NovelToon NovelToon

PEMBURU HITAM

Desa Terpencil

Seorang pria menoleh ke orang yang berada di belakangnya setelah melihat cahaya matahari yang baru bersinar “Han Feng minta yang lain bersiap untuk melanjutkan perjalanan”.

Dengan sikap kedua tangan di depan dadanya, Han Feng membungkukkan badannya memberi hormat kepada pria tersebut “baik Guru”.

Beberapa saat kemudian sekelompok orang yang berjumlah delapan orang melanjutkan perjalanan menuruni daerah pegunungan.

Perjalanan panjang selama dua bulan lebih dari perguruan telah menguras tenaga Han Feng dan teman seperguruannya. Mereka telah melewati beberapa kota dan pegunungan untuk dapat tiba di lokasi saat ini.

Tidak lama setelah melanjutkan perjalanan, Han Feng tersenyum dan menunjuk ke arah desa yang masih tampak sangat kecil dari kejauhan disertai pemandangan bagian pinggiran hutan luas yang berada di sampingnya. “Guru, didepan ada sebuah desa dan berada di ujung Hutan Hitam sesuai dengan desa yang Guru cari”

Hutan Hitam adalah hutan luas yang memiliki Lembah, pegunungan dan beberapa sungai yang memisahkan 3 kerajaan. Dengan pohon pohon yang tumbuh lebat dan menjulang tinggi puluhan meter. Sinar matahari masuk lewat sela-sela sempit dedaunan di atas pepohonan tidak dapat menyinari hingga bagian bawah. Semuanya gelap dengan siang dan malam tak ada bedanya. Karena gelap dan tak terjamah oleh manusia, ribuan hewan liar hidup di sana.

Melihat dengan seksama desa yang disebutkan Han Feng, pria tersebut memperingatkan murid-muridnya “Hutan Hitam sangatlah berbahaya kalian semua harus berhati-hati. Ular hitam, kodok panah beracun, laba- laba coklat, semut bertaring dan kalajengking merah. Lima hewan paling beracun dan mematikan semuanya berada di Hutan Hitam dan juga banyak tanaman beracun dan binatang buas lainnya”.

Menjelang malam, pria tersebut beserta murid muridnya memasuki desa. Walau malam belum mencapai puncak kegelapan, suasana desa sudah sangat sepi. Desa di dekat Hutan Hitam tidaklah besar, dengan hanya terdapat sekitar 50 an rumah yang dikelilingi pagar kayu yang diikat dan dibuat dengan sederhana.

“Halo saya adalah Wei Cheng ketua perguruan Gerbang Naga dari kota Lai Bin. Saya beserta murid-muridku berkunjung dari jauh berharap dapat menemui kepala desa anda” sambil tersenyum Wei Cheng dengan sopannya menyapa salah seorang penduduk desa.

Sungguh terkejut penduduk desa tersebut melihat banyak pengunjung ke desanya yang sangat terpencil. Perjalanan ke desanya dikelilingi pegunungan sehingga tidak dapat menggunakan kuda maupun tunggangan lainnya yang membuat desanya sangatlah terpencil.

Dengan sedikit perjalanan melintasi jalanan desa, penduduk desa yang berpapasan dengan Wei Cheng dan muridnya tiba di sebuah rumah kayu.

Seorang kakek yang sedang duduk di depan rumahnya memperhatikan dengan seksama setiap pengunjung yang datang ke desanya “Siapakah anda dan apa tujuan anda kemari?”

“Pak Kepala Desa perkenalkan saya Wei Cheng dan ini adalah murid-muridku. Kami datang dari kota Lai Bin. Saya ingin bertanya, apakah Pak Kepala Desa mengenal orang ini?” Wei Cheng mengeluarkan sebuah lukisan dan memperlihatkannya kepada Kepala Desa.

