Namanya Alana, siswi sekolah SMA 1 jakarta. Usianya delapan belas tahun, duduk di bangku dua belas. Gadis dengan rambut yang selalu di ikat satu, bukan termasuk gadis populer tetapi sangat pintar.
"Kiw, Alana". Panggilan itu.
Alana sangat mengenalnya, mereka selalu menganggu nya ketika bertemu. Nopal, adian, reyno, agil, agung, rizal dan ihsan.Tujuh orang yang selalu menganggu nya dari kelas sepuluh.
"Al, reyno nih suka sama lo".
Mereka menganggu nya bukan karena suka, tetapi karena dia yang sulit berbaur. Berbeda dengan teman teman sekelasnya yang lain yang mudah akrab meski berbeda kelas.
"Sombong amat lo al"
"Iya, kayak yang cantik aja".
Alana tak tersinggung, mendengar suara mereka menertawakan nya. Dia juga mengakui dirinya tak secantik teman teman nya, tetapi dari pada harus meladeni nya lebih baik diam. Dia masih punya harga diri.
"San, cewek noh."
"Gue udah punya cewek, buat lo aja".
" gak dulu kek nya ".
Alana ingin menutupi telinganya, hanya lewat di depan mereka saja rasanya sudah pusing. Dua tahun bertahan jadi bahan ejekan, Alana tak ingin membuat hidup-Nya dalam masalah.
Setelah melewati kelas mereka, barulah Alana merasa tenang. Yeri, temannya menepuk punggungnya sambil tersenyum.
"Sabar al" senyum nya.
Alana menghela napas, tersenyum kemudian mengangguk. Tangannya memegang erat pesanan yang di bawanya. Mereka masuk ke dalam kelas, kemudian menyatukan dua bangku milik mereka dan makan bersama di sana.
"Ck, gue bingung banget tau gak?" curhat yeri.
"Bingung kenapa lagi? Perasaan tiap hari pusing terus". Ucap alana.
Yeri meremas pelan kepalanya, kemudian menggaruk garuk pelan pelipisnya. "Gue bingung banget, kesel juga. Lo tahu kan kak reza? Gue sama dia udah deket lama banget".
"Hm. Terus?"
"Dia tuh posesif banget cemburuan, tapi dia gak mau gue posesif in. Kemarin juga gue sama sepupu gue yang cowok jalan jalan berdua, dia terus nanyain gue aneh aneh. Giliran dia nongkrong sama temen teman nya, ada ceweknya gue tanyain doang malah sewot. Kita tuh hts san, tapi cuma gue yang nganggap". Curhat yeri dengan kesal menyentak nyentak sendok pada mangkuk baso nya.
“kamu tuntut status aja. Kalian udah deket, udah saling cemburu juga ngapain masih hts an.” saran Alana.
Yeri terdiam sebentar. “ tapi dia bilang gak mau pacaran dulu. Gue bingung harus gimana?” keluh nya.
“yaudah tinggalin aja sih apa susahnya? Dari pada terus ada di hubungan gak jelas kayak gitu. Aku tuh heran sama kamu deh, emang apa enaknya sih hts an? Gak ada status apapun gak ada hak apapun tiba tiba ikut campur urusan hidup. Ini salah yang itu di larang, apa sih enaknya?” heran Alana menggelengkan kepalanya. Ada ya orang yang mau berada dalam hubungan tak jelas.
“ya gak enak. Gue mau nya juga ninggalin dia, tapi gimana? Gue udah cinta sama dia”.
“Ck,” Alana berdecak sebal. Bisa gila memang menasehati orang yang goblok cinta. Otaknya di mana sih? Udah tahu sakit hati masih aja bertahan cuma karena embel embel cinta. Alana saja ingin muntah mendengar nya.
“Terserah kamu aja lah. Susah banget di bilangin”. Ini bukan pertama kali Alana menasehati gadis itu. Hampir setiap hari dia curhat masalah yang sama dan hampir setiap hari juga dia kasih saran. Tapi hasilnya nihil, malah dia yang merasa gila.
“Jangan gitu lah”. Ucap yeri.
“Eh ra, tadi ada pacar lo di deket kantin”. Beritahu yeri pada Avira yang baru lewat bersama empat temannya.
“Oh ya? Dia lagi ngapain?” tanya Avira.
“Dia lagi kumpul bareng temen temennya. Lagi nongkrong kalo gak salah” ujar yeri.
“deket kantin di sebelah mana?”
“Itu di sebelah kelas sepuluh, di dekat tangga kalo gak salah tadi. Gaya rambut nya baru ya? Sempet gak kenal tadi”.
“Hehe iya. Kemarin gue nemenin dia pangkas rambut, dan itu gaya yang gue pilih”.
Yeri membulatkan mulutnya. Avira mengangguk, “gue pergi dulu kalo gitu”. Pamitnya.
Yeri dan alana mengangguk secara bersamaan. “Iya”. Jawabnya.
