NovelToon NovelToon

JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

Attached [Oneshoot]

Siapa sangka, penyangkalan dan keliaran Kim Jungwoo membuat Jung Jaehyun ketagihan.

...Cast:...

...Jaehyun as Pengacara Sosialita...

...Jungwoo as Wartawan Majalah Gosip...

...Attached...

...***...

Tuas kaleng soda ditarik hingga terbuka. Tidak sabaran, ia buru-buru meneguk isinya.

"Pengacara? Narasumberku pengacara?"

Serius. Jungwoo sudah bosan protes pada redaktur gilanya itu. Rubrik baru bertitel 'Pria Lajang Impian' tak ada bedanya dengan usaha jualan sampah tanpa diolah. Perempuan jetset zaman sekarang urung memikirkan eksistensi pangeran tampan berkuda putih. Manfaat faktualnya nol. Cuma angan kosong dan pemborosan halaman majalah.

"Kakek-"

"Om, anak muda. Panggil yang benar atau kartu pers abal-abalmu kusita."

"Maniak."

"APA KATAMU, NAK!?"

"Setan!"

Terkejut, Jungwoo tanpa sengaja menumpahkan soda di kemeja merahnya.

"Tidak usah membuatku kaget kenapa, sih!?"

"Siapa suruh mendumal."

"Terserah."

Bosnya memang tidak merokok. Tapi Johnny selalu meneguk minuman keras sesantai mengulum permen-bahkan di jam kerja.

Jungwoo tidak pernah terbiasa dengan bau menyengat dan selalu memilih untuk sedikit menjauh.

"Sekarang berangkatlah, Jungwoo. Time is news. Pastikan ada kabar baik untukku sore ini. Kamu sudah bawa alat perekam, nak?"

Tanpa mengulur waktu menyahut sadistik 'ini udah zaman android' dan semacamnya, Jungwoo mengaduk ransel dan meremas kunci motor. Ia berjalan keluar, tegap melintasi pintu geser otomatis ke lahan parkir. Selalu serba terdesak dan buru-buru.

"Dasar kakek tua bau tanah."

Punggung helm merah terang, berkilap, dipapar jatuhan matahari yang sudah terik sebelum waktunya. Mesin tunggangan si pemuda menderum berani. Membawa pergi Jungwoo dan seluruh uneg-uneg sinting yang terpaksa ditelan begitu saja tanpa saluran pembuangan.

Johnny, minat berlebihan pada wanita, dan titah tak terbantah adalah kombinasi kombo yang tidak pernah gagal membuatnya uring-uringan seharian.

"Mungkin aku harusnya pilih ikut magang gratisan di redaktur koran kriminal atau kantor advertising."

Kim Jungwoo. 20 tahun. Bermimpi jadi wartawan di bawah banner penerbitan berita skala nasional.

Mengisi kegiatan asal karena masih menunggu ijazah dari kampus. Ibu di rumah selalu membesarkan hatinya: anak mami harus kuat jadi kacung sebelum punya kantor redaksi sendiri.

Motor besar itu berbelok. Menyusuri protokol dengan debit kendaraan melimpah, berlomba-lomba membunyikan klakson.

Jungwoo mengingat-ingat alamat pendek yang kemarin diselipkan Johnny dalam genggamannya sebelum jam kerja berakhir.

Gedung firma hukum; Jung Jaehyun and Partners.

Jung Jaehyun yang terkenal itu.

"Pengacara sosialita jualan tampang"-pendapat pertama Jungwoo kemarin disuarakan dengan cuek sambil mengunyah permen karet. Ia memang tidak suka berbasa-basi untuk urusan apapun. Dan sialnya pesan tambahan bos tua, membuatnya makin apatis.

"Tidak usah takut tersasar, Jungwoo. Tanya orang di jalan pasti semua tahu Mr. Jung. Kau akan bersemangat."

Terserahlah.

Jungwoo akan bersemangat kalau sekretaris Mr. Jung, lawyer penyetir nasib selebriti yang berkasus dan sering muncul di infotainment itu

"Siapa tahu nasibku bagus."

Membanting arah tanpa memberi tanda, rem tangan kencang ditarik dan Jungwoo bergerak turun dengan malasnya.

...***...

"Wawancara? Dari majalah atau tabloid apa?"

"Cosmopolitan. Janjinya atas nama Johnny Suh."

"Oh, baiklah... Mr. Joh-"

"Kim Jungwoo," ralatnya.

"Ah. Baik, Mr. Kim. Hari ini Mr. Jung memiliki delapan janji dengan media massa . Masing-masing bisa bertemu dengannya selama sepuluh menit. Anda bisa menunggu? Mungkin satu jam. Beliau sedang bertemu klien."

Jungwoo mengangguk. Lekas beranjak sembarangan menduduki sofa kosong dan bersandar. Berpikir apakah dalam satu jam ke depan ia tidur saja. Bahkan jadwal Jung Jaehyun lebih padat dari presiden.

Jungwoo menyesal tidak bawa laptop. Setidaknya ia bisa menunggu sambil mengolah artikel mentah online atau melakukan apapun yang lebih berguna.

"Jadwal konferensi pers dengan wartawan sudah diset untuk hari Minggu jam 8. Pastikan Mr. Jung hadir dan dan berbicara meyakinkan sebagai kuasa hukum saya"

Jungwoo mengangkat mata dan tidak terkejut. Yang sedang bersalaman dengan bawahan Jung Jaehyun adalah model cantik Krystal. Sosialita kelas atas itu sedang terjerat kasus 'penganiayaan istri muda.'

Jungwoo justru tertarik dengan sosok semampai berjas marun yang tidak banyak bicara. Berjalan anggun. Membuatnya refleks memaksakan senyum aneh saat sekilas dilirik.

Salah tingkah.

"Yena, siapa yang harus ditemui Mr. Jung selanjutnya? Aku tidak sempat buka catatan."

Jungwoo diam-diam berdoa sang wanita cantik-siapapun nama depannya-tidak terlibat skandal majikan-pelayan dengan Jung Jaehyun.

"Harusnya... eum, dengan Mrs. Jennie Kim. Tapi orangnya belum datang. Apa kau keberatan untuk membawa Mr. Kim dulu?"

Namanya sudah disebut. Jungwoo buru-buru berdiri. Menyusut tangan di serat celana, berusaha tampak formal agar mengesankan.

"Halo."

Dahi Yena berkerut. "Klien?"

"Bukan. Dari Tabloid Cosmopolitan," Jungwoo menyeringai bangga.

"Apa itu? Acara TV?"

Sial. Sepulang dari sini Jungwoo merasa wajib memprotes Johnny lagi soal trik promosi perusahaan mereka.

"Ah, dari manapun Anda-"

Choi Yena tampaknya bukan gadis labil yang suka buang-buang kosakata. Jungwoo makin terkesima.

"-mari ikut saya bertemu Mr. Jung. Anda punya waktu lima menit untuk wawancara."

"Eh? Bukan sepuluh?"

Jungwoo berlari kecil mengikuti langkah cepat Yena.

"Lima menit. Injury time satu menit."

Jungwoo tak paham Jung Jaehyun dan sepeleton bawahannya itu orang-orang macam apa.

...***...

Jungwoo selalu tahu bagaimana harus memulai.

Namun ia tidak pernah tahu, bagaimana cara memulai tanpa harus terkesan buru-buru.

"OK. Saya Kim Jungwoo."

Lelaki tampan yang berdiri di depannya menatapnya-sementara Jungwoo sendiri sibuk memasang perekam.

"Kau gugup?" Pengacara itu bertanya,

"Apa aku membuatmu takut?"

"Tidak sama sekali," Jungwoo buru-buru menampik.

"OK. Lebih baik segera kita mulai. Aku tahu Anda tidak punya banyak waktu. Jadi ... pertanyaan pertama, Mr. Jung-"

"Jaehyun."

