NovelToon NovelToon

CEO : Arav Dan Kayla

Pesona yang Tak Terduga

Pagi itu, kantor Callahan Corp. Dipenuhi dengan rutinitas yang biasa. Suara langkah kaki karyawan yang terburu-buru, dentingan telepon, dan percakapan tentang pekerjaan. Namun, ada satu pemandangan yang berbeda di lantai atas, tepat di depan ruang kerja CEO. Seorang wanita muda, Kayla Pradipta, berdiri dengan napas terengah, memeluk tumpukan berkas yang hampir jatuh dari tangannya.

“Aduh, telat lagi…” gumamnya sambil mempercepat langkah menuju ruang rapat. Kayla bukan siapa-siapa di perusahaan itu, hanya seorang karyawan biasa di bagian administrasi. Tapi pagi itu, ia mendapat tugas mendadak untuk mengantar dokumen penting langsung ke tangan Arav Hayes Callahan.

Begitu tiba di depan ruang rapat, tangan Kayla ragu-ragu di depan pintu kaca. Dia bisa melihat sekilas sosok Arav di dalam, sedang berbicara dengan beberapa direktur. Mata tajam dan sikapnya yang tenang selalu membuatnya merasa terintimidasi. Arav adalah sosok yang sulit dijangkau, dan bukan tanpa alasan. Dengan ketampanan yang memukau dan posisi sebagai CEO, ia selalu dikelilingi wanita-wanita berkelas yang berebut perhatiannya. Namun, bagi Arav, mereka semua terasa sama—hanya sekadar formalitas dalam dunia sosialnya.

“Kayla! Kamu ngapain bengong di situ?” Tiba-tiba, suara Mira, rekan kerjanya, memecah lamunannya.

“Eh? Iya, iya, ini aku mau masuk…” Kayla tergagap, kemudian mengetuk pintu sebelum didorong pelan.

Arav melirik singkat ke arah pintu saat Kayla masuk. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dingin dan terukur. “Cepat letakkan di meja dan keluar,” katanya dengan nada datar.

“Baik, Pak,” jawab Kayla sambil menunduk, mencoba menahan gugupnya. Namun, saat hendak berjalan keluar, tanpa sengaja kakinya tersandung kabel proyektor yang tersembunyi di bawah meja.

Brakk! Semua mata tertuju padanya ketika berkas yang ia bawa berceceran di lantai. Kayla langsung membungkuk untuk mengambilnya, wajahnya memerah menahan malu.

Arav menghela napas pelan, memejamkan mata sejenak. “Apa kamu nggak bisa hati-hati sedikit?”

“A-aku minta maaf, Pak…” jawab Kayla terbata-bata sambil cepat-cepat merapikan berkas yang berserakan. Namun, tangannya gemetar dan membuatnya makin kesulitan.

Darren, yang kebetulan berada di ruang rapat, menggeleng pelan sambil tersenyum geli. “Arav, tenanglah. Dia kan Cuma gugup. Lagi pula, sepertinya dia memang sering bikin hal-hal tak terduga terjadi.”

Mendengar itu, Arav menatap Kayla lebih tajam. Ada sesuatu dalam cara Arav memandangnya yang membuat Kayla merinding. Bukan amarah, melainkan rasa penasaran.

Setelah berhasil merapikan semuanya, Kayla segera keluar dari ruang rapat dengan perasaan campur aduk—antara lega dan malu luar biasa. Tapi satu hal yang pasti, peristiwa memalukan itu langsung tersebar ke seluruh kantor, membuatnya jadi bahan pembicaraan.

Siang harinya, saat istirahat makan siang, Kayla duduk sendirian di kantin. Pandangannya menerawang, mengingat bagaimana Arav melihatnya tadi. “Kenapa aku harus selalu bikin kacau di momen penting?” gumamnya, sedikit frustrasi.

