Assalamu'alaikum. Kembali lagi dengan karya terbaru othor Dewi di sini. Selamat datang dengan cerita baru Dewi, ya. Kalian pecinta romansa jangan lupa baca, ya. Like juga, kasih bintang juga, Vote, terus komen jangan Unflw terus Flw, ya. dan dukung othor dengan membaca cerita novel percintaan ini hingga tamat. Hehehe😊
✨✨✨
Clareance Nuansa Aldinaya biasa di panggil Rea terpejam tubuhnya gemetar, gadis belia itu menahan rasa takut dan juga nyeri di punggung karena tubuhnya baru saja terhempas jatuh membentur lantai keramik.
Beberapa perempuan yang membawanya ke gudang sedang tertawa puas di hadapan Rea. Menertawakan gadis yang jatuh terjerembab tanpa perlawanan. Bukan sekali dua kali Rea mendapatkan perlakuan semacam ini di sekolah. Tubuhnya yang ramping, rambutnya setengah ikal tergerai indah dan wajah yang cantik juga manis menjalin keakraban dengan salah satu siswa yang paling populer di sekolah, membuat beberapa siswa perempuan cemburu dan akhirnya menjadikan Rea sasaran bully.
Tak ada yang mau berteman dengan gadis malang itu, kecuali ...
"Hei! Ngapain kalian di sana!" Seorang siswa laki-laki dengan tubuh tinggi tegap dengan tatapan tajam menghampiri. Menyibak kerumunan yang menutupi keberadaan Rea. Suaranya yang tegas dan lantang sontak membuat beberapa siswa yang tadinya tertawa seketika diam tak berkutik. Bahkan, salah satu dari mereka yang menjadi ketua segera berjongkok di depan Rea dan pura-pura menolong.
"Sorry ya, Rea. Kita tak sengaja, kamu nggak apa-apa, kan?" Katanya sambil mengusap wajah Rea yang berpeluh dan pucat pasi.
Sementara yang lain sibuk berkasak kusuk dan merapikan penampilan mereka. tak heran mereka bersikap seperti itu karena yang baru saja datang adalah Jayden biru Atmaga. Ketua OSIS yang pintar dan tampan.
Hampir semua siswa di sekolah Cipta Bangsa Nusantara segan padanya, karena Jayden adalah seorang siswa yang pendiam dan tidak banyak tingkah, juga salah satu siswa paling populer dikalangan banyak murid perempuan.
"Jangan ada yang pergi dari sini, sebelum kalian minta maaf pada Rea!" Teriaknya lagi, tatapannya mengedar seolah sedang menandai siapa saja yang terlibat dalam aksi bully sore itu di gudang sekolah.
Usai memperhatikan satu persatu pelaku yang menyakiti sahabatnya itu meminta maaf secara bergiliran. Jayden berlutut dan memeriksa keadaan Rea yang masih tertunduk lesu dengan tubuh gemetar. Pemuda itu beberapa kali membuang napas kasar saat menemukan bekas luka di wajah dan juga lengan Rea.
Tak tinggal diam Jayden segera bangkit dan membawa Rea pergi. Bukan cara menuntunnya melainkan menggendong gadis itu di punggung, dan hal itu sukses membuat para siswa yang melihatnya semakin murka.
"Gadis bodoh," geram Jayden lirih. Tapi Rea masih bisa cukup jelas mendengarnya. Gadis itu hanya bisa pasrah saja saat Jayden membawanya ke UKS dan mengobati lukanya. Tentu saja setelah melapor kejadian itu pada salah seorang guru bimbingan konseling yang kebetulan masih berada di sekolah.
"Ngapain kamu repot-repot nolongin gadis bodoh kayak aku," gerutu Rea merasa tersinggung karena di sebut 'gadis bodoh' oleh Jayden.
"Karena kamu nggak bisa nolongin dirimu sendiri," sahut Jayden ketus. Dia selalu begitu, tak pernah berkata manis pada Rea. Tapi Rea cukup tahu kalau Jayden selalu perhatian padanya.