"OK. Mr. Jaehyun."

"Jaehyun."

Narasumbernya hari ini ternyata cukup menjengkelkan, dan tidak bisa diajak mengikuti jamnya yang seolah selalu berdetak lebih cepat dibanding waktu normal.

Jung Jaehyun, 27 tahun. Penampilan dan kerapiannya di atas rata-rata. Kepopulerannya telah lama menjadi menjadi huru-hara-tapi Jungwoo sungguh tidak menyukai tatapan intimidatif lelaki itu.

Jungwoo tidak suka diamati tanpa kedip. Berusaha menyibukkan diri dengan menulis, Jungwoo menangkap apa saja pada catatannya. Apapun kesan pertama. Yang fakta maupun cuma hasil terka. Ini dan itu. Negatif. Positif. Semua ditulis tanpa terlupa.

Padahal kalau saja ia masih bisa berpikir efektif, perekam yang dipasangnya pun sudah cukup mendokumentasikan interview mereka.

Jungwoo menarik napas dalam, tanpa sadar.

"Jika sudah siap kita mulai saja," Jungwoo kembali membuka suara

"Pertanyaan pertama... Kenapa mengambil bidang keahlian hukum? Apakah kau adalah tipe manusia yang sangat berpegang teguh pada aturan, norma, adat dan semacamnya? Apakah kau konservatif?"

Pertanyaan yang mengalir kaku seperti robot. Tapi Jaehyun justru menerimanya lebih lembut dari yang Jungwoo sangka.

"Tidak. Justru sebaliknya," sang pengacara menjawab dengan suaranya yang meleleh di telinga Junhwoo

"Aku sangat mencintai kebebasan dan kontra terhadap pengekangan dalam bentuk apapun."

"Baik, kau memang selalu tampak mumpuni dalam urusan membebaskan orang."

Pena tergores cepat tanpa aturan. Tulisan cakar ayam. Pemuda itu terus menunduk. Karena Jungwoo tidak tahu mengapa setiap kali melirik, Jaehyun selalu terlihat mengawasi dirinya.

"Kau bahkan bisa membebaskan penjahat kelas kakap yang untuk ukuran orang normal seharusnya dia sudah tidak termaafkan. Kau cukup hebat di bidangmu."

Senyum tipis lelaki itu menyimpul samar.

"Tidak ada kesalahan yang tidak termaafkan kurasa. Dan, Jungwoo, aku tidak hanya gemar membebaskan orang. Aku juga sangat gemar membebaskan diriku sendiri. Dalam perkara apapun aku sangat bebas dan tidak bisa diikat."

Jungwoo berdecak tak sopan. "Entah kenapa kau sekarang terdengar seperti orang yang berminat melajang selamanya, Jaehyun."

"Aku tidak berminat..." senyuman Jaehyun tampan terpulas

"...asal kau mau denganku."

"Apa?"

"Kidding."

Sebuah dengusan. "Siapa juga yang mau denganmu."

Ujung sepatu mengetuk lantai. Bagi Jungwoo, berduaan dengan seorang bujangan populer yang selalu menanggapi sindiran-sindirannya dengan tenang adalah siksaan.

"Padahal tadinya aku ingin bertanya padamu seperti apa tipe pasangan idealmu. Tapi kurasa pertanyaan itu lebih baik kucoret saja."

Alis Jaehyun terangkat. Ekspresi Jaehyun di mata Jungwoo bagai memberi isyarat jika mereka seharusnya duduk bersisian.

"Jika kau tanya tipe pasangan idealku," telunjuk dan jari tengah Jaehyun menekan bibir yang menggoreskan seringai.

"Seperti orang yang sedang berada di depanku, kurang lebih."

"OK, aku tahu. Dia kan? Sekretarismu memang menawan."

Jungwoo melirik ruang sebelah. Cjoi Yena sedang mengetik sesuatu, dibatasi dinding kaca dari mereka berdua, seperti orang beda dunia.

Gadis muda itu memang cantik. Dan melihat Jung Jaehyun yang-di mata hampir semua orang-terlihat serba sempurna, Jungwoo tahu diri untuk tidak berharap terlalu jauh. Choi Yena tidak mungkin melirik dirinya.

"Nona itu memang sangat menawan. Kurasa semua pria normal menyadarinya. Kurasa kalian wajar jika terjebak... dinamika cinta antara atasan dan bawahan."

Namun Jaehyun justru menggeleng, mengambil pena Jungwoo, mencoret sembarangan lima kata yang terakhir digores.

"Maksudku bukan Choi Yena."

Jungwoo menggeser duduk. Perasaannya tidak enak. Ia bertanya,

"Lalu siapa?"

"Orang yang duduk di depanku," jawab Jaehyun tanpa canggung,

"Sepuluh menit lalu ia memperkenalkan diri sebagai Kim Jungwoo."

Alis Jungwoo bertaut. "Apa katamu?"

Tatapan tajamnya seakan ingin mencabik kulit Jaehyun seperti capit kepiting. Benar-benar baru sepuluh menit dan di luar dugaan Jungwoo sudah merasa suntuk.

Jung Jaehyun barangkali makhluk dunia lain yang tidak tahu aturan standar di bumi manusia. Lagipula-apa-apaan senyum kalem yang tidak pernah tanggal itu?

Jungwoo ingin sekali melempar pena ke wajah hipokrit sang pengacara.

"Kurasa bosku yang botak itu memang sudah salah memilihmu sebagai narasumber," Jungwoo mendumal.

"Kau sangat salah untuk diwawancarai. Seperti tidak ada gunanya."

"Memangnya kenapa?" Jaehyun balik bertanya

"Bukankah kau wartawan majalah gay?"

Jungwoo hampir tersedak ludah sendiri.

"Apa katamu?"

Tersinggung berat.

"Apa aku salah bicara?" Jaehyun balas bertanya.

"Tentu saja kau keterlaluan salah," Jungwoo mengaduk tas.

Menyodorkan sampel majalah yang sudah terbit minggu lalu.

"Aku adalah wartawan tabloid wanita dewasa. Aku sedang mengisi rubrik Pria Lajang Impian dan sangat mencengangkan karena ternyata narasumberku hari ini adalah penyuka sesama jenis. Sepertinya memang aku harus pergi sekarang. Ini sungguh membuang-buang waktu."

"Ah, begitu." Jaehyun menggulung majalah di tangannya. Menepuk-nepuk telapak, tetap tidak menunjukkan emosi berlebih seperti Jungwoo yang selalu saja ekspresif.

"Aku bukan gay, Kim Jungwoo. Aku hanya mengatakan kalau tipe pasangan idealku adalah orang sepertimu. Entahlah, tapi kurasa sangat menarik menjalin hubungan dengan orang yang selalu blak-blakan dan emosional dalam mengungkapkan pendapatnya. Apakah kau juga penganut paham kebebasan sepertiku? Kurasa kita akan bisa berhubungan baik."

"Berhubunganlah sana dengan keset kaki, Jaehyun. Maaf, tapi aku penganut paham stay clean dari orang-orang sepertimu," Jungwoo mendumal penat.

"Kau bilang bukan gay, tapi mengatakan tipemu adalah yang seperti aku. Informasi tambahan, Jaehyun. Aku ini laki-laki. Tulen. Setulen-tulennya. Aku memiliki otot dan aku berjakun. Jadi apakah aku harus mengarang di sini... bahwa Jung Jaehyun menyukai perempuan berdada besar, berhidung mancung, berambut panjang, dan dia bukan gay-"

"Terserah saja," seringai Jaehyun muncul kembali

"Tapi aku bisa memperkarakanmu karena menulis sesuatu yang tidak benar tentangku di media massa."

Mata Jungwoo berputar sinis. "Aku tidak tahu ternyata kau selicik ini, Jaehyun. Pantas saja kau bisa membuat seluruh dunia jadi berpaling padamu."

