Di pinggir jalan Jakarta yang ramai dan sesak, seorang pemuda bernama Nadif duduk termenung.
Di usianya yang sekarang menginjak 30 tahun, wajah tampannya masih memancarkan pesona, meskipun kehidupan telah membuatnya terlihat lusuh.
Dengan tinggi badan yang mencapai hampir 175 cm, tubuhnya yang tegap dan kulitnya yang putih bersih membuatnya mudah dikenali, seolah dia baru saja turun dari catwalk.
Rambut hitamnya yang sedikit bergelombang berantakan, namun tetap menambah daya tarik yang khas. Namun, penampilan elegan tapi manis yang dulu selalu ia tampilkan kini tampak pudar di balik kemeja putih yang kusut dan celana hitam pudar.
Sepatu yang ia kenakan berlubang di beberapa tempat, menambah kesan bahwa hidupnya sedang tidak baik-baik saja.
Beberapa bulan yang lalu, dunia Nadif benar-benar runtuh ketika Nia, istrinya, memutuskan untuk meninggalkannya.
"Aku nggak bisa terus begini," Nia bicara dengan suara serak, air mata membasahi pipinya.
"Aku udah nyoba, tapi hidup kita nggak berubah. Anak-anak butuh sesuatu yang lebih baik."
"Kamu tau aku selalu berusaha. Aku lagi cari kerja, Nia. Kasih aku waktu lagi, tolong," jawab Nadif dengan nada putus asa, mencoba meraih tangan Nia.
"Sudah cukup. Aku nggak bisa lihat anak-anak menderita lagi. Aku akan bawa mereka ke rumah orang tua. Di sana, mereka bisa hidup lebih baik."
"Jangan, Nia... Jangan pisahkan aku dari Vino dan Veny, tolong," suara Nadif pecah, matanya penuh harapan.
"Tolong mengerti, ini yang terbaik buat mereka," Nia menarik tangannya, meninggalkan Nadif sendirian di ruang tamu kecil yang suram itu.
Setelah Nia pergi, Nadif benar-benar terpuruk. Di jalan, tatapan orang-orang yang dulunya penuh hormat kini berubah menjadi pandangan sinis.
Keluarganya mulai menjauh, teman-temannya perlahan menghilang. Nadif sering mendengar mereka bergumam tentang dirinya, merasa malu dan terhina.
Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah perjuangan harian untuk bertahan hidup di Jakarta. Setiap hari, ia luntang-lantung mencari pekerjaan, berharap ada yang bisa memberinya secercah harapan.
Sorenya, setelah mengikuti wawancara yang melelahkan di Jakarta Utara, Nadif menaiki kereta yang penuh sesak menuju kost kecilnya di Jakarta Selatan. Di dalam kereta, ia berdiri, merenung, mencoba menepis kenyataan pahit yang terus menghantuinya.
####
Keesokan harinya, Nadif pergi ke sebuah food court dekat kost-nya di belakang mall Cilandak Town Square. Tempat itu sudah mulai ramai dengan para pedagang lain yang membuka lapaknya.
Nadif berhenti di sebuah warung soto khas Semarang, tempat di mana dia sering membantu untuk mendapatkan makanan, sekedar agar bisa menyambung hidup di Jakarta. Warung itu adalah milik sahabatnya di Jakarta bernama Ajun.
Saat dia sedang bekerja, seorang wanita dengan rambut panjang rapi dan pakaian kantoran yang modis menghampiri. Wanita itu terlihat sangat familiar.
"Hah, lo Nadif, kan? Lama banget kita nggak ketemu," ucap wanita itu dengan nada terkejut.
Nadif memutar tubuhnya, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Dita, mantan teman sekelasnya di UI* Jogja yang ternyata juga merantau ke Jakarta. Dulu, Dita selalu naksir Nadif, tapi perasaannya nggak pernah terbalas. Sekarang, melihat Dita yang sukses, campur aduk rasanya antara senang bertemu teman lama dan merasa minder dengan keadaan sekarang.