Setelah itu mereka melanjutkan makan sembari membahas hal hal yang random. Mereka sudah bersahabat sejak kelas 10, awalnya alana berteman dengan tika dan terlalu dekat dengan yeri.
Tetapi tika sangat meng obsesi kan nilai, serta kejuaraan. Sangat berbanding terbalik dengannya yang tak terlalu mengacu pada hal itu, membuat nya berteman dengan yeri yang satu frekuensi.
Tak gila nilai, tak obsesi untuk jadi juara tetapi nikmati alurnya. Bahkan bisa di bilang keduanya tak peduli pada nilai, yang di cari keduanya adalah pemahaman. Paham pelajaran saja sudah cukup, gak perlu lagi harus cari muka pada guru guru sekolah.
Alana berdiri di gerbang sekolah, dengan ponsel di tangannya memantau pesan dari ibunya. Banyak murid yang keluar dari sekolah secara bertahap karena kelas selesai, yeri juga sudah pamit lebih dulu, gadis itu membawa motor.
“Al, duluan ya?”
Alana menoleh pada sumber suara, lalu mengangguk membalasnya. Avira dan teman temannya pergi melewatinya yang sedang pokus.
“Ganti baju dulu di rumah terus datang ke sini ya”
“Lho, emangnya mau ngapain?”
“Nanti kamu juga tahu. Abang ifan bakal jemput kamu”
Alana mengernyit kan kepalanya begitu melihat balasan sangat ibu. Merasa penasaran ada apa sampai begitu. Alana menutup ponselnya lalu menunggu di sebuah bangku di sebelah gerbang.
Tak berselang lama, sang kakak ipar datang menjemput nya. Alana segera mengambil helm nya dan naik.
“Bang ifan, emang mama dimana?”
“Di rumah temannya. Kita ke sana setelah kamu ganti baju”. Balas ifan.
Ifan merupakan kakak iparnya, menikah dengan kakak nya dinda sudah hampir empat tahun. Mereka juga sudah di karuniai anak laki laki yang sekarang baru berumur hampir dua tahun.
Sampai di rumah Alana buru buru naik ke kamarnya dan mengganti baju dengan yang lebih santai. Tak lupa memakai jaket agar terlihat lebih sopan.
Tanpa memakai apapun dan hanya bermodal ponsel Alana kembali turun menghampiri abang nya yang menunggu di luar. Mereka kembali berangkat menuju ke tempat ibu nya berada.
“asalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!”
Alana dan ifan masuk ke dalam rumah berlantai dua itu. Tak lupa gadis itu menyalami teman orang tuanya.
“Duduk di sini al”. Panggil sang ibu.
Alana mengangguk, lalu duduk di samping mama nya dan kakak nya. Pandangan terkunci pada sosok yang kini menatap nya tajam. Ihsan, cowok itu duduk di antara mereka.
Yani, yang merupakan mama Alana saling menatap dengan Reni. Keduanya menghela napas panjang.
“Jadi gini Alana, kami sekeluarga juga keluarga kamu sepakat untuk menjodohkan kalian. Jadi maksud sebenarnya, kami sebagai orang tua ihsan melamar untuk menjadi mempelai pengantin”.
Deg!
“Pengantin?!”
Melihat anggukan pria di depannya seketika membuat Alana memegang dadanya syok. Jantung nya berdegup kencang karena terkejut, matanya membola, menatap mereka dengan seksama.
Tidak, pengantin?
“M-maksud nya gimana ya? Ma, aku gak ngerti” ucap alana bingung.
Yani menghela napas panjang, kemudian meminta pada suaminya untuk menjelaskan. “Jadi gini sayang, almarhum kakek kamu dan kakek ihsan mereka memiliki sebuah janji yang menjadi sebuah wasiat. Yaitu menjodohkan cucu mereka yaitu kalian”. Jelas Adrian.
“sebenarnya kami para orang tua gak tahu apa apa tentang hal ini. Tetapi beberapa minggu kemarin, sebelum kakek ihsan meninggal beliau meninggalkan wasiat itu. Dan mau tak mau kami harus mengabulkan nya”. Lanjut Yudi, ayah ihsan.
“tapi gak harus sekarang kan? Kami masih sekolah. Gak mungkin kalo harus nikah “ tolak Alana.
“kami juga berfikir begitu. Tetapi kami takut melupakan wasiat terakhir kakek, jadi keputusan terakhir kami adalah kalian menikah hanya sebatas status”. Putus Yudi.
“sebatas status? Maksudnya?”
“kalian akan menikah, tetapi setelah menikah kalian akan tetap tinggal di rumah masing masing. Kami gak akan menghalangi kalian soal kewajiban, setelah kalian berpikir atau saling menerima kalian bisa memutuskan hubungan selanjutnya “ ucap Adrian.
“Gimana sayang, kamu mau kan?”
Alana termenung sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. Hanya sebatas status kan? Nanti juga dia tetap akan tinggal bersama orang tuanya.
“Kalau sekolah tahu gimana?”