Lama-lama Jungwoo merasa... senyuman Jaehyun mengesankan bahwa lelaki yang pasti lebih tua darinya itu hanyalah robot yang disetel penuh tata krama tapi tak punya jiwa.

Jung Jaehyun mengherankan dan membuat kesal dalam banyak arti. Sikap serba teraturnya bukan meneduhkan, malah presisten memanasi isi tengkorak.

Entah dia manusia, separuh troll, ataukah siluman.

"Tanyakan yang lain. Mumpung aku masih mau melayani wawancaramu, Jungwoo."

Tidak mau juga terserah-Jungwoo mulai tak fokus. Membalik-balik halaman buku catatan, menyentil-nyetil ujung kertas, mengetuk-ngetuk pena tanpa nada hanya untuk membunuh kesal yang selalu saja sulit ia kendalikan.

Sementara Jaehyun masih berdiri, bersandar di meja kerja, bersidekap. Mengawasinya seperti anak TK yang baru bisa belajar menulis dan menunggunya berbuat kesalahan untuk dicela atau dikomentari.

Jaehyun tipe manusia penuh selidik, pandai mengambil celah dan cerdas melakukan serangan balik-Jungwoo bukannya menghormati, malah secara keseluruhan menyadari penggambaran hiperbolis publik tentang 'Jung Jaehyun adalah sampel lelaki pujaan masyarakat', perlu dicoret dengan spidol blok. Dimusnahkan habis dari muka bumi.

"Kau tidak punya ide untuk memberiku satu pertanyaan lagi, Jungwoo?"

"Ceritakan saja apa yang menurutmu berhak masuk dalam domain publik," Jungwoo menyambar tak sabar. Ia sudah menutup buku dan hanya menyiapkan alat perekam.

Sebisa mungkin akan dibantainya kemungkinan bahwa Jung Jaehyun akan muncul di majalah mereka minggu depan. Johnny tidak akan bisa membantah jika ia punya alasan masuk akal.

"Aku tidak akan bertanya"-lebih tepatnya, ia sudah tidak berminat bertanya.

"Baik. Kalau begitu biar aku saja yang bertanya padamu." Jaehyun tersenyum kalem. "Kau lajang atau punya pacar?"

"Punya pacar"-tapi sudah putus awal tahun lalu-"Dan pacarku adalah seorang perempuan. Mau apa kau."

"Baguslah kalau begitu."

Jungwoo penasaran kenapa Jaehyun tidak tampak kecewa, dan mendadak memarahi diri sendiri karena ia sedikit berharap Jaehyun setidaknya mendengus atau melirik sinis.

Kenapa pikirannya jadi ambigu dan paradoksal begini-ujung pena itu terlihat sangat lancip untuk mengorek gelambir otaknya yang mulai dicemari wajah tak berdosa Jung Jaehyun. Lelaki itu pasti bermental penjebak, dan menyesatkan seperti narkotik.

"Kau memang membutuhkan perhatian dari seorang gadis agar tidak terperangkap dalam orientasi lain yang bisa membuatmu kacau balau, Jungwoo."

"Aku straight, Jaehyun. Terima kasih atas peringatannya. Aku tidak akan terperangkap sekesepian apapun aku"

-apalagi kalau pemerangkapnya adalah lelaki hipokrit macam kau-

"Lagipula tanpa harus menghabiskan waktu berpacaran pun sebenarnya aku menyukai kegiatan fisik seperti outbond, atletik, menembak, berkuda, melewatkan sore hari sampai berkeringat di gym-heh, kenapa aku jadi bercerita padamu coba? Kau ini sedang memancingku untuk bercerita atau apa?"

Curiga level maksimal. Jungwoo masih tidak bisa menebak apa maksud dari senyuman tampan yang selalu tersungging itu.

Eh, tampan?

Kepala batu Jungwoo berpaling.

Pura-pura menatap Yena yang masih sibuk sendiri dengan layar monitornya.

"Ternyata kau suka olahraga, ya. Aku belum tahu di kota ini ada gym yang lebih baik dari Neo Gym yang berada di basement Lotte Avenue-"

"Ah, jangan salah!"

Jungwoo menggeleng antusias. Seketika bercerita sendiri tanpa perlu diberi aba-aba. Ia bisa memulai pembicaraan dengan sangat mudah tentang sesuatu yang disukainya.

Dan demi mendengarkan itu, Jung Jaehyun mengambil tempat di sofa panjang yang sama, memberikan kesan sangat tertarik dan tidak sekalipun menyela.

"Neo Gym memang bagus, tapi sekarang perangkat treadmill-nya dikurangi. Kalau mau latihan angkat beban kadang juga harus antre. Aku lebih suka berlatih di First Class Fitness Club. Kau tahu, Jaehyun? 24 jam bebas keluar masuk untuk yang sudah jadi member. Aku sudah setia latihan di sana sekitar dua tahun terakhir."

"Ah, begitukah," Jaehyun menyahut

"Tapi sejujurnya aku jarang punya waktu untuk berolahraga kecuali pada akhir pekan."

Menarik. Jaehyun melihat sendiri binar mata Jungwoo yang membuatnya bersinar-sinar seperti ledakan kembang api. Saturasi antara minat murni dan kejujuran yang kadang-kadang kelewat berlebihan sampai sering menceploskan hal tabu.

Bocah galak ini ternyata juga sangat cerewet.

"Jadi kau benar-benar suka berolahraga, ya Jungwoo?"

Senyum Jaehyun memang tidak pernah pudar. Rasa terkesima dan geli, untuk seorang Jung Jaehyun, ternyata masih cukup sulit didestilasi.

"Iya," Jungwoo tanpa sadar menunduk. "Seperti... laki-laki pada umumnya."

Kim Jungwoo cukup berhasil menggoda dunianya yang selalu terasa kering. Seperti matahari musim panas, sekaligus mendung tebal yang membawa hujan.

"Memangnya...," mata kalem Jaehyun menembus mata Jungwoo yang mulai berlarian mendadak karena ditatap terlalu dekat, ada percikan ganjil mengganggu batin

"...Kalau olahraga begitu idealnya jam berapa agar pembakaran kalori berlangsung maksimal? Aku sepertinya hanya bisa berolahraga sekali seminggu." Pertanyaan macam apa yang terlontar dari mulutnya-Jaehyun sungguh sudah tidak peduli.

Dan nyatanya Jungwoo masih menyambar dengan rentetan kosakata penuh semangat.

"Kau bisa datang pada akhir pekan, Jaehyun. Sekali seminggu sudah lumayan daripada tidak sama sekali. Kesehatan itu mahal. Kalau sudah sakit baru kelimpungan," si wartawan muda menandas sok tahu

"Aku juga selalu datang pada akhir pekan. Besok hari Sabtu kan. Aku akan pergi ke First sekitar jam empat sore karena kantorku hanya libur pada hari Minggu-HEH? Kenapa aku jadi bercerita aneh-aneh denganmu, sih? Tadi kan aku sudah mengakhiri wawancara!"

Jaehyun menahan tawa sampai terbatuk pelan. "Belum kok, belum kau akhiri. Lagipula aku mendapatkan rekomendasi fitness center yang bagus darimu."

Pena runcing teracung galak. "Jangan ikut jadi member di sana Jaehyun-kuperingatkan kau."

"Kenapa? Kan jadi ada teman mengobrol nanti kalau kau sedang berlari di atas treadmill."

"Asal kau tahu aku tidak mau berteman dengan buaya sepertimu Jaehyun."

"Bagaimana kau tahu aku buaya sementara jadi pacarku saja kau belum pernah? Tertarik mencobanya...?"