“Ini adalah kakekku Wang Chong Yang. Sebelum Ayah saya tiada, beliau meminta saya untuk mencarinya dan bilamana kakekku telah tiada seharusnya dimakamkan beserta keluarganya. Masalah ini membuat ayahku tidak dapat meninggal dengan tenang sehingga saya berusaha sepenuh tenaga mencarinya dan menemukan kabar bahwasannya kakekku pernah berkunjung ke sini”.

Setelah melihat lukisan tersebut, Kepala desa yang telah tua berusaha mengenang masa lalunya.

“Desa ini sangatlah terpencil bila ada warga yang meninggalkan desa ini maka tidak ada yang berkeinginan untuk kembali ke sini. Begitu juga dengan tidak ada orang dari luar yang bersedia tinggal disini”.

“Masa itu saya masih sangat muda tetapi saya sangat mengingatnya, hanya beliau pendatang dari luar yang bersedia tinggal di desa ini. Beliau hidup selama beberapa bulan di sini hingga beliau memutuskan untuk memasuki Hutan Hitam. Setelah beliau memasuki Hutan Hitam, kami tidak pernah melihatnya kembali. Hai..kami semua mengkhawatirkan beliau dan berusaha mencarinya tetapi kami tidak dapat memasuki Hutan Hitam hingga terlalu dalam karena bahaya hutan ini terlalu besar untuk warga biasa seperti kami”.

‘Apakah aku bisa menemukannya bila masuk ke Hutan Hitam?’ pikir Wei Cheng sembari melihat ke arah dalam hutan. “Pak Kepala Desa, selama tinggal di desa ini adakah peninggalan kakek ataupun petunjuk yang memberitahu tujuannya masuk ke Hutan Hitam?”

“Rumah yang dulu ditinggali beliau telah digunakan oleh warga desa lain yang membutuhkannya tetapi sebelumnya telah diperiksa dan beliau sungguh tidak meninggalkan apapun.”

Setelah berpikir sejenak dan menimbang apa yang harus dilakukannya kemudian Wei Cheng bertanya “Bisakah anda mengingat kembali ke arah mana kakekku berjalan masuk ke dalam Hutan Hitam sehingga memudahkan kami untuk menelusurinya?”

Setelah berpikir sejenak Kepala Desa menghela nafas “bila anda bertekad untuk masuk ke dalam Hutan Hitam untuk menemukannya. Saya tidak akan menghentikan anda tetapi saya ingin anda mengetahui hutan ini sangatlah berbahaya. Tidak ada satupun penduduk desa terdahulu yang memasuki hutan terlalu dalam dan tersesat dapat keluar dari hutan. Bila anda ingin memasukinya, saya akan meminta seseorang untuk menuntunmu di area aman hutan tetapi untuk perjalanan ke kedalaman Hutan maka anda hanya dapat melanjutkan perjalanan anda sendiri”.

“Sebuah bantuan yang sangat diperlukan untuk dapat menunjukkan baktiku kepada keluargaku. Terima kasih Pak Kepala Desa, besok pagi saya dan murid muridku akan kembali ke sini. Kami undur diri dahulu”. Wei Cheng dan murid muridnya meninggalkan tempat tinggal Kepala desa dan berjalan keluar dari desa.

Keesokan paginya, Wei Cheng dan muridnya dipandu oleh seorang warga desa memasuki Hutan Hitam. Melihat ke sekeliling hutan, Han Feng dan teman seperguruannya benar benar takjub dengan legenda Hutan Hitam. Berada di Hutan Hitam membuat mereka tidak dapat melihat birunya langit. Cahaya matahari yang baru bersinar dengan megahnya tidak dapat dilihat dari dalam hutan.

Setelah perjalanan hingga tengah hari, warga desa yang memandu Wei Cheng dan muridnya menunjuk ke sebuah pohon yang telah diberi tanda oleh warga desa “Ini adalah batas aman yang telah ditetapkan oleh Kepala Desa terdahulu, perjalanan ke depan tergantung pada anda semua. Saya tidak tahu apakah ini bermanfaat bagi perjalanan kalian tapi saya anjurkan membuat tanda di setiap perjalanan sehingga anda tidak tersesat dan dapat berjalan menyusuri kembali ke desa”.

