"Siapa gadis itu?" Cakar bertanya sembari menatap sang ibu yang kini sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk Cakar Buana dan sang adik.
Bu Fajarani memiliki dua anak, satu lelaki dan satunya perempuan. Cakar sebagai anak pertama, dan Aisyah Angkasi anak kedua. Keduanya sudah bekerja dan mapan. Cakar bekerja di instansi pemerintahan sebagai abdi negara.
Menjadi tentara merupakan cita-citanya sejak dulu, mengikuti sang ayah yang anggota TNI juga. Namun Pak Diki kini baru saja pensiun mengakhiri masa jabatannya tahun ini dengan pangkat Perwira Menengah.
Cakar sempat gagal masuk Akmil. Tidak menyerah, akhirnya dia mencoba daftar Bintara. Dan akhirnya lulus.
Sementara Aisyah, sang adik sudah bekerja dan mapan juga. Profesinya kini sebagai Guru dan sudah jadi PNS dan diangkat tahun lalu saat ada penerimaan Guru, dan beruntung lulus. Lalu tahun itu diangkat menjadi PNS diusia yang kini baru saja 24 tahun.
"Dia Halwa, tetangga di ujung jalan itu. Dia sudah ditinggal bapaknya dua tahun lalu dalam kecelakaan maut. Kini dia tinggal bertiga bersama ibu dan adik laki-lakinya yang masih SMA." Bu Fajarani menjawab pertanyaan putranya yang tadi sempat tertunda karena sedang sibuk menyiapkan sarapan.
Bu Fajarani menatap sang putra yang begitu tampan jika sudah mengenakan seragam tentaranya. Pada dasarnya putranya itu memang tampan, terlebih jika dilengkapi seragamnya.
"Dia cantik lho, Kak. Selain itu dia juga baik dan ramah. Apalagi Halwa juga pekerja keras. Dia saat ini bekerja di salon. Lamar saja, soalnya dia sudah memperlihatkan sikapnya sama Kak Cakar," ujar Aisyah memberi provokasi supaya kakaknya yang tentara itu mau dijodohkan dengan Halwa.
"Iya, kamu lamar saja, Cak. Mau mencari yang seperti apalagi? Dia juga tipe setia sepertinya, apalagi sudah bapak lihat, dia menyukai kamu," sambung Pak Diki menyetujui omongan Aisyah sang anak perempuan.
Pak Diki duduk di kursi meja makan menghadap meja yang sudah disuguhi nasi goreng untuk sarapan pagi.
"Iya, kamu lamar saja gadis itu. Kamu jangan terlalu lama menunda masa duda kamu setelah kepergian Seli satu tahun lalu. Seli sekarang sudah tenang di alam baqa. Jadi, ibu mohon jangan ingat-ingat terus almarhumah." Bu Fajarani menimpali.
"Lagipula sayang banget lho Kak, rumah Kak Cakar sudah setahun dibiarkan kosong," seloroh sang adik yang sudah gemas ingin melihat kakaknya menikah lagi.
"Biarkan saja rumah itu kosong, toh rumah itu banyak menyimpan kenangan bersama Seli. Lagian, tiap hari aku bersihkan, jadi tidak mungkin rumah itu kotor," sergah Cakar kekeuh dengan pendiriannya.
"Lagian, ngapain sih kamu ikut-ikutan comblangin kakak sama gadis bernama siapa tadi?"
"Halwa."
Pak Diki, Bu Fajarani dan Aisyah kompak memberi jawaban yang sama sampai Cakar melongo.
"Ya ampun, kalian sampai kompak begitu dan mengagetkan." Cakar protes sembari memegangi dadanya.
"Iya, namanya Halwa, Kak. Pasti Kak Cakar menyukai Halwa kalau sudah dekat." Aisyah tidak bosan-bosannya mendukung sang kakak bisa menikahi gadis bernama Halwa.
