Pagi yang cerah di tahun 2013....
Ting...ting....
Semua murid berhamburan keluar kelas karena jam pelajaran ke ketiga telah berakhir. Ada yang lari kekantin karena kelaparan, ada yang lari ke lapangan ingin berolahraga atau kekelas lain untuk menemui gebetan.
"Indri... aku ke perpus bentar ya... mau pinjam buku buat tugas kita..."
Pamit seorang gadis berambut sebahu yang langsung berlari menuju gedung perpustakaan yang terletak di sebelah selatan gedung belajar mengajar.
Bugh....
"Aduh... sakit..."
Ia meraba b*k*ngnya yang sakit akibat terjatuh karena telah menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan darinya.
"Yuna... kamu itu kebiasaan banget lari-lari di lorong kelas. Apa nggak bisa jalan pelan-pelan... ??" hardik seorang gadis yang berdiri disamping cowok yang Yuna tabrak.
Yuna nama gadis berambut sebahu itu hanya membalas dengan tatapan sengit dan mengdumel.
"Desi... yang aku tabrak bukan kamu, kenapa kamu yang marah..." kesal Yuna.
"Kamu...!!"
"Sudah Des... Saya nggak pa-pa... Ayo cepat, kita sudah ditunggu Pak Amir di lab Biologi..." lerai laki-laki yang ditabrak oleh Yuna.
Desi mengikuti langkah laki-laki tinggi itu dan menoleh kebelakang dimana Yuna berdiri. Menatap Yuna dengan senyum mengejek.
Yuna bukannya kesal, ia menjulurkan lidahnya kearah Desi dan berjalan menuju perpustakaan tempat awal yang ingin ia tuju.
"Caper banget sih si centil itu... Eh... tapi dia siapa...??? kok aku baru lihat dia...???" Yuna bermonolog pada dirinya sendiri.
"Au ah..." ia mengedikkan bahu tak perduli.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ting....tiing....
Bel pelajaran terakhir berbunyi panjang menandakan aktivitas belajar mengajar telah usai untuk hari ini.
Murid-murid berhamburan keluar kelas.
"Aku duluan ya... bye...semua..." pamit Yuna pada rekan-rekan nya di kelas 3 jurusan bahasa.
"Mau kemana say... Buru-buru amat..." cegah Riana teman sebangku Yuna.
"Mau bantu bunda... Hari ini ada banyak bunga yang masuk plus aku juga ada orderan buat buket mawar. Ada yang order buat kejutan untuk tunangannya..... Duluan ya..." pamit Yuna bergegas dengan senyum cerah yang selalu menghiasi bibirnya.
Lagi-lagi gadis itu berlari dan lagi-lagi ia menabrak murid laki-laki yang sama.
Yuna mengusap keningnya yang terbentur punggung tinggi laki-laki itu.
Laki-laki itu berbalik.
"Sepertinya kamu memang punya hobi nabrak orang ya.... Satu hari ini kamu sudah nabrak saya dua kali... Apa akan ada yang ketiga kali nantinya..." kata anak laki-laki tersebut. Bukan kesal hanya heran dengan kebiasaan gadis itu.
Yuna hanya nyengir kuda sambil mengusap dahinya.
"Aku minta maaf... Buru-buru soalnya..." alasan Yuna.
Laki-laki itu hanya menghela nafas. Mau marah juga tak bisa. Ia sudah terhipnotis oleh senyum manis Yuna.
"Arga...." panggil murid laki-laki lain yang mungkin rekannya.
"Woi... Yuna si tukang kembang... Ngapain lo goda sohib gua... Naksir lo..." hardik laki-laki yang sedang memegang bola basketnya.
"Heh... jangkrik sawah... !!! Sembarang mulut lo... Brisik tahu..." balas Yuna.
"Enak aja gua dikatain jangkrik sawah. Nama gua cakep gini sembarangan lo ganti. Panggil gua babang Heru... H-E-R-U... Paham lo...!!!!" kesal laki-laki yang mengeja namanya sendiri.
"Bodo...!!" kesal Yuna. Ia tak perduli pada laki-laki yang bernama Heru itu.
"Sekali lagi maafin aku... Nggak sengaja dan nggak akan ada tabrakan yang ke tiga. Aku jamin... Arga... ok... bye...." kata Yuna sambil membaca nama laki-laki yang hanya tersenyum melihat dia bertengkar dengan rekannya.