Setelah berterima kasih kepada warga yang memandu mereka, Wei Cheng memperingatkan murid muridnya sembari memasuki Hutan Hitam “Kalian semua harus hati hati, walau kalian semua menguasai ilmu bela diri tetapi lawan kali ini bukanlah manusia. Lawan yang harus kita perhatikan di sini adalah hewan buas dan beracun serta jangan menyentuh tanaman maupun buah secara sembarangan”.

“Baik Guru” jawab murid muridnya.

Kitab Sembilan Matahari

Kehidupan di desa dekat Hutan Hitam sangatlah pelan dan damai di saat matahari telah tinggi barulah jalan jalan kecil desa dipenuhi dengan anak anak yang bermain dan aktivitas aktivitas yang mulai dikerjakan oleh warga desa.

Di salah satu rumah yang berada di pinggiran desa, Huang Hai salah seorang pemburu yang diizinkan masuk ke Hutan Hitam oleh Kepala Desa memiliki badan dan paras wajah kasar dengan selalu memakai sebuah ikat kepala yang menjadi ciri khasnya. Huang Hai yang sedang mengasah anak panah mengalihkan perhatiannya ke anaknya Huang Long yang berusia 14 tahun memasuki rumah.

“Huang Long busur kecil ini untukmu” Huang Hai memberikan busur kecil yang sedari tadi berada di sampingnya. “Ambil anak panah ini dan panah ke pagar kayu di ujung sana” Huang Hai memberikan sebuah anak panah yang baru selesai diasah kepada anaknya sambil menunjuk ke tiang kayu kecil pagar rumah yang dapat dilihat dari pintu belakang rumah.

Huang Long meletakkan anak panah ke busurnya dan menarik tali busur sekuat-sekuatnya. Dengan sebuah mata terpejam, Huang Long memastikan arah panah dan melepaskan pegangannya. Anak panah melesat dengan cepat ke depan dan tampak sangat menjanjikan tetapi setengah perjalanan sebelum mencapai sasaran, anak panah kehilangan tenaganya dan jatuh menancap ke tanah.

“Ming Mei, lihatlah anakmu sangat berbakat ha..ha..ha..” Huang Hai memberitahu istrinya sambil tertawa. Ming Mei istri dari Huang Hai, ibu dari Huang Long dan Huang Mei yang baru berumur 8 tahun.

Huang Long yang telah menggunakan semua tenaganya sangat terkejut dengan hasil panahnya. Dengan raut wajah yang sangat tidak enak dipandang, Huang Long memandang tajam ayahnya yang mengejeknya.

Huang Hai mengambil busur Huang Long dan menarik tali busur “Pertama kamu harus perhatikan sikap berdiri, posisi kedua kaki selebar bahu dan harus seimbang. Masuk kan anak panah ke tali busur, lengan diangkat lurus dan tidak boleh goyah. Tarik dan tahan sikap sambil membidik sasaran. Fokus pada sasaran dan lepaskan”.

Dengan melepaskan jari tangan yang menahan ujung anak panah, anak panah melesat cepat ke depan dan mengenai dengan tepat pagar kayu yang menjadi sasaran. “Kamu masih harus banyak latihan, dua hari lagi saya akan memasuki Hutan Hitam untuk berburu bila kamu masih belum siap maka kamu tidak akan mengikutiku untuk perjalanan kali ini” Huang Hai mengembalikan busur kepada Huang Long.

“Ayo kita makan dulu” panggil Ming Mei yang sedang menyajikan hidangan di meja makan “Huang Long setelah selesai makan antarkan makanan untuk Paman Huang”.