"Oh, Dita... Gue nggak nyangka kita ketemu di sini," jawab Nadif sambil memaksakan senyum.
"Gimana kabarnya?"
"Baik-baik aja, tapi lo gimana? Gue denger dari teman-teman, lo lagi cari kerja?" tanya Dita dengan nada yang seolah peduli, tapi tersirat sedikit nada merendahkan.
"Ya, lagi ada masa-masa sulit... Tapi gue tetap berusaha. Lo sendiri gimana? Kayaknya lo sukses sekarang."
Dita tersenyum tipis, "Gue kerja di perusahaan multinasional, sekarang jadi manajer HR. Kalau lo mau, gue bisa coba bantu cariin kerjaan buat lo. Mungkin nggak sesuai ekspektasi lo, tapi lumayan buat awal."
"Terima kasih, Dit, gue hargain bantuannya."
"Ya, gue bisa cariin posisi sebagai cleaning service atau satpam di perusahaan gue. Gajinya nggak besar, tapi lumayan lah daripada lo nggak ada kerjaan. Lo tau kan, nggak semua orang bisa sukses kayak gue. Terkadang, orang kayak lo harus realistis dan terima kenyataan," kata Dita dengan nada sinis yang sangat terasa.
Nadif terdiam sejenak. Meski dia tahu posisinya sedang sulit, harga dirinya nggak bisa menerima tawaran yang disampaikan dengan cara seperti itu.
"Terima kasih, Dit... Tapi gue pikir, gue coba peruntungan di tempat lain aja."
Nadif berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya, dia merasa harga dirinya terkoyak.
####
Hari-hari berikutnya, Nadif terus berjuang. Setiap pagi, dia bangun dari kasur tipis di kost yang pengap, mengenakan pakaian yang sama, dan memulai lagi pencarian tanpa henti.
Setiap hari, Nadif merasa semakin berat menghadapi rutinitasnya yang monoton.
Malamnya sering dihabiskan dengan merenung di kost kecilnya, mengingat masa lalu yang lebih baik. Meski matanya terlihat lelah dan wajahnya semakin kusam, tekadnya tetap membara, meski seringkali terasa tipis.
###
Suatu malam, Nadif duduk di mejanya dengan surat lamaran yang berserakan. Dia menulis lamaran demi lamaran, berusaha untuk tetap positif.
Nadif: (berbicara sendiri) "Oke, ini satu lagi. Semoga ada yang positif kali ini."
Dia mengisi lamaran dengan tangan yang sedikit bergetar, merasa tekanan hidup semakin berat.
Sementara itu, pesan masuk dari temannya, Ajun.
"Nadif, gue baru aja dapet info lowongan di sebuah perusahaan BUMN. Lo mau coba?"
"Gue coba aja, Jun. Makasih banyak."
Nadif mengirim lamaran dan berharap untuk mendapatkan kabar baik. Namun, beberapa hari kemudian, dia kembali mendapatkan kabar penolakan.
Hari-hari berikutnya terasa semakin berat bagi Nadif. Dia mulai merasakan tanda-tanda depresi, dengan pikiran yang terus-menerus mengganggu tidurnya. Meski begitu, dia tetap menjaga semangatnya untuk mencari pekerjaan.
####
Suatu sore, setelah berhari-hari menghadapi penolakan demi penolakan, Nadif berjalan ke sebuah warung kopi kecil yang sering ia kunjungi untuk menghibur diri. Dia duduk di pojok, mengamati orang-orang yang lalu lalang, berusaha mengalihkan pikirannya dari kesulitan yang dihadapinya.
Pelayan warung kopi mendekat.
"Mas, mau pesan apa?" Tanya pelayan warung.
"Kopi hitam, tolong." Pinta Nadif.
"Kopi hitamnya, ya."
Nadif menunggu sambil menatap cangkir kosong di mejanya. Ketika kopi datang, dia mengambil beberapa tegukan, mencoba merasakan sedikit kenyamanan dalam rutinitas yang melelahkan.
