknya menikahi wanita baik hati seperti Kak Mena. Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Bahkan usia pernikahan mereka baru satu tahun lebih, belum sempat merayakan usia pernikahan ke dua tahun. Namun, Tuhan sudah lebih dulu mengambilnya.

"Kak, gue kangen banget. Gak ada yang bisa gantiin lo Kak. Lo udah yang terbaik buat gue"

Savira pergi keluar kamar, berniat untuk mengambil minum di dapur. Namun, dia melihat seorang pria yang meringkuk kedinginan di atas sofa. Entah ada kebaikan seperti apa dalam hatinya, dia kembali ke kamar dan mengambilkan selimut untuknya. Padahal tadi saja dia begitu ketus pada pria itu.

"Sebenarnya nih anak siapa si? Kok bisa nyasar kesini"

Savira menyelimuti tubuh Shandy. Sejenak dia menatap wajahnya. Garis wajah yang sebenarnya begitu sempurna. Hidung mancung, kulit putih, dengan kulit wajah yang mulus.

"Gue heran, kok ada cowok semulus ini ya? Dia perawatan kali ya"

Savira hanya menggeleng pelan dengan ucapannya sendiri. Dia segera melanjutkan langkahnya ke arah dapur untuk mengambil minum.

Kedua mata Shandy langsung terbuka saat menyadari jika Savira sudah berlalu. Dia menatap selimut di tubuhnya, lalu tersenyum dengan menarik selimut sampai menutupi bahunya.

Ketika Savira kembali menuju kamarnya, dia melirik ke arah Shandy yang masih terlelap. Lalu dia mengangkat kedua bahunya dan kembali masuk ke dalam kamar.

"Ngapain juga gue pake merhatiin tuh anak"

Savira kembali naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Wajahnya terasa memanas sekarang. Savira bahkan tidak mengerti apa yang terjadi padanya.

"Apaan si gue ini. Itu cuma anak ingusan Savira. Bahkan umurnya aja 5 tahun lebih muda daripada lo"

Savira menyadarkan dirinya tentang apa yang sempat terlintas dalam pikirannya.

Bersambung

Apa Rencana Shandy Sebenarnya?

Pagi ini Savira sudah siap menggunakan pakaian kerja. Dia melihat Shandy yang sudah berada di dapur dan membantu Kakaknya. Savira melihat Shandy yang begitu telaten membantu Kak Mena.

"Lo masih kuliah 'kan? Berangkat jam berapa sekarang?" tanya Savira.

"Kelas siang Kak, jadi masih bisa bantu Kak Mena buat antar pesanan"

"Kalo gitu anterin gue ke Kantor, biar nanti motornya lo yang bawa aja" ucap Savira.

Shandy mengangguk, dia segera berdiri dan mencuci tangan di wastafel sebelum menerima kunci motor dari Savira.

"Gak sarapan dulu, Dek?" tanya Kak Mena.

"Keburu telat Kak, nanti aja di Kantor"

Shandy hanya menatap ke arah meja makan. "Kalau sarapan masih keburu kok. Ini masih jam 7 pagi"

"Gue gak boleh telat, karena gue cuma karyawan biasa. Lagian gue gak terlalu suka sarapan"

"Iya Shan, memang Vira itu orang paling malas dengan sarapan. Jadi dia sudah biasa" ucap Kak Mena ikut menimpali melihat wajah kebingungan Shandy.

Akhirnya segera mereka berangkat dengan Shandy yang mengendarai motor. "Kak, lo kerja di Perusahaan mana?"

"Perusahaan ARS Coporation"

Shandy langsung terdiam, ekspresi wajahnya berubah. Dia langsung menurunkan kaca helmnya untuk menutupi wajahnya. Ketika sampai di depan gerbang Perusahaan besar itu, Shandy langsung menghentikan motornya.

"Makasih ya udah anterin gue. Lo bisa pake motor ini buat berangkat kuliah juga. Oh ya, nanti jemput gue" ucap Savira.

"Jam berapa Kak?"

"Gak tentu juga, gimana kalo gue minta nomor ponsel lo"

Shandy langsung terdiam, seolah dia bingung bagaimana menjawabnya. "Em, nanti aku saja yang minta nomor ponsel kamu ke Kak Mena"

"Oh yaudah kalo gitu, gue masuk dulu ya"

Savira berbalik dan berjalan masuk ke dalam Lobby Perusahaan. Merasa heran juga dengan sikap dan kelakuan Shady.

"Kenapa juga kaca helmnya gak dia buka pas ngobrol sama gue? Aneh banget"

*

Sementara Shandy menyelinap masuk ke dalam Perusahaan ini, menggunakan masker dan juga topi yang dia pinjam dari pos satpam. Ada hal yang perlu dia selidiki saat ini. Shandy naik lift menuju lantai tertinggi gedung ini. Disana ada ruangan para petinggi Perusahaan.

Shandy masuk ke salah satu ruangan, belum ada penghuninya. "Untung juga dia pergi bekerja pagi sekali begini. Jadi belum banyak orang datang"

Shandy berjalan ke arah meja kerja, membuka setiap tumpukan berkas. Namun tidak menemukan yang dia butuhkan. Sampai dia membuka laci dan melihat sebuah brangkas di dalam laci itu. Shandy mulai menekan beberapa angka untuk membuka brankas itu. Namun tetap gagal.