Pemuda belasan tahun itu menghela napas lalu mengangkat dagu Rea dan menatap gadis itu lekat-lekat.
"Lain kali kamu harus melawan balik jangan takut sama mereka. Masa punya badan besar tapi penakut."
Rea terdiam ia tepis lengan Jayden yang masih menempel di dagunya.
"Lain kali nggak usah ikut campur. Mereka marah karena tahu kamu dekat sama aku," katanya.
Gadis itu bangkit hendak keluar dari ruang UKS yang sepi. Berada di ruangan bersama cowok paling tampan di sekolah membuat Rea merasa gugup.
"Rea, mau kemana? Lukamu belum diobati semua," panggil Jayden menghentikan langkah Rea yang hampir mencapai pintu.
"Kamu naksir, sama aku ya?" Jawab Rea tiba-tiba membuat Jayden membelalak kaget.
"Nggak usah sok baik, nanti aku jadi salah paham," sambungnya lagi sambil mendorong pintu UKS dan pergi begitu saja.
"Dasar gadis bodoh," gumam Jayden. perlahan ia meraba dadanya yang tiba-tiba bergetar, entah karena apa.
÷÷÷÷÷
Lima tahun kemudian ....
"Here we go again," keluh Jayden sambil melonggarkan kancing kemejanya, saat ia menemukan Rea duduk telungkup di meja bartender.
Gadis itu pasti sudah mabuk atau mungkin sudah pingsan karena Jayden datang terlambat. Beruntung tidak ada lelaki hidung belang yang menggodanya. Apa boleh buat, Jayden terlambat karena ia harus menghadiri pertemuan penting dengan rekan kerja di law firm tempatnya bekerja.
Alhasil, Jayden datang satu jam setelah menerima pesan singkat dari Rea yang bernada memerintah selalu saja begitu. Jayden sudah seperti supir bagi gadis yang sudah menganggap dirinya princess itu.
"Rea ..." Jayden mengusap pundak Rea dan gadis itu hanya menggeliat malas.
"It's enough, ayo kita pulang." Pria itu sedikit menarik lengan Rea, namun gadis itu menepisnya.
Wajah cantik yang sedang tipsy itu mendongak dan menatap Jayden dengan mata yang sedikit menyipit, lalu jari telunjuknya terangkat tepat di depan wajah tampan Jayden.
"Who - are - you?" Racau Rea dengan mata sayu, yang dibalas helaan napas berat oleh Jayden.
"Rea, Please ... besok aku ada meeting sama klien jam tujuh tepat, kalau kamu nggak bisa di atur aku tinggalin kamu disini," ancamannya.
Rea hanya tersenyum miring, lalu menjatuhkan jari jemarinya yang lentik pada dada bidang Jayden yang tertutup kemeja slim fit.
"It's you Jayden biru Atmaga. I know you ... tapi aku nggak mau pulang. aku belum mabuk, see?" Rea meringis menunjukkan deretan giginya yang putih.
Jayden memutar bola matanya dengan jengah. Sepertinya dia harus melakukan hal ekstrim pada Rea. Sebelum gadis itu membuatnya emosi.
Dengan gerakan cepat Jayden meraih tubuh langsing Rea dan menggendongnya di pundak. Hal serupa yang pernah dia lakukan dulu di sekolah, menggendong Rea meskipun kini berat badannya yang sekarang sudah jauh berbeda.
Sebenarnya Rea bukan pecandu alkohol, dia benci minuman keras. Tapi seminggu terakhir ini tak ada tempat lain untuk membuang semua rasa penatnya.
Semenjak Ghavin kekasihnya memutuskan hubungannya dengan Rea. Semenjak itulah Rea menjadi sedikit tidak waras dan lagi-lagi Jayden yang kerepotan mengurusnya. Selalu seperti itu setiap kali Rea putus cinta. Jayden harus siap-siap menghadapi tingkah Rea, yang lebih merepotkan dari pada bayi!