“Iya Bu, Huang Mei tidak lama lagi kita akan makan daging rusa dari hasil buruan kakakmu”

Huang Hai yang sedang makan tiba tiba tersedak mendengar ucapan Huang Long yang seolah telah lupa akan kegagalan sebelumnya “dasar bocah ha ha ha”.

Paman Huang hanya tinggal di sebelah rumah Huang Hai. Dengan sedikit perjalanan dari rumahnya, Huang long memasuki rumah Paman Huang.

Setelah menyerahkan makanan, Huang Long menunjukkan busur barunya ke Pamannya “Paman Huang, aku ingin mengukir namaku di busur ini”.

Setelah memperhatikan busur kecil Huang Long, Paman Huang menganjurkan “Bagaimana bila kamu yang mengukir busurmu sendiri?”

Huang Long telah berkali-kali melihat Paman Huang mengukir, tetapi sampai saat ini dia tidak pernah mengukir sendiri sehingga menjadi sangat bingung cara memulainya

Paman Huang memberikan sebuah pisau ukir kecil dan sebuah kayu seukuran genggaman tangan kepada Huang Long “Latihan dulu di kayu ini baru ke busurmu”.

Melihat Huang Long yang hanya terdiam, Paman Huang memberikan contoh kepadanya “Garis dulu yang ingin diukir, sesudah kamu yakin benar baru buang bagian yang tidak diperlukan. Pegang pisau ukir ini dengan benar dan mantap, jangan mengikis ke dalam sehingga tidak melukai dirimu. Kendalikan pisau dengan pergelangan tangan dan terakhir ukirlah mengikuti arah kayu”.

Setelah menghabiskan waktu hingga sore hari tiba, Huang Long mengembalikan pisau ukir Paman Huang sambil melihat ke busurnya dengan senyum di wajahnya “Selesai, Ini pisau ukir Paman. Terima kasih”. Walau hasilnya sangat kasar dan tidak bagus, Huang Long tetap merasa senang akan hasil buatannya.

“Kamu simpan saja pisau ukirnya sehingga bisa latihan juga dan bawa patung ini ke ayahmu” Paman Huang memberikan sebuah patung wanita dengan pedang di tangannya.

“Paman Huang, apakah ini bibi Huang Niang?” tanya Huang Long yang merasa mengenal orang dalam patung. Sebelum memberi kesempatan menjawab Huang Long kembali bertanya “Paman Huang, apakah bibi Huang Niang pandai ilmu bela diri?”

Paman Huang tertawa kecil mengingat kembali kisah adiknya “Sewaktu muda bibimu adalah seorang gadis belia yang memiliki mimpi mengejar ilmu bela diri padahal dia tinggal di desa yang sangat terpencil ini. Walau tidak mengenal ilmu bela diri, dia sering berlatih sendiri mengayunkan pedang kayu buatannya sendiri”.

“Ayahmu dan aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjadi ahli bela diri sehingga kami hanya sering melihatnya latihan sendiri. Untuk mewujudkan keinginannya, saya dan ayahmu membawa Huang Niang pergi ke kota terdekat untuk dapat mencari seorang guru”.

“Keadaan waktu itu sungguhlah susah, kita warga desa tidak menggunakan uang. Begitu persediaan makanan habis, kami bertiga terpaksa menahan lapar seharian hingga tiba waktu ada perguruan yang membuka ujian masuk. Beruntung saat itu Huang Niang melewati ujiannya dan menjadi murid perguruan”.

Setelah mendengar cerita dari Paman Huang, Huang Long berpamitan dengannya dan kembali ke rumahnya.

Huang Long yang baru memasuki rumahnya dan memberikan patung dari Paman Huang kepada ayahnya “Ayah, apakah bibi Huang Niang akan segera datang berkunjung?”

Huang Hai mengamati patung Huang Niang dan senyuman menghiasi wajahnya “Dia tidak akan datang tetapi kita yang akan ke sana. Saya sudah menyampaikan bahwa kita akan menjenguknya bulan depan”.

