Pepohonan bertiup senada dengan hembusan angin yang disertai hujan. Kerumunan orang turut berduka atas apa yang telah terjadi. Seorang perempuan berusia 17 tahun menatap nanar sebuah nisan yang baru saja dibuat. Air matanya jatuh bersamaan dengan derasnya hujan yang turun. Semua orang menggunakan payung berwarna hitam, sedangkan dia memilih untuk merasakan dinginnya rintik air itu. Hati yang ia kira akan berbunga, kini kembali layu. Baru saja ingin merasakan cinta dalam hidupnya, kini cinta itu malah pergi meninggalkannya. Pria yang ia kira akan menjadi rumah, kini telah terkubur dalam tanah yang bertaburan bunga.
"El, kami pamit ya. Turut berdukacita."
Semua teman-teman kelasnya perlahan mulai meninggalkan ia sendiri. Ada beberapa teman yang mengajak dia untuk segera pergi karena cuaca yang semakin buruk. Namun, gadis itu sama sekali tak mau berkutik. Dia masih tak terima, ada apa gerangan kah? Kenapa Tuhan begitu suka sekali menyakiti hatinya? Semenjak ia beranjak dewasa, tidak ada kebahagiaan dalam hidupnya. Dia merasa Tuhan begitu teramat benci kepadanya.
"Apa salahku Tuhan? Sebegitu benci kah engkau terhadapku?"gumamnya dengan tatapan kosong.
Hatinya terasa remuk, ia telah kehilangan cintanya, prianya dan rumahnya. Dia sekarang telah menjadi gelandangan, tidak ada tempat untuk berbahagia sejenak dari begitu sedihnya kehidupan nyata. Ia telah menaruh ribuan harapan pada cintanya, tapi semua seperti pasir. Semakin digenggam, semakin hilang perlahan-lahan.
"Aku benci! Aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi! Aku benci jatuh cinta!"tegasnya.
Kedua tangannya mengepal, perasaan sakit dan duka telah memenuhi hatinya yang lembut. Kini hati itu akan ia paksa untuk mengeras, tak ada yang boleh meluluhkan nya lagi. Sudah cukup dengan cinta, semua adalah kebohongan belaka. Mungkin hidupnya tidak akan pernah bisa menyatu dengan cinta. Kesunyian dan kesepian adalah teman yang setia.
****
1 tahun kemudian, semua orang terlihat begitu semangat. Mereka menyiapkan semua yang diperlukan dalam acara OSPEK di sebuah Universitas ternama di kota mereka. Baik lelaki maupun perempuan begitu bersemangat untuk menampilkan yel-yel dari tiap gugus mereka, bahkan mereka semua sudah tak sabar untuk menunjukkan bakat-bakat mereka didepan semua orang yang ada.
"Gila! Kakak dari jurusan teknik tadi keren banget!"
"Iya! Gue aja sampai mau pingsan rasanya."
Elara, wanita cantik berambut panjang hitam sepinggang memutar bola mata malas. Sejak kemarin para wanita di gugusnya sibuk bergosip mengenai semua Kakak tingkat, baik dari jurusan mereka masing-masing, atau dari jurusan lain. Sungguh memuakkan sekali bagi seorang Elara.
"Mereka menyebalkan,"gumamnya.
Demi menjaga suasana hatinya, Elara memutuskan untuk izin ke kamar mandi kepada kakak penanggung jawab gugusnya. Gedung kampus tempat ia berada cukup luas, gedung yang menjuntai tinggi dengan banyaknya anak tangga, membuat ia merasa bingung sekaligus kelelahan.
"Oh yang benar saja! Semua anak tangga ini membuat ku kesal!"gerutu Elara dengan kaki yang di hentakkan kasar.
Sudah hampir 5 menit Elara berkeliling mencari dimana letak kamar mandi di gedung tinggi dan luas itu. Sejak tadi dia dibuat pusing, ia rasa kalau saat ini dia sudah tersesat. Merasa lelah, Elara memutuskan untuk berisitirahat sejenak di salah satu anak tangga. Dia juga merasa kesal dengan pakaian yang sedang ia gunakan, kalung kardus di leher yang bertuliskan nama dan motto hidup yang aneh. Membuat dia merasa geli. Kenapa juga harus menggunakan aksesoris yang aneh-aneh.
"Huf, sialan!"gumamnya sambil menghela nafas.
Tap ....
Tap ....