"Aku juga pria, Jaehyun. Standar pria buaya semua kau miliki. Tidak hanya tampang, tapi juga reputasi. Ck, cocok sekali kau ini dengan klasifikasi ilmiah lelaki jahanam penebar ranjau darat. Aku pergi sekarang-e-eh! J-Jaehyun!"

Jaehyun-untuk yang kesekian juta kalinya di mata Jungwoo-tersenyum seolah seluruh dirinya terbentuk dari unsur malaikat, padahal Jungwoo dengan jelas bisa mengendus aura iblis yang sangat tajam dari sang lawyer.

"J-Jaehyun ..."

Jungwoo mundur, menjauhkan diri, makin melekatkan punggungnya dengan sandaran kursi.

"Ap-apa yang kau lakukan, J-Jaehyun!?"

Jung Jaehyun yang menunduk di hadapannya, mendekatkan hidung, membaui bekas tumpahan minuman di atas kemeja Jungwoo.

"Soda? Apa kau minum sambil salto hingga ada soda tumpah ke bajumu?"

Kenapa juga dia peduli!

"J-Jaehyun!" Jungwoo makin merah padam.

"Menjauhlah! Aku risih! Cukup-J-JAEHYUN!"

Napas berat dihela. Jaehyun menjauh. Jungwoo kembali merapikan duduk. Jujur, jantungnya hampir rubuh gara-gara diendusi pria tampan-DAN KENAPA JUGA DIRINYA HARUS SETEGANG ITU KALAU TIDAK TERTARIK PADA DEDEMIT JUNG JAEHYUN!?

Diam-diam Jungwoo stres, tanpa sadar melirik pintu keluar.

Jaehyun di balik meja, mengaduk-aduk tas kerja, menarik selembar kemeja yang terlipat rapi Dilemparkannya benda itu ke pelukan Jungwoo. "Ganti bajumu Jungwoo"

"E-eh?" Pria yang lebih muda ragu.

"U-untuk apa?"

"Untuk dipakai. Lekas tukar kemejamu sekarang, Jungwoo. Tenang saja, bajuku bersih."

Jungwoo makin depresi.

"Bukan itu masalahnya." Jungwoo menatap Jaehyun, enggan.

"Masalahnya, untuk apa?"

"Aku selalu peduli dengan kebersihan dan kerapian semua hal yang melekat di tubuh-termasuk di tubuh tamu specialku. Kau." Jaehyun menarik kemeja di tangan Jungwoo, membantu membuka kancingnya satu-persatu.

"Pakai saja. Gratis. Tidak usah dikembalikan."

"OK." Jungwoo siap melangkah keluar. "Aku pakai di toilet-"

"Hei." Jaehyun kembali memanggil, mencetus, "Ganti saja di sini. Kita sesama lelaki."

"Tidak." Jungwoo menggeleng kencang. "Aku tidak biasa ganti pakaian di hadapan orang asing."

Lengan bersidekap. "Lho, aku orang asing?" Jaehyun balas bertanya, "Kupikir kita sudah berkenalan setengah jam lalu. Apa kau sudah melupakan namaku?"

Jungwoo sungguh tidak mengerti bagaimana pola pikir lelaki itu.

"Pokoknya aku tidak mau ganti di sini"-alasan dicari-cari-"Lihat, ada sekretarismu."

"Dia melihat pun tidak masalah kan?" Jaehyun melirik. "Kau kan tidak punya payudara."

"JAEHYUN!"

"Atau jangan-jangan kau ini sebenarnya wanita, Jungwoo?"

"JANGAN SEMBARANGAN! KAU MAU BUKTI KALAU AKU BENAR-BENAR PEJANTAN!?"

Bagaimanapun, Kim Jungwoo tetaplah Kim Jungwoo. Sangat mudah membuat tensi darahnya naik hanya dengan bermodal satu sentilan.

Jaehyun menyembunyikan senyum tertahannya saat melihat Jungwoo melucuti kemeja di depan matanya.

"Benar-benar otot hasil latihan,"Jaehyun, sang pengacara berkomentar.

"Aku juga ingin jadi member tempat kau berolahraga kalau begitu. Aku tidak mau kalah dari bocah bau kencur sepertimu, Jungwoo."

"Tentu saja. Bagaimana? Aku gagah bukan?" Jungwoo-dengan bodohnya-menyodorkan lengannya untuk dipijit Jaehyun. "Apa lenganmu sekencang aku?"

"Hm, sepertinya masih kokoh ototku. Tapi untuk bocah seusiamu, tubuhmu lebih dari sekedar menarik untuk dilihat." Jaehyun sengaja menyentuh dada Jungwoo. Dan sedikit menggoda putting pemuda itu.

Belum terlalu terbentuk memang, kalau dibandingkan dengan miliknya sendiri. Tapi jujur saja, hobi olahraga pemuda itu memberikan kontribusi besar untuk tubuh tegapnya yang kencang dan 'menjual'.

Telapak Jaehyun terpulas di atas rusuk Jungwoo.

"Kau berkeringat. Apa kantorku panas?"

"T-tidak!" Baru sadar (setelah sempat tertegun begitu lama)

Jungwoo buru-buru mengambil tas dan barang-barangnya. Insting penyelamatan diri berteriak agar dirinya segera kabur.

"Terima kasih atas waktunya-heh, kembalikan catatanku. Jaehyun! Siapa suruh kau membacanya!? Lancang! Berikan padaku, Jaehyun!"

Sayang sekali, Jung Jaehyun memang lebih gesit darinya.

"Hm. Deskripsi fisikal...," Jaehyun iseng membaca, menjauhkan bundelan penuh coretan itu dari tangan Jungwoo yang menggapai-gapai. Suaranya sengaja dikeraskan,

"Tidak bisa dipungkiri, sekali wanita melihat seorang Jung Jaehyun pasti tidak akan pernah lupa seperti apa mata teduh itu memandang lembut tapi mengintimidasi-hei, benarkah pandanganku terlihat berpotensi mengintimidasi? Atau jangan-jangan hanya kau yang merasa terintimidasi olehku?"

"Terserah! Terima kasih atas waktunya," Jungwoo merah padam. Buru-buru berdiri dan berkata ketus.

"Selamat siang dan selamat tinggal!"

Bocah galak berjalan keluar tanpa pikir panjang. Bahkan ia lupa kalau sejak tadi sebenarnya masih berharap bisa 'diantar' Choi Yena.

Jaehyun membersitkan senyum penuh arti, melirik kartu pers tak resmi yang tergeletak damai di atas meja kerjanya.

Kadang-kadang, sengaja melakukan kejahatan kecil akan membawa dampak mengejutkan yang tak terduga.

Jung Jaehyun sangat mengerti aturan sebab-akibat itu. Dan barangkali akan menyenangkan jika ia melakukan kejahatan-kejahatan kecil mulai hari ini ... dengan sangat rapi dan terencana.

Kim Jungwoo barangkali bisa membuat hari-harinya yang kering terasa lebih semarak, kesampingkan kenyataan bahwa kelakuan bocah pasca pubertas itu sedikit norak.

"Menarik."

Mungkin ia harus meluangkan sedikit waktu untuk bertemu bocah itu lagi akhir minggu ini. Ah tidak sepertinya malam ini.

"Yena, aku harus bertemu dengan siapa lagi setelah ini?"

Bersikap normal, kartu Jungwoo yang tertinggal itu telah melesap ke saku jasnya.

End

See you... Ready for the next story??

Happen Ending Part 001

...***...

"Kim Jungwoo, kau sedang bercanda, kan?"

Adalah kalimat yang Jungwoo dapatkan setelah dua menit penuh keheningan yang membuatnya panik luar biasa.

Dengan kedua tangan mengepal kuat, gigi menggertak grogi, ia coba mengangkat wajah untuk menatap lurus sepasang mata lawan bicaranya.

