NovelToon NovelToon

Naik Ranjang Dengan Mantan

Bab 1. Menikah dengan Mantan

Semesta seakan mempunyai cara tersendiri untuk menarik kembali diriku yang hampir keluar dari garis takdir-Nya. Dia yang pernah menjadi mantan kekasihku, harus kembali bersama dalam ikatan sakral pernikahan penuh keterpaksaan.

Argh! Entah aku harus bagaimana? Rasanya, aku ingin berteriak saja melihat ekspresinya yang masam di sepanjang acara pernikahan kami, bahkan tak ada sepatah katapun yang meluncur dari bibirnya kecuali hanya kalimat ijab di depan penghulu.

"Apakah kau senang dengan pernikahan ini?" tanyanya setelah kami diantar ke kamar pengantin. Kalimatnya lebih ke arah satire dibandingkan kalimat tanya. Senyum yang terukir bukan lagi senyum manis, tapi pahit yang kurasakan.

Aku diam, tidak tahu harus menjawab apa. Jika dikatakan senang, tidak dapat aku pungkiri rasa itu memang ada karena sejujurnya aku masih sangat mencintainya. Namun, rasa senang ini tidak melebihi rasa sedih yang kurasakan.

Senang karena bisa memenuhi amanat terakhir kakak perempuanku untuk menjaga kedua putri kembarnya pasca ia tidak bisa lagi menatap indahnya dunia. Sedih karena telah kehilangan kakak tercinta yang meninggalkan kedua putri kembar untuk selamanya. Apalagi jika melihat tatapan Mas Danu yang penuh kebencian terhadapku, hati ini bagaikan tersayat sembilu.

"Jangan kau pikir kau bisa menggantikan posisi kakakmu di hatiku! Kau salah jika berpikiran seperti itu." Dia tersenyum lagi, senyum yang seakan menghujam jantungku.

Aku tahu pernah salah padanya, tapi pantaskah dia dendam seperti itu? Bukankah seharusnya dia bersyukur karena aku memberikan waktu baginya untuk mengecap bahagia dengan kakakku meskipun pada akhirnya dia meninggalkan Mas Danu juga? Ah Mas Danu, tidakkah kau tahu bahwa setiap malam aku menangis melihat kalian tertawa bersama?

Hingga pada suatu ketika, aku tidak tahan dan meninggalkan rumah dengan alasan ingin tinggal di kontrakan yang dekat dengan kantorku bekerja. Padahal aku sakit melihat kemesraan keduanya.

"Aku tidur di sofa, kau tidurlah di sini." Mas Danu meraih selimut dan membawanya ke arah sofa. Aku menghela napas berat, kecewa bukan karena dia tidak mau menyentuhku di malam pertama kami, tapi dia bahkan tidak mau berbagi ranjang denganku. Apakah tubuhku begitu menjijikkan baginya? Ah, sudahlah, terserah dia.

"Mas Danu tidak perlu tidur di sana. Mas tidur di ranjang saja, biar aku yang keluar." Aku ingin dia tidak merasa bahwa aku sedih dengan semua ini. Aku paham dia memang sengaja melakukan hal ini untuk menyakitiku, dan aku harus berpura-pura baik-baik saja.

Aku turun ke lantai bawah. Di sana, sanak saudara masih berkumpul, termasuk teman-temanku semasa sekolah.

"Wah pengantin baru masih belum tidur nih, jangan lupa minum jamu di malam pertama." Rafael, tetangga sekaligus teman kecilku terkekeh di akhir kalimatnya. Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mendekat ke arah para temanku yang bermain domino.

Rafael nampak mengerutkan kening dan menatapku heran. "Kenapa kamu duduk bersama kami para kaum lelaki?"

"Biarkan saja, aku ingin melihat kalian bermain. Sudah lama kita tidak bertemu, bukan?" Sebenarnya aku hanya ingin melupakan kesedihan dengan cara melihat tingkah mereka yang konyol.

"Iya juga, besok pasti kamu akan diboyong ke kota oleh Mas Danu," ujar Rafael lagi.

"Mungkin," kataku. Aku juga tidak tahu sebenarnya dia akan membawaku ke kota atau tidak. Tidak ada perjanjian sebelumnya. Jadi, ya lihat saja nanti.