Di tengah keramaian warung kopi, sebuah tawaran pekerjaan datang dari pengumuman di papan pengumuman warung tersebut. Nadif membaca dengan cermat, seolah melihat secercah harapan.
####
Hari-hari berlalu, Nadif terus berusaha. Meski perasaannya semakin tertekan, dia berusaha untuk tetap positif dan terus mencari peluang baru. Dalam situasi yang sulit, dia menemukan bahwa semangat dan harapan adalah dua hal yang harus terus dipelihara, meski terkadang sangat berat untuk melakukannya..
Sore itu, setelah wawancara selesai, Nadif duduk di pinggir jalan, termenung dan berbicara dalam hati.
"Kalau dulu gue lebih serius, pasti hidup gue nggak akan sesulit ini. Kalau gue bisa balik ke masa lalu, gue pengen banget perbaiki semua yang gue kacauin waktu muda dulu."
Setelah curhat sendiri, Nadif berdiri, menghela napas, lalu berjalan menuju stasiun untuk pulang ke Jakarta Selatan.
Di dalam kereta, dia memilih duduk di bangku dekat jendela. Hari itu cukup panjang, dan sekarang dia hanya ingin istirahat. Biasanya kereta penuh sesak di jam pulang kerja, tapi kali ini terasa lebih longgar.
Nggak lama setelah duduk, rasa lelah mulai mengambil alih, dan Nadif akhirnya terlelap. Tapi tiba-tiba, kereta yang awalnya berjalan normal mulai melaju dengan kecepatan yang nggak biasa.
Guncangan keras membangunkannya. Matanya masih berat, dan pemandangan di luar jendela terlihat kabur karena kereta yang makin ngebut. Dia mencoba fokus, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Kereta yang tadi penuh mendadak kosong. Kursi-kursi yang biasanya penuh penumpang, sekarang kosong melompong. Nadif mulai cemas dan bingung.
"Apa yang terjadi?" pikirnya.
Dia mencoba menenangkan diri dengan memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi. Tapi guncangan yang semakin kencang membuatnya sulit tidur lagi.
Saat dia membuka mata, kereta mulai melambat. Dan yang bikin dia terkejut, interior kereta tiba-tiba berubah. Dinding-dinding modern diganti dengan panel kayu cokelat tua, lampu neon digantikan oleh bohlam kuning lembut, dan kursi-kursi sintetis berubah menjadi kursi kulit cokelat dengan detail ukiran yang sederhana.
Nadif menoleh keluar jendela dan terperangah. Pemandangan yang familiar muncul di hadapannya-stasiun Tugu di Yogyakarta. Stasiun yang dulu dia datangi pertama kali ketika merantau sebagai mahasiswa baru.
Stasiun itu tampak sama persis dengan yang dia ingat, dengan peron ubin keramik putih bersih dan papan nama stasiun yang huruf-hurufnya sudah mulai pudar. Di sekitarnya, bangunan bergaya kolonial Belanda dengan dinding putih dan atap merah, serta lampu-lampu jalanan klasik yang memancarkan cahaya lembut.
Suara kendaraan yang tidak terlalu bising dan keramaian pedagang kaki lima di luar stasiun menambah suasana khas Yogyakarta.
Nadif melangkah keluar dari kereta dengan perasaan bingung. Dia berdiri di tengah peron, merasakan udara segar Yogyakarta yang sejuk dan familiar.
Pemandangan ini, suasana ini, sangat dia kenal. Ini adalah stasiun Tugu yang dia ingat saat pertama kali datang dari Purwokerto untuk memulai hidup baru sebagai mahasiswa.
Dengan perasaan campur aduk, dia mengingat kembali masa-masa awal merantau ke kota ini. Suasana di sekitar stasiun, aktivitas, dan suara khas Yogyakarta membangkitkan kenangan lama.
Tapi sekarang, rasanya seperti dia benar-benar kembali ke masa lalu, dan dia sama sekali nggak paham bagaimana ini bisa terjadi.