"Aku serius." Ujarnya, berusaha terdengar seyakin mungkin. Ia memang serius, debar jantungnya yang bertalu-talu adalah bukti nyata bahwa ia sungguh-sungguh dengan ucapan sebelumnya.

Lalu keheningan itu muncul kembali, menyesap dan bertransformasi sebagai kegugupan-kegugupan dan rasa takut yang berlomba menggerogoti hati Jungwoo tanpa ampun.

Jaehyun masih belum merespon, dan ekspresi wajahnya sangat sulit untuk ditebak.

"Hei," Akhirnya Jaehyun berujar, pemuda itu berdeham kecil, menggaruk belakang kepalanya singkat dan memberi Jungwoo tatapan meragu.

"Kau sadar aku ini laki-laki, kan?"

Ada satu tinju telak yang menghantam jantungnya. Tak terlihat oleh mata, namun jelas terasa menyakitkan. Telapak tangannya terasa nyaris beku, padahal ia sangat berkeringat. Jungwoo menjawab dengan anggukan kecil, kemudian berbisik lirih.

"...Y-Ya."

"Lalu mengapa kau menyatakan cinta padaku?"

Kali ini bukan lagi tinju, namun seolah satu sambaran petir dahsyat menyengat jantungnya. Jungwoo membeku, aliran darahnya tertarik ke bawah. Suara-suara dalam kepalanya memaksanya untuk berlari kabur dan bersembunyi di balik selimut tebal, namun harga dirinya tak mengijinkannya bergerak barang satu langkah saja.

"Aku juga tidak tahu." Jungwoo berkata, menarik napas perlahan dan membuangnya cepat. Ia paksa seluruh kerja tubuhnya untuk berjuang melawan rasa gugup dan malu.

"Kau jahat, licik, egois, berengsek, dan menyebalkan. Tapi perasaan ini tidak bisa dicegah, dan..."

"Dan apa?" Satu alis Jaehyun terangkat naik.

"Kau beharap punya masa SMA yang manis dan penuh warna bersamaku? Kau memimpikan kencan romantis denganku? Leluasa memintaku setiap saat untuk menemanimu dengan status sebagai kekasih yang baik hati?"

"Bukan begitu!" Tanpa sadar Jungwoo berteriak. Pupil matanya membesar dan bergetar basah, menatap Jaehyun dengan pandangan tak percaya.

"Lantas apa?" Suara Jaehyun bernada menantang. Pemuda itu menatap Jungwoo penuh sanksi, lengkap dengan gestur menyilang tangan defensif di depan dada.

"Kau tidak bisa menahan hormon testosteronmu? Bingung mau menyalurkannya kemana? Dan karena kau merasa aku yang paling keren di sekolah ini, barangkali menurutmu sex denganku pasti menyenangkan?"

"JUNG JAEHYUN!" Kata-kata itu keterlaluan. Jungwoo merasakan dadanya bergetar selagi naik turun napasnya berubah cepat dan tak teratur.

"Jaga ucapanmu!"

Namun Jaehyun justru mendengus, menyeringai kecil, dan tersenyum geli.

"Heeeh... kau malu sekarang?" Jaehyun tertawa ringan dan memandang Jungwoo dengan kepala dimiringkan ke satu sisi.

"Kau lucu, Jungwoo. Pertama-tama kau datang ke sini untuk main basket, kemudian masuk tim reguler, setelah itu kau bahkan ingin memonopoliku sebagai kekasihmu?Ya Kim Jungwoo, serakah juga ada batasnya."

Kedua telapak tangan Jungwoo mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Dengarkan aku dulu, Berengsek!" ia menegaskan, segala emosi dalam dadanya kini bercampur tak karuan.

"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Basket! Aku menyukaimu! Dan itu hal yang terpisah! Tidak bisakah kau menghargaiku sedikit saja, Jung Jaehyun?!"

Jaehyun tersenyum miring.

"Terpisah, ya? Menurutku itu sama saja, kau mencari alasan hanya untuk menyangkalnya, heh? Tapi..." ada api keangkuhan dan pandangan meremehkan terpancar dari kedua matanya.

"Aku lega jika memang benar begitu. Baiklah jika memang itu tak ada kaitannya..." Jaehyun tersenyum lagi, lebih angkuh dan lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Kemudian ia berdiri menghadap Jungwoo, tatapannya berubah tajam dan serius, bibirnya hanya membentuk garis datar tanpa senyuman.

"Kalau begitu apapun jawabanku tidak akan berpengaruh pada kinerjamu sebagai anggota inti tim basket, kan?"

Jungwoo menelan ludah. Kata-kata barusan tajam menusuk jantungnya. Sedingin keping es berlapis racun. Ada aura tegas yang memancar dari pemuda di hadapannya. Emosi gelap yang begitu mustahil untuk ditembus.

Mencoba menarik napas, Jungwoo memutuskan untuk menggeleng dengan lemah. Ia jelas tidak berani benar-benar menjamin bahwa jawaban Jaehyun tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap kinerjanya sebagai anggota tim basket, terlebih lagi mereka satu tim yang akan bertatapan penuh selama jalannya pertandingan.

"Itu..."

"Harusnya begitu." Tegas Jaehyun bulat.

"Kalau begitu, akan aku beri kau jawaban sekarang."

Meski belum terucap, namun Jungwoo meyakini bahwa apapun jawaban Jaehyun bukanlah apa yang selama ini hatinya harapkan. Maka ia menggeleng cepat.

"Tidak Jaehyun..." Jungwoo menolak untuk mendengar.

"Lupakan saja. Kita sudahi percakapan ini sekarang."

"Kenapa Jungwoo? Kau terlalu takut mendengar jawabanku, hm? Kau sendiri bilang ini hal yang terpisah, kan?"

Jungwoo mulai tak nyaman dengan situasi ini, ia menggeleng dengan risau.

"Sudahlah! Aku tidak mau mendengar jawabanmu" Jungwoo mengambil satu langkah menjauh, tapi tangan Jaehyun dengan cepat menahan kepergiannya.

"Buktikan keberanianmu Kim Jungwoo. Kalau kau berani menyatakan cinta padaku, kau juga harus berani mendengar apapun jawabanku."

"Cukup, Jaehyun! Aku tidak mau dengar lagi."

"Tidak. Kau harus mendengarnya!" Jaehyun berkata tegas dan final, enggan melepaskan cengkraman kuatnya pada sebelah lengan Jungwoo.

"Aku belajar dari pengalaman bahwa otak bodohmu tidak pernah cukup untuk menanggung pemikiran berat. Aku tidak mau pemikiranmu itu berdampak pada permainanmu yang nantinya akan merugikan tim sekolah kita. Jadi ini harus diselesaikan sekarang juga"

"Aku tidak mau dengar! Kumohon..." Jungwoo berkeras, nyaris seperti merengek. Suaranya menggema samar di lapangan indoor yang sepi. Hanya ada mereka berdua di sini, tapi Entah mengapa Jungwoo merasa begitu lelah seolah baru menghadapi jutaan prajurit romawi.

"Dengarkan baik-baik, Kim Jungwoo."

Jungwoo menggeleng, "Aku mohon...hentikan Jaehyun."

Jungwoo merasakan matanya memanas dan lelehan air matanya siap membobol ke luar. Ia menundukkan kepala, menatap ujung sepatunya.

"Aku tidak bisa membalas perasaanmu."

Satu kalimat, lima kata, empat belas suku kata, tiga puluh huruf, namun senilai ratusan juta guncangan magnitude yang sukses meluluh lantakkan tatanan hati Jungwoo seketika.

"J-Jaehyun..." Bibirnya bergetar tanpa bisa dicegah, pandangannya mulai mengabur.

Sekuat tenaga Jungwoo berusaha melarikan diri, tapi Jaehyun sama sekali tak memberinya kesempatan.