"Eh, tapi apa kamu nggak dicari suamimu?" tanya Supri seraya menatapku dengan ekspresi tidak nyaman. Mungkin dia takut Mas Danu marah jika lebih memilih menemani para teman masa kecilku dibandingkan suamiku sendiri.

"Dia sudah tidur, mana mungkin mencariku?" Aku menatap Fahmi yang duduk berjongkok seperti orang ingin buang air besar. Wajahnya pun putih cemong karena diolesi bedak tabur bayi.

"Fahmi, kamu seperti topeng monyet, hahaha!" Aku tertawa renyah. Tawa ini sedikit melupakan beban kesedihan di hatiku.

"Biasa, dia sedang latihan, ingin konser di pasar, makanya kalah terus." Rafael menimpali dan Fahmi terlihat bersungut-sungut. "Aku nggak kalah tapi kalian curang," sanggah Fahmi tak terima.

Aku menatap semua teman-temanku dengan ekspresi tidak suka. "Kalian sudah sama-sama dewasa, jangan suka merundung sahabat sendiri. Sudah tahu kan mana yang baik dan tidak?" Sejak kecil Fahmi selalu dikerjai oleh teman-teman dan sekarang masih sama? Dia juga manusia yang ingin dihargai sama halnya dengan orang lain.

"Alah kamu jangan percaya dia, dia itu lebay," ucap Supri.

"Iya be-"

Kata-kata Rafael terhenti dan semua temanku menatap ke arah tangga dengan bibir terkatup rapat. Aku mengikuti arah pandangan mereka dan melihat Mas Danu menuruni tangga. Dia menatapku sekilas lalu tatapannya datar dan seolah tidak peduli padaku. Ya sudah, siapa juga yang peduli? Aku tersenyum kecut.

"Sebaiknya kamu kembali ke kamar, aku tidak mau Mas Danu salah paham pada kami," ujar Rafael.

"Iya, aku tidak mau dia seperti dulu memutuskan hubungan denganmu dan memilih kakakmu." Fahmi melirihkan ucapannya. Saat aku menatap, wajahnya nampak pucat.

"Maaf, bukan maksudku mengingatkanmu pada masa lalu." Raut bersalah nampak kentara di matanya.

"Never mind," ucapku seolah hatiku biasa saja.

Aku beranjak ke arah para wanita yang sedang membawakan makanan dan camilan pada orang-orang yang masih berkumpul di rumahku setelah acara pernikahan dan resepsinya selesai.

"Aku bantu Mbak," ucapku pada Mbak Naya seraya mengambil nampan. Sayangnya, dia dan yang lain tidak mengizinkanku.

"Pengantin baru nggak boleh ikut begadang, boleh begadang dengan suamimu di kamar. Sana kembali!"

"Tuh suamimu udah kembali ke atas."

Mereka mengusirku, aku cemberut dan akhirnya terpaksa kembali ke kamar. Saat ingin masuk ke kamar, ibuku menarik tangan dan membawaku ke kamar pengantin kami.

"Apa kamu lupa sudah menikah? Kamar pengantinmu di sini." Aku mendengus kesal dalam hati. Dengan langkah berat aku membuka pintu sedangkan ibuku sudah menuruni tangga dan sesekali masih melirik ke arahku.

"Kenapa kembali? Katanya mau tidur di luar, di kamar lain? Apa kamu mengharapkan malam pertama kita?" Saat sampai di pintu, nada suara dingin itu menyentuh pendengaranku.

Untuk sesaat aku terpaku, langkah kaki terasa semakin berat.

"Jangan harap!" tegasnya. Aku hanya tersenyum kecut.

"Aku menikahimu hanya karena ingin pengasuh anakku." Dia tersenyum menyeringai.

"Ayah dan ibu tidak mengizinkan aku membawa anak-anak pergi dari rumah ini. Jadi satu-satunya cara adalah menikahimu."

Jantungku seakan ingin meledak mendengarnya. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin.

"Tenang saja, tujuan kita sama," ucapku. Aku tidak ingin dia melihatku seperti seorang pengemis cinta. Aku punya harga diri sebagai perempuan. Aku tidak ingin menjadi wanita hina hanya karena sebuah cinta.

Buktinya sudah lebih dari setahun dia meninggalkanku dan memilih kakakku, aku masih hidup dan baik-baik saja sampai saat ini. Memang dia pikir aku tidak bisa hidup tanpa dia?