Seorang pria tersenyum tipis ketika melihat seorang perempuan sedang duduk di salah satu anak tangga. Dia mendengar semua keluhan yang kasar dari mulut wanita itu. Dia yang awalnya akan menuruni tangga, merasa tertarik untuk memperhatikan perempuan yang duduk menyendiri. Apalagi melihat motto yang tertulis di kardus belakang milik perempuan itu, 'Wanita Cantik yang Imut'. Pria itu hampir ingin tertawa terbahak-bahak melihat tulisan yang terlihat seperti sangat narsis itu. Sadar kalau dirinya sudah di tunggu oleh teman-temannya di lapangan, pria itu buru-buru menuruni anak tangga.
"Ck, kenapa sih tuh cowok? Gak lihat apa gue disini!"ketus Elara.
Elara menatap sinis punggung pria yang kakinya hampir menendang tubuhnya. Elara kembali berdiri, dia merasa sudah tidak tahan lagi untuk mengeluarkan cairan tubuhnya. Pada akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada seorang ibu pembersih. Untunglah dia menemukan WC dengan cepat. Setelah selesai, dia kembali menghela nafas karena harus kembali ke lapangan untuk mengikuti OSPEK. Saat sampai, mata Elara memicing saat melihat suara riuh para mahasiswa baru yang sedang duduk di tengah lapangan. Matanya menatap segerombolan pria berbaju putih dengan warna sabuk yang berbeda-beda di pinggang mereka.
"Ada apa sih? Kok heboh banget?"gumam Elara.
"Oy Elara! Sini duduk cepat!"seru Aira.
Elara berjalan menghampiri teman satu sekolah dan kelasnya itu dulu, dia duduk disebelah Aira. Memandang perempuan itu dengan tatapan aneh. Bagaimana tidak, wanita itu terlihat berbinar-binar saat melihat pemandangan para pria yang sedang melakukan aksi di hadapan para mahasiswa dan mahasiswi baru.
"Lo sehat ha? Nyengir-nyengir gak jelas lo!"ujar Elara.
"Ck, lo mah aneh! Ya jelas gue nyengir, orang lihat para cogan lagi taekwondo di hadapan mata!"balas Aira.
"Ck, biasa aja kali. Mereka gak sehebat itu!"bantah Elara.
Aira dan Elara duduk di paling depan, semua teman-teman gugusnya sangat antusias sekali melihat setiap gerakan bela diri yang dilakukan oleh para anak UKM bela diri di kampus itu. Elara menguap, dia merasa bosan dan lelah. Kira-kira kapan semua akan berakhir, jujur dia sama sekali tidak terlalu merasa bahagia atau antusias mengikuti OSPEK. Jika bukan karena tuntutan kampus, maka dia sama sekali tidak akan menginjakkan kaki di acara OSPEK yang akan berlangsung 3 hari itu.
Prang!
Sebuah pedang yang terbuat dari logam tipis terjatuh tepat dihadapan Elara. Membuat jiwa penasaran Elara memberontak, dia penasaran apakah pedang itu tajam atau tidak? Apalagi saat dia melihat seorang pria yang tadi mengarahkan pedang itu ke lengannya, dan yang menakjubkannya pria itu tidak terluka sama sekali. Jari telunjuk Elara perlahan akan menyentuh pedang yang tergeletak itu karena pemiliknya sedang sibuk melakukan aksi pertunjukan bela diri bersama dengan satu temannya. Saat jari telunjuknya hampir menyentuh pedang itu, tiba-tiba saja ada tangan lain yang dengan cepat mengambil pedang itu. Membuat Elara mendongak untuk menatap tangan siapakah itu.
Deg!
Elara terkejut ketika melihat seorang pria berwajah tampan sedang menatap dirinya. Mereka saling pandang, pria itu tersenyum samar. Sementara Elara mengerjap karena merasa bingung. Dengan cepat pria itu menyingkir dari hadapan Elara untuk bergabung kembali dengan teman-teman bela dirinya. Sementara Elara, wanita itu menautkan kedua alis. Dia berdecak kesal karena tidak dapat menyentuh pedang itu.
"Ck, menyebalkan!"gerutu Elara.
Setelah pertunjukan selesai, pria yang tadi mengambil pedang miliknya. Melirik ke arah wanita yang begitu berani ingin menyentuh benda kepunyaannya. Dia tersenyum miring ketika melihat wajah cantik yang jutek itu.
"Kenapa dia tidak tersenyum? Semua orang bersorak riang. Tapi, dia malah biasa saja dengan wajah datarnya itu,"gumamnya.
Bruk!