"Dengarkan dulu, Kim Jungwoo. Aku tegaskan sekali lagi, jika kau memandangku dengan cara yang spesial, atau menganggap semua sikapku padamu selama ini mengacu pada hal-hal yang membuatmu terbawa perasaan, maka aku minta maaf." Jaehyun menarik napas panjang, membuangnya perlahan.

"Aku sama sekali tidak pernah berniat untuk memikatmu. Aku laki-laki normal. Perhatianku padamu sebatas hanya menjalankan tugasku sebagai kapten, oke? Dan kau tak lebih dari seorang anggota di mataku. Selain tentang basket, aku sama sekali tidak tertarik atau berminat atas apapun yang ada pada dirimu."

Satu tetes air mata Jungwoo akhirnya meluncur turun. Hatinya remuk redam mendengar jawaban logis Jaehyun.

Ini aneh, ia sudah memperkirakan kemungkinan yang paling buruk seandainya menyatakan perasaan pada Jaehyun. Dan ia sudah meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa ia siap akan kondisi apapun. Namun sekarang, saat benar-benar dihadapkan langsung oleh penolakan, ia tetap merasa sakit.

Jungwoo bisa mendengar sang kapten basket itu menghela napas panjang, sebelum sebuah gestur usapan ringan mendarat di sebalah bahunya.

"Tangisi patah hatimu sepuasnya malam ini." Kata Jaehyun, kemudian menarik tangannya kembali.

"Tapi besok, aku tidak mau lihat peformamu menurun meski hanya satu persen. Jadilah profesional, nona Kim. Kau seperti perempuan... Cih..."

Lantas Jaehyun berlalu begitu saja, sama sekali tak menoleh bahkan ketika Jungwoo merosot jatuh dan menangis tersedu-sedu di lapangan indoor yang sepi.

...***...

...TBC....?...

Happen Ending Part 002

...***...

Sudah satu bulan berlalu semenjak malam dimana Jungwoo merasakan hatinya pecah berkeping-keping, berserakan, dan menjadi puing tak berharga yang terbuang sia-sia. Ia menangis sejadi-jadinya malam itu. Tenggelam di balik selimut.

Paginya, semua hal berjalan lumayan baik-baik saja. Jungwoo tak pernah mau lagi membahasnya. Ia menuruti semua apa kata Jaehyun dan berusaha keras untuk tampak ceria seperti biasanya. Ia hanya menjawab bahwa baru saja selesai menonton drama The Glory ketika anggota tim bertanya mengapa matanya bengkak dan berkantung. Tapi Jungwoo sadar bahwa Doyoung sudah tahu kebenarannya. Pemuda itu terlalu cerdas untuk dapat dibohongi, terlebih lagi ia bukan hanya punya hubungan dekat dengan Doyoung, tapi juga Jaehyun. Meski begitu Jungwoo menghargai sikap Doyoung yag tidak pernah benar-benar membicarakannya. Jungwoo sendiri tidak sepenuhnya yakin bahwa ia sanggup membahasnya. Baginya, bisa mengendalikan emosinya di hadapan Jaehyun sudah jadi keajaiban.

Minggu berikutnya Jungwoo menggunting bagian depan rambutnya menjadi lebih pendek. Nyaris terlihat seperti orang yang baru pulang wajib militer atau baru menjalani operasi kecil dan terpkasa potong rambut. Aksinya itu sukses mengundang gelak tawa seluruh anggota tim. Bakan pelatih sampai menggelengkan kepala dan mengatakan mengapa anak didiknya terus saja melanjutkan tradisi potong rambut di tengah-tengah situasi genting. Tapi Jungwoo semata-mata yang ingin pandangannya menjadi lebih jelas, ia ingin bisa menatap dunia dengan lebih baik, dan tantangan tersendiri agar ia tak lagi bersembunyi di balik helaian poni panjangnya. Melainkan berani mengangkat wajah dan menghadapi apapun.

Kehidupannya sebagai pelajar SMA dan pemain basket berjalan kembali seperti biasanya. Latihan keras, tertidur saat jam pelajaran di sekolah, mendapat bimbel khusus

Sekolahnya berhasil lolos di putaran-putaran awal, dan kemudian masuk semi final.

Dan Jungwoo pasti sudah lima ratus kali berjalan melewati ataupun berlatih di lapangan indoor sejak peristiwa itu terjadi.

Tetapi Jungwoo tidak pernah lagi berhasil menatap mata Jaehyun secara langsung.

BLAM!

Latihan malam ini selesai. Jungwoo membuang napas panjang, mengusap butir keringat di keningnya, dan mengeluarkan ponsel dari saku trainingnya untuk melihat petunjuk waktu. Hampir pukul sepuluh malam, ia mendesah berat, berbalik sedikit ke arah Jaehyun yang berdiri beberapa meter di depannya.

"Terima kasih untuk latihannya, sunbae." Jungwoo berkata, membungkuk kecil, dan bersiap melangkah meninggalkan tempat latihan. Sesegera mungkin, ia selalu ingin mempersempit waktu dimana ia hanya berdua dengan orang yang sudah menolak cintanya.

"Tunggu."

Suara rendah Jaehyun menghentikan kepergiannya. Jungwoo berhenti, namun enggan berbalik, dalam hati ia menggerutu ribut. Sama sekali tidak ingin terlibat dalam situasi ini lebih banyak lagi.

"Ikut aku sebentar." Jaehyun sudah berdiri di sebelahnya, berkata dengan nada datar dan tatapan seperti biasa. Sama sekali tak merasa perlu untuk peduli seperti apa sulitnya Jungwoo berperang dengan hatinya.

Mereka berakhir duduk di bangku panjang dekat vending machine, Jungwoo sengaja mengambil tempat sejauh mungkin dari Jaehyun sebuah dinding untuk menyadarkannya bahwa ia tak akan pernah bisa menjangkau pemuda itu sampai kapanpun, sekaligus pengingat bahwa hubungan mereka tak lebih dari rekan kerja.

"Minum." Jaehyun menyodorkan sekaleng minuman bersoda kepadanya, Jungwoo hanya memandangi kaleng itu dengan ragu, sama sekali tak bergerak untuk menerima. Aksi yang sukses membuat Jaehyun mendesah kesal. "Ambil saja. Ini traktiran dariku."

Menekan setiap kegetiran dan gejolak hebat yang berusaha membobol keluar dari dadanya, Jungwoo akhirnya menerima minuman itu, mencengkramnya kuat-kuat.

"Kelihatannya kau baik-baik saja."

Jika ada satu hal yang paling nyata berubah pasca kejadian malam itu, maka jawabannya adalah interaksi di antara dirinya dan Jaehyun. Jungwoo jelas jadi pihak yang lebih banyak diam, menutup mulut rapat-rapat, dan tidak bicara jika memang tidak benar-benar harus. Dan Jaehyun seolah mengambil alih untuk menjadi pihak yang lebih banyak berbicara. Tanpa tahu sehancur apa hati Jungwoo tiap kali pemuda itu mencoba mencairkan suasana di antara mereka.

Mengulas senyum lemah, Jungwoo kemudian membuka kaleng minumannya, meneguk dua kali, dan tanpa menatap Jaehyun ia menjawab. "Lalu aku harus bagaimana? Kau sendiri yang bilang aku harus profesional, kan?" ia mencoba terdengar sarkas, namun kesan yang didapat justru getir dan pilu.

"Benar juga." Jaehyun menyahut, meneguk minumannya sendiri. "Lagipula sudah lewat satu bulan. Akan terlalu melankolis kesannya jika kau masih sibuk menangisi cintamu yang bertepuk sebelah tangan."

Tahan, Jungwoo. Tahan... Jungwoo merapalkan kalimat itu berualng-ulang dalam hati, mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa rasa sakit yang hinggap di jantungnya saat ini kelak akan menghilang seiring waktu.