Nadif memandang ke arah kaca kereta. Bayangan dirinya dalam jaket hoodie hitam terlihat jelas di kaca. Anehnya, dia melihat dirinya yang berbeda. Bukan kemeja putih lusuh dan celana hitam yang tadi dikenakan, tapi jaket hoodie hitam yang modis. Dia terlihat lebih segar, lebih muda, dan lebih tampan, persis seperti saat dulu banyak wanita terpikat padanya.
"Ini mimpi kali, ya?" gumamnya.
"Barusan gue masih di Jakarta, sekarang tiba-tiba ada di Yogyakarta?"
Dia memandang peron dengan kebingungan. Keramaian orang-orang, suara pedagang kaki lima, dan lampu-lampu jalanan mengingatkannya pada masa-masa awal dia merantau. Deja vu yang kuat menghampirinya.
"Ini nggak mungkin. Gue baru aja di kereta menuju Jakarta Selatan. Kok bisa tiba-tiba ada di sini? Gue masih inget banget waktu pertama kali datang ke kota ini..."
Dia menggosok-gosok matanya, berharap ini hanya halusinasi. Tapi setiap kali membuka mata, semuanya tetap sama.
Kebingungan semakin mendalam saat dia melihat sekeliling-bangunan kolonial, papan nama stasiun yang pudar, dan lampu-lampu klasik yang menerangi malam.
Dengan penuh tanda tanya, dia melanjutkan langkahnya ke jalanan kota. Koper dan tas punggung di tangannya terasa berat. Dia menyeberangi jalan menuju Jalan Malioboro, yang nggak jauh dari stasiun.
Saat berjalan di Jalan Malioboro, suasana di sekitarnya seperti versi lama dari kota yang dia kenal. Jalan yang sibuk dan penuh warna ini tampak seperti belum banyak mengalami perubahan.
Toko-toko souvenir yang menjual barang-barang khas Yogyakarta masih sederhana. Lampu jalanan kuno dan trotoar yang nggak modern menambah kesan nostalgia.
Gerobak makanan yang menjual gudeg, bakpia, dan camilan lokal lainnya masih berjejer di sepanjang jalan, persis seperti yang dia ingat dari tahun-tahun lalu. Suara pedagang dan pengunjung memberikan nuansa akrab yang membangkitkan kenangan indah.
"Malioboro... Ini seperti waktu pertama kali gue datang gw dateng ke Jogja tahun 2012. Gw inget kalo udah banyak renovasi sejak itu sampai gw udah pindah ke Jakarta di tahun 2020. Tapi kenapa semuanya rasanya kayak balik lagi ke masa lalu?"
Dengan perasaan campur aduk dan rasa ingin tahu, Nadif terus melangkah di sepanjang Jalan Malioboro, mengamati setiap detail yang dulu sangat familiar.
Rasa penasaran semakin menguat, dan dia bertekad mencari jawaban atas kejadian aneh ini.
Saat menyusuri jalan yang sibuk dan penuh warna, harapan dan kebingungan bercampur, memandunya dalam pencarian kebenaran.
Suasana yang sangat mirip dengan pengalaman awalnya bertahun-tahun lalu membangkitkan kenangan penuh warna.
Pedagang kaki lima, pengamen dengan alat musik tradisional, dan lampu jalanan yang bersinar lembut di malam hari.
"Duh, beneran ini Malioboro di tahun 2024? Kok rasanya kayak gue balik ke masa lalu, ke Malioboro yang gue kenal di tahun 2012?"
Perasaan deja vu semakin kuat. Nadif merasa seolah waktu mundur, membawanya kembali ke awal perantauannya di Jogja. Untuk memastikan apakah ini hanya perasaannya atau sesuatu yang nyata, dia memutuskan untuk bertanya kepada seseorang.
Dia melihat seorang pejalan kaki yang sedang asyik dengan ponselnya yang punya layar kecil, merek Nokia yang kelihatan kuno. Nadif mendekatinya dan bertanya dengan nada sopan namun penuh rasa ingin tahu.