Elara merebahkan tubuhnya yang terasa sakit. Dia rasa OSPEK sangat menyebalkan, tubuhnya terasa lelah dan terbaring di atas kasur dalam kosnya yang tidak terlalu besar. Sejak masuk kuliah, dia memutuskan untuk mencari kos yang cukup dekat dengan kampusnya agar dia bisa berjalan kaki saja. Di dalam kos ini dia tinggal sendiri, namun bagi Elara kesendirian dan kesunyian bukanlah hal yang akan membunuhnya. Walau terkadang dia merasa sedih dan menangis dalam keheningan atas perasaan sepi dalam hidupnya. Perempuan itu sama sekali tidak takut, baginya mati dalam keheningan bukanlah hal yang buruk. Selama ini dia selalu meminta kematian dari Tuhan, tapi sayangnya kematian belum ingin mendatanginya. Bohong jika dia tak pernah berpikir untuk mengakhiri hidup, bahkan hampir setahun lalu dia selalu berpikir 'apakah sebaiknya dia mati saja?' Satu-satunya alasan baginya untuk hidup dan bahagia telah tiada, meninggalkan rasa takut akan cinta dan harapan dalam hatinya.
"Aku merindukanmu Haru .... , tidak ada orang yang sama sepertimu. Mungkin satu tahun telah berlalu, tapi rasa cintaku masih tetap sama."gumam Elara sambil menutup mata, membiarkan air matanya menetes membasahi pipi.
Elara mengerjap dengan mulut yang sedikit terngangah, dia terkejut melihat Aira sudah berada di depan pintu kos nya, entah sejak kapan wanita itu berada disana.
"Lo ngapain kesini?"tanya Elara.
"Hehe, gue mau numpang di kos lo selama 2 hari ini. Soalnya gue kapok karena ketahuan bawa motor pas OSPEK ke kampus. Kating pada rese kalau masalah peraturan."jelas Aira sambil memanyunkan bibirnya.
"Ck, nyusahin lo! BTW, lo di antar siapa ke kos gue? Udah malam gini, apa lo bawa kendaraan sendiri?"tanya Elara.
"Hehe, gue di antar sama my hubby lah!"jawab Aira dengan bangga.
Elara memutar bola mata malas, "ck, bulol lo! Patah hati baru tahu rasa!"ledek Elara.
"Gue mah gak bakal patah hati lama-lama, nanti gue cari yang baru kalau putus sama pacar gue!"jawab Aira.
"Ah berisik lo! Udah cepat masuk! Atau gue tutup nih pintu!"tegas Elara.
Aira kaget, dia dengan cepat melakukan langkah seribu untuk segera masuk kedalam kos sederhana milik Elara. Sejak tadi Elara bersedekap dada sambil terus menghela nafas, dia benar-benar di buat geram dengan Aira yang sengat lelet untuk memasang sepatu. Padahal mereka harus sampai di kampus jam 06:00.
"Buruan! Entar kita di hukum!"tegas Elara.
"Ya sabar dong! Lagi masang sepatu nih!"sahut Aira.
Nafas keduanya terengah-engah, mereka memasuki wilayah kampus. Namun saat kaki mereka akan melangkah ke lapangan tempat para mahasiswa baru berkumpul. Mereka dihentikan oleh beberapa kakak tingkat yang bertugas di bidang keamanan dan ketertiban. Mereka, para kakak tingkat itu bersedekap dada sambil menatap datar dua orang perempuan yang menggunakan name tag terbuat dari kardus, menggunakan kemeja putih dan rok hitam garis-garis dibawah lutut.
"Darimana aja ha!? Kalian telat!"
Suara tegas dari salah satu mereka membuat Aira menegang, membuat wanita itu memundurkan langkahnya dan bersembunyi di balik tubuh Elara. Kedua bola mata Elara melebar saat melihat Aira malah menjadikan dirinya sebagai tameng, padahal dia juga tidak terlalu berani. Memang raut wajahnya terlihat seperti orang yang tak kenal takut dan jutek. Tapi, sebenarnya Elara adalah wanita yang lembut. Dia juga sering merasa takut, tapi dirinya berusaha menutupi perasaan itu.
"Berani kamu menatap saya begitu ha!?"
Deg!
Elara merasa takut, dia ingin sekali menghindari tatapan tajam dari pria tinggi yang saat ini sedang menatap serius dengan wajah datar kepadanya. Namun, rasa gengsi dan juga keras kepala Elara lebih besar. Dia tidak akan pernah menunjukkan rasa takutnya itu. Dia tidak mau menunduk sama sekali. Sementara Aira sudah sejak tadi menunduk sambil terus menggenggam tangan Elara.
"Jangan kasar-kasar Es, biasa aja. Jangan terlalu over dong." bisik Vero.
