Hujan menuruni kota itu dengan deras. Tetap saja banyak orang berlalu-lalang di depan jendela cafe. Seorang perempuan menatap ke luar dengan tatapan kosong dan ditemani sebuah lagu. Perempuan ini bernama Stephanie. Ia dikejutkan seseorang dari belakang.
“Hei!!” Seseorang itu ialah bibinya. Bibinya masih menggunakan celemek bertuliskan ‘Café Brizz’. Aku melepaskan earphoneku untuk mendengarkan perkataan bibiku.
“Halo, Bi.”Aku hanya dapat tersenyum kecil terhadapnya. “Apa yang kamu pikirkan? Hm?” Dia menanyakan itu dengan gurauan.
“Tidak memikirkan apa-apa, Bi.”
Sekarang Bibiku duduk didepanku, “Serius?”
“Iya, Bi.”
“Oh iya, Bi. Hari ini aku ada tugas banyak dari sekolah. Aku pulang dulu ya, Bi.” Aku mencium keningnya dengan tergesa-tergesa. “Hati-hati di jalan ya.” Aku menganggukan kepalaku sesampai depan pintu keluar. Aku kembali memasang earphoneku dan memakai kupluk jaketku. Aku berjalan dibawah hujan yang gelap dan dingin.
Sampai di rumah, aku menyalakan semua lampu dalam rumahku. Aku menuju kearah dapur untuk mengambil minum. Aku menghela napas dengan sangat berat karena merasa kesepian dalam rumah besar ini. Orang tuaku telah tiada enam tahun lalu disebabkan kecelakan besar di kota. Aku menaiki tangga untuk menuju ke kamarku.
Dengan sedikit bersenandung, aku mengambil pakaian di lemari. Aku mengganti semua bajuku yang basah. Lalu, aku merebahkan tubuhku di kasur yang besar. Tanpa aku sadari, aku menitihkan air mata sembari memejamkan mataku. “Ma, Pa, Aku rindu.” Aku tidur dalam kegelapan yang sudah menyelimutiku setiap hari.
Secercah cahaya masuk ke dalam kamarku melalui sela jendela tetapi aku tetap terbangun karena alarm ponselku. Aku mengikat rambutku sebelum aku berlari pagi. Setiap pagi akhir pekan, aku berlari selama 30 menit di halaman rumahku. Setelah aku berlari, aku memakan roti cokelat yang kusiapkan sendiri. Aku memakan roti dengan santai dan tenang melihat pemandangan halaman rumahku. Aku menyalakan lagu santai yang membuat hatiku tenang.
Selesainya memakan roti, aku pergi mandi untuk bersiap-siap lagi ke rumah bibiku. Aku lebih memilih untuk jalan kaki dibandingkan alat transportasi lain. Aku menggunakan earphoneku lagi. Alasan aku sering menggunakan earphone karena aku bisa mendengarkan waktu kematian orang lain sejak kecelakaan yang menimpa keluargaku enam tahun lalu. Bibiku yang membelikan earphone ini untukku.
Aku sudah sampai di rumah bibiku. Luas Rumah bibiku hampir sama dengan rumahku. Aku memasuki ke dalam rumah bibiku dan melihat bibiku sedang sibuk dengan anaknya. Anaknya ada yang seusiaku yaitu 19 tahun dan ada yang 15 tahun. Pamanku menyapa dengan bersemangat. Anak yang sama usianya bernama James. Sedangkan, yang berumur 15 tahun adalah Clarise.
“Hai, Keponakan paman. Apa kabar?”
“Baik, paman.”
“Ayo ikut makan!”
Aku menuju ke meja makan yang tersedia berbagai macam lauk yang dimasak oleh bibiku. Aku dan James tidak terlalu dekat dan akrab. Di perjamuan makan ini ada perbincangan kecil antar kami. Aku masih bisa merasakan apa yang dinamakan keluarga lagi di dalam sini.
Setelah itu, aku, bibi, dan paman membicarakan tentang perusahaan papaku. Itu menjadi pembicaraan serius diantara kami. Aku tidak bisa menjalankan perusahaan papaku sendirian. Jadi, aku meminta bantuan bibi dan paman.
Semua hasil riset, pembicaraan rapat, saham, dan lain-lainnya diberitahukan kepadaku setiap akhir pekan. Kami selalu membagi penghasilan dengan 70% buat diriku dan 30% untuk bibi dan paman. Tenang saja, pamanku juga punya perusahaan sehingga kami saling mengerti.
Pembicaraan itu selesai, bibi dan paman mengajak anak-anaknya serta aku pergi ke kebun binatang untuk menikmati alam.