“Nggak usah dipikirin. Tadi Cuma kecelakaan kecil kok.” Mira tiba-tiba duduk di sampingnya dengan nampan makan siang. “Lagipula, siapa juga yang nggak gugup kalau disuruh ngadepin Arav langsung? Semua orang tahu dia itu CEO paling galak di sini.”

Kayla hanya tersenyum pahit. “Tapi dia nggak Cuma galak. Tatapannya itu… kayak bisa nembus pikiran kita.”

Mira tertawa kecil. “Iya sih, Arav emang misterius banget. Tapi tahu nggak? Katanya si Maya yang selama ini deket sama Arav mulai sering datang lagi. Mungkin Arav udah bakal mutusin pilih siapa.”

Kayla terdiam. Dia tahu betul kalau Maya adalah salah satu wanita yang sering dibilang paling cocok jadi pasangan Arav. Tapi mendengar itu, entah kenapa ada sedikit rasa sesak di dadanya. “Oh… gitu ya? Bagus deh kalau dia dapet yang terbaik.”

Mira memicingkan mata, melihat reaksi Kayla. “Jangan bilang kamu juga mulai naksir sama Arav?”

“Eh, apa? Nggak kok!” Kayla cepat-cepat menyangkal, meski wajahnya memerah. Tapi Mira hanya terkekeh, tahu bahwa reaksi Kayla sudah cukup menjawab.

Sore harinya, setelah jam kerja usai, Kayla menerima pesan dari Arav. Ia diminta untuk mengantar dokumen lain langsung ke apartemen Arav karena ada perubahan yang harus segera diperiksa. Awalnya Kayla ingin menolak, tapi ia tahu ini bagian dari tanggung jawabnya.

Saat tiba di apartemen mewah itu, Kayla merasa canggung. “Apa-apaan sih ini… kenapa aku harus ketemu dia lagi di tempat kayak gini?” batinnya, merasa suasananya semakin aneh. Setelah diberi izin masuk oleh satpam, ia naik ke lantai atas dan menunggu di depan pintu.

Arav membukakan pintu tanpa banyak bicara. Suasananya begitu berbeda dari di kantor. Arav yang biasanya terlihat kaku dan penuh kendali, kini tampak lebih santai meski masih menunjukkan aura dinginnya. “Masuk,” katanya singkat.

Kayla masuk perlahan, merasa suasana di dalam ruangan begitu sunyi. Saat menyerahkan berkas, Arav tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang mengejutkan. “Kenapa kamu terlihat begitu gugup setiap kali bertemu denganku? Apa aku terlihat seperti monster?”

Kayla terdiam, tak tahu harus menjawab apa. “A-aku Cuma… ya, mungkin karena Bapak memang CEO dan…”

“Lepaskan formalitas itu.” Arav memotong cepat. “Di sini, nggak ada orang lain. Kamu bisa bicara lebih santai.”

Mendengar itu, Kayla semakin bingung harus merespons bagaimana. Tapi ia mencoba memberanikan diri. “Aku… aku nggak bermaksud bikin masalah tadi di kantor. Aku benar-benar minta maaf kalau itu mengganggu Bapak.”

Arav menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Masalah itu bukan hal besar. Aku lebih penasaran kenapa kamu berbeda dari kebanyakan orang di sini. Mereka biasanya langsung mencoba menarik perhatianku, tapi kamu justru menghindar.”

Kayla sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. “Mungkin… karena aku tahu batasanku, Pak. Aku Cuma karyawan biasa.”

Arav mendekat sedikit, matanya tetap fokus ke arah Kayla. “Batasan? Atau kamu hanya takut untuk melihat apa yang ada di balik pandangan orang lain terhadapmu?”

Ada sesuatu dalam nada bicara Arav yang membuat Kayla merasa semakin tidak nyaman, tapi juga membuat jantungnya berdebar lebih cepat. “Aku… nggak tahu maksud Bapak.”

“Aku juga tidak tahu apa yang membuatku tertarik untuk memperhatikanmu lebih jauh,” jawab Arav pelan, namun penuh tekanan.