Pria tampan, hidung mancung dan kulit putih yang bersih itu hanya diam dengan masih menampilkan wajah datarnya. Dia bersedekap dada sambil memperhatikan wanita yang memiliki tinggi badan hanya sebatas dadanya saja. Sangat kecil, tapi wanita itu cukup menarik karena sama sekali tidak menunjukkan rasa takut di hadapannya.
"Karena kalian terlambat, kalian harus dihukum."ujar Vero.
"B-baik Kak, kami setuju."jawab Aira dengan terbata.
O9
"Besok gak boleh telat, ingat itu!"tegas Vero.
Aira dan Elara mengangguk paham, mereka segera mengikuti Vero yang akan memberikan mereka hukuman. Sementara pria yang tadi berbicara tegas kepada Elara dan Aira, masih bergeming di tempat sambil memandang punggung wanita yang baru saja melewatinya.
"Dia tidak ingat aku? Padahal kemarin kami saling berpandangan cukup dekat,"gumamnya.
Aira dan Elara meminum air dari botol mereka masing-masing dengan rakus. Ternyata berlari mengelilingi lapangan depan kampus itu sangat melelahkan, kedua kaki mereka terasa ingin patah.
"Gara-gara lo nih!"ujar Elara.
"Ya maaf, besok janji gak gitu lagi deh."balas Aira.
"Semuanya! Dengar! Kemarin adalah pembukaan OSPEK, hari ini kita akan bersiap-siap untuk menampilkan yel-yel! Kalian harus melakukan persis yang sudah kita latih ya. Paham!"
"Siap Kak!"
Gugus 26 menjawab lantang perintah dari kakak penanggung jawab gugus mereka. Jika yel-yel mereka bagus, maka mereka akan mendapatkan hadiah. Itu cukup menarik, Aira cepat sekali merasa senang. Dia sudah kembali bersemangat, tidak merasa lelah lagi. Sementara Elara menghela nafas karena harus melakukan yel-yel bersama dengan teman-teman gugusnya yang lain. Dia sebenarnya tidak terlalu suka di tengah keramaian, maka dia cukup beruntung bisa satu gugus dengan Aira, teman yang cukup ia kenali. Walupun terkadang dia merasa jengkel dengan temannya itu.
"Woy El! Lo kenapa sih tadi tumbenan mau mendisiplinkan anak-anak baru? Biasanya lo cuma diam dan memperhatikan semua dari jauh aja."ujar Wilow.
"Lagi mau aja gue,"jawabnya.
Suara riuh akibat yel-yel dari para mahasiswa baru membuat mereka penasaran. Mereka berjalan untuk melihat para mahasiswa baru itu. Wilow seperti biasa akan tebar pesona kepada para wanita-wanita. Sehingga membuat mereka menjerit melihat pria dari jurusan Akuntansi itu mengedipkan mata. Mereka sedang berada di lantai 2, melihat para mahasiswa baru yang berkumpul di lapangan dari atas.
"Aw! Kakak itu ganteng banget cuy."seru Aira.
"B aja! Ciri-ciri play boy itu!"jawab Elara dengan santai.
"Ck, lo ini ngapa dah? Semua cowok selalu gak benar di mata lo. Elara sayang, lo ini duta jomblo abadi! Coba lo tuh buka hati buat cowok dekati lo."ujar Aira.
Elara diam, membuat Aira merasa kesal. Elara selalu saja mengalihkan pembicaraan mengenai perasaan. Wanita itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aira memang satu kelas dan satu sekolah dengan Elara, tapi itu saat mereka masih SMP. Semenjak SMA, mereka berbeda tempat. Tapi, saat kuliah, Aira kembali dipertemukan lagi dengan Elara. Ada beberapa perubahan dari wanita itu, dulu Elara sangat aktif, dia sering bercanda dan tertawa. Dia adalah wanita periang. Tapi, Aira cukup terkejut melihat Elara yang sekarang sangat jauh berbeda. Apa yang telah terjadi dengan wanita itu? Ingin sekali Aira mencari tahu, tapi dia tak mau membuat Elara merasa tak nyaman.
"Sebenarnya kenapa si lo itu ..."
"Udah ayo cepat! Kita harus kembali ke gugus kita!"sahut Elara yang langsung menarik Aira untuk pergi.
Wilow melihat kearah dua wanita yang tadi dihukum oleh Vero. Dia memanggil kedua wanita itu, membuat Elara dan Aira mendongak menatap ke atas. Aira dengan bersemangat membalas lambaian tangan pria tampan di atas. Sementara Elara menatap datar sambil bersedekap dada.