"Aku tidak suka gadis caper, kirim-kirim salam dan menunjukkan sikap suka. Biasanya yang begitu itu player handal," duganya terdengar kejam dan tidak enak didengar.
"Cakar, apa-apaan kalau bicara? Jaga ucapannya, belum tentu Halwa seperti itu. Hanya menitipkan salam atau memiliki perasaan suka, wajar saja. Tapi bukan berarti dia seorang player seperti yang kamu bilang barusan." Bu Fajarani menyela ucapan Cakar yang dinilainya sembarangan.
"Dari mana Ibu bisa menyimpulkan dia baik? Kan belum tentu Bu," sela Cakar.
"Ibu kenal dekat sama mereka, terutama ibunya. Ibu juga sering belanja ke warung kelontongnya membeli terigu dan minyak untuk pesanan kue ibu," sahut Bu Fajarani seraya mulai duduk di kursi meja makan dan sama-sama ikutan sarapan pagi dengan anak dan suaminya.
Setelah sarapan, Cakar dan Aisyah berpamitan untuk bekerja ke kantornya masing-masing.
Cakar pergi menggunakan mobilnya. Di dalam mobilnya sudah dimasuki barang-barang, antara lain bahan makanan dan minuman botol untuk diantar sekalian ke kafe miliknya yang letaknya kelewatan jika pergi bekerja.
Selain seorang anggota TNI berpangkat Sersan satu, Cakar juga mendirikan usaha kafe yang dirintis dua tahun lalu setelah kepulangan dirinya tugas di Lebanon, menjadi pasukan perdamaian.
Mobil Cakar berhenti tepat di pinggir sebuah kafe yang cozy dan anak muda banget. Seorang pelayan laki-laki segera menghampiri dan membawa barang-barang yang dibawa Cakar di dalam mobil. Setelahnya Cakar segera pergi dari sana dan melajukan kembali mobilnya menuju kesatuannya.
"Cekitttt."
Deritan rem mendadak dan bunyi ban bergesekan dengan aspal, ikut meramaikan keramaian di jalan pagi itu.
"Apaan sih? Apa yang tadi aku senggol?" Cakar was-was lalu ia segera keluar dari mobilnya dan memeriksa body depan mobil yang tadi seakan menabrak sesuatu.
Saat keluar, Cakar melihat seseorang tengah memunguti benda-benda yang jatuh dari tas sampirnya. Saat orang itu selesai, dia kembali berdiri sempurna dan menatap ke arah Cakar.
Serrr, tiba-tiba jantung hati Cakar berdebar kala perempuan yang tadi sempat tersenggolnya menatap ke arahnya.
"Mas Cakar, maafkan saya," ucapnya malu-malu tapi dalam hati bahagia. Siapakah dia?
"Makanya kalau jalan pakai mata dan hati-hati," tukas Cakar ketus seraya kembali memasuki mobilnya dan berlalu.
Halwa berdiri mematung melihat kepergian mobil Cakar. Dengan perasaan sedih, ia berlalu melanjutkan perjalanan menuju salon tempatnya bekerja.
Kejadian itu sudah dua bulan yang lalu terlewati. Dan kini atas perjodohan itu, Cakar dan Halwa menikah. Tentu saja ada proses di dalam pertemuan mereka sehingga sampai jenjang pernikahan ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Halwa Azizah binti almarhum Bapak Damara, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan satu set emas seberat 20 gram dibayar TUNAI."
Lantang Cakar mengucapkan ikrar ijab kabul sehingga tidak perlu diulang. Semua saksi dan para hadirin yang berada di sana menyerukan kata sah beberapa kali mengiringi berakhirnya ritual ijab kabul yang diucapkan lelaki tampan itu.
"Sah, sah."
Cakar menyematkan cincin pernikahan di jari manis Halwa, lalu kini giliran Halwa yang menyematkan cincin itu di jari manis Cakar. Perempuan yang masih terbilang muda itu, yakni 22 tahun, terlihat sangat cantik dengan riasan pengantinnya.
