"Git...kamu belum tidur nak?", mama bertanya padaku.
"Aku tidak bisa tidur ma".
"Setidaknya coba berbaring dulu, besok kamu harus bangun subuh kan?".
"Baiklah ma".
Aku dengan malas melangkahkan kakiku ke atas kasur. Saat ini aku berada di hotel, berbagi tempat tidur dengan mama. Besok adalah hari pernikahanku.
Aku berbaring sambil membayangkan apa yang akan terjadi besok pagi. Andai papa masih berada bersama kami, mungkin aku tidak akan menikah besok.
Papa meninggalkan kami 2 tahun lalu karena serangan jantung, peristiwanya begitu cepat sehingga sulit rasanya mempercayai bahwa papa tiba-tiba pergi.
Meskipun papa sudah tidak ada, tetapi kami tetap berkecukupan dari hasil kerjaku sebagai pegawai swasta, juga beberapa pemasukan sewaan properti peninggalan papa.
Calon suamiku adalah anak dari sahabat papa. Awalnya aku menolak untuk dijodohkan, namun aku ingin membahagiakan mama. Mama sering merasa kesepian dan tidak memiliki gairah hidup, ia sering memintaku untuk menikah agar hidupnya tenang jika ia sewaktu waktu dipanggil seperti papa, lagipula aku tidak memiliki pasangan saat ini. Orangtuaku juga sudah lama bersahabat dengan calon suamiku, jadi kenapa tidak aku menikah dengannya, setidaknya kali ini aku tidak akan mengalami ditinggal menikah lagi.
Ya, hubunganku yang terakhir gagal karena pacarku berselingkuh dengan temanku dan tidak lama kami putus, ia menikahi temanku itu. Setidaknya kali ini orangtuaku telah mengetahui bibit bebet bobot calonku, aku yakin ia tidak sebrengsek mantanku.
Nino, calonku bernama Nino. Tentu saja aku berteman dengannya, namun kami tidak dekat, hanya sekedar berbasa basi saja setiap bertemu. Aku juga sering mendengar cerita tentang Nino dari orangtuaku. Berbeda dengan papa yang sukses dengan karirnya sebagai pekerja kantoran, orangtua Nino memiliki perusahaan yang dirintisnya dari nol, dan baru 6 bulan belakangan ini Nino yang memegang pimpinan tertinggi menggantikan papanya.
"Git... kamu cantik sekali", Nino berkata padaku saat kami berdiri di depan pintu gereja menunggu mulainya acara pemberkatan nikah.
"Ishh...aku memang sudah cantik pada dasarnya", candaku.
"Kamu juga jadi terlihat ganteng dengan setelan tuxedo ini loh No", kataku sambil tersenyum.
Nino menanggapinya dengan tersenyum.
"Mari kita menjadi sahabat seumur hidup Git", Nino mengatakannya sambil menatapku dengan ketulusan di matanya.
Aku menggangguk dan kamipun melangkah masuk gereja didampingi keluarga kami.
Selesai pemberkatan, kami kembali ke hotel untuk makan siang bersama di ruangan yang telah disediakan oleh pihak hotel dan wedding organizer, setelah itu kami melangsungkan resepsi di ballroom hotel tersebut.
"Git... bangun, makan dulu Git, nanti kamu sakit", Nino membangunkanku.
"Ah ya, aku ketiduran No, kamu udah beres mandi?".
"Ya Git, sana mandi. Mau aku pesanin makan apa?".
"Mmm... apa aku boleh makan bersama mama No, mama cuma sendirian di kamar".
"Tentu saja, nanti beres kamu mandi kita ke kamar mama bareng".
"Makasih No".
Ya berbeda dengan mamaku, Nino memiliki anggota keluarga yang lengkap, ia adalah sulung dari 2 bersaudara. Adik Nino bernama Marlo, kini ia sedang menyusun skripsi.
Selesai makan dan mengobrol dengan mama, kami kembali ke kamar kami.
Ini malam pertama kami, entah apa yang ada di pikiran Nino, apa ia gugup sama sepertiku? Aku memang tulus menerima Nino sebagai suamiku namun aku belum mencintainya. Suami.... ya kini aku berstatus istri, siapa yang menyangka aku akan menikah dengan Nino. Jika aku kembali ke masa lalu dan berkata pada diriku di masa lalu bahwa aku akan menikah dengan Nino, aku pasti akan tertawa karena tidak mempercayainya.
"Loh No kamu mau tidur di sofa?", Nino sedang membawa bantal ke arah sofa kamar.
"Aku tidak mau membuatmu tidak nyaman Git, hari ini pasti kamu cape banget, kita berdua butuh istirahat yang nyaman", jawab Nino.
"Mmmm... aku tidak keberatan No berbagi tempat tidur, lagipula tidur di sofa pasti juga tidak akan nyaman buatmu kan".
Sebelum Nino berkata lagi, aku segera melanjutkan perkataanku,
"Kita sudah berjanji menjadi pasangan di hadapan Tuhan, aku berjanji akan belajar menjadi istri yang baik No, namun aku harap kamu juga mau bersabar menungguku, aku butuh waktu untuk terbiasa dengan ini semua".