"I've told you, Ghavin itu cowok brengsek," ucap Jayden sehari setelah hubungan Rea dan Ghavin putus.
"Semua cowok brengsek di mata kamu, Jayden."
"Lain kali pakai otak kalau pilih cowok, jangan cuma pakai nafsu dan asal comot saja." Jayden menghela napas lalu menatap Rea lekat.
"Ghavin itu bukan cowok asal comot, Jay. He's a nice guy. Tampan, populer, kaya raya dan ..."
"Dan Playboy, kamu nggak tahu kalau ceweknya ada dimana-mana!" potong Jayden geram.
"Apa bedanya sama kamu!" balas Rea tak kalah sengit.
"Tapi setidaknya aku nggak pernah menyakiti hati perempuan."
"Dih! Siapa bilang?"
Jayden terdiam.
"Apa kamu lupa? Sudah berapa cewek yang nangis-nangis ke aku setelah mereka kamu PHP-in?"
"Aku nggak pernah PHP-in cewek." Jayden membela diri.
"Mereka saja yang baper, sama kayak kamu gampang baper sama cowok."
"Shut up! I hate you, Jayden!" Teriak Rea mulai emosi.
"Aku doain suatu hari nanti kamu akan jatuh cinta sama perempuan sampai rasanya mau mati. Baru setelah itu kamu bisa tahu, bagaimana rasanya menjadi aku!"
Rea tak pernah mau mengalah, apalagi kalau lawan bicaranya adalah Jayden. Lelaki itu harus berada satu level di bawahnya.
Sesampainya di rumah Rea, pelan dan hati-hati. Jayden meletakkan tubuh gadis itu di atas ranjang.
Asisten rumah tangga yang tadi membukakan pintu langsung pergi entah kemana. Karena Jayden sudah terbiasa dengan keluarga Rea sejak kecil, jadi semua orang di rumah besar itu sudah mengenalnya dengan baik.
Rea sudah tertidur beberapa saat setelah masuk ke dalam mobil milik Jayden yang membawanya pulang ke rumah orang tuanya. Namun, saat punggung Rea menyentuh permukaan seprei, tubuhnya menggeliat. Gadis itu tiba-tiba duduk dengan mata setengah terbuka dan sesuatu yang terjadi setelah itu benar-benar membuat Jayden terkejut.
Tanpa sadar bibirnya terbuka saat melihat Rea melepaskan pakaian satu persatu persis di hadapannya.
"Semalam pulang jam berapa, Rea?" Tanya Mami Selena.
Rea mengalihkan tatapannya sambil kembali mengingat-ingat.
"Ehm ...."
"Hampir jam satu malam Nyonya," sahut asisten rumah tangga yang semalam membukakan pintu.
"Astaga, Rea! Anak perawan pulang jam segitu, kalau papi mu tahu mami bisa kena marah, loh," bisik Selena sambil menoleh kiri kanan. Beruntung suaminya belum keluar kamar untuk sarapan.
"Chill, Mam. Papi nggak akan tahu kalau mami nggak ngoceh."
"Sembarangan kamu kalau ngomong," dengus Mami.
"Pasti kamu minum-minum lagi, kan?"
Rea hanya tersenyum, mengabaikan pertanyaan maminya.
"Sampai kapan kamu bersikap seperti ini?"
"Seperti apa, Mam?" Sahut Rea santai.
"Rea kamu itu sebagai anak dari keluarga ternama di kenal orang banyak, loh. Wajah kamu ada di mana-mana. Kalau ada orang iseng dan motret kamu saat lagi mabuk, bagaimana? Nama kamu bisa tercemar."
"Gampang, tinggal minta tolong sama Jayden. Dia kan pengacara, problem solved," katanya dengan senyum tak peduli.
"Sampai kapan kamu mau mengandalkan Jayden?" Selena hanya bisa menghela napas panjang.
