Kami di lahir kan oleh seorang ibu yang hebat, biarpun bapak kami menginginkan anak laki-laki, tapi ibu menyayangi Kami dengan sepenuh hatinya, Ibu sangat mencintai Kami, tak pernah Ia membeda-bedakan kasih sayangnya kepada Kami, tiba waktunya Kami menjadi seorang gadis yang tumbuh dengan baik di tangan ibu Kami.
Hingga kami semua mendapatkan pasangan hidup masing-masing, realita kehidupan pernikahan tak seindah yang Kami bayangkan, ini lah drama pernikahan Kami empat bersaudara di mulai. Menjadi seorang istri yang baik dan menuruti perintah suami adalah prinsip kakak pertama ku Mai Sari jika melihat dari luar cover pernikahan Mereka, tentulah semua orang mengidam-idamkan memiliki suami sebaik Hasan Nurrahman.
Dia lelaki baik, sangat menyayangi kakakku, namun entah mengapa kakakku setelah menikah jarang sekali pulang menengok ibu Kami, setiap kali di keluarga Kami sedang ada acara hanya beberapa kali saja Mereka mengunjungi keluarga di sini, setiap bulannya kak Mai selalu memberi uang bulanan kepada Ibu Kami tak pernah lupa dan tak pernah telat melewati tanggal, namun Ibu sering sedih dan rindu, karena kak Mai jarang menemui Ibu.
Sedangkan Aku, Aku adalah putri kedua atau adik dari kak Mai namaku Asri Wijaya hidupku bisa di bilang bahagia bisa juga sengsara, menurut ibu Kami, akulah anak yang paling kuat dari saudaraku yang lain, hingga suatu hari Aku di hadapkan dengan keadaan tak memiliki uang sepeserpun.
"Ayah bagaimana ini, besok kita beli lauk apa, bunda hanya punya uang segini"
Asri memperlihatkan uang dua lembar dua puluh ribu rupiah dan lima ribu rupiah.
"Ya mau bagaimana, Ayah belum dapat uang masih nunggu orderan, pinjam dulu saja sama Mamah Kamu"
Suami Ku selalu saja disaat tak punya uang menyuruhku mencari pinjaman kemana-mana, Aku bukan tak mau meminjam, namun jika soal hutang suami ku selalu menyepelekan, kadang-kadang hutang tak di bayar berbulan-bulan, Aku malu.... Sungguh malu jika meminjam uang tak bisa memberi kepastian pada si peminjam.
Aku hanya diam, berfikir bagaimana besok harus punya uang, lalu Aku berusaha meminjam uang pada Adikku anak ketiga Ibu yang bernama Novi Yanti.
"Dek.. Kaka boleh pinjam uang lima puluh saja, untuk besok beli sayur dan uang jajan sekolah anak"
Pinta Asri kepada sang Adik melalui telepon, lalu Novi menjawab,
"Aku tidak ada pegangan kak, jika Aku meminjamkan uang ke kakak, ini sudah tanggal tua, maaf Aku tidak bisa bantu"
Asri terdiam, merasa menyerah harus meminjam ke siapa lagi.
"Habis benar uang Kamu, pasti adalah Dek.. Lima puluh saja"
"Aku bilang tidak ada ya tidak ada Kak, sudah ya... Aku masih banyak pekerjaan"
Panggilan pun di akhiri oleh Novi, padahal saat ini Novi tengah bersedih, karena Suaminya kini mengambil uang simpanan di lemari untuk membeli obat penenang jiwa.
Novi berjalan menuju dapur melihat sang suami sedang menghisap -hisap jari telunjuknya.
"A... Mau sampai kapan Kamu seperti ini, tolong dong A... Berubah dan berhenti mengkonsumsi obat ini"
Novi memperlihatkan obat itu dengan jelas di depan mata suaminya sambil berbicara dengan nada yang sedikit marah.
"Iya Aku sedang berusaha kok"
Novi merasa bosan mendengar jawaban suaminya yang seperti ini terus, selalu bilang mencoba dan mencoba, namun tak pernah ada usaha untuk berhenti mengkonsumsi obat penenang itu.
"Kamu selalu saja bilang seperti ini, tapi mana A.. Kamu gak pernah mau usaha untuk berhenti, kalau begini terus lama-lama uang kita habis hanya untuk membeli obat Kamu"
Erwin Suami Novi merasa marah karena di nasehati oleh istrinya, Dia pun membentak Novi.