Dalam wajahnya terpancar aura positif sehingga kecantikannya benar-benar terpancar dan membuat semua orang pangling.
Para tamu undangan mulai menyalami kedua mempelai. Setelahnya, tamu undangan dipersilahkan makan santapan yang dihidangkan secara prasmanan, sebelum mereka kembali pulang.
Saudara-saudara dekat Halwa serta saudara dari Cakar, juga menyalami kedua mempelai. Tidak sedikit yang memuji kecantikan Halwa. Halwa yang berdiri di samping Cakar, hanya mampu tersipu malu kala pujian itu terlontar dari beberapa kerabat dekat Cakar.
Lalu kini beberapa teman sekantor Cakar mulai datang dan berkelompok. Mereka juga menyalami Cakar. Bahkan beberapa teman satu ruangannya menyempatkan menggoda Cakar.
"Aku pikir Abang bakal naik pelaminan sama Sersan Nilam. Dia pasti patah hati tuh melihat Abang duluan menikah," ujarnya terdengar langsung oleh Halwa. Halwa sejenak melongo dan merasa sedih mendengar ucapan salah satu teman Cakar.
Perhelatan pernikahan yang dilaksanakan di sebuah gedung itu, kini usai. Kedua mempelai digiring menuju sebuah mobil pengantin yang sudah dipersiapkan untuk keberangkatan bulan madu di sebuah hotel.
Meskipun pada awalnya Cakar sudah menolak, akan tetapi kedua orang tua Cakar sudah menyiapkan segalanya, sehingga Cakar tidak bisa menolak lagi. Dengan terpaksa, Cakar mengikuti prosesnya.
"Aku akan ikuti kemauan ayah dan ibu, tapi jangan harap aku bisa mencintai gadis caper itu. Aku tidak sudi menyentuhnya," dengus Cakar kala itu dengan perasaan kesal.
Mobil pengantin itu mulai berjalan setelah keduanya berada di dalam, antara keduanya tidak terjadi pembicaraan. Sedikit pun Cakar tidak mau menatap ke arah Halwa. Meskipun Halwa sudah berias dengan sangat cantik, akan tetapi tidak mengalihkan pandangan mata Cakar dari ponselnya.
Satu jam kemudian, mobil pengantin itu sudah tiba di sebuah hotel bintang lima, yang sengaja sudah dipesan oleh kedua orang tua Cakar. Supir membuka pintu untuk Cakar. Cakar turun duluan, setelahnya ia berdiri menatap hotel megah bintang lima di hadapannya.
Sementara Halwa, masih duduk di dalam menunggu Cakar menghampirinya. Namun, harapannya sirna setelah ia melihat keluar, ternyata Cakar tengah sibuk menerima panggilan telpon.
Tadinya Halwa sudah percaya diri, bahwa pintu mobil itu akan dibukakan Cakar. Sayang, di luar ekspektasinya, Cakar cuek tanpa peduli. Tidak mau terlalu membuat Cakar menunggu lama, Halwa akhirnya membuka pintu mobil itu dan menuruni mobil dengan perlahan.
Gaun pengantin ala kebaya sunda itu memang tidak begitu menyulitkannya, akan tetapi ia perlu berjalan hati-hati, karena kain bawahan kebaya pengantin itu sedikit menghambat langkahnya, karena bawahnya sempit.
"Silahkan pengantin baru, selamat datang di Daisy Hotel." Seorang Pelayan hotel itu tiba-tiba menyambut kedatangan Cakar dan Halwa, mereka menunjukkan kamar yang sudah dipesan untuk Halwa dan Cakar.
Tiba di lantai lima hotel ternama dan bintang lima itu, tepatnya di kamar nomer 44, Pelayan itu berhenti dan mengarahkan tangan ke pintu kamar itu.
"Ini kamar Anda, silahkan masuk dan nikmati kenyamanan hotel kami. Melayani dengan sepuas hati," ucap Pelayan itu ramah, sembari menyebutkan kalimat motto hotel itu diakhir kalimat.