"Kenapa masih berdiri di situ? Kau ingin mempraktekkan

kepiawaianmu dalam menggoda pria?" Suaranya bagar petir yang menyambar di siang terik. Sungguh tidak kusangka, dia tega menilaiku seperti itu.

"Maaf aku tidak tertarik merayu lelaki sepertimu," balasku,

kemudian terkekeh. Dia pikir dia siapa? Mau mempermalukanku? Jangan harap!

Bab 2. Arti Pernikahan

Aku melihat tangannya terkepal di bawah sofa sementara ekspresinya terlihat masam. Aku tidak peduli dan segera keluar dari kamar pengantin kami.

Aku kembali ke kamarku sendiri dan membaringkan tubuh di atas ranjang. Kupejamkan mata meskipun rasa kantuk belum menyerang. Entah kenapa aku tidak bisa tidur setelah seharian ini lelah berdiri di atas pelaminan. Apa karena sikap menyebalkan Mas Danu yang membuatku seperti ini?

Pikiranku kacau, mengingat kelopak mawar merah di atas ranjang pengantin kami membuat air mataku luruh tak tertahankan. Aku merenungi nasib, kebahagiaan di hari pernikahanku ternyata seperti bayang-bayang yang tidak akan pernah tergapai, semakin aku mendekat, ia akan bergerak menjauh. Aku jadi membandingkan, apakah begini juga saat kakakku menikahi Mas Danu? Aku mengusap air mata dengan punggung tangan lalu menutup wajah dengan kedua telapaknya agar isak tangisku tak keluar.

Aku memilih duduk dengan kaki berselonjor di atas ranjang. Rasa pegal di paha dan betis membuatku menekan-nekan dan memijit perlahan. Tak hilang juga akhirnya aku mengambil balsem dan mengoleskannya. Rasa sedih dan panas hati menguar, menguap di udara bersama rasa sakit yang sedari tadi bersemayam dalam dada.

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhku di atas kasur lembut yang mengantarkan ke alam mimpi.

"Lintang! Maafkan aku." Entah aku bermimpi ataukah berhalusinasi. Alam setengah sadarku menangkap sosok berbaju putih panjang dengan mata berkaca-kaca menatapku tiada henti. Kak Libra, ya dia seperti Kak Libra, ia tengah berdiri mengamati diriku yang berbaring di ranjang.

"Maafkan Kakak, ini semua salahku. Ada sesuatu yang aku sembunyikan padamu dan belum sempat aku ceritakan."

Udara terasa panas dan aku seakan tidak dapat bernapas. Namun demikian, tubuh ini reflek duduk, turun dari ranjang dan berjalan mendekat.

"Apa maksudmu Kak?" Aku meraih punggung yang bergetar dengan tangis yang pecah itu dengan lembut. Sayangnya aku merasa hanya menyentuh udara. Ya, sosok itu bukan hanya tak dapat tersentuh, tapi juga lenyap seketika.

Aku mengucek kedua mata dengan kasar dan kesal. Apa yang dimaksud Kak Libra belum tersampaikan padaku, kenapa dia harus pergi secepat itu? Kenapa dia harus datang kalau hanya ingin mempermainkan perasaanku? Aku merasa dia ataupun Mas Danu, sama saja. Sama-sama menyebalkan.

Aku tersenyum kecut mengingat sikap pria yang katanya sudah sah menjadi suamiku itu. Aku melihat cincin kawin di jari manisku. Melepasnya dan membuang ke lantai dengan emosi. Aku merasa ini adalah ikatan yang mengantarku pada garis takdir kepedihan.

Setelah kejadian ini mataku tidak dapat terpejam lagi. Aku memilih mengambil ponsel dan mengecek media sosialku. Banyak ucapan selamat dari teman-teman dan ucapan maaf dari mereka yang tidak bisa hadir. Aku hanya tersenyum membaca beberapa pesan dari mereka yang lucu-lucu. Mereka berpikir aku sedang menikmati malam pertama dengan Mas Danu. Ah andai mereka tahu ... tapi mereka tidak salah, ini memang malam pertama bagiku, malam pertama masuk ke dalam ranah penderitaan.

Saat aku merenung, tangisan bayi kembar di kamar sebelah membuatku tersentak kaget. Aku segera bangkit, berdiri dan berlari menuju kamar mereka. Langkahku terhenti di depan pintu tatkala aku melihat Mas Danu tengah mengangkat bayi Lula.