"Bik Karti!" Teriak Rea memanggil salah satu asisten rumah tangganya, yang sudah kembali ke dapur sama sekali tidak peduli dengan pertanyaan maminya.
"Bik Karti!"
"Iya non!" sahut Bik Karti yang tergopoh berlarian menuju ruang makan.
"Tolong bukain tutup selai nya."
"Buka sendiri kan bisa, Rea. Tinggal di putar," ucap Selena dengan sedikit kesal dengan kebiasaan putrinya yang terlalu manja.
"Nggak bisa, Mam. Tangan dan kuku Rea bisa lecet, kemarin habis meni - pedi di salon. Rugi dong kalau sampai rusak," sahut Rea dengan enteng.
Selena hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya.
"Oh ya, Bik. Semalam, Bik Karti yang gantiin blouse aku sama piyama, ya?"
Bik Karti diam sesaat, kemudian menggeleng pelan.
"Semalam, habis bukaan pintu, saya langsung balik ke kamar, Non. Nguantuk soalnya, saya cuma lihat Non Rea di gendong sama mas Jayden ke atas."
Rea terkesiap.
"Terus yang gantiin baju kamu siapa, Rea?" Tanya Mami ikut penasaran.
"Halah, paling juga Jayden yang gantiin." Rea melipat bibirnya.
"Jayden?" Pekik mami terkejut.
"Biasa saja kali, Mam. Gak usah lebay begitu."
"Lebay kamu bilang? Kamu pacaran sama Jayden?" Geram Selena.
"Nope."
"Kok dia bisa seenaknya buka baju kamu?"
"Maam, Jayden itu beda. Dia sudah sering lihat Rea cuma pakai dalaman doang, dan dia biasa-biasa saja, tuh. Gak nafsu sama sekali, mungkin waktu kecil kita sering renang dan mandi bareng," jawabnya enteng. Rea sama sekali tak ingat bahwa dia sendiri yang sudah melepaskan hampir semua pakaiannya semalam persis di depan mata Jayden.
"Ya beda dong Rea. Sekarang kalian sudah dewasa meskipun kalian sudah berteman sejak kecil, tapi Jayden itu seorang lelaki. Bukannya mami gak percaya sama Jayden, ya. Tapi kalau dia macam-macam sama kamu, bagaimana?"
Rea tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya.
"Enggak mungkin, Mam. Jayden itu gak doyan sama cewek manja kayak aku. Tipe dia itu cewek mandiri, dewasa, wanita karier dan keibuan. Memangnya mami melihat itu ada pada diri Rea? Gak, kan? So take it easy."
"Mami gak mengerti sama jalan pikiran kalian berdua." Selena menggelengkan kepalanya lagi.
"Dengar ya, Mam. Aku juga nggak suka sama tipe cowok kayak Jayden. Terlalu banyak aturan, dan bawelnya tuh mengalahkan ibu-ibu komplek. Mirip banget kayak papi, pokoknya nggak seru," ocehnya beralasan padahal jauh di dalam hati Rea pernah jatuh dalam pesona pria tampan yang sudah puluhan tahun menjadi sahabatnya itu.
"Hati-hati kalau ngomong," suara Benyamin Handoko Aldinaya yang tiba-tiba muncul membuat Rea terhenyak kaget.
Buru-buru ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menyesali ucapannya.
"Papi justru suka sama Jayden. Jaman sekarang susah menemukan laki-laki tegas dan berpendirian teguh seperti dia," puji pria tua berperut rata itu. Meskipun usianya sudah senja Benyamin Handoko Aldinaya tak pernah absen berolahraga dan selalu di siplin dengan apa yang selalu dia konsumsi.
Persis seperti Jayden.
Hidupnya terlalu teratur, dan hal itu sangat membosankan bagi Rea yang menyukai kehidupan bebas dan sedikit liar.