Cakar dan Halwa tersenyum membalas sambutan Pelayan itu, mereka kini memasuki kamar. Cakar lebih dulu masuk, sementara Halwa di belakang. Kaki Halwa mulai melangkah. Satu langkah dua langkah, tiga langkah, tiba-tiba.
"Gubrakkkk."
Halwa hampir saja terjerembab ke lantai kalau tidak ditahan oleh punggung Cakar yang berada tepat di depannya. Apa yang terjadi, ternyata kaki Halwa menginjak salah satu kain bawahan pengantin yang panjangnya melebihi tumit. Tadi saat menggunakan kelom pengantin, panjang kain bisa ditunjang dengan hak tinggi kelom, tapi setelah kelom dilepas, kain itu menjuntai sehingga tanpa sadar terinjak Halwa saat berjalan.
"Ya ampun Halwa, apa-apaan sih kamu ini? Baru saja masuk kamar pengantin, sikap kamu sudah seagresif ini," ketus Cakar sembari melepas tubuh Halwa yang masih menimpa punggungnya.
Halwa terkejut bukan main, dia sungguh-sungguh tidak menduga bakal menginjak kain bawahan kebaya pengantin, sehingga dia terjerembab.
"Maaf, Mas," ucapnya seraya berdiri dengan benar lalu mengangkat sedikit kain bawahan kebaya pengantinnya.
Cakar mendilak kesal, dia sungguh benci melihat Halwa yang seakan sengaja pura-pura kakinya kesandung. Dari pertama melihat gadis ini, Cakar sudah kurang respek, sebab Halwa sering dengan sengaja mencuri-curi pandang dan dengan berani menitipkan salam padanya lewat teman-teman atau ibunya.
Bukan hanya itu saja, bagi Cakar Halwa memang bukan tipenya. Cakar tidak pernah tertarik dengan gadis biasa yang tidak bekerja di salah satu instansi pemerintahan. Obsesinya sejak dulu ingin mendapatkan pasangan hidup minimal Pegawai Negeri Sipil, sehingga sampai kini obsesi itu terbangun begitu kuat, tidak jarang Cakar menyepelekan suatu pekerjaan hanya karena dia bukan pegawai negeri.
Entahlah mental apa yang sudah terbangun dalam diri Cakar. Dia seorang pengayom masyarakat, seharusnya tidak pandang bulu menghargai profesi orang lain. Tapi apa yang dilakukannya diluar tugasnya sebagai pengayom, dia justru membangun arogansi yang kuat dalam dirinya, yakni tidak menyukai gadis yang pekerjaan bukan di instansi pemerintahan.
Namun, entah bagaimana awalnya, Cakar pada akhirnya mau menerima perjodohan dengan Halwa. Bisa jadi karena terlalu sering dicomblangi seluruh keluarganya, sehingga dengan terpaksa dia menerimanya.
"Tidak perlu ke sesama teman seprofesi juga tidak masalah Cakar, yang penting perempuan itu setia dan mampu menjaga marwah suami baik saat dekat atau jauh. Kamu terlalu terobsesi dengan pikiran kamu dan hanya ingin menikah dengan perempuan yang berada dalam instansi pemerintahan. Itu tidak baik mengkotak-kotak profesi seseorang," tegas Pak Diki beberapa hari sebelum pernikahan ini terjadi.
"Lagipula apakah kamu tidak tahu, saat kamu jauh almarhumah istri kamu bagaimana?" ceplos Bu Fajarani tidak sadar sudah mengundang rasa penasaran dalam diri Cakar.
Setelah mengatakan itu, Bu Fajarani langsung menghindar dan meninggalkan Cakar yang dilanda penasaran. Sepertinya ada yang disembunyikan oleh ibunya darinya tentang almarhumah istrinya.
Tidak mau penasarannya kian membesar, Cakar mencoba mencari tahu dari adik maupun dari teman dekatnya Seli. Ada apa dengan Seli dan kenapa ibunya seolah menyembunyikan sesuatu tentang Seli.