Yuna segera berlari mengambil sepedanya dan meninggalkan pekarangan sekolah untuk menuju toko bunga yang sekaligus rumah milik keluarganya.
Arga memandang Yuna dengan senyum kecil.
"Oi... malah senyam senyum lo... Jangan bilang lo naksir sama si Yuna anak bahasa itu. Jika ia... wah kacau.... Lo nurunin standar cewek idaman namanya bro..." Heru menepuk pundak Arga yang lebih tinggi sedikit dari nya.
"Gosip aja terus Her... sini bolanya..." Arga merebut bola basket dari tangan Heru dan mendribble hingga ke lapangan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Yuna's Florist
"Bun... bunga krisannya mau diletak dimana.... ??" tanya Yuna pada bundanya yang masih sibuk menghitung stok barang yang baru sampai.
"Diletak dekat pojok aja Yun... gabung sama teman-temannya...." tunjuk bunda kearah sudut toko.
Yuna berjalan kearah yang ditunjuk oleh bunda.
"Hah... capek banget..."
Yuna menghempaskan b*k*ngnya duduk dekat bunda.
"Kamu kalau lelah istirahat sana. Kan ada mbak Sri dan Danang yang bantuin bunda..." ucap bunda pada anak gadis satu-satunya sambil membantu menghapus keringat di dahi Yuna.
"Nggak ah... Yuna mau disini lihat bunda dan menghirup wangi bunga yang bikin hati tentram dan nyaman..." sahut Yuna.
"Terserah kamu deh..."
Bunda kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Permisi..." sapa seorang pelanggan yang masuk.
"Ya... tunggu..." Yuna berjalan cepat kearah depan toko.
Gadis itu menatap tak percaya pada apa yang sedang ia lihat didepan matanya.
"Arga...??"
"Hai..." Arga melambai ke arah Yuna. Ia juga sama kagetnya dengan Yuna. Tak menyangka mereka bertemu lagi diluar sekolah.
"Ada apa... ?? Eh maksud aku perlu apa...??? Mau beli bunga buat gebetan ya....??" tanya Yuna sok tahu.
Arga melambai " Bukan... saya mau ambil pesanan bunga mawar atas nama Dewa Bimantara, apa sudah selesai....?" ralat Arga segera agar gadis didepanya tidak salah paham.
Yuna hanya beroh ria dan bergegas mengambil buket bunga yang tadi telah selesai ia rangkai dibantu oleh karyawan bunda, mbak Sri.
"Ini... Hati-hati..." Yuna menyerahkan buket ketangan Arga.
"Terima kasih... Sudah dibayarkan????..." ucap Arga mengambil buket pesanan kakaknya.
"Sudah... sudah lunas kok..." sahut Yuna.
"Oh... ok... Terima kasih ya..." kata Arga sambil berjalan keluar dari toko. Namun langkahnya terhenti oleh pertanyaan Yuna.
"Eh... tunggu... Kamu murid baru di SMA BINA BANGSA ya... Kok aku nggak pernah lihat kamu sebelumnya..." tanya Yuna penasaran.
Arga mengangguk. "Saya murid pindahan dari Bandung. Sudah hampir dua minggu ini... " jelas Arga.
"Sudah selama itu ya.... he...he.. Aku baru masuk sekolah sih, kemarin sempat libur karena masuk rumah sakit kena DBD.... Baiklah... Makasih ya... moga suka dengan buketnya...." kata Yuna yang seenaknya saja setelah rasa penasarannya terpenuhi.
Arga lalu bergegas menuju mobil SUV yang terparkir di depan halaman toko bunga milik keluarga Yuna.
"Kok lama Ga... Mas pikir belum selesai...." tanya pria matang yang baru selesai menelpon.
"Lain kali mas Dewa yang ambil sendiri kalau mau cepat..." kesal Arga yang memang selalu bertengkar dengan sang kakak.
" Baiklah adikku... Maaf ya... Dan terima kasih..."
Dewa lantas menghidupkan mobil dan meninggalkan parkiran. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat wajah kesal sang adik yang beda delapan tahun dibawahnya.
"Itu toko bunga langganan Mama. Jadi nanti kalau beliau minta tolong ambil pesanan ya disini. Kamu harus ingat jalannya... Belokan simpang pertama ya... Nanti kalau mas sudah nikah, kamu yang akan bantu Mama..."