÷÷÷÷÷
Jayden mengunyah roti gandumnya dengan enggan. Kedua matanya masih berat akibat semalam dia kesulitan tidur. Bagaimana tidak, pria itu baru sampai di apartemen hampir jam dua pagi.
Belum lagi, bayangan tubuh Rea yang semalam sedang tipsy dan menggeliat melepaskan pakaiannya sendiri, membuat pria itu tak bisa berhenti berpikir macam-macam.
Karena itulah, Jayden segera mengambil salah satu piama Rea dan menutupi tubuh molek sahabatnya itu agar tak memancing gairahnya.
Walau bagaimanapun, Jayden hanya laki-laki biasa. Meskipun di depan Rea dia selalu bersikap cuek seolah tak tertarik pada gadis itu. Tapi, terkadang dia juga sulit untuk mengendalikan diri.
Bertahun-tahun mereka bersahabat. Selama itu pula Jayden mengenal Rea luar dan dalam. Sejak gadis itu masih menjadi itik buruk rupa yang tak punya kepercayaan diri, hingga sekarang Rea menjelma menjadi gadis cantik dan pintar seorang sosialita yang di kagumi oleh banyak pria juga menjadi idola para kaum hawa yang gemar fashion.
Selama itu pula, Jayden selalu ada di sampingnya.
Jangan di tanya, apakah Jayden pernah jatuh cinta pada gadis itu, seorang Jayden Biru Atmaga pasti akan menjawab tidak. Pria pemilik rahang tegas dengan rambut ikal kecoklatan itu masih saja pandai menjaga diri dan juga menyembunyikan perasaannya.
Bahkan, saat suatu hari Rea menyatakan perasaan suka pada Jayden, lelaki itu menolak dengan berbagai macam alasan klise yang hingga sekarang tak bisa di terima olehnya.
Jayden bilang bahwa selama ini dia hanya menganggap Rea sebagai seorang teman, tidak lebih. Bahkan, agar lebih menyakinkan Jayden mengarang cerita kalau Rea bukanlah tipe gadis impiannya. Pria itu membual kalau tipe idealnya berbanding terbalik dengan sifat Rea.
Namun, setelah mengucapkan penolakan itu, diam-diam Jayden merasa sangat menyesal. Karena alasan itulah, Jayden tidak pernah suka dengan pria yang dekat dengan Rea. Dengan kata lain, dia tidak rela Rea dekat dengan pria lain selain dirinya. Namun, dia juga tak bisa membalas perasaan gadis itu karena sebuah alasan yang tak sanggup ia sampaikan.
"Pagi, pak Jayden," sapa salah seorang karyawan di law firm tempat Jayden bekerja.
Sementara Jayden hanya tersenyum singkat dengan senyum tipis yang mampu membuat beberapa karyawan wanita terpesona saat itu juga.
Kedatangan pria berbadan tegap dengan pakaian formal yang menempel pas di tubuhnya yang atletis namun seksi itu, selalu menarik perhatian karyawan wanita yang kebetulan satu kantor dengannya.
Caranya berjalan, senyum yang menawan, juga suaranya yang lembut namun tegas mampu membuai siapa saja yang mendengarnya.
Jayden bukan hanya tampan sebagai seorang laki-laki dan pengacara handal. Tapi, statusnya yang hingga sekarang masih single, membuatnya menjadi bahan pembicaraan di kalangan staf wanita di kantornya.
Tak sedikit dari mereka yang berusaha mendekati Jayden, namun pria itu berusaha untuk menghindar. Dia tak mau terlibat skandal dengan salah satu staf di kantornya. Selain itu Jayden tidak tertarik untuk menjalin hubungan asmara dengan perempuan manapun. Bahkan, pria itu sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menikah untuk saat ini, entah sampai kapan dia menunggu kesiapan mental untuk ke jenjang pernikahan.
÷÷÷÷÷
"Morning!"
"Morning, mbak Rea," sahut Vins ceria.