"Woy adek tingkat, minta nomor telepon boleh kali lah!"teriak Wilow dari atas.
"Sangat boleh Kak! Aku akan dengan senang hati kasih!"balas Aira sambil berteriak riang.
"Ck, apaan sih lo!"sahut Elara dengan geram.
Aira menoleh, "berisik lo jomblo, gue lagi di fase menyeleksi jodoh nih!"jawab Aira.
Elara mendengus, sungguh Aira merupakan wanita yang di laur nalar. Katanya sudah punya kekasih, tapi dia tetap mencari-cari pria yang lebih baik. Aira memang punya kekasih, tapi dia tidak terlalu perduli, cenderung cuek pada hubungan yang serius. Terkadang membuat Elara merasa pusing dengan kisah cinta temannya yang penuh drama itu.
"Gue pergi dulu ya! Mau ambil nomor cewek cantik di bawah dulu!"ujar Wilow.
Wilow tersenyum merekah menghampiri Aira dan juga Elara. Aira tentu menerima kehadiran kakak tingkat tampan itu. Sementara Elara memutar bola mata malas. Membuang waktu saja untuk berkenalan dengan orang seperti Wilow.
"Hallo adek tingkat, mau pada nunjukin yel-yel ya?"sapa Wilow.
"Iya nih Kak, tapi gugus kami masih belum di panggil sih."jawab Aira.
"Gimana? Jadi kasih nomornya?"tanya Wilow sambil mengedipkan satu matanya.
"Tentu!"seru Aira.
Mereka begitu antusias untuk bertukar nomor, sementara Elara hanya bersedekap dada wajah datarnya itu. Dia memang merasa kaku jika di hadapan para kaum adam, tapi dia masih bisa tersenyum manis jika berhadapan dengan orang-orang tertentu saja. Wilow tersenyum bangga karena merasa pesonanya belum luntur, buktinya para wanita masih terus mengejar dan terbuai akan rayuannya. Namun, matanya melirik kepada seorang perempuan berambut panjang hitam yang di ikat kepang dua. Wanita itu sama sekali tidak menatap dirinya, walupun wajah wanita itu terlihat jutek. Tapi, Wilow akui perempuan itu cukup cantik.
"Ehem! Itu siapa?"ujar Wilow sambil menatap ke arah Elara.
"Oh ini, dia temanku, namanya Elara."jawab Aira.
"Oh begitu, nama Kakak Wilow. Panggil saja Kak Wilow ya. Nama kamu siapa?"tanya Wilow.
"Aku Aira Kak."balas Aira sambil senyum-senyum.
"Udah belum!? Buruan! Nanti kita ditinggal!"sahut Elara dengan ketus.
"Hehe, maaf ya Kak Wilow. Teman aku yang satu ini rada-rada. Mirip mak lampir!"ujar Aira sambil tersenyum.
"Pftt ... ,ya gak apa-apa."balas Wilow sambil menahan tawa.
Elara melotot, dia merasa marah karena Aira menyamai dirinya seperti seorang mak lampir. Sementara Aira malah bersikap acuh dengan tatapan tajam Elara yang seperti akan menusuk ke dalam jantung nya saat ini.
"Oh ya, dek Elara. Boleh minta nomornya juga gak?"tanya Wilow sambil tersenyum menggoda.
Elara diam, dia mengamati dari atas sampai bawah pria yang tersenyum seperti iblis yang bodoh di hadapannya dan juga Aira. Sungguh Elara ingin berkata kasar saat ini, tapi wanita itu masih menyanjung yang namanya kesopanan. Dia tidak mau membuat masalah yang akan berdampak pada dirinya sendiri nanti.
"Maaf Kak, saya lupa nomor saya, dan HP saya ketinggalan. Maaf ya."jawab Elara sambil tersenyum tipis.
Deg!
Melihat senyuman tipis Elara, membuat jantung Wilow terasa ingin copot. Ternyata wanita berwajah jutek itu kalau sudah tersenyum sangat manis, walau senyuman itu sangat tipis dan berlangsung singkat. Namun Wilow bisa melihat sedikit lesung pipi di pipi kanan wanita itu.
"Kak? Kakak baik-baik saja?"tanya Aira, merasa bingung melihat Wilow yang melamun.
"Hah? I-iya, ok kok. Oh ya, Dek Elara. Gimana kalau besok aja kasih nomor HP nya ke Kak Wilow? Gimana?"tawar Wilow sambil tersenyum.