Aku mematung, bingung antara ikut masuk ke dalam kamar mereka ataukah pergi begitu saja. Bagaimanapun aku malas berpapasan dengan Mas Danu. Wajahnya yang datar membuatku tidak bersemangat menjalani hidupku.

Dia yang sedang menggendong putrinya dengan tangan kanan dan membuat susu dengan tangan kiri terlihat kesulitan, menoleh, melirikku sekilas lalu melanjutkan aktivitasnya mengocok botol susu.

Aku berbalik, toh anak-anak sudah ada ayahnya yang merawat dan setelah dipegang oleh Mas Danu tangis Lula langsung terdiam. Setelah aku berjalan beberapa langkah tiba-tiba terdengar tangisan bayi lagi. Jadi aku mengurungkan diri untuk pergi dan berbalik.

Tanpa mempedulikan tatapan Mas Danu aku berlari masuk ke dalam kamar si kembar dan meraih Lilac yang masih berada di atas keranjang bayi.

"Ternyata kamu pipis," ucapku pada bayi dalam genggaman sambil berusaha menggantikan popoknya yang sudah basah. Aku melakukannya tanpa kaku sedikitpun meskipun sejujurnya aku tidak pernah merawat seorang bayi.

Mas Danu berdiri di belakangku, dari balik punggung, aku melihat dia tertegun melihatku. Entah apa yang dia pikirkan, aku juga tidak tahu dan aku tidak peduli. Anggap saja dia ada tapi seperti tidak ada. Itu bisa membuat hatiku sedikit lebih bisa berdamai dengan keadaan.

Setelah popoknya diganti, mata bayi Lilac terpejam lagi. Jadi, aku berinisiatif meletakkan bayi tersebut di keranjangnya. Aku berbalik dan hendak keluar, Mas Danu menatapku tajam. Namun, kali ini sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Aku mencerna ekspresinya, sepertinya ia sangat marah padaku, tapi aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun, sehingga aku tetap berusaha tenang.

"Bayi Lilac sudah tidur dan Lula sudah kamu gendong, berarti tugasku di kamar ini selesai," ucapku seraya melenggang pergi.

Namun, Mas Danu menarik tanganku dengan kasar hingga membuatku hampir terjungkal ke belakang.

"Mas!" pekikku tak terima. Enak saja dia memperlakukanku seperti ini, belum sehari saja menjadi suami sudah mau KDRT, bagaimana kalau setahun? Aku tidak boleh diam saja, kalau tidak, pria ini akan semakin kasar dan ngelunjak. Aku ngeri membayangkan seumur hidup, hidup dengan lelaki red flag seperti itu.

"Ternyata kamu tidak paham apa itu arti pernikahan," ucapnya. Kata-katanya tidak kalah tajam dengan tatapannya. Aku terkesiap. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan padaku? Air mataku hampir keluar, tetapi aku menekannya agar jangan sampai jatuh di depannya.

"Ya anggap saja aku seperti itu. Seharusnya kamu tidak menikahi wanita sepertiku. Lelaki sepertimu bisa mendapatkan wanita sepuluh kali lebih baik daripada aku." Aku membalikkan ucapannya satu tahun yang lalu. Ucapan yang nyaris membuatku tidak dapat berdiri tegak di pesta pernikahan mereka. Pesta yang seharusnya menjadi milikku dengannya. Dia menikahi kakakku secara tiba-tiba padahal sebelumnya dia sangat menolak permintaan keluargaku itu. Dia mengakhiri hubungan kami tanpa penjelasan dan pada ujungnya tetap aku yang salah? Takdir macam apa ini?

Apa dia tidak tahu bagaimana rasa sakit hatiku tatkala mendengar bisik-bisik tetangga dan semua tamu yang sudah tahu akan hubungan kami? Apakah dia tahu? Aku, tubuhku drop setelah melihatnya mengucapkan kalimat ijab terhadap kakakku? Kalau aku ingat itu, rasanya aku ingin mengumpat dan menendang Mas Danu kuat-kuat.

Setelah itu aku memutuskan untuk membencinya seumur hidup. Sayangnya, rasa cintaku tidak pernah pudar sedikitpun padanya. Aku sudah mencoba mengalihkan pada yang lain, tetap tidak bisa. Aku pikir, ini hanyalah masalah waktu dan pada akhirnya aku dipaksa kembali pada masa lalu oleh keadaan.