Dua hari kemudian di saat matahari belum terbit, Huang Hai dan Huang Long keluar dari rumah berjalan ke arah hutan. Dengan semangat bergelora, cuaca pagi yang dingin tidak dirasakan oleh Huang Long. Hanya dengan sedikit perjalanan Huang Hai dan Huang Long memasuki Hutan, Huang Hai berjalan dengan pelan dan sangat dekat dengan Huang Long.

Selama perjalanan Huang Hai banyak mengajari Huang Long tentang hutan dari melihat jejak binatang, tanaman-tanaman yang bisa di makan, mengajarinya cara mengambil air dari dahan pohon hingga mengajarinya cara bersembunyi dari hewan hewan buas.

Tidak butuh waktu yang lama mereka melihat seekor kelinci yang dengan santainya memakan rumput tanpa menyadari bahaya yang mengintai.

Dari balik pohon Huang Hai memberikan nasehat kepada Huang Long “Tarik nafas pelan, jangan sampai nafasmu mempengaruhi bidikanmu dalam melepaskan anak panah. Kamu harus ingat bila memanah dari jauh harus memperhitungkan posisi jatuh anak panah sehingga harus mengarahkan ke atas sedikit”.

Beberapa saat kemudian, Huang Long menembakkan anak panah. Mata Huang Long tidak lepas dari anak panah yang dilepaskannya tetapi sayang hasil dari panahnya tidak mengenai sasaran.

“Tidak ada orang yang sekali panah langsung mahir, Memanah hewan yang hidup dan dapat berlari tidak hanya membutuhkan latihan tetapi membutuhkan pengalaman juga” Huang Hai menghibur Huang Long yang nampak jelas dari rona wajahnya merasa tertekan hasil panahnya yang mengecewakan.

Setelah kegagalan perburuan yang pertama, mereka melanjutkan perjalanan dan mencari mangsa baru. Setelah menghabiskan waktu hingga setengah hari Huang Hai menemukan rusa yang menjadi buruannya. Hanya butuh sekali panah dari Huang Hai untuk mengenai sasarannya.

Setelah menunggu beberapa saat, Huang Hai berjalan perlahan-lahan untuk mengambil buruannya “Huang Long kamu harus ingat menjadi seorang pemburu itu harus menjaga kewaspadaan, di hutan ini seorang pemburu bisa saja sedang diburu oleh yang lain jadi kamu harus hati hati”.

“Ha..ha..ha.. Kitab Sembilan Matahari”

Huang Hai dan Huang Long yang sedang berjalan dalam diam mendengar suara gema tawa dari kejauhan. Huang Hai memberi tanda diam kepada Huang Long dan setelah mengambil buruannya dia memberikan isyarat untuk meninggalkan hutan.

Kehancuran Desa

Di kedalaman Hutan Hitam terdapat sebuah rumah kayu kecil sederhana yang berada di pinggiran sungai kecil. Suasana asri hutan yang dihiasi suara aliran air memberikan suasana yang sangat tenang.

Setelah perjalanan di dalam hutan yang gelap selama tiga hari, tempat ini adalah salah satu daerah yang dapat menikmati cahaya matahari dan birunya langit dari celah dedaunan pohon besar yang dipisahkan oleh sungai.

Di atas sebuah bongkahan batu besar di pinggiran sungai, Wei Cheng sedang duduk membaca dengan seksama sebuah buku yang telah terlihat usang. Tidak lama kemudian Wei Cheng terganggu akan kehadiran muridnya.

Han Feng memberi hormat kepada Wei Cheng dan bertanya “Guru, kami telah mendapatkan istirahat yang cukup dan siap untuk melanjutkan perjalanan kembali ke desa. Apakah kita akan membawa jasad Kakek Guru bersama kita?”

“Kakek Guru ha..ha..” Wei Cheng tertawa kecil mendengar pertanyaan Han Feng “Ilmu Sembilan Matahari telah membuat Wang Chong Yang tidak terkalahkan di masanya. Tetapi ilmu yang tinggi tetap tidak dapat melawan waktu”.