Elara tersenyum paksa, siapapun tolong dirinya saat ini. Dia ingin sekali mengeluarkan kata-kata mutiara dari selama mulutnya. Dia benar-benar muak melihat pria berkata manis seperti Wilow ini. Bisa-bisa dia akan cepat mati karena terkena diabetes.
"Oy El! Gimana!?" bisik Aira sambil menyenggol bahu kiri Elara.
"Ck, apasih lo!"balas Elara setengah berbisik.
"Wilow! Cabut! Kita harus urus mata kuliah!"
Mereka menoleh, betapa terkejutnya Aira ketika melihat seorang pria tampan dan juga tinggi. Sangat mirip dengan artis negeri ginseng, Aira tanpa sedar tak bisa berkedip melihat pemandangan indah di depannya. Sementara Elara melotot ketika melihat pria yang baru saja tiba itu, dia ingat sekali jika pria itulah yang berbicara kasar kepada dirinya dan juga Aira saat terlambat.
"Waduh! Iya gue lupa bro!"ujar Wilow.
"Hem, sejak kapan kau ingat kalau sudah melihat target,"balasnya sambil bersedekap dada.
"Wah, indahnya lekuk ciptaan Tuhan."puji Airs dengan mulut terngangah.
"Nyebut lo! Air liur lo noh mau tumpah!"ujar Elara dengan sinis.
"Ck, berisik! Gue mau menikmati pria tampan!"balas Aira sambil mendelik menatap Elara.
"Girls, Kak Wilow pergi dulu ya. Bye ...." ujar Wilow.
Wilow dan temannya langsung pergi, Aira melambaikan tangan sambil menatap kagum dengan pria tampan yang baru saja ia lihat. Teman Wilow itu menoleh, menatap Elara. Membuat Elara tertegun, dia jadi merasa salah tingkah. Walaupun dia masih bisa menutupi perasaannya dengan raut wajah jutek itu.
"El, lo kenal sama tuh Kaka ganteng?"tanya Aira.
Elara menggeleng cepat, "gak tuh! Mana ada gue kenal sama dia."jawab Elara.
"Hem, iya juga ya. Gak mungkin sih, jelas banget lo nih kan jomblo abadi. Bahkan cowok jarang dekati lo karena wajah lo yang selalu ditekuk!"ledek Aira.
"Sialan lo!"balas Elara.
Aira tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah marah Elara. Dia senang sekali melihat Elara yang begitu kesal, Elara yang sekarang memiliki kesabaran setipis tisu di bagi delapan. Padahal Elara yang dulu sama sekali tidak suka marah-marah.
“Lo kenapa?”bisik Elara.
Aira memegang perutnya, sejak tadi dia terus saja bergerak gelisah, membuat Elara merasa kepikiran. Sebenarnya Elara itu cukup peka, dia terkadang sadar dengan semua situasi yang di alami orang-orang disekitarnya. Tapi dia memilih untuk diam dan abai. Makanya terkadang Elara di panggil sebagai wanita berhati dingin, bahkan tak punya hati.
“Gue kebelet pipis!”balas Aira dengan keringat yang sudah membasahi dahinya.
“Apa!? Kenapa gak tadi ha!? Giliran narasumber motivasi lagi ngasih inspirasi ke kita, lo malah mau pipis!”geram Elara.
“Ck, mana gue tahu kalau mau kebelet!”jawab Aira.
Melihat wajah putih Aira yang terlihat pucat, membuat Elara merasa kasihan. Dia menghembuskan nafas, lalu memberanikan diri untuk izin keluar membawa serta Aira. Untunglah kakak yang menjaga pintu keluar berbaik hati mengizinkan mereka untuk pergi. Aira berjalan dengan cepat, sementara Elara menyusul dibelakangnya.
“Mau ke toilet Dek?”
“Iya Kak! Boleh kan?”jawab Aira yang sudah merasa tak tahan lagi.
Elara terkejut melihat ada beberapa kakak tingkat yang berdiri di dekat tangga, sepertinya mereka sedang menjaga ketertiban.
“Sabar ya Dek, masih ada orang di toilet. Gantian, soalnya kalau gak di atur. Nanti kalian pada jatuh karena saling tabrak saking terburu-burunya.”
Aira mengangguk patuh, “iya Kak,”balasnya.
Elara sebenarnya juga ingin segera ke kamar mandi, dia juga sudah sejak lama menahan rasa mules. Tapi, wanita itu seperti biasa tidak akan terlihat sedang merasakan sakit atau tidak. Aira sejak tadi terus saja bergerak gelisah, membuat Elara juga turut merasakan perasaan gelisah dan juga semakin mules saja.
“Apa masih lama orang di toilet bawah sana!?”
“Masih kayaknya bro.”
