Di suatu pagi terlihat seorang wanita muda sedang menyusui bayi laki-laki yang baru dilahirkannya. Air susunya berlimpah sehingga anak itu langsung bisa menyusu pada ibunya tanpa harus bersusah payah.
Pandangan Delima menoleh ke arah pintu yang didorong dari luar. Terlihat lah suami tercinta berjalan mendekatinya sambil tersenyum. Namun sedetik kemudian memasang wajah serius lalu duduk di depan Delima sambil mengelus kepala jagoannya yang ada dalam gendongan Delima.
"Delima sayang, maaf Mas harus ke kantor. Ada teman Mas yang enggak masuk lima orang kena DBD. Jadi Mas diminta untuk masuk kerja, hitungannya lembur dan dibayar 10 kali lipat."
Walau sangat berat dan ingin menolak, namun dengan uang yang ditawarkan perusahaan Azka sangat berarti bagi kehidupan mereka yang hanya mengandalkan dari pekerjaan Azka sebagai OB.
Sebuah senyum dan anggukan kecil pun Delima tunjukkan pada Azka. Ia tidak apa-apa harus ditinggal sekarang ini. Toh ia melahirkan secara normal di rumah bidan yang tidak jauh dari rumahnya.
"Ya udah, Mas sekarang kerja dulu ya. Nanti Mas kabarin kalau ada apa-apa. Kamu nanti hati-hati pulang dari sini, di rumah ada makanan yang tadi Mas buat untuk ibu dan kamu juga."
Seperti itu lah Azka, pekerjaan memasak sudah sangat akrab dengannya. Di mana ia juga masih memiliki satu orang tuanya yaitu ibu Yunita. Sudah lama sang ibu terkena stroke, sehingga tidak mampu apa-apa. Semuanya hanya dilakukan di tempat tidur. Azka dan Delima bahu membahu mengurus ibu Yunita sebagai bakti mereka pada orang tua.
"Iya, Mas. Mas juga hati-hati kerjanya." Delima mengulurkan tangan untuk salim pada Azka. Pria itu pun menerimanya sehingga Delima bisa mencium punggung tangan Azka.
"Ayah berangkat kerja ya, jagoan." Tak lupa juga Azka berpamitan pada bayi merahnya sambil mencium keningnya. Lalu Azka kembali pada pamit Delima dan Delima mengiringi kepergian Azka dengan senyum.
Waktu terus berjalan, Delima sudah kembali ke rumah sederhananya bersama suami. Ia menaruh bayinya di kasur, bayi yang sudah kenyang menyusu.
Ia segera melihat keadaan ibu Yunita, wanita itu tersenyum sambil menujuk area bawah dengan matanya. Delima yang mengerti pun tersenyum.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya ganti pampersnya." Ibu Yunita mengangguk pelan. Walau risih dan sangat malu namun ia tak bisa mengurus diri sendiri.
Dengan telaten dan tanpa rasa jijik Delima membersihkan kotoran ibu Yunita sampai selesai, lalu dipakaikan lagi pampers yang baru dan tentu saja ibu Yunita sudah nyaman kembali. Dilanjutin dengan meninggikan tumpukan guling bantal ibu Yunita karena Delima akan menyuapi makan lalu memberinya obat diberikan dokter.
Hampir satu jam lamanya Delima mengurus ibu Yunita sampai wanita sakit itu tidur dengan pulas. Delima kembali ke kamar dan bayinya pun masih tertidur lelap. Ia merebahkan tubuh lelahnya di samping bayinya. Ia lupa kalau tadi subuh baru melahirkan dan membutuhkan waktu istirahat.
Sebelum ia memejamkan mata, Delima menyempatkan diri melihat handphone. Siapa tahu ada kabar dari suami tercinta. Namun ternyata tidak ada apa-apa. Padahal biasanya selalu ada kabar namun ini sudah pukul tujuh malam tidak ada kabar berita. Ia pun menaruh kembali handphonenya. Baru juga ia memejamkan mata, handphonenya bergetar dan ia segera bangun untuk menjawab panggilan telepon. Dan kali ini dari nomer suaminya.
"Assalamualaikum, Mas."
"Waalaikumsalam, mbak Delima. Maaf saya Fandi, teman satu kantor Azka. Maaf sebelumnya, kalau sekarang Azka sedang ada di rumah sakit."