"Maaf, Pak. Boleh tanya, sekarang tahun dan tanggal berapa ya?"
Pejalan kaki itu berhenti sejenak, memeriksa ponselnya yang kecil. Setelah beberapa detik, dia menjawab dengan santai.
"Tentu, sekarang tanggal 5 September 2012."
Nadif terdiam, mencerna jawaban itu. Tahun 2012-artinya dia benar-benar kembali ke masa lalu. Rasa bingung membanjiri pikirannya. Dia terjebak antara kegembiraan dan ketidakpastian.
"Jadi ini benar-benar 2012. Gue benar-benar balik ke masa lalu. Ini mungkin kesempatan kedua gue buat merubah hidup. Gue harus manfaatin ini sebaik mungkin."
Dengan tekad baru dan perasaan yang campur aduk, dia melanjutkan langkahnya dengan semangat baru.
Dia bertekad untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dan memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Setelah memastikan tanggal dan tahun dengan pejalan kaki, Nadif melanjutkan perjalanannya, masih merasa bingung dan takjub. Ia mendekati stasiun dan melihat banyak taksi berjejer. Nadif memesan taksi dan memberi tahu sopir tujuan.
“Pak, tolong bawa saya ke Jalan Kaliurang Kilometer 13,5. Saya mau cari alamat kontrakan sepupu saya,” kata Nadif.
Sopir taksi mengangguk dan mulai menjalankan mobil. Nadif duduk di kursi belakang, merenung tentang kesempatan baru ini. Jalan Kaliurang, tempat tinggal sepupunya, menjadi harapan baru baginya.
Selama perjalanan, Nadif melihat pemandangan Jogja yang lama tak ia lihat. Jalanan yang dulu ia kenal kini tampak seperti kenangan lama yang menghubungkannya dengan masa lalu.
“Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Gue harus mulai dari awal dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” pikirnya.
Setibanya di Jalan Kaliurang, Nadif minta sopir berhenti di dekat alamat yang ia ingat. Setelah membayar tarif, ia turun dan mulai mencari alamat kontrakan sepupunya.
Setelah berkeliling dan mencari nomor rumah yang dikenal, akhirnya Nadif menemukan rumah yang familiar, rumah kontrakan dengan tampilan sederhana. Papan nama di depan rumah memastikan ini adalah tempat yang ia cari.
Nadif berdiri di depan pintu, memegang koper dan tas dengan canggung. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Diana, sepupunya, muncul dengan senyuman ramah.
“Nadif! Baru datang, ya? Tadi nyasar nggak?” tanya Diana.
“Iya mbak, agak bingung nyari alamatnya,” jawab Nadif sambil tersenyum penuh rasa syukur.
Diana mengangguk dan mempersilakan Nadif masuk.
“Ayo masuk, ada kamar kosong. Itu nanti kamar kamu. Taruh barang-barangmu di situ.”
Nadif mengikuti Diana masuk dan melihat kamar kosong yang ditunjukkan. Kamar itu bersih dan nyaman, dengan tempat tidur sederhana dan beberapa perabotan dasar. Ia mulai menata barang-barangnya.
“Makasih banyak Mbak Diana,” kata Nadif tulus.
Diana berdiri di pintu kamar sambil tersenyum.
“Sama-sama. Kita udah lama nggak ketemu ya? Oh, by the way, aku bakal jadi senior kamu nanti di kampus. Aku di Teknik Informatika angkatan 2008. Aku mungkin butuh setahun lagi buat selesai kuliah.”
“Ah, iya. Aku pasti akan butuh banyak bantuan di kamu awal-awal ini,” jawab Nadif.
Diana meninggalkan Nadif untuk menyelesaikan penataannya. Nadif menyelesaikan penataan barang-barangnya dan memutuskan untuk istirahat sebelum hari pertama di kampus.
Pagi harinya, Nadif terbangun dengan semangat baru. Matahari pagi menyinari kamarnya dan udara segar memberi dorongan awal untuk memulai hari. Ia bersiap-siap dengan rapi dan wangi.