Aku mengingat rasa sakit setelah kehilangan orang tuaku selama perjalanan. Rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang. Aku tidak bisa melupakan saat terakhir bersama orang tuaku di dalam mobil yang terbalik, berasap, dan banyak pecahan kaca. Beberapa orang hanya terlihat berpura-pura panik dan tidak menolong kami. Mobil Ambulance datang setelah satu jam dari kejadian.
Tidak terasa setelah mengingat itu, kami telah sampai di kebun binatang. Pertama yang kami lihat adalah gajah. Banyak orang yang menghampiri kandang gajah tersebut karena anak gajah sudah lahir. Orang-orang tersebut mengeluarkan satu kata yang terdengar jelas yaitu lucu. Pemikiran orang dan aku sangat berbeda. Aku menganggap biasa saja.
Semua terasa sangat membosankan, aku hanya bisa duduk di tengah keramaian itu. Tanpa disangka ada seseorang sedang memperhatikanku dari jauh. Seorang laki-laki berkulit pucat, memakai baju hitam, dan sekarang menghilang dalam sekejap. Aku hanya dapat mengucek mataku seiring meyakinkan diriku.
‘Apakah itu orang atau hantu?’ batiniahku mulai terguncang. Laki-laki itu membuatku merasakan sakit yang mendalam. Perasaanku campur aduk antara menangis, rindu yang mendalam, senang, dan tidak percaya.
“Apa tadi?” Aku mengusap mataku yang sudah mengeluarkan air mata. Aku mulai membangunkan badanku untuk menuju ke arah anak laki-laki bibiku. Belum sempat mendapatkan pundaknya, aku mulai merasa pusing dan lemas. Hanya membutuhkan beberapa detik tubuhku sudah lunglai ke tanah.
“Hatiku hampa bagaikan semua peristiwa yang menyenangkan dalam hidupku telah tersapu bersih tanpa tersisa. Semua mimpiku adalah kegelapan. Harapanku sudah pupus. Kupu-kupu berwarna cerah telah pergi dan datanglah kupu-kupu hitam. Mama, Papa, atau siapapun tolong aku sebelum aku masuk lebih ke dalam kegelapan.”
Situasi disana sudah tidak kondusif. Mulai dari bibiku yang menelepon ambulance. Banyak orang-orang yang panik melihat aku yang sudah tergeletak di tanah
Bibi mengikuti sampai dalam mobil ambulance untuk mengatarkan aku ke rumah sakit. Paman Bersama anak-anaknya mengikuti dari belakang ambulance.
Aku mulai tersadar karena mendengar tangisan dari bibiku.
“Keponakan bibi sudah bangun. Sebentar, bibi panggilkan dokter ya.”
Kepalaku terasa pusing, berat, dan mataku seperti berkunang-kunang. Tidak lama dokter datang untuk mengecek kesehatanku yang sudah sadar ini. Aku hanya dapat mendengar dokter itu berbicara kepada bibiku.
“Bu, keponakan ibu saat ini sedang mengalami demam tinggi. Mungkin hanya beberapa hari di rumah sakit ini.”
“Ok, baik, dok.”
Setelah dokter itu pergi, aku merasakan kupingku yang berdengung serta mendengar suara bahwa beberapa minggu lagi dokter itu meninggal. Aku menutup telingaku dengan keras.
“Tenang, tenang, itu tidak akan terjadi.” Bibiku menenangkanku.
Aku hanya dapat memeluk bibiku. Bibiku mengeluskan tangannya terhadap tubuhku yang takut.
Malam hari telah tiba, aku ditinggalkan oleh bibi, paman, dan anak-anaknya. Aku hanya dapat tertidur dengan tirai jendela terbuka. Di luar jendela itu, aku diperlihatkan bulan purnama yang sangat terang. Tiba-tiba mataku ingin terpejam sehingga membuatku terlelap.
Mimpi tadi malam, membuatku terpaksa membangunkan diriku. Mimpiku seperti ada laki-laki yang memiliki mata merah menyala, berjalan ke arahku, dan tiga kata yang kudengar yaitu ‘aku ingin darah’.
Nafasku terasa sesak hingga air mataku keluar.
“Hubungan apa ini? Aku merasa mengenalnya tapi dimana? Mengapa terasa sesak bagiku?” Aku menghapus air mataku yang sudah membasahi wajahku.
“Mama, Papa apakah aku sudah masuk dalam kekelamanku?” Aku hanya berbicara dengan diriku.
Pagi itu sudah kumulai dengan drama hidupku. Aku menulis buku harianku yang berwarna hitam. Setelah aku menulis ke buku itu, aku berjalan menuju pintu keluar dengan tangan berinfus ini. Dengan waktu bersamaan, James sudah berdiri di depan pintu keluar sambil membawa nampan yang berisi makanan dan minum. Aku kembali ke dalam kamar dan memakan makanan yang dibawa oleh James. James hanya duduk di sofa yang ada dan memainkan game kesukaannya.