"Makasih Git, janjiku di altar tadi pagi juga tulus Git aku akan selalu setia dan ada untukmu. Percayakah kamu, kalau aku bilang kamu adalah wanita paling menarik yang pernah aku temui?".
Aku tertawa kecil menanggapinya.
"Sudahlah, aku tidak butuh gombalanmu saat ini. Mari kita tidur, aku ngantuk", jawabku tersenyum.
"Selamat tidur Git".
"Aaaa....", aku berteriak kecil, kemudian menutup mulutku dengan tangan.
Semoga Nino tidak terbangun karena aku, kuperhatikan ia sepertinya masih tertidur nyenyak, pelan-pelan aku mundur menjauh dari Nino kemudian bangun menuju toilet.
"Ya ampun....", aku mengelus dadaku.
Aku tadi kaget karena terbangun dengan muka Nino yang berada dekat dengan mukaku. Beruntung kemarin malam kami menggunakan bantal sofa untuk membatasi tempat tidur, aku tidak mau membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada bantal-bantal sofa itu.
"Sudah mandi Git?", kulihat Nino sedang duduk memainkan telepon genggamnya diatas tempat tidur.
"Iya No, apa kamu bangun gara-gara aku?".
"Ga kok Git, aku mandi dulu ya, baru nanti turun".
Aku mengangguk mengiyakan perkataannya. Rencananya kami akan turun untuk sarapan bersama keluarga Nino dan mama. Setelah itu, mama akan diantarkan pulang oleh orangtua Nino, sedangkan aku dan Nino akan pergi menuju bandara melakukan perjalanan bulan madu ke Sumba.
Kami sudah berkumpul di restoran, menyantap sarapan sambil mengobrol ringan.
"Nino... apa persiapannya sudah ok semua?", tanya papa Nino.
"Sudah pa, aku juga sudah menghubungi supir yang akan menjemput kami nanti di bandara".
"Gita...maaf ya Nino merepotkanmu nanti, dia tuh suka ada aja sih yang ketinggalan atau lupa sesuatu", mama Nino berkata padaku.
"Iya tan... ma", jawabku kikuk.
Mama Nino tertawa diikuti tawa anggota keluarga yang lain.
Setelah sarapan aku mengikuti mama ke kamar.
"Ma kalau ada apa apa nanti telepon ya ma".
"Iya, mama bukan anak kecil Git, kamu ini".
Aku tersenyum mendengar nya.
"Git, kamu sekarang sudah jadi istri, belajar untuk menahan ego. Jika ada masalah bicarakan, jangan biarkan berlarut larut".
"Ya ma, aku tau ma".
Aku berpelukan dengan mama, kemudian menyusul Nino ke kamar untuk membawa koper-koper kami turun.
Aku dan Nino sudah mengantar orangtua kami menuju mobil mereka di basement. Kini aku duduk di lobby menunggu Nino melakukan checkout.
"Sudah beres No?", tanyaku saat melihatnya menghampiriku.
"Ya Git, aku juga sudah minta tolong resepsionis untuk memanggil taksi, ayo kita tunggu di depan saja".
Tidak lama taksi kami datang. Untuk ke Sumba, kami harus transit dulu di Bali baru terbang menggunakan pesawat kecil ke Sumba. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menginap semalam di Denpasar pada saat sebelum dan sesudah dari Sumba.
"Mau makan siang apa Git nanti?".
"Apa ya, aku sih apa aja No".
"Apa kamu ingat terakhir kita jalan jalan bersama itu waktu kamu masih SMU dulu, kita juga berlibur ke Bali saat itu".
"Iya, ga sengaja ternyata orangtua kita punya tujuan yang sama ya. Waktu itu kamu baru mau masuk kuliah kan ya?".
"Iya, itu pertama kalinya kita berteman ya Git, dulu sebelum itu kita hanya kenal nama saja".
"Ya, siapa yang menyangka kini kita ke Bali lagi dengan status yang berbeda", jawabku tersenyum.
Nino memegang tanganku, selama beberapa detik kami saling bertatapan, kemudian aku menarik tanganku menghindari tatapannya.
Selama sisa perjalanan kami saling terdiam. Aku melihat pemandangan jalanan, melalui jendela aku juga bisa melihat pantulan Nino, aku tau kadang ia akan menengok ke arahku dan memperhatikanku.
"Duarrrr....", tiba-tiba aku terpental dan Nino secara refleks memelukku.
Beberapa detik sebelumnya aku melihat mobil berwarna hitam mendekat ke arah taksi yang kami tumpangi, dan menabrak bagian sisiku, kemudian semuanya menjadi gelap.
Namun aku sempat berdoa,
"Tuhan tolong aku, aku belum siap meninggalkan mama seorang diri, aku mohon....".
Aku membuka mataku, kulihat muka Nino tertidur disampingku.
"Hah....", aku menutup mulutku lagi dengan tangan.