Arga hanya diam. Ia tak menyahut atau membantah ucapan sang kakak.
Dewa menoleh ke arah adiknya. "Jangan kesal lagi... Kamu juga kalau tinggal di Bandung nggak punya siapa-siapa disana. Papa sibuk dengan keluarga barunya. Heran... udah tua masih juga mau punya bayi. Jatuhnya itu udah kayak cucunya bukan anaknya..." kesal Dewa pada sang Papa.
"Terserah merekalah mas.... Papakan punya jiwa muda. Dan kalau nanti kita udah berkeluarga semua, beliau tidak akan kesepian. Kan ada anaknya yang jaga..." sahut Arga malas-malasan.
Dewa menoleh pada Arga. Sejak orang tuanya berpisah, Arga lebih memilih ikut dengan sang Papa yang tinggal di Bandung bersama keluarga barunya.
Alasan Arga satu, tidak ingin membuat Papa bersedih dan kesepian. Tapi pada kenyataanya, Arga lah yang selama ini kesepian. Dan oleh karena itulah Mama mereka berusaha membujuk agar Arga mau tinggal bersama dengannya kembali. Beruntung Arga menyetujui usulan itu.
Bersambung....
"Bun.... Yuna berangkat...." pamit Yuna pada bunda yang masih sibuk di dapur.
Yuna mengayuh sepedanya sambil bernyanyi. Gadis periang itu hidup hanya berdua dengan sang bunda. Ayahnya sudah meninggal dunia akibat kecelakaan sewaktu mengantar pesanan bunga pada pelanggan lima tahun lalu.
"Yuna.... Aisya Yuna...." teriak Riana memanggil Yuna dengan nama lengkapnya.
Yuna melambai.
Gadis itu berlari menghampiri rekannya setelah merantai sepedanya.
"Eh... kamu tahu anak baru yang bernama Arga....??? Anak MIPA 1. Dia hari ini mau tanding dengan tim basket dari sekolah lain. Kita harus kasih semangat. Nanti selesai jam pelajaran kita langsung kumpul di lapangan basket sekolah ya..." ajak Riana pada rekan-rekannya.
"Harus ya....???" tanya Yuna tak bersemangat.
Riana mengangguk. "Harus dan kamu kali ini harus ikut kita. Oh ayolah Yun... Sekali-kali bergaul dengan yang lain. Siapa tahu nanti kamu dapat gebetan. Diantara kita bertiga cuma kamu yang belum pernah pacaran.... Tidak ada bantahan..." ucap Riana mengulti sahabatnya itu.
Yuna menghela pasrah. Mau beralasan apalagi, kali ini Riana sepertinya tidak mengizinkan Yuna menghilang dari sekolah.
Bel pelajaran terakhir berbunyi panjang.
Sesuai kesepakatan yang memaksa tadi ,akhirnya Yuna mengikuti para sahabatnya ke lapangan basket.
Para murid cewek penggemar basket atau lebih tepatnya penggemar cowok-cowok anak basket sudah terdengar berteriak bahkan dari luar lapangan.
"Kita duduk disana...." Riana menunjuk ke dekat tribun sebelah kiri pintu masuk.
Yuna hanya diam mengikuti. Melangkah tak bersemangat. Ia lelah dan ingin cepat pulang. Tapi menuruti permintaan sahabatnya sebentar pun tak masalah pikirnya.
"Ck... Lihat si Desi centil. Apaan sih dekat-dekat Arga... Nggak banget gayanya..." kesal Indri yang dibenarkan oleh Riana.
"Ho~oh.... gatel kayak ulat bulu...." sahut Riana.
Yuna yang tadinya masih menatap ponselnya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lapangan. Matanya tak sengaja langsung tertuju pada Arga yang sepertunya juga sedang menatapnya. Entahlah... hanya perasaan Yuna saja. Tapi Yuna seakan sedang membenarkan firasatnya jika Arga memang sedang menatap dirinya.
"Woi... Yuna tukang kembang.... Tumben lo ikut nonton...?? Biasanya main sama kembang...." suara cempreng Heru dari arah lapangan mengagetkan Yuna.
Gadis itu memicing, menatap sinis pada Heru yang selalu mencari masalah dengannya.