Deg deg deg
"Mas Azka di rumah sakit? Sakit apa? Kenapa bisa di rumah sakit?." Delima begitu panik dan pikirannya sudah jauh entah kemana. Memikirkan hal terburuk sekalipun, supaya ia kuat menghadapi kenyataan. Namun sangat berharap suaminya tidak apa-apa.
"Jatuh..."
Brak
Handphone dan tubuh Delima jatuh bersamaan. Kembali mencerna apa yang didengarnya. Kemudian sebelum ia bangkit dan segera bergegas pergi ke rumah sakit.
.....
"Lama juga ya Bang Azka di dalam?."
"Mungkin lukanya lebih parah dari yang kita lihat."
"Iya ya, kita aja sampai enggak tega melihatnya. Remuk pasti badan Bang Azka."
"Tadi ada yang lihat jatuhnya enggak?."
"Aku lihat, masih ada juga beberapa orang yang lihat. Itu Bang Azka mau membersihkan kaca jendela bagian luar tapi mungkin enggak nyampe tapi badannya sudah hampir keluar semua. Jadinya jatuh karena enggak ada pegangan lagi."
Hening, tidak ada lagi obrolan apapun. Mereka semua menatap iba pada Delima yang duduk seorang diri di depan ruang operasi. Selanjutnya ada yang memulai lagi obrolannya.
"Pasti dapat kompensasi ya dari kantor?."
"Seharusnya dapat, itu kan kecelakaan di tempat kerja. Apalagi Bang Azka lagi cuti juga."
"Gede dong ya kalau ada kompensasinya?."
"Mending sehat lah daripada begini! Bagaimana sih kamu?."
"Iya juga sih, lebih baik sehat. Jadi kita bisa melakukan apa saja."
Mereka mengangguk menyetujui.
"Ini petinggi perusahan tidak ada yang datang ke sini?."
"Mungkin nanti, Bang. Mereka lagi sibuk. Masa iya enggak ada yang datang?."
Itu percakapan yang bisa di dengar Delima dari sekian banyaknya yang teman-teman Azka bicarakan mengenai kecelakaan Azka. Dari tempatnya menunggu saat ini. Pintu ruang operasi masih tertutup rapat. Yang bisa dilakukannya hanya menunggu sama seperti yang lain. Ia hanya duduk seorang diri, meninggalkan bayi dan ibu mertuanya bersama tiga orang wanita teman Azka juga.
Iya, Azka mengalami kecelakaan. Jatuh dari lantai delapan gedung kantor karena sedang membersihkan jendela. Kondisi Azka sangat memprihatinkan namun masih bernyawa saat dibawa ke rumah sakit. Itu informasi yang diterima Delima dari mereka yang melihat langsung kejadian Azka terjatuh. Semoga saja Azka selamat dan tidak kekurangan suatu apapun.
Tak berselang lama pintu terbuka dan muncul dokter lalu memanggil keluarga pasien. Dengan perasaan takut Delima berdiri dan memaksakan kakinya untuk melangkah menghampiri sang dokter. Dengan suara bergetar dan lelehan air mata Delima bertanya pada dokter tersebut.
"Bagaimana suami saya, dok?."
"Maaf, tapi saya harus sampaikan dengan berat hati. Suami ibu tidak dapat kami selamatkan."
Duuuaaarrr
Detak jantungnya berhenti, dunianya menggelap, hidupnya tak lagi sempurna, hatinya sangat hancur. Ia kehilangan suami yang telah mencintainya dengan segenap jiwa raga. Penglihatan Delima kabur sedetik kemudian,
Brak
Delima jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Teman-teman kerja Azka membantunya, dipindahkan ke atas kursi yang berderet. Sebagian ada yang mengurus jenazah Azka.
Cukup lama Delima pingsan dan ia sudah berada di kamarnya. Para tetangga memenuhi ruangan tengah rumah Delima dimana baru saja mereka pulang dari pemakaman. Ia sendiri tak menyaksikan pemakaman Azka karena tak mungkin mereka menunggu Delima sadar untuk memakamkan Azka, itu juga sudah menjelang pagi Delima baru sadar.
"Mas Azka..." Delima terperanjat, hampir saja tangannya mengenai bayi merah yang ada di sampingnya. Air matanya berjatuhan, mengingat kabar duka yang disampaikan dokter. Kemudian Delima meraih bayi yang belum sempat diberi nama oleh suaminya. Bahkan ia sampai melupakan kehadiran bayi merah itu yang kini yatim.