Saat turun ke ruang makan, Diana sudah menyiapkan sarapan—nasi goreng, telur ceplok, dan segelas susu. Diana menyambutnya dengan senyum hangat.
“Pagi, dif. Sarapan sudah siap. Aku sudah masukin jadwal ospekmu ke ponselku. Kalau butuh bantuan, tinggal tanya ya,” kata Diana.
“Makasih Mbak. Masakan kamu kok enak bgt ini” puji Nadif sambil melahap sarapannya.
Setelah sarapan, Nadif merapikan meja dan bersiap untuk berangkat ke kampus. Dengan tas punggung yang sudah siap, ia berjalan kaki menuju kampus, menikmati suasana pagi kota Jogja.
Sesampainya di gerbang kampus, Nadif terpesona dengan pemandangan yang mengingatkannya pada masa lalu.
Gerbang utama universitas menyambut kedatangannya dengan megah. Di sepanjang boulevard menuju mesjid universitas, ia melihat arsitektur yang indah.
Para mahasiswa sibuk dan penuh semangat. Nadif merasa semakin siap untuk memulai perjalanan barunya di kampus.
Di dalam mesjid kampus, Nadif bergabung dengan kelompok mahasiswa yang sudah berkumpul. Panitia ospek menjelaskan jadwal dan perlengkapan yang diperlukan.
“Selamat datang di universitas kami. Pastikan kalian memakai seragam dengan ketentuan ospek. Atasnya adalah kemeja putih dan celana atau rok hitam, lalu membawa buku catatan, alat tulis, dan botol air minum. Ospek Universitas berlangsung 2 hari dan fakultas akan dilanjutkan hari berikutnya setelah ospek universitas. Selamat beradaptasi,” kata panitia.
Nadif mencatat semua informasi penting di ponselnya dan merasa semakin termotivasi.
Di tengah keramaian, seorang mahasiswa di sebelahnya tiba-tiba menyapa.
“Hey, bro,” sapa mahasiswa itu.
Nadif menoleh dan merasa wajahnya familiar. Ia mencoba mengingat dan tiba-tiba tersadar—ini adalah Ryo, temannya dari kehidupan sebelumnya.
“Ryo, kan?” tanya Nadif.
Ryo tampak bingung.
“Iya, tapi kok lo bisa tahu nama gue?”
Nadif tersenyum.
“Hmm, coba nebak aja. Lo Teknik Informatika, kan? Kita satu jurusan.”
Ryo semakin bingung.
“Iya, bener. Tapi kok lo bisa nebak?”
“Gue Nadif dari Purwokerto.” Kata Nadif menjelaskan.
Ryo terlihat kaget.
“Kita kan baru ketemu. Kok lo bisa tahu?”
“Mungkin lo yang lupa, gue pernah kenal lo dulu.” Jawab Nadif.
Ryo tertawa.
“Hehe, iya mungkin gue lupa. By the way, ospek universitas wajib, prasyarat buat ikut KKN. Ospek fakultas sih nggak wajib. Gue bakal bolos pas ospek fakultas, males banget panas-panasan.”
Nadif mengangguk.
“Iya, gue tetap ikut. Nikmatin aja masa-masa ospek ini, pengalaman kayak gini ga bakal bisa keulang, kecuali lu balik ke masa lalu” jawabnya dengan penuh arti.
"Buset dah, dalem banget bahasa lo. Yaudah yuk, abis ini ke kost gue. Gue kenalin ke temen-temen kost.”
Nadif setuju. Setelah acara selesai, mereka menuju kost Ryo. Di sana, Ryo memperkenalkan Nadif kepada teman-temannya yang ramah.
“Ini Nadif dari Purwokerto, satu jurusan dengan kita di Teknik Informatika. Nadif, ini teman-teman gue,” kata Ryo.
Teman-teman Ryo menyambut Nadif dengan antusias. Alex, salah satu temannya, menawarkan camilan.