Yuna hanya menjulurkan lidah pada Heru sehingga membuat laki-laki itu jadi tantrum sendiri.
Arga yang melihat hal itu tersenyum kecil dan geleng kepala.
Pertandingan persahabatan antar sekolah sudah dimulai. Para gadis berteriak memanggil idola mereka. Kebanyakan memanggil nama Arga.
Arga Bimantara, adalah cowok dingin, irit bicara dan yang pasti pintar karena ia berasal dari kelas unggulan anak MIPA.
Arga memiliki tinggi 180 cm. Badan yang atletis tidak terlalu berotot tapi bisa dibilang bagus apalagi jika dia jadi model. Sejak ia masuk di SMA BINA BANGSA, semua murid perempuan berlomba-lomba untuk menarik perhatiannya.
Sorak sorai penonton tidak membuat Yuna ikut menonton lajunya pertandingan. Sejak tadi ponselnya tidak berhenti berdering. Karena ramai, Yuna lalu mengirimi pesan pada si penelepon. Raut wajahnya lalu berubah saat melihat balasan salah satu karyawan bunda.
Cepat-cepat ia bergegas hendak meninggalkan tribun.
"Aku duluan ya... Bunda kirim pesan kalau lagi banyak pesanan...." pamit Yuna keluar buru-buru dari tribun tanpa mendengar persetujuan rekan-rekannya.
Arga yang akan melakukan shot tembakan ke ring, tak sengaja melihat Yuna keluar.
Tapi cepat-cepat ia mengalihkan pandangan pada arah ring.
Dan masuk...
Tambahan poin membuat sekolah BINA BANGSA unggul dari sekolah tamu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Yuna mengayuh sepedanya dengan sedikit cepat.
Bukan karena pesanan Yuna pamit pada teman-temannya. Tapi karena toko mereka sedang didatangi oleh rentenir yang sedang mengacak-acak toko karena mau menagih hutang.
Hutang apa....??
Yuna juga tidak tahu karena selama ini yang Yuna tahu, keluarganya tidak pernah memiliki hutang pada siapapun.
Bunda saat ini hanya berdua dengan Mbak Sri di toko, sedangkan mas Danang sedang mengantarkan pesanan.
Yuna takut terjadi sesuatu pada bunda dan Mbak Sri.
Yuna tiba di toko dan membanting sepedanya begitu saja. Ia berlari masuk kedalam toko yang terlihat berantakan.
"Bunda.... Mbak Sri...." raut khawatir terlihat jelas di wajah Yuna.
"Yuna..." panggil bunda.
"Ada apa bun...??? Kenapa ada rentenir datang ke toko kita...?? Apa bunda punya hutang??" tanya Yuna.
Bunda menggeleng lemah. "Bukan kita sayang... tapi Wak Reni yang punya hutang dan menjaminkan toko kita sebagai pelunas hutangnya..." jelas bunda dengan wajah sedih dan kecewa.
"Kenapa bisa....?? Bukankah toko ini milik ayah....?? Bagaimana bisa Wak Reni menjadikannya jaminan pada rentenir...??"
"Toko ini memang milik ayah, tapi bunda lupa jika tanah dan toko ini masih nama kakekmu. Dan ayah berfikir karena ia hanya berdua dengan Wak Reni dan harta warisan juga sudah dibagi rata oleh mendiang kakekmu, ayah belum mengurus pemindahan nama dari nama kakek ke nama ayah.... Makanya Wak Reni bisa menjaminkannya karena dia punya salinan surat warisan...." jelas bunda yang membuat Yuna semakin kesal.
Yuna mengepal.
Sejak dulu, ia memang kurang menyukai sifat adik satu-satunya dari ayah itu.
Gemar kawin cerai dan belanja serta pamer harta.
Yuna tak menyangka jika Wak Reni tega melakukan hal ini pada ia dan bunda. Padahal selama ini mereka telah baik padanya.
"Yuna mau kerumah Wak Reni.... Yuna mau tahu alasan Wak Reni melakukannya pada kita. Padahal kita nggak pernah minta apapun sama dia. Bahkan untuk biaya pengobatan ayah pun kita usahakan sendiri..." amarah Yuna.
Bunda menahan tangan putrinya.