Elara menoleh ke sumber suara, dia kembali tertegun saat tak sengaja melihat teman dari pria bernama Wilow. Sementara Aira kembali terpukau saat melihat pria tampan yang tadi ia temui saat ini sedang duduk di dekat sebuah jendela yang tidak jauh dari tangga tempat ia dan Elara berada.
“Loh? Kakak ganteng? Kakak temannya Kak Wilow tadi kan?”tanya Aira dengan antusias.
“Ck, apa-apaan sih lo!”tegur Elara sedikit berbisik.
“Iya, saya Estele.”balas Estele sambil tersenyum.
“Omo! Ya ampun mataku!”seru Aira, mengabaikan tujuannya ke toilet.
Elara menepuk jidat, dia benar-benar ingin memukul kepala Aira yang selalu saja suka dengan semua pria tampan yang ia temui. Sementara Estele terkekeh, dia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati dua perempuan yang tadi ia lihat di lapangan. Matanya menatap ke arah Elara, sementara orang yang sedang ia tatap membuang muka dan bersikap acuh.
“Kalian mau ke toilet ya? Sabar ya, mungkin masih antri di toilet bawah. Atau mau saya antar ke toilet atas?”ujar Estele dengan sopan.
“Hah? Emangnya Kakak mau?”balas Aira.
Estele mengangguk, “tentu, karena saya adalah salah anggota panitia keamanan. Kamu lupa pernah di bentak sama saya?”kata Estele.
“Eh?”
Aira diam, dia berusaha mengingat kejadian satu hari yang lalu. Dia terkejut, baru ingat jika pria tampan yang ia puja saat ini adalah pria yang telah membuat dia merasa takut tempo hari.
“Maaf ya, karena saya membuat kalian takut.”tutur Estele sambil tersenyum.
“Omo! Ya ampun! Ternyata Kakak gak seburuk waktu itu!”seru Aira sambil menutup mulut dengan tangan, saking tidak percayanya.
Elara hanya diam, bukan karena merasa sebal dengan Aira yang baru sadar. Tapi, tiba-tiba saja perutnya benar-benar terasa sakit. Sepertinya dia harus pergi duluan, meninggalkan Aira yang sangat bersemangat untuk berbincang pada pria tampan yang telah menyapa mereka. Elara berlari melewati kakak yang menjaga dekat tangga, masa bodoh dengan aturan. Dia mau ke toilet sekarang juga.
“Hei Kau!”
Teguran itu membuat Estele dan Aira melotot kaget melihat Elara yang sudah berlari menuruni anak tangga. Elara sudah berada di tangga kedua, tapi tiba-tiba saja dia merasa tak sanggup untuk berjalan lagi. Perutnya benar-benar keram, dia berjongkok sambil memegang sisi tangga yang terbuat dari kayu.
“Aww! Sakit!”ringis Elara.
“Elara!!! Lo kenapa!? Lo kok tega ninggalin gue!”teriak Aira.
Aira terkejut melihat temannya yang meringkuk sambil memegang perut. Aira menjadi panik, dia merangkul kedua bahu Elara. Berusaha menenangkan wanita yang tiba-tiba saja diam sambil menyembunyikan wajahnya di kedua lutut milikinya.
“Hosh … ,hosh. Dia kenapa?”
“Gak tahu Kak, tiba-tiba aja begini.”balas Aira dengan khawatir.
“Permisi, biar saya saja yang menolongnya.”sahut Estele.
“Lo? Yakin bro? Beneran gak apa-apa? Tapi, seharusnya ini tugas tim medis.”
“Gak apa-apa, gue aja.”tegas Estele.
Aira menyingkir, dia membiarkan Estele berjongkok disebelah Elara yang masih meringkuk tanpa bersuara. Estele merangkul kedua bahu Elara, membuat Elara mendongak. Kedua mata mereka bertemu. Estele tersenyum, dia berusaha membantu Elara untuk bangun.
“Ayo, saya bantu untuk ke ruang medis.”tutur Estele.
“Tidak perlu, aku baik-baik saja!”tolak Elara dengan wajah yang sudah pucat.
“Jika kamu menolak, saya akan memaksa.”bisik Estele sambil tersenyum tipis.
Elara melotot, dia terkejut mendengar ucapan pria asing yang baru saja ia temui itu. Sementara Estele melah nampak biasa-biasa saja, bahkan pria itu tersenyum ramah sambil menatap kedua bola mata wanita yang berhasil membuat dirinya penasaran.
“Gila.”gumam Elara pelan dengan wajah yang tampak kesal.