Kayla semakin bingung. Atmosfer ruangan itu berubah menjadi tegang, dan meski tidak ada kata-kata romantis, ketegangan yang terasa justru membuat Kayla merasa seperti terjebak dalam situasi yang rumit. Sesuatu yang berbahaya tapi juga menariknya.

Saat itulah, ponsel Arav berdering. Dari layar ponselnya, nama Maya muncul. Axel menatap layar itu sejenak, sebelum mematikannya tanpa ragu. Tanpa mengalihkan pandangannya dari Kayla, Arav berkata, “Kamu boleh pulang sekarang. Tapi ingat ini, Kayla—jangan meremehkan dirimu hanya karena kamu bukan siapa-siapa. Karena kamu mungkin akan menemukan dirimu lebih berharga dari yang kamu kira.”

Kalimat itu membuat Kayla terdiam lama. Apa sebenarnya maksud Arav? Ia tidak yakin. Namun, satu hal yang pasti—setelah pertemuan itu, hidupnya tidak akan sama lagi.

###

Hari berikutnya, suasana kantor Callahan Corp. kembali pada rutinitas biasanya. Namun, bagi Kayla, hari itu terasa sangat berbeda. Pikirannya terus melayang pada percakapan yang terjadi di apartemen Arav Hayes Callahan semalam. Kata-kata pria itu masih bergema di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya apakah ia salah mengartikan semuanya.

Di sisi lain, Arav sedang berada di ruang kerjanya, tenggelam dalam pikiran yang tak biasa. Ia teringat tatapan canggung Kayla yang terlihat begitu asli, berbeda dengan kebanyakan wanita yang ia temui selama ini. Perasaan itu membuat Arav semakin tertarik, meski dia tidak tahu pasti apa yang ia harapkan dari interaksi ini.

Bersambung...

Terjebak Dalam Dilema

Bab 2

Pagi itu, rapat mingguan kembali digelar, kali ini dengan suasana yang lebih serius. Darren Hayes Callahan, kakak Arav yang dikenal lebih ramah dan bersahaja, duduk di sisi kanan adiknya. Darren sering kali menjadi penyeimbang bagi sifat tegas Arav, terutama dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan. Namun, perhatiannya kali ini tertuju pada Kayla yang tampak sedikit gugup di ujung ruangan.

Saat rapat selesai, Darren menghampiri Kayla yang sedang merapikan dokumen. “Kamu baik-baik saja, Kayla? Sejak tadi pagi kelihatan nggak fokus.”

Kayla tersentak, tak menyangka Darren akan menyapanya. “Eh? I-iya, Pak Darren. Cuma kurang tidur saja.”

Darren tersenyum tipis, memperlihatkan sisi hangatnya yang membuat Kayla sedikit lebih tenang. “Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, mungkin aku bisa membantu. Jangan sungkan bilang, ya.”

“Terima kasih, Pak. Saya akan mengingatnya,” jawab Kayla sambil tersenyum kikuk. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam cara Darren berbicara, seolah berbeda jauh dari aura dingin Arav.

Tanpa disadari, Arav memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman saat melihat interaksi antara Darren dan Kayla. Perasaan aneh itu tumbuh tanpa ia sadari, dan tiba-tiba muncul pikiran bahwa ia tidak suka jika Darren terlalu dekat dengan Kayla.

Siang hari, saat jam makan siang, Kayla menerima pesan dari Arav. Ia diminta untuk datang ke ruangannya untuk membicarakan proyek yang sedang berlangsung. Kayla langsung merasa cemas. “Kenapa harus aku lagi?” gumamnya pelan, meski akhirnya ia berjalan menuju lantai atas dengan rasa was-was.

Sesampainya di depan ruang kerja Arav, Kayla mengetuk pintu dengan pelan. “Masuk,” suara tegas Arav terdengar dari dalam.