“James…”
“Hmmm…”
“Bolehkah aku bertanya?”
“Iya boleh, ” dia menjawab pertanyaanku tapi tidak menatapku tetap saja memainkan gamenya.
“Kenapa bibi tidak kesini?”
“Hmm, dia tidak kesini karena dia pergi ke café,” dia baru memberhentikan gamenya. Dia mulai berdiri seraya memasukan ponselnya.
“Oh, Iya. aku pergi ke sekolah dulu, ya.”
“Ok”
Suara pintu geser itu terdengar jelas mengalahkan suara kunyahan makananku. Aku melihat sekelilingku di ruang sepi yang sudah diterangi oleh matahari yang sangat terang.
Makananku telah selesai kuhabiskan, aku mulai menatapi kemacetan di kotaku hanya beberapa saat. Lalu, aku kembali ke tempat tidurku dan kembali tertidur.
\~Kringg….\~
Tiba-tiba, ponselku berdering dengan nyaring.
“Halo.”
“Stephanie!!!” Aku mejauhi telingaku dari ponsel. Aku mengenal suara itu.
“Iya, Bianca.”
“Kenapa kamu tidak masuk hari ini?”
“Hmm.. Hari ini aku sakit. Jadi, aku tidak masuk.”
“HAH! APA?! Kamu dimana? Di rumah atau di rumah sakit?”
“Kamu tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku matikan ya.”
“YA! HEI!”
Belum dia berbicara berikutnya, aku sudah mematikan ponselku. Aku tidak mau merepotkan orang lain. Bianca adalah temanku yang paling mempercayaiku, selalu ada disetiap aku sedih, kesepian, dan masih banyak lagi.
Tidak berselang lama, perawat rumah sakit mengecek kondisiku. Setelah, perawat itu meninggalkanku. Secara bergiliran, bibipun datang dengan membawa buah kesukaanku yaitu strawberry. Bibi mengajakku berbicara, bercanda, dan saling curhat. Kami pun mulai kehabisan pembicaraan sehingga aku yang memulai lagi.
“Bi, Terima kasih.”
“Kenapa berterima kasih?”
“Bibi dan paman telah menyayangiku setelah mama dan papa meninggalkanku untuk selamanya.” Aku tersenyum ke arahnya. Bibi membalasnya dengan senyuman tulusnya.
“Iya, sama-sama.” Bibi menyentuh hidung kecilku dengan sengaja. Seketika kami saling tertawa kecil. Tidak terasa malam telah mendatangi kami.
“Bibi nyalakan lampu dulu, ya.”
“Iya, Bi.”
“Kamu mau tirainya ditutup atau…”
“Tidak usah! Tidak usah, Bi. Maaf, Bi. Aku menyentakmu.”
“Oh, tidak apa-apa, sayang.” Ia mulai memelukku dengan lembutnya.
“Kamu boleh tidur lagi biar badanmu cepat sehat. Ok?”
“Ok, Bi.” Aku menarik selimut serta dibantu oleh bibiku.
“Malam ini, Bibi akan menemanimu, sayang.” Bibi mencium keningku. Aku hanya dapat tersenyum lagi.
Aku mulai memasuki mimpiku lagi. Mimpiku bercerita tentang laki-laki di mimpiku yang sebelumnya. Dia mendatangiku dari kegelapan. Dia meminta maaf kepadaku karena telah menakutiku, dia juga berkata jangan takut kepadanya, dan terakhir dia memperkenalkan dirinya. Dia menyebutkan namanya yaitu Richard. Seketika aku terbangun lagi di tengah malam.
Aku melihat kearah tirai jendela yang terbuka itu. Disana, aku memperhatikan di atap gedung seberang ada seseorang yang memperhatikan ke arah tiraiku. Aku menutupi ketakutanku dalam selimut tebal rumah sakit. Lalu, aku mengintip lagi dan orang itu menghilang lagi dengan cepat. Aku mengambil minum di atas laci samping tempat tidurku. Setelah itu, aku mencoba memejamkan mataku lagi.
Pagi kembali lagi menyapaku, aku masih mengingat mimpiku sebelum aku terbangun di tengah malam. Kepalaku terasa sangat pusing disertai leherku yang sedikit kaku.
“Bi..” Suaraku mengecil dan bergetar.
“Ada apa, sayang?”
“Leherku tidak bisa digerakkan dan kepalaku sakit.”
“Sebentar, ya. Bibi panggilkan dokter untukmu.”
Bibiku melangkahkan kakinya untuk memanggilkan dokter. Dokterpun datang dan melihat keadaanku.