“Selamat datang di Jogja, Nadif. Sering-sering aja main ke kost kita. Malem abis ospek fakultas hari terakhir, kita rencana mau ke clubbing di Hug*s. Lo mau ikut?” tanya Alex.
Nadif tersenyum.
“Makasih, Alex. Mungkin nggak sekarang, lain kali aja.”
Alex mengangguk. “Oke, kapan-kapan kalau mau ikut party, tinggal bilang aja.”
Nadif ingat betul ajakan Alex untuk clubbing di Hug*s di kehidupannya yang lalu. Kini, ia memutuskan untuk menjauhi hal itu, kecuali ada alasan yang penting.
Menjelang sore, Nadif berpamitan dengan Ryo dan teman-temannya, Nadif berjalan pulang ke kontrakan dengan langkah santai. Suasana sore Jogja yang hangat dan sedikit berangin menemani pikirannya yang mulai dipenuhi oleh ingatan masa lalu.
Sesampainya di kontrakan, Nadif segera membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Kamar kontrakannya yang sederhana tapi nyaman menjadi tempatnya merenung sebelum tidur.
Nadif berbaring di tempat tidur, matanya menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu remang-remang. Ia mencoba mengingat kejadian yang terjadi di kehidupan sebelumnya—peristiwa yang masih ia sesalkan hingga sekarang. Pikirannya kembali ke hari pertama ospek fakultas yang akan ia hadapi beberapa hari lagi.
Dia ingat, tidak ada yang istimewa di hari pertama dan kedua ospek universitas, tetapi di hari pertama ospek fakultas yang diselenggarakan di hari berikutnya, ada hal yang sangat istimewa untuknya.
Itu adalah sosok Vonzy, cinta pertamanya saat menjadi mahasiswa baru. Vonzy adalah seorang mahasiswi Teknik Kimia perantauan asal Kota Balikpapan yang sangat cantik dan manis, yang selalu membuat Nadif merasa gugup setiap kali melihatnya.
Di kehidupannya yang lalu, Nadif hanya berani mengagumi Vonzy dari jauh, tanpa pernah benar-benar mendekat atau berkenalan dengannya.
Rasa takut dan rasa minder membuatnya tidak berani mengambil langkah lebih jauh, terutama karena dia tahu bahwa Vonzy sudah punya pacar.
Pikirannya terus bergulir ke momen yang tidak pernah ia lupakan—hari pertama ospek fakultas, ketika Vonzy dan pacarnya dihukum untuk naik ke panggung karena melakukan pelanggaran kecil. Itu adalah pertama kalinya Nadif melihat Vonzy dari dekat, dan saat itulah perasaan kagum yang mendalam mulai tumbuh.
Namun, melihat Vonzy bersama pacarnya membuatnya semakin merasa tidak berdaya dan hanya bisa memendam perasaannya.
“Gue nggak akan biarin itu terjadi lagi,” gumam Nadif kepada dirinya sendiri.
“Gue nggak mau cuma jadi penonton lagi. Gue harus berani maju, berani ngomong sama Vonzy, dan nggak peduli dengan apapun yang terjadi.”
Nadif menarik napas panjang, menguatkan tekadnya.
Di kehidupan yang baru ini, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan membiarkan kesempatan untuk dekat dengan Vonzy berlalu begitu saja. Meski ada kemungkinan Vonzy masih bersama pacarnya, Nadif tahu bahwa kali ini dia tidak akan mundur tanpa mencoba.
“Besok, gue akan mulai langkah pertama. Gue akan bikin perubahan,” bisiknya dalam hati, penuh keyakinan.
Dengan pikiran itu, Nadif perlahan menutup matanya dan membiarkan kelelahan hari itu membawanya ke alam mimpi. Tekadnya untuk mengubah takdirnya semakin kuat, dan dia yakin bahwa besok akan menjadi awal dari perjalanan yang baru.
Di kamarnya yang tenang, Nadif tertidur dengan senyum kecil di wajahnya, siap menghadapi hari pertama ospek fakultas dengan semangat yang lebih besar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!