Kayla membuka pintu perlahan dan melihat Arav duduk di meja kerjanya dengan ekspresi serius. Tanpa menunggu lama, Arav mempersilakan Kayla duduk dan langsung to the point. “Aku ingin mendengar pendapatmu tentang penyusunan laporan terbaru ini. Aku tahu kamu biasanya nggak terlibat langsung, tapi kadang sudut pandang berbeda justru bisa memberikan masukan yang berguna.”

Kayla terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan permintaan itu. “Tapi, Pak, saya kan cuma staf biasa. Apa pendapat saya penting untuk proyek sebesar ini?”

Arav menatapnya dalam-dalam. “Aku nggak tanya apakah kamu merasa penting atau tidak. Aku tanya pendapatmu. Jadi, apa yang menurutmu kurang dari laporan ini?”

Kayla merasa tegang, tapi mencoba tetap tenang. Ia membaca sekilas dokumen yang diberikan, lalu mulai memberikan masukan kecil. “Saya rasa, ada beberapa poin yang mungkin bisa diperjelas lagi, terutama bagian analisis data. Informasi yang diberikan terlalu umum, padahal klien mungkin butuh data lebih rinci untuk mengambil keputusan.”

Arav mendengarkan dengan serius. “Lanjutkan.”

Kayla mulai merasa lebih percaya diri saat melihat Arav benar-benar memperhatikan kata-katanya. Ia menjelaskan beberapa hal dengan lebih detail, dan Arav mengangguk pelan, menunjukkan bahwa pendapatnya dihargai.

Saat Kayla selesai, Arav mengangguk sekali lagi. “Bagus. Ini masukan yang berguna. Kamu boleh kembali ke tempatmu.”

Kayla bangkit dari kursinya dengan perasaan lega, namun ketika ia berbalik untuk pergi, Arav tiba-tiba berkata, “Dan satu hal lagi, Kayla. Jangan anggap dirimu selalu di bawah. Kamu punya kemampuan yang lebih dari sekadar staf administrasi biasa. Jangan sia-siakan potensi itu.”

Kalimat itu membuat Kayla tertegun. Ada kehangatan tak terduga dalam ucapan Arav yang membuatnya merasa… dipedulikan? “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi,” jawab Kayla sebelum keluar dari ruangan.

Di luar, Kayla tak bisa menahan senyum kecil. Ada sesuatu dalam sikap Arav yang mulai membuatnya berpikir bahwa pria itu tidak sedingin yang ia kira.

Di sisi lain, saat malam tiba, Darren menemui Arav di ruang kerja pribadinya. “Kamu lagi mikirin sesuatu, Rav?” tanya Darren, mendekat sambil membawa dua gelas minuman.

Arav hanya menghela napas. “Bukan sesuatu yang penting.”

Darren tertawa pelan. “Bilang saja kalau itu penting. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu belakangan ini.”

Arav mendelik. “Kalau kamu cuma mau goda aku, lebih baik keluar.”

Tapi Darren tetap santai. “Kayla, ya? Gadis itu menarik perhatianmu?”

Arav menatap Darren dengan mata tajam. “Kenapa tiba-tiba ngomongin dia?”

Darren tersenyum misterius. “Karena aku juga tertarik dengan gadis itu. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dibanding wanita lain di sini. Dia seperti nggak sadar betapa berharga dirinya.”

Mendengar itu, Arav mendadak merasa risih. “Darren, dia bukan orang yang selevel dengan kita. Jangan bermain-main dengan perasaan orang hanya karena kamu penasaran.”

Darren hanya tertawa lagi. “Santai saja, Rav. Aku hanya penasaran, sama seperti kamu. Tapi kalau sampai nanti benar-benar ada perasaan, aku nggak akan mundur hanya karena kamu juga tertarik. Kita lihat saja nanti.”

Perkataan Darren membuat Arav merasa ada sesuatu yang menekan dadanya. Ia tidak suka cara Darren bicara seolah Kayla adalah seseorang yang bisa diperebutkan. Namun, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa perasaan aneh itu muncul setiap kali melihat Kayla bersama orang lain.