“Kamu sedang mengalami tegang pada saraf dan hanya pusing biasa. Nanti saya akan berikan obat setelah ini.”
“Iya, dokter. Terima kasih” Aku menjawabnya sebisaku.
“Terima kasih, dok.” Bibi mengikutiku juga.
“Iya.” Dokter berjalan keluar dari kamarku dengan diantar oleh bibiku.
Bibi menghampiri diriku dan berbicara kepadaku lagi.
“Bibi mau mengurus kantor papamu dan café. Bibi sudah menyuruh James datang ke sini untuk mengantarkan makanan untukmu. Tidak apa-apakan, Bibi keluar sampai malam?”
“Iya, tidak apa-apa, bi”
Bibi mengelus rambutku dan mencium keningku lagi. Aku hanya dapat melambaikan tanganku di atas tempat tidur. Aku mencoba merubah posisiku menjadi duduk.
“Aduh.. Kepalaku sakit lagi.”
‘Sebentar, sepertinya aku mengenal Richard. Bukankah dia orang yang ku lihat di kebun binatang?’ Aku memikirkan sejenak.
‘Ahh, ga mungkin. Pasti aku salah orang.’
‘Salah, deh. Aku benar, ada kemiripan diantara mereka berdua. Tapi kenapa orang ini mendatangi mimpiku dan melihatku walaupun hanya sekejap.’
Sesudah memikirkan hal itu, aku menjadi tambah pusing.
“Ah!”
Dengan sekejap, terlintas bayangan di pikiranku, terdapat seseorang yang menembakkan peluru tepat di telinga kiriku. Setelah itu, telingaku pun mulai berdengung. Aku mencoba menghilangkannya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, suara dengingan itupun hilang.
Aku mengarahkan pandanganku kepada kaca di pintu. Aku melihat bayangan seseorang disana. Dengan terpaksa, aku melepas infusku untuk mengejar orang itu. Banyak perawat melihatku dengan terheran tetapi mereka mengejarku juga. Apalah daya, sesampai di depan rumah sakit, aku tidak menemukan orang itu.
Tiba-tiba, penglihatanku menjadi kabur. Sehingga, aku langsung terkapar di tanah. Perawat yang tadi mengejarku menjadi kaget dan menyuruh perawat lain membawaku ke kamar lagi. Aku diberikan alat bantu pernapasan, infus, serta melakukan pengecekan. Dokter menelepon bibiku yang sedang menuju cafenya.
Beberapa jam kemudian, aku terbangun dengan penglihatanku yang belum terlihat jelas. Bibi menghampiriku dengan panik.
“Tadi, apa yang terjadi, sayang?”
“Tidak ada yang terjadi, bi.”
“Bohong kamu, ya?!” Bibi berusaha untuk meyakinkanku.
“Tidak. Aku tidak berbohong.” Aku mencoba sebisaku untuk berbicara.
“Apakah kamu tidak mau cerita?”
“Tidak ada yang perlu diceritakan, bi. Tenang saja, bi.”
Aku meyakinkannya dengan senyumanku lagi.
“Bibi bicara dulu ya di ruang dokter.”
Aku meraih tangannya agar tidak pergi.
“Jangan, bi. Bolehkah bibi menemaniku untuk tidur? Aku merasa sepi, bi.”
“Ok, baiklah. Bibi akan menemanimu sampai kamu tertidur ya?”
“Iya, bi.”
Aku memejamkan mata lagi. Bibi mengelus keningku.
‘Alice, apa kau melihat anakmu? Dia merasa kesepian dan kesakitan. Aku mengasihinya. Dia sangat merindukanmu. Apa yang harus kulakukan untuk menghibur anakmu?’ Bibi membatin dengan menatap Stephanie.
Dengan perlahan, bibi melangkahkan kakinya keluar.
Seseorang laki-laki memasuki kamar Stephanie. Dia mengelus tangannya yang terinfus.
“Richard…” suara kecil Stephanie mampu menahan gerak laki-laki untuk keluar. Laki-laki ini menatap Stephanie gelisah dalam mimpinya yang sudah mengeluarkan keringat dingin di wajah Stephanie.
Hanya berbeda menit saja, pertemuan bibi dan laki-laki itu akan terjadi di depan kamar.
“Oh, Stephanie. Mengapa kamu gelisah dalam mimpimu?” Bibi mengambil sebuah handuk kecil dan menyeka keringatnya.
“Aku akan melindungimu seperti anak bibi sendiri. Bibi berjanji.”
“Kesedihan dalam diriku, apakah layak diperjuangkan untuk mendapatkan kebahagiaanku sendiri. Mengapa kau selalu muncul di mimpiku? Apakah kamu pembuat kebahagiaanku atau kesedihanku berikutnya? Haruskah aku kuat untuk menghadapi semua ini?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!