"Kamu tuh ya bawel banget, nanti juga Aku akan berhenti dengan sendirinya!!"
"Tapi tidak akan pernah berhenti jika Kamu gak mau berusaha untuk berhenti"
Erwin pun murka mendengar ucapan Novi, lalu Ia mendorong Novi hingga Novi jatuh dan tubuhnya terbentur meja.
"Aduh.."
"Dasar istri kurang ajar, sudah berani Kamu menasihati Aku"
Setelah berkata seperti itu, Erwin pun mendekati wajah Novi kemudian berkata,
"Heh.. Aku yang kerja dan cari uang, jadi terserah Aku uang ini ku gunakan untuk apa"
Novi hanya bisa menangis menatap wajah suaminya, setalah itu Erwin pergi entah kemana, meninggalkan Novi sendirian di rumah.
"A... A Erwin.... Mau kemana?"
Erwin tak menghiraukan panggilan istrinya, Ia terus berjalan seperti tak punya dosa akan perlakuan kekerasannya terhadap Novi.
Novi menangis untuk kesekian kalinya, dan ternyata Erwin memang dari dulu selalu mengkonsumsi obat penenang itu, Novi mengetahui hal itu ketika memasuki pernikahannya ke tiga bulan, Erwin mengantungi obat penenang dan lupa menaruh obat itu di tempat biasa Ia simpan.
Novi pun menanyakan prihal obat yang Ia lihat, namun dengan entengnya Erwin beralasan jika Dia tak mengkonsumsi obat itu, maka Ia tak akan fokus dalam bekerja, dan merasa mentalnya down ketika atasan memarahinya, bukan hanya itu Erwin sering juga meminum jamu yang katanya punya khasiat untuk menyegarkan badan, namun semua barang yang Ia konsumsi terlalu berlebih-lebihan dan membuatnya menjadi ketagihan, bisa di bilang Ia pecandu obat-obatan dan jamu.
Sementara Asri masih bingung bagaimana memikirkan makan untuk besok.
"Ya Allah Aku harus pinjam siapa?"
Lalu Ia terpikirkan akan meminjam uang kepada kakak pertama Kami Mai Sari, dengan segera Asri menelpon sang kakak dan mengatakan permintaannya.
"Nanti ya Dek, Kakak bilang dulu sama Mas Hasan"
"Iya kak, tapi tolong cepat kabari ya, karena Aku benar-benar butuh uangnya"
Panggilan pun di akhiri, dan saat suaminya telah pulang, Kak Mai seperti biasa menyuguhkan kopi panas dan menyiapkan makan untuk suaminya, ketika telah selesai makan, dan Mas Hasan mulai duduk santai barulah kak Mai mengatakan soal pinjaman dari adiknya.
"Pinjam uang lagi, kan yang kemarin belum di bayar"
Kak Mai agak bingung untuk menjawab, namun Ia berusaha memberikan alasan yang cukup masuk akal supaya adiknya bisa mendapatkan uang pinjaman dari suaminya.
"Lain kali, bilang ke adik Mu bayar dulu hutang yang kemarin, baru pinjam lagi"
"Ya Mas, nanti aku akan sampaikan, lagi pula, adikku benar-benar tidak ada uang, kalau ada pasti sudah di bayar"
"Alah, gak punya uang terus, suaminya ngapain sih, kerja terus tapi uang gak punya terus, sungguh aneh pernikahan adik Mu itu"
Mai hanya bisa terdiam mendengar gerutu suaminya tentang adiknya, biarpun memang Kak Mai tak pernah suka pada suamiku, namun Kak Mai tak ingin Adiknya sengsara tak punya uang, apalagi sampai keponakannya kelaparan.
"Terimakasih ya Mas, sudah mau meminjamkan uang kepada adik ku"
"Bilang pada adik mu, atau bilang pada suaminya, uang ini harus kembali dalam satu Minggu"
"Iya Mas, nanti Aku sampaikan"
"Sekalian sama hutang yang kemarin"
"Iya Mas"
Mai merasa sedih kehidupan masalah ekonomi Asri dari dulu tak pernah ada kemajuan, lalu Ia menelpon adiknya dan menyampaikan pesan suaminya, serta Mai sedikit menasihati adiknya agar suaminya mau mencari pekerjaan lain.