Cakar terkejut, setelah menjalankan penelusuran, ia menemukan fakta bahwa almarhumah Seli pernah menduakan cintanya saat dia satgas ke Lebanon. Sejak menemukan fakta yang baginya sangat menyakitkan, akhirnya Cakar mau menerima perjodohan dengan Halwa. Namun, walaupun Cakar sudah menemukan bukti perselingkuhan mendiang istrinya, Cakar tetap tidak percaya kalau Seli seperti itu.
Lalu apakah kini pandangannya terhadap Halwa berubah setelah mendapatkan bukti perselingkuhan almarhumah Seli terkuak? Tidak, justru Cakar kini membangun image baru dalam diri Halwa, bahwa gadis seperti Halwa yang caper, justru lebih parah dan bad girl dibanding gadis yang dia impi-impikan selama ini.
Cakar melepas lelah sejenak di atas ranjang yang dihiasi ala kamar pengantin. Sepasang angsa sedang berhadapan dikelilingi taburan bunga mawar merah dan putih.
Seperti tidak ada yang istimewa di dalam kamar yang megah ini bagi Cakar. Ia sama sekali tidak tertarik. Bulan madu yang direncanakan kedua orang tuanya selama dua hari ini sungguh memuakkan dan terasa lama.
Halwa berjalan menuju sofa di dalam kamar itu. Di sampingnya ada meja kecil yang sudah terhidang makanan pembuka dan minuman yang menyegarkan sebagai sambutan pertama dari pihak hotel. Lalu di samping meja itu, terdapat bar mini yang tersedia berbagai minuman, jamu-jamuan juga ada di sana. Jika ingin minum, maka ia bisa membuatnya sendiri di bar mini itu.
Namun sebelum Halwa meraih satu gelas minuman yang begitu menggiurkan, Halwa pergi ke kamar mandi untuk mengganti baju pengantinnya dengan baju yang sudah tersedia di sana untuknya.
"Apa, Sersan Nilam sakit?" Cakar terperanjat saat mendengar seseorang menghubunginya dan memberitahu bahwa salah satu rekan seprofesi di kesatuannya masuk rumah sakit.
Halwa ternganga ketika dengan buru-buru, Cakar sudah mengganti pakaian pengantinnya dengan celana jeans dan jaket kulit, seperti akan pergi. Baru saja sampai di kamar hotel, Cakar dengan tega akan pergi dari sana.
"Mas mau ke mana?" Langkah kaki Cakar terhenti dan menoleh ke arah Halwa yang rambutnya sudah basah.
Halwa menatap Cakar menantikan jawaban. Rambutnya yang basah, tak ayal mengakibatkan tetesan air dari kepalanya. Cakar yang merasa ketahuan akan pergi, sejenak terperangah lalu menatap Halwa yang berbalut bathrobe.
"Aku harus pergi. Kamu tunggulah di kamar ini dan jangan ke mana-mana," ucapnya memberi tahu.
"Tapi ke mana, Mas? Bukankah kita baru sampai dan ini adalah hari pengantin kita?" ujar Halwa menatap nanar lelaki yang baru saja berstatus suami.
"Kamu tidak perlu tahu ke mana aku pergi, dan jangan terlalu berharap. Aku sama sekali tidak mencintai kamu, aku terpaksa menerima perjodohan ini karena desakan kedua orang tua aku. Dan ingat, ya, kamu bukanlah tipeku. Apalagi perempuan caper seperti kamu, aku tidak pernah tertarik secantik apapun kamu," tegas Cakar sembari membuka pintu kamar hotel dan berlalu.
Halwa sedih dengan ucapan ketus Cakar. Dia berdiri mematung menatap kepergian Cakar yang entah ke mana? Tetesan air mata kini jatuh bersama tetesan air dari rambut Halwa.