"Lagi pula sebentar lagi aku lulus, Jungwoo. Kau bisa bernapas lega karena tidak lagi harus melihatku setiap hari. Saat itu, tentu akan lebih mudah bagimu untuk melupakan perasaanmu padaku."

Jungwoo mendengus kasar. "Terima kasih atas masukannya, Jaehyun-sunbae." Ia mencoba terdengar ceria. Dalam hati mengutuk habis-habisan ketololan seorang Jung Jaehyun yang bisa-bisanya memotivasinya untuk move on.

"Ku dengar dari Doyoung kalau kau sering tidur larut malam karena memaksakan diri untuk mengejar nilai akademik di sekolah?"

Jungwoo menunduk kecil, mengangguk mengiyakan. "Aku mulai sadar kalau sekolah juga penting."

Jaehyun menghela napas panjang, mendongak menatap langit malam di atas kepala mereka. "Tapi menjaga staminamu juga penting. Ingatlah bahwa kau sedang ada di tengah-tengah pertandingan penting."

"Aku tahu." Jungwoo mendesah berat. "Ini pertandingan terakhir anak kelas tiga, aku tidak akan membiarkan para sunbaeku kalah begitu saja. Aku sudah sangat paham akan posisiku. Kau tidak perlu khawatir soal itu."

"Bukan itu masalahnya, Bodoh. Ini bukan hanya soal tim. Jika kau sampai kelelahan kemudian lengah dan cedera, tentu akan berdampak buruk untukmu."

Mendengar penuturan panjang itu, Jungwoo justru tertawa geli, sukses besar membuat Jaehyun menoleh dan menatapnya dengan heran.

"Hei, apa yang lucu?"

Jungwoo kini terpingkal puas, memegangi perutnya yang mulai ngilu akibat guncangan tawa, menunduk dalam selagi sekujur tubuhnya bergetar geli. Jaehyun jelas kebingungan akan sikapnya, seniornya itu memandang bingung ke arahnya, dahi berkerut negatif tanda tak mengerti.

"Jungwoo, berhenti tertawa seperti idiot-"

"Cinta." Potong Jungwoo tegas, membuat Jaehyun bungkam seketika. Jungwoo mengulas senyum lemah, memaksakan diri untuk menoleh dan menatap wajah Jaehyun. "Cinta ini menyakitkan Jaehyun."

Alis Jaehyun berkerut. "Apa maksudmu?"

Lagi, Jungwoo tersenyum, namun senyum itu tak menjangkau matanya. "Aku sadari di malam ketika kau berada tepat di sampingku seperti ini."

Jaehyun jelas tampak tak nyaman dengan topik ini, terlihat dari cara bagaimana pemuda itu membuang napas berat dan mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Ku pikir kau sudah selesai dengan masalah cintamu."

"Sangat menyakitkan, karena aku mengenalmu."

"Sabar, tunggu beberapa bulan ke depan, dan kita akan benar-benar tidak saling kenal. Bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu lagi." Jawab Jaehyun logis.

"Tapi untuk sekarang, tahanlah sedikit lagi." Jeda, Jaehyun mengambil napas dan membuangnya cepat. Matanya mencoba menatap lurus ke arah Jungwoo selagi bibirnya bergerak dengan suara yakin. "Aku percaya dan aku tahu bahwa kau lebih kuat dari itu."

Lebih kuat, ya? Jungwoo ingin tertawa tapi dadanya kelewat sesak. Ia mencoba mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak-banyaknya dan berharap sesak di dadanya bisa berkurang. Kemudian ia mendongak menatap hamparan langit malam yang bertabur kemilau bintang.

"Sebenarnya," Jungwoo berkata, berhasil kembali menarik perhatian Jaehyun. "Aku belajar karena belakangan ini aku kesulitan tidur." Akunya, kemudian mendengus dan tersenyum dengan enggan. "Aku menjadi resah tiap kali berbaring di ranjangku dan bersiap untuk tidur. Dalam mimpiku, kita masih seperti yang dulu. Kita masih tertawa dan saling meledek seperti dulu. Dalam mimpiku, hatiku baik-baik saja. Tapi saat terbangun, semua itu lenyap, dan sakit di hatiku terasa semakin parah."

Jaehyun kali ini tampak sedikit memucat dan kehilangan kata-kata.

Jungwoo tertawa sengau. "Aku bahkan sempat berpikir untuk mengkonsumsi obat tidur."

Jaehyun membelalak. "Jangan." Larangan tegas. "Itu bukan Solusi, Jungwoo. Kau masih sangat muda. Minumlah teh hangat, atau minta seseorang untuk memijatmu sebelum tidur, itu akan membuatmu lebih rileks. Kalau perlu aku akan meminta Doyoung untuk mengantarmu berkonsultasi deng-"

"Cukup Jaehyun."

"Aku bicara sebagai kaptenmu di sini!" Tegas Jaehyun gemas. "Aku memang tidak bisa membalas cintamu, tapi bukan berarti aku kehilangan hak sebagai kaptenmu."

Kali ini Jungwoo tersenyum lemah. "Kau tidak mengerti, ya? Bahkan perhatian sederhanamu yang seperti ini saja... terasa mulai menyesakkan hatiku."

"Jungwoo,"

Jungwoo lekas bangkit berdiri, mengulet kecil untuk merilekskan tubuhnya sebelum berlalu pergi, tanpa berbalik ke arah Jaehyun ia berkata. "Aku berterima kasih atas perhatianmu, Kapten. Tapi lain kali tidak perlu lagi mentraktirku seperti ini. Sesekali pahamilah keadaanku, menerima kebaikanmu itu sangat menyakitkan untukku. Selamat malam."

***

Jaehyun sedang berdiri di tepi lapangan, t-shirt dan celana Nike barunya agak menempel di kulitnya yang berkeringat. Doyoung berjalan menghampirinya dengan handuk kecil tersampir di bahu dan sebotol minuman isotonik yang masih utuh.

"Kalian baik-baik saja?" Doyoung bertanya langsung, matanya enggan menatap Jaehyun, lebih memilih untuk mengawasi Jungwoo yang sedang berlari mengelilingi lapangan bersama Lucas dan Kun mengekori Jungwoo dari belakang, sementara Jungwoo sendiri tampak tertawa senang sambil melontarkan beberapa teriakan penyemangat untuk adik kelasnya.

"Siapa maksudmu?"

Doyoung berdecak kesal. "Tidak usah pura-pura dungu, Jaehyun. Kalian berdua mungkin bisa menipu semua orang, tapi tidak denganku." Katanya tajam. "Kau pikir aku tidak sadar kalau kalian sudah jarang sekali bercanda bahkan menatap mata satu sama lain?"

Lama, Jaehyun hanya diam. Doyoung memilih menanti dengan penuh kesabaran. Ia sadar ini bukan urusannya, tapi baginya sudah menjadi naluri alami untuk menjadi proteksi khusus terhadap segala hal yang mungkin menyakiti hati lembut seorang Kim Jungwoo.

Akhirnya, Jaehyun menghela napas. "Kau lihat sendiri, kan? Dia baik-baik saja. Bahkan dalam beberapa hari belakangan, peformanya justru semakin membaik."

"Dan sekarang dia mulai menatapmu dengan penuh kebencian." Sahut Doyoung sengit. Kali ini ia menatap langsung pada Jaehyun yang sama sekali tidak tampak sakit hati, wajahnya masih terpaut datar, tak peduli.

"Well, aku juga sadar itu." Jaehyun berkata, tersenyum miring.

"Bangsat." Doyoung tak tahan untuk mengumpat. "Sebenarnya apa yang kau katakan sampai dia bisa terlihat begitu membencimu?"

Jaehyun tertawa samar. "Tidak masalah, bukan?" ia berkata, menepiskan sebongkah debu dari lututnya. "Aku lebih memilih dia membenciku ketimbang dia menyukaiku."