"Wak Reni udah nggak tinggal disini lagi Yun... Dia udah pindah nggak tahu kemana. Tadi para rentenir itu yang bilang dan ponselnya juga nggak aktif. Rumahnya udah kosong..." jelas bunda terisak.
Tubuh Yuna luruh.
"Lalu sekarang bagaimana...??? "
"Kita harus kosongkan tempat ini segera. Mereka cuma kasih waktu tiga hari..." jelas bunda lagi.
"Mbak Sri...???" mata Yuna menatap karyawan bundanya.
"Mbak ikut kalian saja. Mbak kan nggak punya keluarga kandung lagi. Jadi kemanapun bunda dan kamu pergi, Mbak ikut...." sahut Mbak Sri yang memeluk Yuna.
Malamnya, keluarga Yuna mulai berkemas.
"Kita mau kemana bun...??" tanya Yuna saat menyusun semua buku-buku miliknya kedalam kotak kardus.
"Kita ke kampung bunda di Klaten... Disana masih ada sawah peninggalan eyang. Kita bisa kelola, dan sisa tanahnya kita buat perkebunan bunga. Bunda masih punya simpanan meski sedikit. Apa kamu nggak apa jika bersekolah didesa...??" tanya bunda.
"Nggak apa... Asalkan kita tetap sama-sama...." sahut Yuna yakin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Sepi... sejak nggak ada tukang kembang. Nggak ada yang bisa gua ganggu lagi...." wajah lesu Heru begitu kentara dan dibenarkan oleh rekannya yang lain.
Indri menoleh pada Riana "Yuna nggak bilang dia pindah kemana Ri...??" tanyanya.
Riana yang lebih dekat dengan Yuna menggeleng.
"Dia nggak bilang. Tapi katanya pindah ke kampung halaman bunda cuma itu pesan yang dia kirim malam itu. Dan setelahnya ponselnya udah nggak aktif. Padahal hanya sisa beberapa bulan lagi kita ujian kelulusan" sahut Riana sedih.
Arga hanya menatap kesembarang arah.
Mereka hari ini sedang berkumpul di lapangan usai latihan basket.
Sejak Yuna pergi beberapa hari lalu, mereka jadi sedikit akrab. Apalagi Indri dan Heru ternyata memiliki ketertarikan satu sama lain.
"Ga... lo mau kemana....??" cegah Heru saat melihat Arga menyandang ranselnya.
"Pulang...." sahut Arga singkat.
Arga menghidupkan motor besarnya, meninggalkan perkarangan sekolah.
Tujuan laki-laki itu bukan rumah melainkan toko bunga Yuna.
Keningnya berkerut karena toko itu sudah berubah fungsi jadi kedai kopi dan tempat nongkrong orang-orang tak jelas.
Papan nama YUNA FLORIST teronggok begitu saja di pinggir area parkir.
"Yuna.... Kamu dimana....?? Kenapa tidak pamit pada kami...???" bisik Arga dalam diamnya.
Ia lalu menghidupkan motornya dan pergi begitu saja dari sana.
bersambung....
10 tahun kemudian....
"Mang... yang itu jangan sampai pecah ya.... Dan yang ini jangan sampai tercampur dengan yang lain...." ucap seorang gadis yang masih sibuk mengatur posisi bunga-bunga di sebuah perhelatan pernikahan di hotel berbintang.
"Mbak Yuna... " panggil salah seorang keluarga pengantin.
Gadis cantik yang bernama Aisya Yuna itu berbalik. Ia tersenyum ramah menyambut kliennya.
"Mbak Rahmi... Anda datang....???" sapa Yuna mengulurkan tangan hendak bersalaman.
Rahmi menyambut uluran tangan Yuna.
"Baru sampai mbak.... Bagaimana persiapannya... Dan apa mahkota bunga dan buketnya juga sudah siap...???" tanya Rahmi.
"Sudah.... sudah semua... Besok pas hari H saya akan bawakan sekalian... " sahut Yuna.
Rahmi mengangguk.
Lega rasanya karena semua persiapan pernikahan kerabatnya sudah rampung.
"Saya percaya dengan kemampuan mbak Yuna. Makanya saya nggak pernah ragu pakai jasa Bougenville Florist ketika ada acara-acara penting" ucap Rahmi puas dengan hasil kerja Yuna dan rekan-rekannya.
"Terima kasih mbak Rahmi. Saya tersanjung mendengar pujian anda." sahut Yuna.