"Kak Aku sudah sering kali bicara soal pekerjaan pada Fery, namun Fery tetap tidak mau berkerja pada orang, entahlah Kak, Dia seperti tak ingin di atur oleh orang dalam bekerja"
"Ya tapi harusnya Suami Kamu memikirkan anak-anaknya, Rina anak pertama Kamu sekarang sudah kelas satu SD, sebentar lagi Rian anak kedua Kamu juga mau masuk TK, pikirkan dong, jangan hanya memikirkan badan Dia saja"
Asri hanya terdiam ketika Kakaknya menasihati soal pekerjaan, karena bukan hanya sekali atau dua kali, Asri selalu meminta pada suaminya untuk mencari pekerjaan yang menjamin hidup anak-anaknya, pekerjaan selain memahat dan membuat kerajinan tangan.
"Sudah ya Kak, terimakasih atas pinjamannya Insyaallah secepatnya Kami akan ganti"
Panggilan pun di akhiri oleh Asri, Asri selalu sedih jika mengingat saat sewaktu masih gadis, kadang-kadang ada rasa menyesal dalam hati Asri karena telah memilih pria yang salah.
Tak ada yang salah dalam pekerjaan suaminya, namun penghasilan yang tak tetap dan entah kapan mendapatkan uang, rasanya membuat Asri merasa capek jika sudah berada di posisi saat menunggu lama mendapatkan uang dari pekerjaan suaminya.
"Ya Allah Aku capek berada di posisi seperti ini terus, Apakah Aku salah mengeluh padamu ya Allah"
Asri terdiam bersedih air matanya kini menetes, pikirannya kemana-mana, dan tiba-tiba Fery datang mendekati Asri.
"Kenapa Kamu?"
"Eh Ayah, Bunda gak apa-apa kok"
"Sudah dapat uang pinjamannya?"
"Sudah Yah, Lima puluh ribu, lumayan untuk jajan sekolah Rina dan untuk beli beras sekilo sama beberapa butir telur"
Fery memberikan reaksi yang tak enak dan mengatakan,
"Kenapa cuma lima puluh, Aku mau merokok harusnya Kamu pinjam 100"
"Ayah, masih untung Mas Hasan ingin meminjamkan uang lagi kepada Kita, hutang Ayah yang kemarin 150 saja belum Ayah bayar, Mas Hasan tadi bilang jika hutang yang kemarin belum di bayar, dan hutang saat ini harus di kembalikan dalam waktu seminggu"
"Akh.. Dasar Kakak ipar Kamu itu pelit banget, hutang sama saudara saja hitung-hitungan"
"Astagfirullah Ayah, Mas Hasan sudah baik mau meminjam uang pada Kita, kenapa Kamu malah bicara seperti itu"
"Sudah lah, kecut nih mulut... Gak ngerokok"
Setelah berkata seperti itu, Fery pergi keluar entah kemana, mungkin saja Ia mencari pinjaman lagi untuk membeli rokok.
Dia antara pernikahan Kami, mungkin yang bisa di bilang hidup bahagia adalah adik bungsu Kami, Dia mendapatkan lelaki yang begitu lembut, menyayangi Adik Kami dengan sepenuh hati, dan suami adik bungsu Kami, sangat agamis dan mengerti tentang agama.
Namun suatu ketika adik bungsu Kami bernama Irna merasa suaminya kini menyembunyikan sesuatu darinya, Irna pun membicarakan soal perasaannya kepada Arif Suami Irna.
"Mungkin itu hanya perasaan Kamu"
"Abi, Aku pernah bermimpi, Kamu tak pulang ke rumah selama beberapa hari, Aku sangat sedih dan bertanya kemana Kamu pergi...."
Belum selesai Irna bercerita Arif langsung memotong ucapan Irna dengan berkata,
"Ami.. Kalau seandainya Aku di sarankan Abi ku untuk menikah lagi, apa Kamu menyetujui?"
Irna terkejut mendengar ucapan suaminya, Ia pun beranjak bangun dari tempat duduknya.
"Apa...? Menikah lagi, maksudnya... Kamu ingin berpoligami?"