"Kalau bukan karena terpaksa, mana mungkin aku mau menikahimu," ucapnya seraya keluar dari kamar membawa bayinya.

Aku menekan dada, jantungku serasa diremas-remas oleh makhluk tak kasat mata.

"Apa dia sendiri paham arti pernikahan yang sebenarnya?" lirihku pada angin yang berhembus melalui sela-sela jendela.

Bab 3. Bukan Perbandingan

Aku kembali ke kamar dengan perasaan tak menentu. Dada ini terus digeluti rasa sesak yang enggan berkesudahan. Ini baru awal tapi aku sudah lelah menghadapi sikapnya. Selemah itukah aku?

Aku kembali membaringkan tubuh, menatap langit-langit kamarku lalu memindai ke segala ruangan. Tak disangka mataku menatap cincin kawin yang tergeletak di atas lantai. Aku langsung mengingat ucapan tidak menghargai pernikahan yang keluar dari mulut Mas Danu. Saat itu matanya melirik pada jari manisku dengan pandangan sinis. Apa ini yang dia maksud? Kenapa aku malah tidak menyadarinya?

Aku bangkit lalu berjalan pelan dan berjongkok meraih benda bulat itu di lantai. Namun, aku hanya memutar-mutar dan mengamati serta tidak berniat memakainya. Aku berdiri dan menarik laci serta meletakkannya di sana. Nanti kalau sudah ingin keluar dari kamar baru, aku memakainya kembali.

Setelah itu aku berbaring dan tidak aku sadari diri ini dapat tertidur pulas. Masih terasa sebentar sekali ketika pintu kamarku diketuk dari luar. Aku mengucek mata dan beberapa kali menguap. Kantuk masih melanda dan rasanya aku tidak ingin membuka mata. Saat aku menoleh ke arah jendela sinar di luar sudah tampak terang.

Perlahan ketukan pintu berubah menjadi gedoran. "Lintang bangun!" teriak ibu dari luar.

Aku membuang napas. "Ckk, ibu selalu saja menganggu tidurku," cicitku lalu melempar selimut dengan kesal. Setelah itu dengan malas aku turun dari ranjang dan melangkahkan kaki ke arah pintu.

Tepat saat aku membuka pintu, ibu menatapku dengan melotot. "Kenapa kamu tidur di sini? Apa kamu melarikan diri dari suamimu?"

Aku tercengang, baru sadar jika pagi ini adalah pagi pertamaku menjadi seorang istri. Aku menggaruk kepala memikirkan alasan yang tepat.

"Kenapa diam? Kalian tidak bertengkar, kan?" Ibu memicingkan mata, menatapku curiga.

Aku menggeleng. "Tentu saja tidak, mana ada orang melarikan diri masih berada di dalam rumah yang sama? Ibu, aku tidak sekonyol itu. Bukannya Ibu sendiri tahu, menikah dengan Mas Danu adalah keinginanku sejak sebelum Kak Libra menikah dengannya?"

Aku melihat wajah ibu mendadak pias dan pucat. Dia hanya mematung dan tidak berkata apapun. Suasana menjadi canggung hingga aku harus mengalihkan rasa tidak nyaman ibuku itu.

"Lilac dini hari terbangun dan rewel. Aku yang menggendongnya hingga terlelap kembali. Setelah itu mungkin karena sangat mengantuk, aku salah masuk kamar. Mas Danu mungkin tidak menyadari kalau aku tidak ada di sampingnya," ucapku beralasan. Di dalam hati aku meminta maaf kepada bayi itu karena telah menggunakannya sebagai alasan.

"Maaf, seharusnya ibu menemani tidur mereka agar tidak menganggu malam pengantin kalian. Turunlah! Sebentar lagi Danu turun dan sebagai seorang istri kamu harus terbiasa menyiapkan sarapan untuknya." Setelah berkata demikian ibu berbalik dan pergi.

"Tunggu aku bersihkan muka dulu." Aku langsung berlari ke kamar mandi dan membasuh wajah. Setelah itu aku turun dan membantu ibu melanjutkan memasak di dapur.

"Kamu tidak bertanya suamimu mau makan apa?" tanya ibu sambil menatapku lembut. Aku menggeleng dan dengan begitu percaya diri berkata, "Ibu tenang saja, aku tahu selera Mas Danu."

Ibu tersenyum tipis seraya mengangguk-angguk.