"Waah, warna cat kuku baru, nih." Pria berperut buncit itu melongok mengagumi pewarna kuku yang membuat jemari Rea semakin bersinar dan lentik.
"Bagus, nggak?"
"Agak pucat sih warnanya. Tapi, oke kok. Not bad, lah. Cantik!" puji Vins lagi.
"Dasar asisten penjilat," Batin Rea dengan senyum miring.
"Hari ini jadwal aku ngapain saja, Vins?" Tanya Rea setelah ia duduk di dalam mobil pribadinya.
Vins, yang bernama asli Vincent itu mulai membuka laptopnya. Lelaki abal-abal itu tak mau di panggil Vincent sejak pindah ke Jakarta.
Katanya nama Vincent terlalu pria banget untuk seorang asisten model papan atas seperti dia.
Andai saja ibunya tahu kalau Vins malu dengan nama aslinya, beliau pasti sudah menangis sedih di kampungnya.
"Jadwal mbak Rea dari pagi sampai sore kosong, alias free," sahut Vins dengan senyum riang.
"Free? Nggak ada kerjaan maksud kamu?"
"Yes, that's right!" Vins menegaskan dengan logat Inggris medok khas jawa timuran.
"Terus kita mau kemana?"
"Ke salon," jawab Vins.
"Minggu lalu ada salon yang baru launching. Ownernya nelpon saya, katanya dia mau endorse mbak Rea untuk menarik pelanggan."
"Salon apaan? kamu jangan bawa aku ke salon abal-abal, ya. Kamu tahu perawatan head to toe aku habisnya berapa duit?" Rea mengernyit takut.
"Iyaa, tahu, Mbaaak," sahut Vins menenangkan.
"Sudah ya, mbak Rea tenang. Duduk yang manis, saya sudah konfirm sama head staf di sana. Katanya salon ini milik salah satu artis senior. Jadi nggak mungkin abal-abal," katanya dengan penuh semangat dan mata berbinar.
Sementara Rea hanya memutar bola matanya dengan malas, dan kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran mobil.
"Nanti malam temani Rea ke night club ya, Vins," katanya, dengan kedua mata masih memejam.
"Nggak bisa, Mbak."
"Ha?"
"Nyonya sudah pesan ke saya. Selesai kerja Mbak Rea langsung pulang. Nggak ada lagi ceritanya mampir-mampir ke club malam. Lagian nyonya sudah ngatur jadwal dinner untuk mbak Rea.
"Dinner apaan?"
"Dinner sama cowok. Blind date."
"Again?"
"Yap!"
"Oh, shit. Nggak ada kapok-kapoknya ya, mami. Niat banget jodoh-jodohin anaknya. Memangnya aku anak cewek nggak laku apa." Rea menghela napas kasar.
"Makanya Mbak Rea cari pacar yang benar dong, jangan sama cowok toxic yang hobinya selingkuh mulu," sindir Vins, yang langsung di hadiahi lirikan tajam oleh Rea. Namun sesaat kemudian, gadis itu hanya menghela napas lelah.
"Kenapa ya, Vins. Aku tuh selalu ketiban sial kalau milih cowok. Jangan-jangan aku di kutuk kayak Malin Kundang karena sering ngelawan nasehat papi." Rea mulai curhat dan kalau sudah begini, Vins akan menjadi penasehat andalannya.
"Coba kamu lihat aku, menurut kamu aku kurang apa sih? Dadaku lumayan berisi, pinggulku juga oke. Tapi, kenapa cowok-cowok sialan itu masih saja doyan selingkuh."
Vins menggeleng.
"Nggak ada yang kurang kok. Mbak Rea itu sudah mendekati sempurna, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Mbak Rea kalau sudah percaya sama orang tuh suka kelewat batas. Nggak semua orang di dunia ini baik dan tulus seperti Mas Jayden."
"Kok jadi bawa-bawa nama dia?"
"Habisnya cuma mas Jayden satu-satunya teman Mbak Rea yang nggak fake."