Arif terlihat gugup saat mengatakan soal poligami kepada Irna dan Ia menjawab,
"Aku kan hanya bertanya, Kamu tahu kan Abi pernah berkata apa waktu itu sama Kamu saat Abi meminang Kamu di hadapan Ibu kamu"
Irna mulai mengingat perkataan bapak mertuanya jika dalam Islam poligami tak di larang, dan bapak mertuanya bertanya apakah Irna keberatan jika Arif nantinya akan menikah lagi.
"Iya Aku mengingatnya, namun Aku menjawab jika memenuhi syarat syar'i dan yang Kamu nikahi adalah orang yang membutuhkan pertolongan, maka Aku ikhlas Bi..."
"Sudah iya, Aku hanya bertanya sedikit saja kok, tidak perlu di bahas hingga panjang"
Irna merasa pertanyaan suaminya ini adalah pertanyaan yang serius, Irna jadi berpikir apakah suaminya memiliki calon lagi untuk di nikahi.
"Tunggu Abi..."
Irna menarik tangan Arif lalu Ia berkata,
"Apakah Abi Ilham menyuruhmu untuk menikah lagi?"
Arif terdiam yang mungkin saja artinya Arif memang akan menikah lagi, Arif membalikkan badannya dan menjawab ucapan Irna.
"Aku harus menuruti Abi Ilham, karena Dia lah yang membesarkan Aku hingga sampai saat ini, dan mendapatkan begitu banyak ilmu di pesantren"
"Aku mengerti Bi, tapi jawab dulu pertanyaan Aku, apakah benar Abi Ilham ingin menikahkan Kamu lagi dengan wanita lain"
Arif terdiam sejenak tak lama Ia menganggukkan kepalanya dan menjawab,
"Iya, Abi sudah mempertemukan Kami, dan ta'aruf, maafkan Aku Ami, tapi Aku harus mengikuti perintah Abi"
Irna merasa syok mendengar pernyataan itu, Ia melemah dan duduk di kursi kini matanya berlinang airmata dan membasahi cadarnya.
"Tapi apa alasan Abi Ilham ingin menikahkan Abi lagi"
Arif mendekati sang istri dan mulai menjelaskan.
"Kita sudah menikah hampir satu tahun lebih, tapi Kamu belum juga hamil, Abi dan Ami ku ingin cepat menimang cucu, jadi pernikahan kedua adalah solusinya"
Irna semakin bersedih mendengar alasan itu, Ia tak tahu jika kedua orang tua suaminya ingin sekali memiliki cucu dengan cepat, lalu Irna menjawab,
"Tapi Aku bukan tuhan, yang bisa menghadirkan janin dalam rahim ku"
"Aku mengerti Ami, tapi Aku bisa apa"
Irna mengerutkan kedua alisnya saat Arif berkata seperti itu.
"Bisa apa..? Abi Kamu bisa menolak hal itu, pernikahan Kita hanya baru satu tahun, Aku masih ada kesempatan untuk hamil Aku masih muda, masih subur dan Aku sehat Abi"
"Tapi ini permintaan Abi Ilham, poligami tak dilarang dalam Islam dari pada Aku berzina, maka lebih baik solusinya adalah menikah lagi"
"Tapi bagaimana dengan perasaan Aku, Abi dan Ami Mu apa tidak memikirkan hal itu"
"Ami Irna, tapi Ami Anisa juga di madu, Aku tak mengerti, sepertinya memang semua dari keluarga ku, itu pasti memiliki dua istri, istri yang sama-sama sah secara agama dan hukum"
"Cukup Abi, hati ku sakit Bi, saat Kamu dan keluarga Kamu merencanakan pernikahan di belakang Aku, Kalian tidak memikirkan perasaan Ku, dengan diam-diam merencanakan ini semua, lalu kalian anggap Aku apa?!!!"
Kini tangis Irna semakin pecah, merasa tak di hargai dalam keputusan poligami, Irna merasa terluka hatinya, Arif pun tak dapat bisa berontak, Arif selalu menuruti apa kata kedua orangtuanya, padahal Irna tak kurang-kurang banyak berubah demi sang suami, dari yang tidak berhijab kini memakai hijab hingga kini bercadar karena permintaan kedua orangtuanya, dan Irna melakukan itu semua sebagai bentuk baktinya pada sang suami.
Ketika kembali entah dari mana perginya Fery, Ia pulang dengan membawa satu bungkus rokok, Asri pun bertanya dari manakah Ia mendapatkan rokok ini.