Malam semakin larut, dan Kayla duduk di kamarnya sambil menatap layar laptop. Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Arav. “Kenapa dia tiba-tiba ngomongin potensi segala?” batinnya, merasa semakin bingung dengan perhatian yang ia dapatkan belakangan ini.

Namun, di balik kebingungan itu, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh di hatinya. Tanpa disadari, ia mulai mengharapkan lebih banyak interaksi dengan pria itu, meski ia tahu itu bisa menjadi sesuatu yang rumit.

Dan di sisi lain, Arav terjaga hingga larut malam. Tatapan tajamnya tertuju pada jendela besar yang menghadap kota, tapi pikirannya jauh melayang. Di tengah kesibukan dan tanggung jawab besar yang ia emban, ada satu pertanyaan yang mulai mengusik pikirannya: kenapa Kayla membuatnya begitu terganggu?

###

Kayla menghela napas panjang saat menginjakkan kaki di apartemennya. Pikiran tentang hari yang ia lalui di kantor masih terus menggelayuti benaknya. Interaksinya dengan Arav yang semakin intens membuatnya bingung sekaligus cemas. Apalagi, ucapan Darren yang penuh perhatian semakin memperkeruh perasaannya. Namun, Kayla tahu bahwa dia tidak boleh terlalu memikirkan hal-hal itu. Dia hanyalah seorang staf biasa di Callahan Corp, dan tidak seharusnya terjebak dalam intrik di antara dua bersaudara kaya raya tersebut.

Tetapi, kenyataannya tidak semudah itu. Semakin Kayla mencoba menjauhkan diri, semakin ia merasa terikat oleh sikap Arav yang kontras—di satu sisi dingin dan arogan, namun di sisi lain penuh perhatian secara tak terduga.

Di sisi lain kota, Arav duduk di meja kerjanya di rumah. Sisa malam yang tenang seakan hanya memperbesar kekacauan pikirannya. Darren dengan sikap santainya semakin memperburuk situasi dengan menyatakan ketertarikannya pada Kayla. Arav tahu betul bagaimana Darren bisa berubah serius ketika menyangkut urusan hati. Perkataan saudaranya tadi siang masih terngiang di telinganya.

“Kita lihat saja nanti.”

Arav mengepalkan tangannya tanpa sadar. Kenapa Darren harus mempermainkan situasi ini? Arav tidak ingin terjebak dalam perebutan yang bodoh, tetapi ada dorongan dalam dirinya yang membuatnya tidak mau menyerahkan Kayla begitu saja. Meski terdengar aneh, Arav mulai merasakan bahwa Kayla adalah seseorang yang lebih dari sekadar pegawai biasa. Ia melihat ketulusan dan kerja keras yang jarang ia temui di lingkungannya.

Tapi, apakah ia rela mengakui bahwa ia benar-benar peduli pada Kayla? Bagi Arav, itu bukanlah pilihan yang mudah diterima, terutama dengan status dan reputasinya sebagai seorang CEO yang dingin dan tak tersentuh.

Bersambung....

Ketika Batas Mulai memudar

Bab 3

Keesokan harinya, suasana kantor kembali normal—setidaknya di permukaan. Namun, atmosfer di antara Kayla, Arav, dan Darren perlahan berubah menjadi lebih intens. Setiap tatapan yang diberikan Arav pada Kayla selalu penuh dengan makna tersembunyi, sementara Darren justru semakin sering berinteraksi dengan Kayla, seolah ingin memancing reaksi dari adiknya.

Di sela-sela pekerjaan, Kayla mendapati dirinya berada di tengah percakapan ringan dengan Darren di pantry. Suara tawa lembut mereka mengisi ruangan, membuat suasana yang tadinya tegang menjadi lebih hangat. Namun, tiba-tiba percakapan itu terhenti saat Arav muncul di ambang pintu, tatapannya seolah menyelidik. Kayla merasakan ketegangan yang tajam di udara.

“Sedang sibuk apa di sini?” suara Arav terdengar datar namun penuh makna.