"Sial, apa kata sandinya. Gue yakin kalo disini banyak rahasia"

Shandy terus mencoba sampai dia mulai mendengar langkah kaki. Jadi dia menghentikannya, sepertinya bukan saatnya mendapatkan apa yanga da di dalam brankas itu. Sandy segera keluar dari ruangan, tidak sengaja berpapasan dengan beberapa orang yang berjalan ke arahnya.

"Eh, kau habis apa?"

Shandy terdiam, dia semakin menurunkan topinya agar wajahnya tidak terlihat. "Saya di suruh membenarkan kaca jendela yang rusak. Tapi sudah selesai"

"Oh begitu ya"

Shandy mengangguk dan segera pergi dari sana. Setelah masuk ke dalam lift, dia menghela nafas lega. "Sial, gue hampir aja ketahuan"

Akhirnya Shandy kembali ke rumah Savira, membantu Kak Mena untuk menyiapkan pesanan catering. Shandy juga yang mengantarkannya.

"Kak, sepertinya aku sekalian berangkat kuliah"

"Yaudah, kamu hati-hati ya"

Saat Shandy sudah selesai memakai sepatunya, dia kembali berbalik pada Kak Mena. "Kak minta nomor ponsel Savira dong. Aku harus menjemputnya nanti"

"Mana ponsel kamu? Biar aku masukan nomor ponsel Savira"

Shandy kembali terdiam, bola matanya bergerak-gerak gelisah seolah sedang mencari alasan sekarang. "Em, ponsel aku ketinggalan di Kosan. Sekarang mau aku ambil dulu sambil ambil beberapa barang aku juga. Bolehkah aku tinggal disini dulu sebelum dapat pekerjaan dan tempat tinggal yang baru?"

"Iya, lagian seneng juga karena ada yang temani Kakak"

Akhirnya Shandy mendapatkan nomor ponsel Savira dengan Kak Mena yang menuliskan di sebuah kertas kecil. Shandy segera berangkat untuk mengantarkan pesanan dan langsung pergi ke Kampus.

Setelah mengantar pesanan, dia langsung pergi ke Kampus. Menemui dua orang temannya yang sudah lebih dulu dia hubungi.

"Shan, lo kemana aja si? Kita berdua sampe shock karena terus di tanya-tanya sama orang suruhan Kakek lo"

Shandy menghela nafas pelan, dia merangkul kedua sahabatnya. "Gue butuh bantuan kalian"

"Hah? Apaan?" tanya Hanif.

"Sekarang sini dulu HP lo" ucap Shandy sambil menengadahkan tangannya ke arah Hanif.

"Buat apaan si?" ucap Hanif, meski bingung dia tetap memberikan ponselnya pada Shandy.

Shandy langsung membuka ponsel Hanif dan memasukan kartu baru ke dalam ponsel itu.

"Heh, lo mau apain ponsel gue? Aduh, Shan, itu baru aja lunas" teriak Hanif yang panik melihat ulah Shandy pada ponselnya.

Shandy mengambil ponselnya dari saku celana. "Lo pake punya gue, sekarang kita tukar ponsel. Tapi, nomornya pake yang ini. Kartu di ponsel itu lo buang aja"

"Wah, beneran nih? Gue gak harus bayar 'kan? Sementara harga HP gue sama punya lo ini, bisa berkali-kali lipat"

"Udah lo ambil aja"

Gilang yang sejak tadi melihat kelakuan dua temannya ini, hanya menggeleng pelan. "Sebenarnya apa rencana lo?"

Shandy beralih menatap Gilang, sepupunya yang cukup dingin dan irit bicara. Namun selalu bisa menebak isi pikiran Shandy. "Lang, pokoknya lo jangan sampe bilang sama Bokap atau Kakek tentang keberadaan gue. Pokoknya ada yang harus gue urus, dan nanti gue pasti butuh bantuan kalian"

"Terus lo tinggal dimana sekarang?" tanya Gilang.

"Ada orang baik yang mau menampung gue. Sekarang gue masih butuh bantuan lo, Nif. Tolong bawain gue baju-baju lo dan barang lainnya, gue beli deh"

Hanif malah dibuat bingung dengan sahabatnya ini. Sementara dia juga tidak bisa menebak jalan pikiran Shandy dan Gilang.

"Buat apasi?"

"Udah lo nurut aja napa si"

"Iya deh, iya. Nanti gue bawa. Lagian lo juga pake baju siapa nih? Kayak bukan lo banget deh, pake baju murah kayak gini" ucap Hanif sambil terkekeh.

"Lo minta di tonjok ya!"

"Hehe, enggak Shan. Gue bercanda doang"

GIlang hanya menggeleng pelan melihat kelakuan dua orang di depannya ini. "Benar-benar seperti anak kecil"

"Lang, lo haru dukung gue buat saat ini. Karena ini juga demi kebaikan Perusahaan Kakek. Lo juga pasti gak mau kalo sampe Perusahaan kita hancur di tangan orang yang salah"

Gilang terdiam mendengar ucapan Shandy. Karena sebenarnya dia juga tidak mengerti rencana Shandy. Sepupunya itu masih belum mengatakan apapun.

"Sepertinya lo harus kasih tahu dulu apa rencana sebenarnya"

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!