"Yang lain mana? Semalam ramai tapi sekarang langsung sepi begitu saja?" tanyaku pada ibu.

"Subuh tadi semua orang pulang," jawab ibu dan aku hanya mengangguk. Kemana ayah? Dari semalam ia tidak tampak. Aku mengedarkan pandangan dan tetap tidak melihat keberadaan pria itu.

Selesai makanan dibuat, aku menghidangkan semua menu di atas meja makan, baru setelah itu naik kembali ke atas untuk mandi. Beberapa langkah aku menapaki tangga, aku berpapasan dengan Mas Danu yang enggan menatapku.

Ya sudahlah, aku lanjut naik ke atas. Perutku sudah sangat lapar dan aku belum mandi.

Setelah aku turun dari lantai atas, ayah, ibu, dan Mas Danu sudah duduk mengelilingi meja makan. Mereka tampak menatap kedatanganku dengan tidak sabaran. Barangkali mereka sudah menunggu terlalu lama, siapa suruh mereka tidak makan duluan?

Aku menarik kursi dan duduk. Setelah itu aku mengambil centong nasi dan menaruh di atas piringku.

"Lintang, ambilkan dulu untuk suamimu!" tegur ayah.

"Ya, layani dulu suamimu Nak, baru mengambil untuk dirimu sendiri," sambung ibu.

Aku menghentikan gerakan tanganku. Sesaat kemudian mengambil nasi kembali untuk ditaruh di piring Mas Danu. Dalam hati aku menggerutu sendiri, ribet amat punya suami.

"Maklum Yah, Bu, dia tidak seperti Libra," ujar Mas Danu membuat emosiku langsung terpancing.

Aku melotot ke arah Mas Danu. Bisa-bisanya dia membandingkan diriku dengan Kak Libra. Di dunia ini tidak ada orang yang sama persis meskipun kembar sekalipun. Jika ingin tetap bersama Kak Libra, "Mati sana!" rutukku di dalam hati.

"Dia belum terbiasa," lanjutnya seraya tersenyum manis pada ayah dan ibu. Sungguh menyebalkan. Ingin rasanya aku mencakar wajahnya yang sok merasa tidak bersalah.

"Oh ya Nak Danu, Lintang sudah membuatkan makanan favoritmu. Kasih sana Nak!" perintah ibu.

Aku menghela napas, lalu dengan terpaksa menarik mangkuk berisi mie seafood di dalamnya. Saat mengambil dan hendak menaruh di atas piringnya, Mas Danu berkata, "Aku tidak makan seafood lagi."

Menyebalkan sekali, bukan?

Mataku terbelalak dan bahkan aku melihat kedua orang tuaku juga terkejut. Sepertinya mereka juga tidak tahu. Apa Mas Danu berkata begini hanya ingin membuatku kecewa? Ah sudahlah, tidak penting. Aku menarik mangkuk tersebut dan aku makan sendiri sampai puas.

"Sejak kapan?" Aku mendengar ayah bertanya pada Mas Danu.

"Sejak Libra meninggal, sebelumnya dia berkata padaku ingin kami berdua jadi vegetarian saja dan aku menyetujuinya."

Ayah dan ibu mengangguk-angguk paham sedangkan aku makan dengan menekan rasa marah. Libra lagi! Libra lagi! Tidak adakah yang lebih penting dari dia? Sedari dulu keluarga ini selalu mengutamakan Kak Libra dibandingkan diri ini, dan sekarang, meskipun menjadi suami sekalipun, Mas Danu juga sama, masih saja menunjukkan betapa dia sangat perhatian dengan wanitanya tersebut.

Apa dia pikir aku ini angin yang tidak memiliki perasaan? Baiklah Mas Danu, jangan salahkan aku jika aku membalasmu! Apa kamu pikir tidak ada pria yang peduli padaku? Bahkan jika aku mau, aku bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik denganmu. Sayangnya aku terjebak dengan pernikahan sialan ini. Andai saja ibu tidak memaksa dan aku tidak kasihan pada kedua keponakanku, aku tidak akan pernah setuju kembali padanya. Biarlah perasaanku, kucoba kubur dalam-dalam saja.

"Kau tidak makan nasi?" tanyanya pura-pura peduli saat ayah dan ibu memperhatikan gerak-geriknya.

Aku meletakkan sendok lalu bangkit berdiri. "Aku sudah kenyang!" ucapku seraya melenggang pergi meninggalkan meja makan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!