Lagi....? Apa barusan aku bermimpi buruk. Kulihat Nino baik-baik saja tertidur nyenyak disampingku, kami juga berada di kamar hotel yang sama. Jadi tadi itu benar mimpi bukan? Tanyaku dalam hati.
Ini sungguh mimpi yang aneh, semuanya tampak nyata. Sudahlah... lebih baik aku mandi saja agar merasa lebih baik.
"Sudah mandi Git?", kulihat posisinya berada sama persis seperti di mimpiku.
"Ya", jawabku singkat, karena otakku masih bingung antara kenyataan dan mimpi.
"Aku mandi dulu ya, baru nanti kita turun".
"Ya No".
Sesampainya kami di restoran, keluarga kami sudah berkumpul duduk dalam posisi yang sama persis dengan mimpiku. Ahhh sudahlah, mungkin ini semua cuma kebetulan saja, kataku dalam hati.
"Nino... apa persiapannya sudah ok semua?", tanya papa Nino.
"Sudah pa, aku juga sudah menghubungi supir yang akan menjemput kami nanti di bandara".
"Gita...maaf ya Nino merepotkanmu nanti, dia tuh suka ada aja sih yang ketinggalan atau lupa sesuatu", mama Nino berkata padaku.
Aku terkejut mendengar percakapan ini, kata-kata yang diucapkan sama persis seperti dalam mimpiku, aku sungguh tidak percaya, mungkin 1 berbanding 1 juta kebetulan itu sungguh ada.
"Gita...", Nino memegang tanganku untuk menyadarkanku dari lamunanku.
"Ah iya ma", jawabku kikuk.
"Mungkin Gita masih tidak percaya menikah dengan orang sekeren aku ma", canda Nino.
Aku tersenyum menanggapinya, kali ini mereka tertawa dengan alasan yang berbeda dengan mimpiku.
Kali ini berbeda dengan mimpiku, aku mengikuti Nino ke kamar dulu membantunya mempersiapkan koper-koper kami. Baru kami berdua mendatangi kamar mama untuk membantunya turun dengan kopernya.
Tidak ada percakapan yang sama dengan mimpiku lagi, karena jujur saja aku sedikit takut dengan dejavu ini, jadi aku mengambil keputusan yang berbeda kali ini.
Setelah mobil orangtua Nino pergi meninggalkan basement, kali ini aku mendampingi Nino untuk melakukan checkout. Saat resepsionis menawarkan untuk memanggil taksi aku cepat-cepat menolaknya.
Nino mempertanyakan keputusanku, namun aku beralasan bahwa aku sudah memanggil taksi online dengan aplikasi handphoneku.
"Apa mobilnya sudah dekat?".
"Iya No, ayo kita ke depan", jawabku.
Setelah kami nyaman duduk di mobil, Nino membuka percakapan,
"Mau makan siang apa Git nanti?".
Aku mengerenyitkan dahiku, kenapa pertanyaan yang sama pikirku, tapi sudahlah, mungkin aku yang berlebihan.
"Apa saja No", jawabku singkat.
"Apa kamu ingat terakhir kita jalan jalan bersama itu waktu kamu masih SMU dulu, kita juga berlibur ke Bali saat itu".
Ya Tuhan, kali ini aku benar-benar takut, kenapa kalimat itu selanjutnya yang Nino katakan. Tuhan aku sungguh takut, kataku dalam hati.
"No, bagaimana kalau kita berdoa dulu supaya perjalanan kita lancar?", tanyaku tidak menjawab pertanyaan Nino.
"Ya Baiklah Git".
Kemudian kami berdoa dalam hati kami masing-masing.
Selesai berdoa kuingat ingat bagaimana bisa kecelakaan itu terjadi. Aku ingat mobil itu menabrak disisiku, jadi posisi taksi di mimpiku sama persis dengan posisi mobil yang saat ini aku tumpangi, yaitu berada di jalur paling kanan.
"Maaf pak, apa bisa pindah jalur ke paling kiri saja pak? Saya agak trauma dengan kecepatan mobil, maaf sekali ya pak", pintaku pada supir yang membawa kami.
"Tidak apa-apa bu, saya akan pindah jalur ya bu", jawab supir itu.
"Ada apa Git?", tanya Nino.
"Ga apa apa No, aku hanya mendapatkan mimpi buruk kemarin malam, jadi aku agak takut. Kita masih punya banyak waktu kan No?".
"Ya Git, kita masih punya banyak waktu kok".
Kemudian Nino memegang tanganku, kali ini aku membiarkan tangannya memegang tanganku, aku membutuhkan itu agar aku merasa sedikit lebih baik.
Kali ini aku memperhatikan jalan, sambil berdoa dalam hati bahwa semua itu hanyalah mimpi.
"Duarrr..."
Kali ini kulihat mobil hitam yang sama di mimpiku menabrak sisi Nino. Refleks Nino sama seperti di mimpiku, ia refleks memelukku untuk memberikan semacam perlindungan kepadaku.
Sebelum memejamkan mata, aku berdoa kepada Tuhan,
"Tuhan tolong aku, berikan aku kesempatan lagi...".
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!