"Bayimu menyusu padaku, untung saja mau." Kata tetangga sebelah rumah.
Delima menatap intens bayi mungilnya dengan air mata yang terus berjatuhan.
"Terima kasih, Mbak"
"Sekarang temui para tetangga di ruang di tengah, mereka sengaja menunggui kamu."
Delima mengangguk lemah. Semakin deras air mata Delima berjatuhan. Delima merapatkan bayinya, mendekap erat bayi merahnya. Menciuminya penuh sayang. Bayinya sangat malang, mereka sangat malang.
Bersambung
Duka kehilangan suami tercinta masih sangat mendalam. Tangis yang tak pernah berhenti, matanya selalu basah, hatinya masih menjerit selalu memanggil suaminya. Tanah kuburannya pun masih belum kering. Kini duka itu harus bertambah lagi saat Delima diminta datang oleh pihak perusahaan Azka setelah empat hari kepergian Azka. Dimana sekarang ia sedang melihat sebuah rekaman. Dimana dalam tayangan itu terlihat jelas suaminya meloncat dari jendela. Bukan jatuh karena kecelakaan seperti yang diceritakan teman-teman kerja Azka.
"Karena ini murni bunuh diri bukan kecelakaan seperti rumor yang beredar. Maka perusahaan tidak akan mengeluarkan kompensasi sepeser pun atas meninggalnya Azka. Kami hanya akan membayar uang lemburnya saja, yang dijanjikan perusahaan yaitu 10 kali lipat." Kata salah satu dari mereka yang mewakili perusahaan.
Tes tes tes
Air mata yang sejak tadi ditahannya kini berjatuhan tanpa kendali di depan dua orang yang memiliki jabatan penting di perusahaan. Satunya mengaku sebagai manager Azka dan satunya lagi mengaku sebagai direktur utama perusahaan.
Bukan hanya karena uang yang tidak jadi didapatkannya. Namun hatinya begitu sakit dengan tuduhan yang dialamatkan pada suaminya. Setahunya, tidak mungkin Azka bunuh diri kalau melihat sikap dan sifat Azka selama hidup. Tapi ia juga tidak bisa menyangkal apa yang ada pada layar monitor CCTV.
Benar lah suaminya sengaja mengakhiri hidupnya?.
"Bahkan yang kami tahu, Azka memiliki beberapa pinjaman online yang sudah jatuh tempo. Mungkin itu bisa kamu tanyakan langsung pada Debt Collector yang nanti menagih ke rumah."
Deg
Apalagi ini? Pinjaman online? Sejak kapan? Untuk apa? Kenapa dirinya tak tahu?.
Mata basah Delima menatap lekat kedua pria yang berpakaian formal dan rapi itu. Entah kenapa ia merasa akan terus berurusan dengan kedua orang ini. Yang telah menuduh suaminya. Karena ia merasa tidak percaya dengan keterangannya meski rekaman itu sangat terlihat jelas. Hatinya yang berbicara, insting seorang istri yang menuntunnya.
Kemudian salah satu dari mereka, menyodorkan amplop putih ke hadapan Delima.
"Itu adalah uang lembur Azka."
Dengan wajah datar, Delima mengambil amplop tersebut dan segera undur diri dari sana. Rasanya ia ingin mencabik-cabik kedua orang itu. Yang telah omong kosong padanya.
Delima segera menaiki motor yang biasa digunakan Azka. Ia tak kuasa berlama-lama di tempat kerja sang suami. Air matanya masih saja banyak dan mungkin tidak akan pernah kering untuk menangisinya.
Setelah hampir satu jam berkendara. Delima tiba di rumah. Tubuhnya langsung ambruk di depan pintu sambil menutup wajahnya. Ia menangis sejadi-jadinya dengan suara yang sangat pelan. Karena ia tidak ingin membuat semakin sedih ibu Yunita.
"Sudah, ikhlas kan saja kepergian Azka." Kata tetangga sebelah sambil menggendong bayi Delima. Perempuan itu datang karena mendengar suara motor yang berhenti di rumah Delima.
Delima bangkit dari posisinya. Ia mengusap air matanya yang masih deras mengalir. Merapikan rambut yang sudah sangat berantakan. Kemudian mereka duduk saling berhadapan di kursi yang kembali ke semua setelah acara tahlilan Azka.