"Ya pinjam uang lah sama teman"
Asri tak mengerti jika Ia bisa meminjam uang pada temannya mengapa Ia harus menyuruh dirinya untuk mencari pinjaman, Asri pun mengatakan apa yang ada dalam benaknya.
"Aku kan cuma butuh rokok, supaya inspirasi di otakku bisa terlihat luas, Aku kan sudah bilang jika pekerjaan Aku ini membutuhkan konsentrasi yang serius, nanti Aku bayar hutang kakak ipar Mu, jangan khawatir"
Setelah berkata seperti itu, Fery melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang ukir.
Tiba-tiba Rina datang dan meminta uang jajan pada Asri.
"Sayang, jajannya besok lagi ya, Bunda lagi gda uang lebih, Bunda janji besok"
"Jajan Bun.. pengen beli coklat"
Walau sudah di nasehati Rina tetap saja rewel dan terus meminta uang pada ibunya, hingga suaranya tangisnya kini terasa mengganggu pekerjaan Fery.
"Bisa diam gak sih, Bunda tolong dong buat Rina berhenti menangis, Ayah jadi tidak fokus"
"Iya ayah, Sebentar... Namanya juga anak-anak ya susah kalau biasa di kasih jajan, dan saat ini minta malah tidak ada uang"
Merasa kesal Fery kini membentak sang istri dan memukulkan palu kayunya ke pintu dapur.
"Ya makanya tugas Kamu berusaha hentikan tangisnya Rina, ga becus banget jadi ibu, coba dong Kamu cari kegiatan biar Rina jangan terus menangis dan menganggu Aku bekerja"
Asri merasa Fery begitu egois, Asri seperti mengurus anaknya sendirian, support dari suaminya begitu kurang, hingga Asri kadang-kadang menangis sendirian di kamar saat ingin tidur, dan di setiap tangisnya Ia hanya berharap supaya suaminya bisa berubah menjadi ayah yang lebih bertanggung jawab, dan ikut berperan dalam merawat anak-anak, Asri mengajak Rina untuk masuk ke kamar, lalu Ia menasihati Rina dengan begitu pelan dengan berkata,
"Rina sayang anak Bunda, hari ini jajannya libur dulu yah, besok Kita jajan lagi"
Asri berharap malam ini suaminya mendapatkan transferan dari customernya, agar lusa nnti sudah punya uang dan bisa membayar hutang pada Kakak Iparnya.
"Jadi Rina ga boleh jajan"
"Bagaimana kalau makan saja, bunda punya telur Kita makan telur dadar kesukaan Rina, bagaimana?"
Rina tersenyum dan mengerti membuat hati Asri sedikit lega, sedangkan Rian kini masih tertidur dan belum bangun, jika sudah bangun pastilah anak kedua Asri juga akan meminta jajan seperti kakaknya Rina, jarak Rina dan Rian tak begitu jauh hanya beda dua tahun.
Saat Rina berumur 2 tahun lebih Asri hamil kembali, menjadi ibu yang mempunyai dua balita sungguh sangat membuatnya hampir mengalami baby blues, tapi untungnya Asri begitu kuat mentalnya dan pikirannya selalu berkata bahwa ini adalah ujian rumah tangganya.
Novi merasa kesakitan akan tubuhnya tadi yang terbentur lemari.
"Aww.. Sakit sekali"
Baru saja mengeluh, Erwin datang pulang entah dari mana tadi Ia pergi.
"Kamu sedang apa?"
"A... Sudah pulang, A, tolong lihat badan bagian ini, sakit sekali"
"Aduh, manja banget sih Kamu, itu tidak apa-apa, tidak usah berlebihan, Aku sebentar lagi berangkat kerja, Kamu sudah siapkan bekal Aku"
"Baru mau Aku siapkan"
"Dasar tolol, kenapa belum disiapkan 30 menit lagi Aku berangkat"
"Iya A, maka itu Aku akan siapkan sekarang"
"Ya sudah sana"
Erwin mendorong Novi lagi, Novi bersedih lagi saat di dapur, rasanya jika bisa teriak, Dia ingin teriak, merasa akhir-akhir ini, Erwin telah banyak berubah, Ia bersikap manis dan romantis hanya beberapa bulan saja, sejak Ketahuan soal obat itu, sikapnya semakin kesini semakin kasar, bahkan Ia tak segan memukul Novi hanya karena kesalahan kecil saja, dalam hati Novi selalu bertanya apakah ini sudah tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Tapi jika untuk melepas Erwin, rasanya Novi belum sanggup hidup menjanda, dalam hatinya masih ada rasa takut akan kehidupan menjanda, Ia selalu berharap suatu saat suaminya bisa kembali seperti dulu lagi saat masih pengantin baru, harapan itu masih selalu ada dalam hatinya, meskipun air mata menemani kesehariannya.