Darren menyeringai sambil menyandarkan diri di meja. “Hanya berbagi tips kopi dengan Kayla. Kamu mau ikut bergabung, Rav?”

Arav melirik Kayla sekilas sebelum kembali menatap Darren. “Aku rasa dia sudah cukup punya pekerjaan. Jangan ganggu stafku dengan obrolan yang tidak penting.”

Kayla yang merasa tersudut langsung menundukkan kepala. Ia merasa harus segera pergi dari situasi canggung ini. “Maaf, saya akan kembali ke meja kerja,” ucapnya dengan cepat, sebelum buru-buru pergi tanpa menunggu jawaban.

Begitu Kayla keluar dari ruangan, Darren menatap Arav dengan tatapan penuh arti. “Kamu terlihat terlalu sensitif, Rav. Ini bukan kamu yang biasanya.”

Arav hanya menatap dingin tanpa menjawab. Ada keinginan besar untuk menghentikan Darren, tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Sementara itu, Darren sepertinya menikmati ketegangan yang ada, seolah sengaja ingin menguji batas kesabaran adiknya.

Di tengah kesibukan sore itu, tiba-tiba Kayla menerima panggilan dari HRD. Ia diminta untuk segera menemui kepala HRD karena ada urusan penting yang harus dibahas. Kayla langsung merasa khawatir, takut jika terjadi sesuatu yang buruk. Dengan langkah cepat, ia menuju ke lantai HRD.

Saat tiba di sana, Kayla langsung disambut oleh kepala HRD yang memperlihatkan senyum formal namun penuh misteri. “Kayla, ada sesuatu yang harus kami bicarakan. Ini mengenai kontrak kerjamu di Callahan Corp.”

Kayla merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Kontrak saya, Bu? Apa saya melakukan kesalahan?”

Wanita itu menggeleng pelan sambil menatapnya tajam. “Bukan soal kesalahan. Justru sebaliknya. Pihak manajemen melihat potensimu, dan mereka memutuskan untuk memberikanmu tanggung jawab yang lebih besar.”

Kayla merasa terkejut sekaligus bingung. “Tanggung jawab lebih besar?”

“Benar. Kami mempertimbangkan untuk menempatkanmu dalam tim khusus yang akan bekerja langsung di bawah CEO. Tentu saja, ini adalah langkah besar, dan kami berharap kamu bisa menanganinya.”

Kayla terdiam. Bekerja langsung di bawah CEO berarti akan semakin sering berinteraksi dengan Arav. Ia belum tahu apakah ini sebuah kesempatan besar atau justru masalah baru.

“Ini kesempatan yang langka, Kayla. Kamu memiliki bakat dan dedikasi yang terlihat jelas, dan kami ingin memberikanmu ruang untuk berkembang lebih jauh.”

Kayla mengangguk pelan. Meski ragu, ada perasaan bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia lewatkan. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa bekerja langsung dengan Arav akan memperumit segalanya. Apalagi, dengan ketegangan antara Arav dan Darren yang semakin terasa setiap kali mereka berada di dekatnya.

Malam itu, Kayla pulang dengan hati yang berat. Dia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang harus ia lakukan. Mengambil peran baru berarti menempatkan dirinya lebih dekat dengan Arav, yang selama ini sudah cukup membuatnya bingung. Tapi menolak kesempatan ini juga tidak masuk akal—ini adalah lompatan besar dalam kariernya.

Di sisi lain, Arav juga berhadapan dengan dilema pribadinya. Meski terlihat kuat dan penuh kendali, perasaannya mulai goyah setiap kali melihat Kayla. Dia tahu bahwa dirinya sudah terlalu jauh terlibat, dan semakin Kayla dekat dengannya, semakin sulit baginya untuk menyangkal perasaannya. Namun, di balik semua itu, ia tetap seorang CEO dengan tanggung jawab besar, dan perasaan pribadinya tidak boleh mengganggu kinerjanya.