"Oh iya.... hampir lupa. Lusa ada pembukaan cabang dari perusahaan baru milik saudara saya. Boleh saya rekomendasiin toko anda untuk jadi rekan bisnisnya. Siapa tahu ini jadi awal jalan menuju sukses. Karena perusahaan saudara saya bergerak di bidang property yang cukup banyak melakukan kerja sama dengan negara luar dan perusahaannya susah bertaraf internasional " jelas Rahmi.
Yuna tentu saja senang karena ini akan jadi peluang besar baginya.
"Saya bersedia mbak Rahmi.... Ini kartu nama saya...." sahut Yuna antusias dan menyerahkan sebuah kartu nama pada Rahmi.
"Panggil Rahmi saja. Kita kayaknya seumuran deh..." pinta Rahmi.
"Terima kasih..... Rahmi...." senyum sumringah Yuna tak luntur sejak tadi.
"Baik... silahkan lanjutkan. Saya mau temui adik saya dulu...." ujar Rahmi pamit.
"Mbak Yuna.... ada telpon dari mbak Riana. Katanya dia nggak bisa hubungi nomor mbak..." ucap salah seorang karyawannya.
"Oh... makasih Retno. Ponsel saya habis daya... " sahut Yuna yang merogoh tote bag nya mencari ponsel yang sedang di recharge menggunakan powerbank.
"Ini si Riana ngapain sih pakai acara spam pesan segala. Pasti mau curhat..." gumam Yuna saat menghidupkan ponselnya, begitu banyak panggilan dan pesan dari sahabatnya.
"Ya Ri... putus lagi...???? Selingkuh lagi....????" sahut Yuna saat menjawab panggilan Riana kembali menghubungi dirinya.
Terdengar isakan dari seberang.
"Aku ketempat kamu sekarang... Jangan kemana-mana. Dan jangan berfikir mau jadi sugar baby...!!! Kamu terlalu galak buat jadi itu...." kata Yuna yang sudah hafal ucapan sahabatnya ketika sedang galau.
Yuna pamit pada karyawannya dan bergegas ke apartemen sahabatnya, Riana Adisty yang berada tak jauh dari hotel tempat Yuna berada sekarang.
Bugh....
Saat Yuna hendak mengeluarkan mobilnya, ia tak sengaja menabrak mobil yang baru saja mau parkir.
"Oh my GOD... Aish... Yuna, mau sampai kapan kamu selalu ceroboh begini.... Hah mana mobilnya kelihatan mahal lagi... " rutuk Yuna sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Seseorang mengetuk jendela mobil Yuna.
Yuna membuka pintu dan bergegas keluar dari mobil.
"Maaf... maafkan saya pak.... saya akan bertanggung jawab atas kerusakan yang saya sebabkan..." kata Yuna melirik mobil sedan mewah hitam mengkilat dibelakangnya.
"Bos saya tidak akan bermurah hati pada anda, meski anda seorang wanita... Ini total biayanya..." sahut pria tinggi dihadapan Yuna sambil menunjukkan angka di ponselnya tentang total biaya yang ia hitung sendiri.
"Apaaaaa.....????? 50 juta... hanya untuk kerusakan kecil ini. Bapak mau peras saya ya....???? Mana ada perbaikan yang cuma peot sedikit ini harganya 50 juta... Bawa ke bengkel ketok magic juga nggak sampai segitu..... Paling cuma beberapa juta saja bahkan nggak sampai... Wah.... Bapak mau korup ya...." kesal Yuna yang balik memarahi pria dihadapannya itu.
Ponsel yang dipegang oleh Yuna berdering dan langsung diambil oleh pria itu.
"Baik bos... " sahut pria itu sambil menutup panggilannya.
"Catat nomor anda, dan nanti kami akan hubungi lagi. Sekarang bos saya sedang buru-buru..." pria itu menyerahkan ponselnya lagi pada Yuna agar dia mencatat nomor ponselnya.
Dengan wajah cemberut, Yuna mencatat no ponselnya.
"Nih... ck.. Awas saja anda berusaha peras saya...!!!" ancam Yuna sambil menyerahkan ponsel milik pria itu.
Setelah mendapatkan no ponsel Yuna, pria itu lantas masuk kedalam mobilnya untuk mencari tempat parkir lain.