Ketika selesai menyiapkan bekal untuk Erwin, Novi memasukkan ke dalam tas kerjanya, dan saat Erwin telah siap untuk berangkat, Erwin mengecek bekal yang di siapkan istrinya, namun saat tahu lauk yang di masaknya hanya telur dadar dan nasi saja, Erwin pun marah dengan berkata,
"Kenapa Kamu kasih Aku hanya telur, Kamu tidak masak ya?"
"Aku masak kok A, tapi Aku hanya bisa membeli telur, supaya bisa menyambung sampai A Erwin gajian"
"Alah.. Bilang saja Kamu ingin menyalahi Aku karena uang belanja itu Aku pakai"
Novi terdiam tak menjawab, walau sebenarnya iya ucapan Erwin benar adanya, tapi Ia berusaha untuk meredam Erwin supaya tak marah dan memukulinya lagi, setelah perdebatan tadi, Erwin pun pergi bekerja.
Pagi hari tiba, Rian masih tertidur dan Asri pergi mengantar Rina ke sekolah.
"Sayang, Bunda tinggal ya, nanti pulang sekolah Bunda jemput lagi"
"Iya Bunda"
Rina pun bersalaman dengan sang ibu, tak lupa kecupan kening selalu Asri berikan saat mengantar Rina sekolah.
Sesampainya di rumah Asri mulai belanja Ia melihat-lihat apa yang bisa Ia beli dengan uang empat puluh dua ribu di zaman sekarang.
"Bu, beli bayam, tempe satu dan beras sekilo ya"
"Iya bunda Rina"
Belanjaan pun di kemas, dan Asri membayar belanjaan itu lalu kembali pulang ke rumah.
Rian terbangun dan Ia menangis meminta ingin pipis.
"Bun.. Bun.."
Namun Fery tak bangun-bangun entah Ia mendengar tangisan anaknya namun acuh atau memang Fery benar-benar tertidur pulas, dan saat Asri masuk ke rumah, ternyata Rian sudah pipis di lantai dan air kencingnya berserakan dimana-mana.
"Ya Allah Rian, Kamu pipis di celana ya"
"Bun... Pipis"
"Iya sayang"
Asri langsung membersihkan bekas kencing Rian dan mengepel bersih lantai tersebut, sambil tangan mengayun mengepel lantai bola mata Asri melirikkan ke arah di mana suaminya tidur, dalam hatinya berkata,
"Kamu benar-benar keterlaluan Ayah, Anak Kamu bangun dan menangis, tapi Kamu masih bisa-bisanya tidur nyenyak"
Asri pun bersedih dan air matanya kini menetes lagi, namun dalam hatinya selalu Ia tegarkan agar orang lain tak tahu apa yang sedang Ia alami.
Saat Novi duduk sendirian di atas ranjang, Ibu menelponnya dan mengatakan jika saat ini sedang sakit.
"Ibu sakit apa, kak Mai dan Kak Asri sudah tahu"
"Belum Nov, Ibu gak tega kalau menelpon Kak Asri, Dia sudah kerepotan dengan dua anak, dan biasanya juga tidak pernah bisa membawa Ibu berobat, karena tidak punya uang"
Dalam hati Novi pun berkata,
"Aku juga sedang tidak baik-baik saja Bu ekonomi keluarga Aku"
Namun Novi tak memberitahukan tentang perlakuan suaminya yang kejam, dan kebiasaan suaminya mengkonsumsi obat-obatan, Novi selalu berusaha menutupi aib suaminya sampai saat ini.
"Kamu mau kan antar ibu ke dokter?"