“Soal itu kalian gak usah khawatir. Itu jadi urusan kami”. Jelas Reni.
Alana mengangguk. Meski dengan berat hati dia pun menerima lamaran ini. “Iya, al mau” ujarnya.
“Alhamdulillah!”
Serentak mereka mengatakan hamdalah bersama. Merasa senang dengan jawaban Alana.
“yaudah, kalau begitu malam ini kalian nikah”.
“Malam ini?!”
“saya Terima nikah dan kawinnya Alana Adisty binti Adrian roman dengan mas kawin uang tunai tiga juta rupiah dan perhiasan 10 gram di bayar tunai”.
“Sah!”
Seluruh anggota mengucapkan hamdalah atas kelancaran akad nikah. Mereka saling melempar senyum meski dalam hati ada sedikit rasa khawatir. Setelah berdoa, Alana dan ihsan saling mencium tangan dan kening.
Malam ini keduanya secara resmi menjadi suami istri, hanya di hadiri kedua keluarga dan di laksanakan secara tertutup dan sederhana.
Alana menahan air matanya, gadis itu melirik pada ibunya yang tersenyum melihat mereka. Selesai acara akad itu mereka mengadakan acara makan makan.
“Makan yang banyak ya, jangan sungkan sungkan”. Ucap Reni selaku mertuanya padanya.
Alana tersenyum canggung, duduk di samping ihsan sang suami. Memasukkan beberapa lauk pauk pada piringnya, Alana segera makan. Dia sudah lapar karena dari pulang sekolah dia belum makan apapun kecuali roti bakar yang di belinya tadi di jalan sebelum ke rumah ini.
Akad di lakukan pukul delapan malam, dan setelah nya acara makan dan berkumpul. Karena sudah sangat larut, mereka memutuskan untuk tidur. Keluarga Alana akan menginap selama dua hari, kecuali kak dinda dan kak ifan yang harus pulang besok.
“Kak, arfan sama aku aja yah tidurnya?” bujuk Alana pada kakak nya dinda.
Dinda berpikir sejenak, “kamu tanya dulu suami kamu boleh apa engga? Kalau boleh kak kasih” ucap nya.
Alana meneguk ludahnya kasar, gadis itu menatap kakaknya dengan ragu. Kemudian mengangguk. Dinda tersenyum geli melihat nya, dia segera memangku putranya dan membawanya ke kamar yang akan mereka tempati.
Ceklek!
Ihsan yang sedang santainya memainkan ponsel di atas ranjang menoleh saat pintu kamar nya di buka. Memperlihatkan alana yang masuk dengan takut takut. Melihat ekspresi ketakutan Alana ihsan ingin sekali tertawa.
Alana meremas celananya, menatap suaminya dengan takut takut. Gadis itu mendekat, berusaha untuk menghampiri nya.
Dia berdiri di samping ranjang, seraya meneguk ludahnya kasar. “Um, boleh gak bawa keponakan aku tidur disini?” Alana bertanya dengan ragu.
“Gak”. Jawab ihsan singkat.
Alana semakin meneguk ludahnya, gadis itu memainkan jari tangannya mencoba menghalau rasa gugup.
“kunci pintunya!” titah ihsan.
Alana mengangguk, lalu mengunci pintu kamarnya. Dia mengelilingi ranjang dan duduk di samping cowok itu.
“ngapain bawa orang lain? Gue gak bakal ngapa ngapain lo”. Celetuk ihsan lagi.
Alana tak mempedulikan nya, dia membaringkan tubuhnya dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Memunggungi ihsan yang sedang sibuk dengan ponselnya.
Mencoba memejamkan matanya meski hatinya tak tenang sedikit pun. Cengkraman tangan Alana pada selimut kian menguat saat merasakan pergerakan dari ihsan. Dia benar benar takut.
Mau bagaimana pun mereka telah sah, bisa saja melakukan hal itu jika menginginkan nya.
Ihsan pokus pada Ponselnya. Dia tengah berbalas chat dengan pacarnya avira, hatinya yang kesal sedikit terobati karena cewek itu.
Cukup lama dia berbalas chat sambil tersenyum sendiri, tak sengaja matanya melirik Alana yang tidur di samping nya.
Dia mematikan ponselnya dan menyimpannya di nakas. Kemudian menoleh, mencondongkan wajahnya untuk melihat istrinya. Haha benar istrinya.
“Al, lo beneran tidur?” gumam ihsan terus memperhatikan Alana yang tidur tak bergerak.
Beberapa urai rambut panjang gadis itu berjatuhan di sekitar leher sehingga menampakkan leher putihnya. Tentu saja hal itu membuat nya salah fokus. Apalagi leher alana begitu mulus, hanya ada setitik tahi lalat di leher kiri nya.
Meneguk ludahnya kasar, ihsan menutup matanya. Ah sialan begitu saja dia sudah kelabakan.
“Al, lo beneran udah tidur kan?” gumam ihsan seraya mendekatkan wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!