Doyoung tak dapat menahan diri untuk tidak menarik bagian atas t-shirt Jaehyun, minumannya terabaikan, jatuh berguling di atas lapangan yang bisu. Saat ini wajahnya hanya berjarak satu jengkal dengan wajah datar Jaehyun.

"Bajingan kau, Jaehyun!" Geramnya tajam. "Kau benar-benar iblis. Dimana sisi kemanusiaanmu?"

Jaehyun tidak menepis tangan Doyoung sama sekali, ia menatap lekat ke sepasang manik mata temannya lekat-lekat. Ekspresi tak acuh dan kesombongan di wajahnya begitu ingin Doyoung hantam dengan pukulan telak.

"Terserah kau mau menganggapku jelas aku datang ke sekolah ini untuk belajar, bukannya terjebak masalah cinta murahan dengan sesama laki-laki."

Kali ini Doypung tak lagi menahan diri ketika emosinya mengambil alih dan melayangkan satu tinju telak di wajah Jaehyun. Hitungan detik, sampai seluruh anggota tim berlari ke arah mereka dan mencoba untuk memisahkan serta menenangkannya. Tapi api dalam dada Doyoung tak bisa padam begitu saja. Tidak, sampai Jungwoo sendiri yang maju lalu menarik tangannya, berteriak menyerukan namanya dan memintanya untuk berhenti dengan mata berkilat sungguh-sungguh.

***

Kemenangan membuat sekolahnya berhasil lolos ke final. Tapi tak berhasil melenyapkan perang dingin antara Jungwoo dan Jaehyun, bahkan sekarang Doyoung juga ikut serta. Mereka bertiga bersikap sangat profesional saat sedang bertanding. Bicara dan berdiskusi soal strategi seperti biasa seolah tak ada masalah sama sekali. Tapi di luar itu, Jungwoo jelas bisa merasakan bahwa ia sudah sangat jarang bicara dengan Jaehyun. Bahkan sekalipun bicara, Doyoung akan datang menghampiri dan mengajaknya ke tempat lain, menyeretnya jauh-jauh dari Jaehyun. Ini terasa konyol dan membuat Jungwoo merasa seperti anak kecil yang dilindungi kakaknya dari seorang anak nakal yang hobi menindas. Tapi toh, ia juga tidak benar-benar menolak sikap protektif seniornya itu.

Bohong rasanya kalau Jungwoo merasa keadaan ini baik-baik saja. Ini jelas jauh melenceng dari apa yang ia harapkan. Ia menduga, karena hubungannya dan Jaehyun yang sudah terlalu konyol dan absurd, maka penolakan cinta tidak akan berefek lama pada mereka. Ia kira, meski ditolak, mereka bisa kembali menjadi seperti dulu. Tapi nyatanya tidak, hatinya sama sekali tidak bisa berdamai dengan rasa sakit tiap kali berpapasan dengan sang kapten. Setiap kalimat-kalimat pahit yang Jaehyun berikan padanya terus berputar di dalam kepalanya lalu menjelma menjadi rasa sakit dan kebencian yang mendalam.

Jungwoo sadar pandangannya pada Jaehyun mulai berubah, tapi itu bukan karena ia membenci pemuda itu. Namun lebih kepada membenci dirinya sendiri karena masih saja menyimpan sekeping cinta padanya meski telah disakiti berkali-kali.

Menghela napas berat, Jungwoo menghentikan laju larinya dan menarik napas panjang, mendongak ke arah langit malam. Ia bertanya-tanya sudah berepa malam berlalu semenjak hari itu? Sudah berapa kali matahari terbit dan tenggelam pasca kejadian itu? Lantas mengapa perasaanya masih tak berhasil meloloskan diri dari belenggu yang sama?

"Sunbae"

Suara bass rendah itu menyentak Jungwoo, ia menoleh cepat, dan baru tersadar kalau selama ini ia berlari bersama dengan seorang juniornya. Mengulas senyum lebar, Jungwoo balas memandang Lucas ceria. "Kau lelah?"

Lucas tersengal kecil. Anggota kelas satu itu tampak sedikit kesal dengan pertanyaan yang Jungwoo lontarkan, tapi sengal napasnya tak dapat menyembunyikan dusta. "Sedikit." Jawabnya kalem, kemudian Jungwoo tertawa renyah. Mendelik ke arah bangku di trotoar tak jauh dari posisi mereka.

"Kita istirahat sebentar kalau begitu. Ayo!"

Mereka berdua duduk di bangku kota, tepat di bawah tiang lampu bergaya victotian yang memancarkan cahaya kekuningan. Sementara Lucas mencoba mengatur napas, Jungwoo mendongak menatap langit di atas sana, menghitung kemerlap bintang untuk menghabiskan waktu.

"Berapa jauh kita meninggalkan hotel?" Tanya Lucas akhirnya.

Jungwoo menoleh. "Eh?" Berpikir sebentar, kemudian mengeluarkan ponsel pintarnya dari dalam saku, berfokus sebentar pada layarnya. "Ah, sudah hampir empat kilometer!" Ia mendesah, nyengir lebar begitu Lucas menatapnya galak.

"Hehehe, kita putar balik setelah ini, oke? Meski aku sudah mengabari, aku tetap-"

"Jungwoo sunbae"

"-takut semua orang mencari kita. Ya?"

Lucas menatap lekat-lekat ke matanya. "Ada apa denganmu dan Jaehyun sunbae?"

Deg.

Di antara semua orang, Jungwoo tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari seorang Lucas. "Apa maksudmu? Apanya yang ada apa?"

"Kalian terlihat canggung satu sama lain. Dan tiap kali aku bertanya tentangmu pada Jaehyun-sunbae, dia menolak untuk menjawab. Dia memintaku untuk langsung bertanya padamu, dia bilang tidak ada gunanya bertanya pada orang yang sudah hampir pensiun."

Jungwoo memejamkan mata sejenak, mengigit pipi bagian dalamnya kuat-kuat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Kenapa Jaehyun selalu saja menempatkan dirinya pada posisi serba sulit? Meski demikian, Jungwoo tetap berusaha memasang cengiran lebar. "Itu benar, Lucas!" Katanya bersemangat.

"Jika ada yang ingin kau tanyakan, bertanyalah langsung padaku, bukan pada Jaehyun sunbae. Kau sangat berpotensi menjadi pemain utama tim setelah dia lulus, sudah saatnya kita membangun interaksi yang baik sebagai partner, kan?"

Alis Lucas berkerut dalam. "Kalian aneh." Ia memutuskan. "Aku sempat berpikir ada sesuatu yang terjadi di antara kalian, tapi semua anggota tim tampaknya sama sekali tidak sadar, jadi aku menepiskan pemikiran itu. Tapi setelah mendengar jawabanmu dan jawabannya, sekarang aku yakin seratus persen memang ada sesuatu yang kalian sembunyikan."

Kali ini Jungwoo tertawa geli. "Astaga, Bocah!" Ia menepuk-nepuk bahunya sambil tertawa. "Sekarang kau terlihat seperti detektif!" Mencoba menyembunyikan keresahannya di balik topeng pura-pura bodoh dan tawa konyolnya, Jungwoo merangkul bahu sang adik kelas bersahabat.

"Tidak usah berpikir yang aneh-aneh, Lucas. Jika kita menang di pertandingan besok, kita masuk final! Dan itu jauh lebih penting! Jadi, gunakan energi dan pikiranmu untuk fokus pada permainan. Sama sekali tidak ada hal penting yang harus dipermasalahkan antara aku dengan Jaehyun sunbae"

"Tapi-"

"Baiklah!" Sela Jungwoo cepat. "Ayo kembali ke hotel sekarang. Kita bisa kena omel pelatih jika sampai terlambat!"

TBC... Kah??? Masih berminat dengan lanjutannya, kah????

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!