"Aku Bu.. Tapi Bu maaf, ini tanggal tua uang pegangan ku tidak banyak"
"Jadi Kamu juga tidak bisa ya mengantarkan Ibu berobat"
"Aku bisa mengantarkan ibu, tapi tidak bisa membayar biaya berobat ibu"
Bu Nasya merasa kasihan juga jika memaksa putri ketiganya untuk membayarkan biaya berobatnya.
"Baiklah, Ibu akan coba telepon adik bungsu Kamu saja"
"Iya Bu, Aku minta maaf ya Bu".
Panggilan di akhiri, Bu Nasya langsung menelpon putri bungsunya.
"Halo Nak, bagaimana kabar Mu?"
"Alhamdulillah Aku baik Bu, kalau ibu bagaimana? Ibu sehat?"
"Nak... Kamu kok tidak pernah main ke rumah Ibu sudah sebulan ini"
"Maaf ya Bu, Aku belum sempat, karena Aku sedang program hamil, jadi Arif tidak membolehkan ku banyak capek"
Padahal yang sebenarnya adalah Irma sedang dilema dalam pernikahannya karena suaminya sebentar lagi akan menikah lagi dengan wanita lain.
"Oh begitu.. Ibu menelepon Kamu karena ibu sedang sakit"
"Ya Allah ibu sakit apa?"
"Biasa Nak, penyakit tua, Ibu mau berobat, tapi ibu gak punya uang, ibu punya uang dari kakak Mu Kak Mai hanya untuk uang bulanan Ibu, kalau di pakai berobat, lalu nanti ibu makan apa?"
Irna merasa sedih mendengar keluh kesah sang Ibu, lalu Ia mengatakan jika Ia akan meminta izin dahulu untuk meminta uang pada suaminya.
"Nanti Aku kabari Ibu lagi ya"
"Iya Nak, ibu tunggu kabarnya"
Setelah panggilan di akhiri Irna mulai mendatangi suaminya yang sedang di ruang khusus shalat, suami Irna rajin wiridan dan berdzikir di malam hari, Irna mengetuk pintu mengucapkan salam.
"Assalamualaikum Abi"
"Wa'alaikum salam, ada apa Ami?"
"Maaf mengganggu Abi, tadi ibu menelpon Aku, katanya sedang sakit, Abi bolehkah Ami memakai uang yang Abi berikan untuk membawa ibu berobat"
Arif tersenyum dan membolehkan Irna memakai uang bulanannya.
"Alhamdulillah terimakasih Abi, kalau begitu Ami pergi dulu ya menemani ibu"
"Iya Ami hati-hati ya"
Irna merasa lega jika soal uang Arif tak pernah pelit dengan keluarganya, namun jika untuk mengambil keputusan dan tindakan dalam rumah tangga, Arif selalu mangut terhadap perintah dari kedua orangtuanya.
Tak lama Irna sampai di rumah ibunya, Ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam, Bu Nasya langsung membuka pintu itu ketika mendengar suara putrinya.
"Irna, kesini bersama siapa?"
"Aku sendiri Bu, Bu Alhamdulillah Arif membolehkan Aku menggunakan uang bulanan Aku untuk berobat ibu"
"Alhamdulillah terimakasih ya Nak, Kamu sudah mau menolong Ibu"
Irna merasa terenyuh melihat kondisi ibunya yang sudah tua tinggal sendiri di rumah ini, semenjak bapak pergi meninggalkan ibu, ibu sampai saat ini lebih memilih tidak menikah lagi.
"Ayo Bu, Kita periksa ibu sakit apa?"
Sesampainya di rumah sakit, dokter memeriksa kondisi Bu Nasya, dokter cukup terkejut ketika tahu bahwa ada kista bersarang di rahim Bu Nasya.
"Ibu Nasya, Saya harus katakan jika saat ini ada kista yang tumbuh di rahim ibu"
"Astagfirullah apa benar dokter?"
Tanya Irna yang merasa kaget akan berita itu.
"Iya Bu.. Saya sudah memeriksa Bu Nasya beberapa kali, Saya menyarankan untuk segara melakukan operasi pengangkatan kista, karena jika di diami, lama-kelamaan kista akan membesar dan bisa menjadi kanker yang ganas"
Bu Nasya hanya bisa pasrah dengan pernyataan dokter, Irna menatap wajah sang Ibu Ia sungguh bersedih akan berita ini, rasanya Ia ingin sekali merawat ibunya dan mengajak tinggal ibunya bersamanya, namun dalam hatinya berkata apakah Arif akan mengizinkan ibunya tinggal bersamanya.