"Apa mbak Arti percaya kalau Mas Azka terjerat pinjaman online?." Tanyanya ambil menangis. Tangannya sibuk menghapus air mata yang melewati pipinya.
"Tentu saja aku tidak percaya! Siapa yang mengatakan itu?" tanya mbak Arti marah. Sebab setahunya Azka tidak pernah berurusan dengan pinjaman online seperti yang dituduhkan. Bahkan yang ia tahu, Azka tidak pernah berhutang pada tetangga atau saudara.
"Aku juga enggak percaya, mbak." Delima menggeleng. Lalu menyusut hidungnya yang tersumbat. Ia mengambil anaknya yang masih tidur dalam gendongan mbak Arti. Memeluknya sangat erat seolah sedang memeluk Azka.
Mbak Arti pulang setelah membantu Delima membuat makanan. Mbak Arti sangat prihatin dengan nasib Delima dan ibu Yunita. Wanita pesakitan itu tidak mau makan kalau bukan Delima yang memaksa.
Delima menaruh anak laki-lakinya di atas kasur. Ia juga ikut duduk di sana. Menatap photo pernikahannya dengan Azka. Wajah tampan dan senyum bahagia Azka terukir di sana. Ada bebarapa photo juga saat dirinya hamil, karena Azka sangat suka setiap momen memiliki satu photo yang bisa dilihatnya sebagai kenang-kenangan. Lagi-lagi air matanya jatuh, padahal Delima sangat ingin tegar mengikhlaskan Azka. Namun ternyata itu sangat susah sekali.
Delima kedatangan tamu saat sore hari, ada bebarapa teman wanita dan laki-laki Azka. Mereka membawa beberapa kebutuhan anak dan ibu mertua.
Kesempatan itu digunakan Delima untuk bertanya langsung pada orang yang melihat kejadian dimana suaminya kecelakaan. Tentu saja sebelumnya ia sangat berterima kasih dengan buah tangan mereka yang diberikan padanya.
Ternyata mereka juga memberikan itu bukan tanpa alasan. Mereka sudah mendengar kabar Azka yang tidak mendapatkan uang kompensasi namun dengan alasan yang tidak mereka ketahui. Dan ingin bertanya langsung pada Delima.
"Selain kamu dan beberapa orang karyawan apa ada orang luar yang melihat Azka terjatuh?." Tanya Delima pada Fandi. Ia akan mengambil tindakan setelah mengumpulkan bukti sebelum kembali mendatangi kantor Azka. Ia ingin membersihkan nama suaminya yang meninggal karena kecelakaan bukan bunuh diri.
"Kalau enggak salah ada, yang jualan ketoprak dan nasi goreng di ujung jalan. Tapi memang mereka enggak melihat jelas." Jawab Fandi.
"Tidak apa-apa, aku akan coba mendatanginya. Aku akan bertanya langsung nanti pada mereka."
Selain itu juga Delima mendapatkan informasi kalau Azka tidak memiliki hutang pada siapapun yang ada di kantor. Jadi tidak mungkin kalau Azka sampai memiliki hutang pada pinjaman online atau sejenisnya. Itu cukup membuat lega hati Delima. Walau sebenarnya ia sangat percaya dengan Azka.
Teman-teman Azka sudah pulang saat menjelang malam, ia segera mengurus ibu mertuanya yang hanya bisa menangis dan menangis. Masih menangisi kepergian anak satu-satunya. Apalagi kalau sampai ibu Yunita tahu penyebab meninggalkan Azka. Itu akan semakin menghancurkan hatinya.
Keesokan paginya Delima mendatangi kedua penjual yang dikatakan Fandi. Mereka melihat kejadian tersebut namun tidak tahu apa Azka terjatuh atau menjatuhkan diri. Itu cukup membuat Delima kesulitan untuk membawa mereka menghadap kedua petinggi perusahaan. Jalannya hanya satu, teman-teman Azka yang bisa benar-benar sanggup memberikan keterangan dengan benar.
Tanpa berlama-lama, siang itu juga Delima mendatangi kantor Azka setelah gagal menemukan kejelasan dari tukang ketoprak dan tukang nasi goreng. Delima sudah janjian untuk bertemu dengan Fandi dan beberapa orang di sana. Ternyata sangat tidak mudah ingin bertemu dengan kedua orang dengan posisi jabatan setinggi itu. Harus ada janji yang telah dibuat atau orang penting mana yang harus bertemu dengan mereka. Namun untungnya dengan menyebut namanya saja, Delima dapat diterima oleh kedua orang itu.