“Iya, saya memang gila. Kamu telah membuat saya merasa penasaran loh.”balas Estele.
Elara bergidik ngeri, dia merasa kesal sekali takut dengan pria di sebelahnya. Sepertinya dia terlihat seperti orang yang baik-baik, tapi ada kilatan ambisi didalam mata pria itu yang membuat Elara harus merasa berhati-hati. Di tengah kewaspadaannya, tiba-tiba saja perutnya kembali terasa sakit. Tubuhnya hampir saja terjatuh, untunglah Estele dengan sigap memegang pinggang Elara. Lalu dengan cepat menggendong wanita itu dalam dekapannya. Hal itu membuat Aira dan beberapa orang disana terkejut bukan main. Sementara Elara sama terkejutnya, tapi wanita itu merasa tak berdaya saat ini karena perutnya benar-benar semakin terasa sakit.
****
“Kamu sudah bangun hmm?”tanya Estele.
Elara terkejut, dia yang tadi berbaring langsung duduk dengan punggung yang bersandar di sandaran kasur ruang medis. Dia terkejut melihat kehadiran pria asing yang tengah duduk di kursi sebelah tempat ia berbaring.
“Kenapa kaget? Kan tadi saya yang menolongmu.”tutur Estele.
“Hah? I-ya, untuk itu terimakasih Kak.”balas Elara dengan gugup.
“Kamu lucu, apa kamu tidak ingat saya?”tanya Estele.
“Hah? Hem … , anu. Tidak.”balas Elara sambil menggeleng.
Estele diam, dia mengamati wajah wanita dihadapannya. Sementara Elara merasa sedikit salah tingkah ditatap begitu, walupun dia tidak terlalu tertarik dengan pris tampan di sebelahnya itu. Tapi tetap saja dia merasa risih dan salah tingkah di tatap begitu lekat.
“Terimakasih telah menjagaku Kak. Kamu boleh pergi, biar saya sendiri saja disini.”ucap Elara.
“Pfft … ,haha, kamu ini lucu ya.”ujar Estele sambil menahan tawa.
“Apa? Maksud Kakka apa ya?”tanya Elara dengan alis yang tertaut.
Estele menggeleng, “tidak ada, saya belum mau pergi. Saya akan menjaga mu disini, lagipula temanmu itu pasti tidak akan bisa keluar dar acara OSPEK saat ini.”jelas Estele.
Elara mengangguk, apa yang dikatakan oleh pria asing itu benar adanya. Tapi, dia lebih suka sendirian saja daripada ditemani oleh pria asing di dalam ruangan yang hanya ada mereka berdua saja. Astaga! Elara baru sadar akan hak itu. Dia merasa takut dan gelisah. Melihat Elara yang mendadak memundurkan tubuh untuk sedikit memberikan jarak kepadanya. Membuat Estele menghela nafas.
“Jangan takut, saya tidak akan macam-macam.”tegas Estele sambil mengacak-acak puncak kepala Elara.
Deg!
Elara tertegun, setelah sekian lama. Baru pertama kali ada yang mengelus kepalanya dengan lembut. Dia ingin menangis, teringat kenangan indah bersama ayahnya dan ia juga teringat akan pria yang ia cintai di masa lalu.
“Hiks … , Haru, aku rindu ….”monolog Elara dengan lirih.
“Tersenyumlah, izinkan aku melihat senyuman mu itu seperti dulu.”ujar Estele sambil tersenyum.
Elara diam, dia merasa bingung melihat pria dihadapannya. Kenapa pria itu mengatakan ingin melihat senyumannya itu lagi? Memang kapan dirinya pernah tersenyum pada pria itu? Sungguh membuat Elara merasa pusing. Sementara Estele menopang dagu sambil menatap wajah Elara yang cantik.
“Ada apa!?”tanya Elara yang mulai berbicara ketus.
“Kamu cantik, jangan dekati Wilow. Dia itu play boy.”pinta Estele dengan serius.
Elara kehabisan kesabaran, kenapa para kakak tingkat pria yang sejak tadi ia temui selalu saja menguji iman dan kesabarannya. Dia sudah berusaha untuk sabar dan bersikap baik serta sopan.
“Apa sih! Gila Kakak ya!? Terserah saya mau senyum apa enggak, dan terserah aku kalau mau dekat sama siapa! Aneh!”tegas Elara.
Elara tidak suka berlama-lama dengan Estele. Dia beranjak bangkit dari tempat tidur, pergi melewati Estele begitu saja dengan wajah di tekuk karena kesal.
“Elara, kamu membuatku penasaran.”guman Estele sambil tersenyum miring.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!