Dengan perlahan Wei Cheng melihat ke sekelilingnya dan menghela nafas “Di sini adalah tempat yang tepat sebagai tempat peristirahatan terakhir. Kita seharusnya tidak mengganggunya, biarkan saja dia meninggal dengan tenang di sini”.

‘Hmm.. Bukannya tujuan perjalanan untuk memakamkan kakek guru bersama keluarga’ pikir Han Feng.

Wei Cheng menyimpan buku tua tersebut kedalam balik bajunya. ‘Ilmu Sembilan Matahari terlalu dalam dan butuh waktu lama untuk dapat mencapai tingkat kesembilan’ pikir Wei Cheng dan meminta murid muridnya untuk melakukan perjalanan kembali ke desa.

Perjalanan kembali ke desa yang seharusnya sangat mudah karena menyusuri jalan mengikuti tanda yang telah diberikan sebelumnya terpaksa dihentikan setelah perjalanan setengah hari.

“Guru, saya merasa lemas dan tidak bertenaga” ucap salah seorang murid yang tidak dapat bangkit dan melanjutkan perjalanan.

Wei Cheng bergegas berlari ke arah muridnya dan hendak memeriksa denyut nadi murid tersebut.

“Guru, saya juga merasa badanku panas terbakar dan tidak dapat mengumpulkan tenagaku”

Sebelum Wei Cheng dapat menemukan sumber masalah yang dialami muridnya, dua orang murid yang lain juga melaporkan hal yang dialami mereka.

“Hmm.. apakah kalian keracunan?” Wei Cheng mengerutkan dahinya melihat dua orang murid lainnya yang mengalami keadaan yang sama. “Apa yang telah kalian bertiga lakukan bersama sehingga membuat kalian keracunan?”

Dengan penuh susah payah dan terengah murid yang pertama merasakan gejala menjelaskan “Maaf Guru kami merasa tidak cukup dengan makanan kering dan keterbatasan jumlah makanan selama perjalanan panjang ini. Kami menemukan beberapa kodok di pinggiran sungai sebelumnya sehingga kami membakar dan memakannya. Sungguh tidak disangka bila kami akan mengalami keracunan”.

Emosi Wei Cheng sedikit meningkat mendengar kelakukan bodoh para muridnya “Sebelumnya telah kupesankan jangan sembarangan menyentuh ataupun memakan apapun yang ada di Hutan Hitam ini”

Han Feng yang mengkhawatirkan teman seperguruannya bertanya “Guru, bagaimanakah keadaan adik seperguruan?”

Melihat Han Feng yang tidak mengalami hal yang sama, Wei Cheng memperhatikan murid lainnya dan mengambil kesimpulan hanya tiga orang yang telah keracunan. “Racun telah merasuk hingga ke dalam organ tubuh mereka. Saya tidak mengetahui jenis racun yang mereka derita dan tidak memiliki penawar racun. Tidak ada yang dapat kulakukan untuk mereka”.

Melihat keadaan adik seperguruan yang kesakitan dan lemas, Han Feng menyadari bahwa racun yang mereka derita sangat ganas. “Tapi bagaimana dengan adik seperguruan? Bisakah kita membawa dan mengobati mereka setibanya di desa?”

Wei Cheng menggelengkan kepalanya “Kita tidak dapat membawa mereka. Sebaiknya tidak ada yang menyentuh mereka karena saya tidak dapat menjamin apakah racunnya dapat menular atau tidak”.

Sungguh terkejut murid yang terkena racun mendengar kata kata dari Guru yang selalu mereka hormati. Murid yang keracunan memohon “Guru, mohon jangan tinggalkan kami di sini!”

“Guru, mohon tolong kami dan pikirkan cara yang dapat membantu kami” tambah murid keracunan lainnya.