Perasaan gelisah terus menyelimuti Halwa, terlebih saat Hp nya berdering. Sebuah panggilan telpon berdering nyaring. Tentu saja Halwa penasaran dari siapa panggilan itu. Halwa segera meraih Hp nya yang tergeletak di atas meja rias hotel itu.
"Mama Fajarani?" kagetnya seraya menatap nama yang tertera di layar Hp yang kini menyala dan berdering. Halwa bingung harus berbuat apa, mengangkat atau membiarkan saja. Ketakutan Halwa adalah, jika mama mertuanya menanyakan Cakar, maka dia harus jawab apa?
Panggilan itu berhenti, Halwa lega. Namun, beberapa menit kemudian Hp nya kembali berdering. Nama yang sama tertera di sana.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Halwa terpaksa mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam, Halwa. Bagaimana, apakah kalian sudah sampai di hotel? Maaf mama terpaksa menghubungi kamu, sebab sejak tadi Hp nya suamimu tidak aktif. Mama jadi khawatir. Syukurlah jika kalian sudah sampai. Lalu Cakar sedang apa dan kenapa Hp nya tidak aktif?" cecar Bu Fajarani.
"Kami sudah sampai setengah jam yang lalu, Ma. Hp Mas Cakar sepertinya kehabisan batre dan sedang dicas. Mas Cakar sekarang sedang di kamar mandi, Ma," jawab Halwa terpaksa berbohong
"Baiklah kalau begitu, mama tutup telponnya."
"Iya, Ma.Terimakasih Mama sudah mengkhawatirkan kami." Halwa bermaksud menutup sambungan telpon itu, akan tetapi Bu Fajarani segera menyela.
"Halwa, sebentar. Mama ada yang ingin disampaikan," tahan Bu Fajarani.
"Iya, Ma."
"Kalau perlakuan Cakar belum baik sama kamu, mama minta kamu sabar, ya. Kamu janji harus bisa merebut hati Cakar. Mama yakin, dia pasti akan bisa mencintai kamu pada akhirnya," ujar Bu Fajarani lega di ujung telpon, karena sudah mengungkapkan isi hatinya kepada Halwa.
Seperti yang Bu Fajarani tahu, Cakar menerima perjodohan ini hanya terpaksa. Dan Cakar sempat berkata bahwa ia tidak akan pernah mencintai Halwa, untuk itu Bu Fajarani memilih berkata jujur pada Halwa.
Halwa tertegun tanpa merespon, di sini ia seakan dituntut untuk menerima perlakuan Cakar apapun itu. Sementara dihari pertama pernikahannya saja, sikap Cakar sudah menunjukkan kebencian. Apakah Halwa akan sanggup bertahan dengan sikap Cakar seperti itu?
Salahnya sendiri, ia memang menyukai Cakar, malah tempo bulan yang lalu, Halwa pernah berceletuk di depan teman-temannya bahwa ia menyukai Cakar yang saat itu sudah menduda beberapa bulan setelah ditinggalkan Seli.
Celetukan ini kemudian menyebar bagai jamur di musim hujan, teman-teman Halwa yang iseng yang kebetulan memiliki kekasih seorang anggota, menyampaikan celetukan Halwa pada pasangannya masing-masing dan ada juga yang menyampaikan langsung pada Cakar bahwa Halwa menyukai Cakar dan kirim salam pada Cakar.
Dari situ Cakar salah paham, dia menduga Halwa memang sengaja mengirim salam dan menyatakan suka padanya lewat teman-temannya, padahal Halwa sama sekali tidak pernah meminta teman-tamannya untuk menyampaikan salam pada Cakar. Jika pun dia pernah beramah-tamah dan memberikan senyuman pada Cakar, itu hanya sekedar adab dan keramahan yang ditunjukkan terhadap pria tampan bertubuh atletis itu, ketika kebetulan bertemu secara tidak sengaja.