Setelah selesai periksa dan sudah di berikan resep obat untuk sementara dari dokter, Irna segera membawa ibunya pulang ke rumah, dalam perjalanan sang ibu menanyakan bagaimana pernikahannya apakah dirinya bahagia menikah dengan Arif.
"Alhamdulillah Aku bahagia Bu"
"Arif tidak pernah menyakiti Kamu kan?'
Irna terdiam, tidak mungkin baginya menceritakan soal poligami kepada ibunya, kini dalam hatinya biarlah dirinya saja yang merasakan takdir ini, Irna tidak ingin ibunya banyak pikiran yang akhirnya akan membuat penyakit baru lagi pada ibunya.
"Bu sudah sampai"
Mereka pun turun dan Irna mengantar sang ibu sampai masuk ke dalam rumah.
"Ibu ini obatnya, di minum 3 kali sehari ya, Ibu sudah makan?"
"Sudah tapi tadi pagi kalau siang ini belum"
"Ya sudah Irna buatkan makan untuk ibu ya"
Sebelum mulai memasak Irna mengirim pesan pada suaminya jika Ia memasak sebentar untuk membuatkan makanan ibunya.
"Kamu harus jadi istri penurut, kalau sudah dapat pria sebaik Arif, ibu lihat Dia sangat sayang sama kamu"
"Iya Ibu, oh iya Ibu sudah kabari Kak Mai?"
"Belum, percuma kalaupun ibu telepon pasti Kakak Mu gak bisa datang kesini"
Irna terdiam, Irna pun merasa setelah menikah Kak Mai jarang sekali kesini menengok ibu.
"Coba ibu telepon bilang sedang sakit, siapa tahu Kak Mai mau kesini"
"Ibu jadi bingung memangnya ada apa ya setiap ibu minta Kakakmu kesini, pasti saja ada alasan-alasan yang membuat kakak Mu gak bisa kesini"
Irna tersenyum lalu menjawab,
"Berpikir positif Bu, mungkin Kak Mai sibuk, anak Kak Mai kan banyak, apalagi yang kecil si Al sudah pasti rewel terus kalau di bawa pergi perjalanan jauh"
Bu Nasya menghela nafas dan menghembuskannya dengan pelan, Ia tak menjawab lagi ucapan Irna, Bu Nasya malah melamun entah apa yang dipikirkannya.
"Sudah selesai nih Bu, Ibu makan ya nanti, Aku gak bisa lama-lama disini Bu, Arif sudah wirid selama 1 jam, pasti saat ini sudah selesai"
Bu Nasya tak menjawab Ia malah terdiam bagaikan patung, melihat ibunya seperti itu Irna memeluk pundak sang ibu dengan pelan.
"Ibu..."
Bu Nasya tersadar lalu menjawab,
"Eh iya, kenapa Nak?"
"Ibu yang kenapa, Ibu memikirkan apa?"
"Gak tahu nih, Ibu hanya merasa sendirian setiap hari, anak ibu banyak, tapi... Semuanya pergi menjauh dari ibu"
Irna menjadi sedih mendengar ungkapan hati sang ibu, lalu Irna menjelaskan jika anak-anaknya kini telah bersuami, yang harus di layani setiap hari.
"Iya Ibu mengerti, Ibu kadang ingin sekali salah satu dari kalian, mau menerima ibu tinggal bersama Kalian, atau tidak Kalian yang menginap kesini beberapa hari"
Irna bersedih lagi kesekian kalinya, rasanya Kami anak-anak ibu sudah jahat membuat hati ibu Kami merasa sendirian.
"Nanti Aku minta izin Arif sesekali menginap kesini"
"Benar Nak.. Ibu senang banget, kabari ibu ya nanti"
Irna merasa senang melihat senyum dari bibir Ibunya, ada begitu banyak harapan terlihat dari sorot matanya.
"Iya Bu, kalau begitu Aku pulang ya Bu"
"Hati-hati ya Irna, Kamu gak minta jemput saja sama Arif"
"Gak Bu, Aku gak ingin merepotkan Arif, ya sudah... Assalamualaikum"
Irna bersalaman pada Ibunya lalu Ia pergi berlalu meninggalkan sang Ibu sendirian lagi di rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!