Melihat ketiga muridnya untuk terakhir kalinya, Wei Cheng berjalan terlebih dahulu dan meminta murid muridnya yang lain untuk mengikutinya. “Ayo, kita harus melanjutkan perjalanan tanpa mereka. Sebaiknya kita meninggalkan Hutan Hitam lebih cepat, saya tidak ingin kalian mendapatkan bahaya yang lain dari Hutan ini”.

Melihat adik-adik seperguruannya yang kesakitan karena keracunan, sungguh berat hati Han Feng untuk meninggalkan mereka begitu saja. Walau terasa berat, Han Feng terpaksa mengikuti gurunya dan memberikan kata perpisahan “Maafkan aku”.

Keesokan harinya di waktu tengah malam, Wei Cheng dan keempat muridnya keluar dari Hutan Hitam. Wei Cheng berdiri menatap kesunyian dan ketenangan desa disertai hembusan angin malam yang menyejukkan.

Begitu keluar dari Hutan Hitam, wajah sumringah Han Feng terlihat jelas. Han Feng memberi hormat kepada gurunya “Guru, kami akan menyiapkan tempat peristirahatan”.

“Saya memiliki sesuatu untuk kalian laksanakan” Wei Cheng melihat keempat muridnya “aku ingin kalian membakar desa ini”.

“Hmm..tugas apa yang dimaksud oleh guru?” Han Feng bertanya seakan tidak mendengar dengan jelas perkataan dari Gurunya.

“Di desa terdapat tumpukan rumput kering, aku ingin kalian mengambilnya dan letakkan di sekeliling rumah-rumah desa. Disaat bersamaan bakarlah desa ini” Wei Cheng menegaskan kembali keinginannya dengan jelas.

“Tapi guru.. warga desa semua sedang tertidur di saat ini. Hmm.. mereka hanyalah warga biasa yang tidak pernah menginjakkan kaki ke dunia persilatan. Apakah kita harus membunuh mereka semua guru?” Han Feng dengan sangat terkejut menyatakan keberatannya seolah tidak dapat mengenal gurunya saat ini.

“Aku tahu bahwa ini memang bukan hal yang seharusnya seorang ahli bela diri lakukan. Kitab yang kita temukan ini bukan hanya penting bagi perguruan tetapi sangatlah berbahaya. Dengan kitab ini kita dapat membawa Perguruan Gerbang Naga menjadi Perguruan terbesar di dunia persilatan. Tetapi kitab ini juga dapat menghancurkan perguruan kita bila ada yang mengetahui keberadaan kitab ini.” Wei Cheng menghela nafasnya seakan beban berat yang dipikulnya sungguh tidak tertahankan.

“Semua teman seperguruan kalian, seratus tiga puluh dua murid perguruan dan keluargaku beserta putriku Wei Yue tidak akan ada satupun yang akan selamat”.

Mendengar kata ‘Wei Yue yang akan dibunuh’, sungguh membuat hati Han Feng tergerak. Han Feng yang mengerti akan kekejaman dunia persilatan tentu mengerti maksud dari gurunya. “Kami mohon maaf Guru bila sebelumnya sempat goyah. Membunuh ratusan warga tidak bersalah bagaimanapun adalah tugas yang sangat berat”

Wei Cheng memegang pundak Han Feng seraya memberinya dorongan “Saya mengerti”.

Han Feng dan keempat teman seperguruannya melaksanakan tugas sesuai dengan arahan guru mereka. Setelah selesai melaksanakan tugasnya, Han Feng menghampiri gurunya “Guru, kami telah meletakkan rumput kering mengelilingi desa dan keempat adik seperguruan sudah siap di lokasinya”.

Wei Cheng yang sedari awal melihat persiapan yang dilakukan murid muridnya memberikan perintah “Laksanakan, bila ada yang melarikan diri maka bunuh semuanya”.

Tak lama kemudian, dikesunyian malam yang hanya diterangi sinar bulan dan hembusan angin malam yang sejuk terdengar suara jeritan-jeritan “Kebakaran Kebakaran”.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!