"Benar juga, sih."
"Apalagi Mbak Rea kerjanya di dunia hiburan. Harus hati-hati, loh. Orang yang kelihatan di depan ramah, belum tentu hatinya juga baik. Bisa jadi mereka cuma memanfaatkan latar belakang mbak Rea saja, biar di bilang sosialita juga."
Rea masih termangu.
Terlintas lagi di dalam benaknya, saat beberapa teman mem-bully-nya di sekolah. Bahkan salah satu teman dekatnya semasa kuliah tega merebut pacar Rea sendiri. Mungkin bukan merebut, karena ternyata mereka berdua sama-sama brengsek. Begitu kata Jayden waktu itu.
Ah, Jayden lagi, Jayden lagi.
Selalu saja dia.
Sejak kecil, Rea yang anak tunggal terlalu bergantung pada laki-laki sok jagoan itu.
Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Jayden adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Rea dalam keadaan apa pun.
Jayden selalu ada. hanya dia yang tak pernah pergi dari hidup Clareance.
÷÷÷÷÷
"Jayden, nanti malam jangan lupa dinner di rumah, ya." Amaya mengingatkan putranya, tentang acara makan malam yang sudah wanita itu rencanakan dua hari yang lalu. Sejak Jayden pindah ke apartemen, lelaki itu jadi jarang pulang. Bahkan saat weekend, Jayden lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen, hanging out bersama Rea atau sekedar menonton Netflix hingga larut malam.
"Untung mama nelpon, hampir saja aku lupa."
"Tuh kan. kamu kalau ngggak diingatin suka lupa sama keluarga sendiri."
"Sibuk Ma. Seminggu ini ada dua kali sidang, dan semuanya kasus besar. Capek banget."
"Tapi seru, kan?"
Jayden tersenyum.
Lelaki tampan berhidung mancung itu memang bercita-cita ingin menjadi pengacara sejak kecil. Lebih tepatnya, sejak dia melihat Rea yang selalu di bully di sekolah. Sejak saat itu ia bertekad untuk membela dan melindungi Rea dari semua orang yang berniat jahat padanya.
Tak di sangka, hingga mereka tumbuh dewasa, Jayden masih saja menjadi orang yang selalu ada di samping Rea. Entah bagaimana pun keadaan perempuan itu, Jayden tidak berniat untuk meninggalkannya.
"Kamu jadi ngajak Rea, kan?"
"Lupa belum bilang ke dia, Ma. Nanti Jayden tanya dulu kalau Rea ada waktu. Jayden ajak dia dinner di rumah."
"Jangan telat, ya. Adik kamu mau ngenalin seseorang sama kita semua."
"Siapa? Pacar baru lagi? Katanya yang kemarin sudah serius."
"Mama juga nggak tahu, Jayden."
"Nggak mungkin Mama gak tahu," sergah Jayden, mulai mencium aroma konspirasi antara ibu dan Kaluna, adiknya.
"Pokoknya jangan telat," pesan Amaya sekali lagi sebelum wanita itu menutup sambungan teleponnya.
"Ya, masuk!" Seru Jayden saat mendengar suara pintu ruangannya di ketuk dari luar.
"Pak, Jayden. Di tunggu pak Damian di meeting room," ucap Santoso salah satu staf di tempatnya bekerja dengan senyum malu-malu.
"Thank's, San." Jayden mengangguk paham.
Baru saja Jayden bangkit dari duduk dan hendak melangkah menuju pintu, tiba-tiba ponselnya bergetar.
Rea menelpon.
"Halo, Rea. Bisa nanti saja nggak nelponnya? Aku mau meeting."
"Nggak bisa."
"Rea ...."
"Sebentar saja, Jayden. Aku mau cerita," potong Rea cepat.
"Nanti kan bisa."
"Harus sekarang!"
"Dua menit," Jayden mendesah kesal.
"Lima menit."
"Dua menit."