Sementara rasa sukanya pada Cakar, tidak pernah sengaja dia umbar atau ditunjukan langsung. Namun, keramahan dan senyuman Halwa, justru disalah artikan Cakar, sebab Cakar sudah kemakan omongan teman-teman Halwa yang terlanjur menyampaikan bahwa Halwa menyukai dan selalu menitip salam untuknya.
Cakar tidak suka sikap Halwa yang dinilainya caper dan sok kecantikan, menurutnya Halwa tidak perlu menyampaikan salam buatnya segala seakan tidak punya harga diri sebagai perempuan.
Sedangkan teman-teman Halwa, selain iseng, mereka memang mendukung jika Halwa bisa duduk bersanding dengan Cakar yang dinilainya sedikit angkuh diantara kekasih-kekasih tentara mereka. Bahkan mereka punya cita-cita ingin menghadiri acara Persit bersama-sama kelak.
"Janji, ya. Kita kelak akan bertemu dalam rangka menghadiri rapat ibu-ibu Persit," celoteh Rani kala itu sembari terkekeh. Ia memang sudah tunangan dengan kekasih tentaranya, bahkan sebulan lagi dia menyusul ke pelaminan. Sedangkan teman Halwa satu lagi, Diva, akan menikah enam bulan lagi di awal tahun, dua bulan setelah kakaknya Diva menikah.
Halwa terkenang kembali dengan tiga sahabatnya, yang super iseng dan kadang menjahilinya dengan menjodoh-jodohkan ya dengan beberapa laki-laki, terakhir paling gencar menjodohkan dengan Cakar.
"Kalian memang sering bikin rusuh," batinnya sembari menyunggingkan senyum.
"Halwa, kamu tidak kenapa-kenapa, Nak?" tegur Bu Fajarani dari ujung telpon. Halwa tersentak, tersadar dari lamunannya.
"I~iya, Ma. Maaf, barusan Halwa sempat ambil air minum dulu, haus," gugupnya memberikan alasan bohong lagi.
"Baiklah. Kamu janji ya akan bersabar menghadapi Cakar," ucap Bu Fajarani mengulang permintaannya tadi.
"Iya, Ma. Insya Allah," jawab Halwa sembari menutup panggilan telpon setelah di sebrang sana menyudahi panggilan dengan mengucap salam.
Setelah mengakhiri panggilan dan meletakkan kembali Hp nya di meja rias, Halwa menuju lemari dan memilih pakaian tidur yang sudah disiapkan pihak hotel khusus untuk pasangan pengantin.
Malam semakin larut, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21.00 Wib. Mata Halwa sudah mulai mengantuk. Namun Cakar yang sejak tadi ditunggu, belum kunjung pulang. Perlahan Halwa membaringkan tubuhnya pelan di atas ranjang setelah ia singkirkan bunga mawar merah dan putih itu ke samping ranjang.
Karena ngantuk dan tubuh yang lelah sehabis berdiri dan menyalami tamu tadi, Halwa dengan cepat tertidur pulas tanpa ingat lagi dengan Cakar yang entah jam berapa akan pulang.
Deru nafas teratur tapi lelah itu, terdengar oleh Cakar, kala Cakar mulai memasuki kamar nomer 44 itu. Cakar masuk semakin dalam, dia menuju ranjang yang sudah terbujur tubuh Halwa yang terlelap. Ditatapnya lelap tubuh perempuan muda itu, jarak perbedaan usia dengannya lumayan jauh yaitu enam tahun.
Wajah cantik dan tubuh yang seksi karena baju tidurnya tersingkap secara tidak sengaja itu, masih ditatap dengan lekat oleh Cakar. Terbersit rasa sesal di dalam hatinya, karena telah membiarkan pengantinnya terkurung sendiri di kamar hotel yang dirancang sebagai kamar pengantin, sementara dirinya pergi menemui rekan seprofesinya yang saat ini sedang dekat dengannya.
"Maafkan aku Halwa, tapi tadi wanita itu benar-benar membutuhkan aku. Semoga saja kamu tidak mengatakan semua ini pada kedua orang tuaku," bisiknya berharap seraya bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!