Sementara itu, Darren juga tidak tinggal diam. Ia terus memperhatikan situasi, berencana untuk melihat seberapa jauh Arav akan mempertahankan posisinya dalam permainan ini. Baginya, Kayla adalah seseorang yang menarik, dan ia tidak akan mundur hanya karena adiknya mulai menunjukkan rasa cemburu.

Dengan ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka, hanya masalah waktu sebelum konflik besar terjadi, yang pada akhirnya akan memaksa Kayla dan Arav untuk membuat keputusan yang mungkin mengubah hidup mereka selamanya.

###

Keesokan harinya, Kayla berusaha menenangkan pikirannya. Ia memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya dan mengabaikan perasaan rumit yang mulai tumbuh di hatinya. Namun, bayangan Arav dan Darren terus menghantui. Setiap kali ia melihat Darren melintas di koridor, senyumnya yang penuh arti selalu membuat hatinya berdebar. Di sisi lain, tatapan dingin Arav yang penuh rahasia justru semakin mengusik hatinya.

Hari itu, Kayla harus menghadiri rapat dengan beberapa departemen untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Suasana rapat berlangsung formal seperti biasa, hingga akhirnya Arav masuk ke ruang rapat, membuat semua orang langsung menegang. Ia berjalan dengan langkah mantap dan mengambil tempat di ujung meja, tepat di hadapan Kayla. Matanya sekilas menatap Kayla, dan wanita itu merasakan getaran aneh yang tak bisa dijelaskan.

Setelah presentasi selesai, Arav mulai memberikan masukan yang tegas namun profesional. Namun, di tengah diskusi, tiba-tiba ia menyelipkan komentar yang membuat Kayla terpaku.

“Kayla, kamu melakukannya dengan baik, tapi jangan sampai kamu terlalu terbawa suasana atau perhatianmu terpecah pada hal-hal yang tidak relevan.” Ucapannya terdengar biasa, namun tatapan matanya mengirim pesan berbeda—seolah-olah ia tengah menyinggung tentang kejadian kemarin saat makan siang bersama Darren.

Kayla terdiam sejenak, mencoba mencerna maksud dari kata-kata itu. Ia merasa tersudut, seakan Arav sedang mengawasinya lebih ketat daripada yang ia sadari. Namun, ia berusaha tetap tenang dan menanggapinya dengan profesional. “Terima kasih atas masukan Anda, Pak. Saya akan lebih berhati-hati ke depannya.”

Setelah rapat selesai, Kayla bergegas keluar dari ruangan. Namun, sebelum ia berhasil mencapai pintu, Arav sudah berada di belakangnya. “Kayla, tunggu sebentar,” panggilnya dengan nada rendah, tapi cukup tegas.

Kayla berhenti dan berbalik, mencoba memasang ekspresi yang tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Arav melangkah lebih dekat, hingga jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa langkah. “Aku tahu kamu bertemu dengan Darren kemarin. Aku hanya ingin memastikan bahwa tidak ada salah paham di antara kita.”

Kayla menatapnya bingung. “Salah paham? Maksud Anda?”

Arav menatapnya tajam, seolah mencoba membaca pikiran Kayla. “Darren bisa sangat persuasif dan terkadang suka bermain-main dengan orang lain. Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa tidak semua orang di sekitarmu memiliki niat yang sama.”

Kayla merasa napasnya tercekat. Ada peringatan dalam kata-kata Arav yang membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, ia tidak mau terlihat lemah di hadapan pria ini. “Terima kasih atas peringatannya, Pak. Tapi saya rasa saya cukup dewasa untuk menilai situasi sendiri.”

Arav tersenyum tipis, tetapi senyum itu penuh makna. “Baiklah, aku hanya memastikan. Ingat, di perusahaan ini, setiap langkah kita bisa berdampak besar pada masa depan.”

Setelah mengatakan itu, Arav meninggalkannya begitu saja Kayla dengan kebingungan yang semakin dalam. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Kenapa ia merasa seperti di bawah pengawasan pria itu setiap saat? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengusiknya sepanjang hari.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!