"Oke, dua menit," Rea menyerah.
"Nanti malam temanin aku dinner, ya."
"Hmm, nggak bisa."
"Kenapa?"
"aku ada janji lain."
"Sama?"
"Mama."
"Bohong!" teriak Rea, hingga membuat Jayden harus menjauhkan ponselnya dari telinga, karena suara Rea yang terlalu melengking.
"Kamu pasti mau making out sama cewek di apartemen kan? Ngaku!" Tuduh Rea sadis.
Lagi-lagi Jayden menghela napas lelah.
"Rea, sumpah ya, aku sudah di tungguin klien di meeting room. Kita bicara lagi nanti, ya."
"Hei! Jangan di matiin!" Pekik Rea mulai panik karena dia benar-benar membutuhkan Jayden untuk tameng saat menemui teman kencan butanya nanti malam.
Seperti biasa Rea ingin Jayden berpura-pura menjadi kekasihnya, agar si pria yang di jodohkan dengannya itu mundur teratur.
"Apa lagiii? Kamu tuh nggak ada kerjaan banget, ya?"
"Emang nggak ada kerjaan. Hari ini aku free, makanya aku nelpon kamu." Rea cekikikan di akhir kalimatnya.
"Sakit jiwa."
"Bisa kan nanti malam? Temanin sebentar, please ...."
"Nggak bisa Rea. Mama bisa marah kalau aku nggak ikut dinner."
Rea terdiam. Gadis itu ingin menunjukkan kalau dirinya sedang marah sekarang.
"Oke, aku temanin kamu. Tapi nggak bisa lama," sahut Jayden menyerah.
"Benar, ya?"
"Hm."
"Janji?"
"Awas kalau sampai kamu nggak datang, aku obrak abrik kantormu!" Ancam Rea sebelum gadis itu memutuskan sambungan teleponnya.
"Gila nih cewek," gumam Jayden, kembali menyimpan ponselnya di saku dan melangkah cepat keluar dari ruangannya.
÷÷÷÷÷
Rea menunggu di depan restoran dengan perasaan gelisah. Berkali-kali ia memeriksa arloji, untuk memastikan Jayden tidak datang terlambat. Namun, sepertinya lelaki itu memang terlambat. Jayden bahkan belum muncul saat Vins mulai mengoceh karena dia terus menerus di teror oleh Mami Selena.
"Mbak Rea, nyalain dong hapenya. Ini nyonya chat aku terus dari tadi, nanyain Mbak Rea mulu," keluh Vins mulai senewen, karena Selena tak henti-hentinya bertanya tentang putrinya. Sedangkan ponsel Rea sengaja di matikan.
Selena hanya ingin memastikan, bahwa putrinya benar-benar datang ke restoran dan menemui lelaki yang sudah Selena siapkan untuk berkenalan dengan Rea.
"Mbak Rea, hapenya ...."
"Ssst! Bisa diam nggak sih? Pusing nih kepala aku," bentak Rea, membuat Vins terdiam seketika.
"Nungguin siapa sih, Mbak? Sudah masuk saja. Kata nyonya Selena, tuh cowok udah nungguin di restoran dari tadi."
"Iyaaa, tahu! Bawel banget, sih!"
Vins kembali merapatkan bibirnya, takut. Perempuan secantik Clareance yang selalu bersikap anggun di depan kamera, ternyata bisa galak juga.
"Jayyy!" Teriak Rea dengan wajah lega, saat ia melihat lelaki tampan dengan setelan celana bahan merk ternama, dan kemeja abu-abu pekat yang bagian lengannya di gulung hingga siku, sedang berjalan ke arah Rea.
Rambut semi ikal milik Jayden membuat wajahnya tampak lebih segar dan tentu saja ... Tampan.
Penampilan Jayden, memang tak pernah gagal membuat Rea terpesona. Lelaki itu benar-benar terlihat seperti model yang keluar dari majalah pria dewasa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!