"Mana nomornya..." pinta pria yang sejak tadi berada dalam mobil memperhatikan perdebatan antara asistennya dengan Yuna.
Ia tersenyum samar saat menyalin no ponsel Yuna.
"Kamu nggak berubah Yuna.... " katanya bermonolog pada diri sendiri.
Mobil Yuna meninggalkan pelataran parkir area basemen hendak menuju apartemen sahabatnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Selamat siang pak Arga Bimantara, para tamu sudah menunggu di dalam ruangan..." sambut seorang manager hotel dimana perusahaan milik Arga sedang melakukan sebuah pertemuan penting dengan klien dari luar negeri.
Arga merapikan jasnya dan berjalan masuk kedalam ruang VIP dimana sudah diisi oleh para investor asing yang telah lebih dulu datang untuk menikmati makan siang mereka.
"Selamat siang semua... Maaf saya terlambat" ucap Arga menyapa dan ikut bergabung.
"Tidak apa pak Arga. Kami mengerti kesibukan anda sebagai seorang CEO yang memiliki waktu terbatas... Dan suatu kebanggaan bagi perusahaan kami jika dapat bekerja sama dengan perusahaan anda nantinya..." ucap salah seorang investor.
Arga tersenyum tipis. "Terima kasih atas pengertian anda pak Rahman... Ayo silahkan di cicipi hidangannya.. Ini menu terbaik di restoran ini..." ucap Arga mempersilahkan para tamu mencicipi kembali makanan yang telah disediakan.
Rapat telah usai dan sebuah kesepakatan kini telah terjalin. Tinggal penandatangan kontrak kerja yang bisa dilakukan di perusahaan nantinya.
Arga masih asik menyantap makanannya. Ia sampai lupa kapan terakhir ia makan dengan sedikit tenang ini.
Sreeet....
Kursi disebelah Arga ditarik oleh seseorang.
Arga melirik sekilas dan tetap melanjutkan makannya tanpa terganggu oleh pria yang menatapnya tak berkedip sejak tadi.
Arga lalu meletakan garpu dan pisaunya, lalu mengelap bibirnya dengan sapu tangan.
Meminum airnya dengan gerakan yang sangat anggun dan tenang.
"Sudah kenyang...??? Boleh gua cerita sekarang...??" kesal pria itu yang sejak tadi dengan sabar menunggu Arga selesai makan.
"Putus lagi....??" Arga menebak to the poin.
Asistennya ikut tersenyum melihat reaksi pria di sebelah bosnya.
"Bismo... tidak usah ditahan-tahan jika ingin tertawa... puas-puas lo ketawa...." kesal pria itu.
Asisten Arga yang bernama Bismo mengikuti anjuran pria itu dan tertawa terbahak-bahak begitupun Arga yang tak dapat menahan tawanya.
"Wah.... bos dan asisten sama-sama keterlaluan dan tidak punya rasa empati sama sekali. Bahkan kalian tega bahagia diatas penderitaan ku... " ucapnya mendramatisir keadaan.
"Sudahlah Heru... Tidak usah merasa si paling jadi korban. Kan sudah aku peringatkan jika gadis itu cuma mau uangmu saja. Bucin boleh bo*oh jangan....Jangan semuanya diberi..... Rugi kan... Lagipula kau juga bukan sekali ini patah hati sudah teramat sering sampai-sampai aku tidak bisa menghitung pakai jari... " Arga menepuk pundak sahabatnya, Heru Ghofar.
Heru mendengus. Apa yang dikatakan oleh Arga benar. Ini bukan sekali ia patah hati.
Dulu waktu masa SMA ia pernah berpacaran dengan Indri bahkan hingga keduanya sama-sama berkuliah. Hubungan itu berakhir putus karena Heru ketahuan jalan dengan gadis lain yang merupaka teman kampusnya.
"Kayaknya gua kena karma deh... Indri pasti nyumpahin gua..." kata Heru menduga-duga.
"Jangan asal tuduh. Indri bukan gadis seperti itu...." ujar Arga yang lalu berdiri hendak pergi.
"Mau kemana... gua belum selesai..." teriak Heru kesal karena ditinggal seenaknya oleh Arga dan asistennya
"Saya masih ada rapat.... " sahut Arga.
"Kebiasaan..." rutuk Heru.
Ia juga akhirnya pergi menyusul Arga.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!