"Maaf sebelumnya, tapi di sini saya hanya ingin meluruskan mengenai kematian suami saya yang benar-benar kecelakaan bukan bunuh diri." Kata Delima langsung pada poin pentingnya.
"Teman-teman dari Azka ini yang melihatnya langsung." Kata Delima lagi tanpa rasa takut akan tatapan tidak ramah salah satu dari orang penting itu.
"Apa benar apa yang dikatakan ibu Delima ini?." Tanya orang yang memasang wajah tidak ramah.
Fandi dan keempat temannya saling pandang lalu mereka serempak menjawab.
"Tidak, Pak Davis."
"Memang benar, Azka meninggal bunuh diri karena terjerat pinjaman online." Fandi mengatakan itu dengan lantang tanpa keraguan.
Delima mengepalkan kedua tangan yang berada di atas pangkuannya. Hatinya bergejolak hebat. Matanya kembali memanas. Ada apa dengan mereka yang tadinya berada dipihaknya kini justru berada dipihak perusahan?. Kenapa mereka jadi balik ikut menuduh Azka dengan sangat keji?.
Bersambung
Sangat teramat kecewa, itu yang dirasakan Delima pada teman-teman kerja Azka saat ini. Entah kenapa mereka semua malah menjadi ada di pihak perusahaan. Walau sebenarnya itu sangat wajar kalau mereka berada di pihak perusahaan.
Andai saja mereka tak memberi harapan setinggi langit padanya. Delima tak akan bersusah payah mendatangi perusahaan Azka jika pada akhirnya ia harus kecewa juga. Ia sangat tidak butuh uang puluhan juta dari kompensasi meninggalnya Azka. Lebih ingin jika Azka masih hidup bersamanya sampai tua, memiliki banyak anak, merawat dan mendidik anak mereka kelak.
Perasaan marah dan kecewa Delima membludak ketika ada bebarapa orang yang mengaku Debt Collector dan ingin bicara padanya. Ia masih berpegangan teguh kalau suaminya tidak mungkin berurusan dengan orang-orang macam begini.
"Karena rumah ini sebagai jaminan jika Bapak Azka tidak sanggup lagi membayar hutang. Maka dalam waktu 2x24 keluarga Bapak Azka sudah harus mengosongkan rumah ini tanpa membawa barang berharga apapun yang ada di rumah. Karena hutang Bapak Azka mencapai 800 jt, kurang lebih seharga rumah ini. " Ucap seorang pria bertubuh tegap.
"Tidak mungkin suami saya berbuat keji seperti ini pada kami. Pasti itu hanya akal-akalan kalian saja. Iya 'kan?." Delima membantahnya dengan berani walau harus berurai air mata juga.
Sungguh sangat sesak dadanya, lagi dan lagi ia sangat kesakitan. Tuduhan keji demi tuduhan keji terus saja Azka dapatkan.
"Ini surat dan sertifikat rumah yang dijaminkan Bapak Azka. Ibu bisa mengecek keasliannya." Pria bertubuh tambun itu mengeluarkan surat dan untuk sertifikatnya hanya diperlihatkannya saja beberapa lama. Lalu menyodorkan suratnya pada Delima.
Dengan tangan bergetar ia menerima, menatapnya tak terpercaya namun sedetik kemudian Delima segera membacanya. Hatinya begitu hancur kala tanda tangan dan nama Azka tertera di atas materai. Hatinya mulai goyah akan sosok suami tercinta dengan kenyataan demi kenyataan yang terkuak.
Delima membawa surat itu karena ingin memastikan sesuatu. Ia segera membuka kunci lemari dan mencari sesuatu yang selama ini ia simpan ditempatnya. Dan ternyata tidak ada setelah isi lemari dikeluarkan semua.
"Tidak ada" gumam Delima sambil memegangi dada. Memukul-mukul pelan dadanya yang teramat sakit. Apa iya suaminya berbuat sejahat ini? Tapi untuk apa uang sebanyak itu? Karena ia sendiri merasa tak menikmati uang tersebut.
"Aku tidak mempercayai ini semua dan jangan harap kami akan pergi dari rumah ini!" tegas Delima sekembalinya dari kamar. Lalu merobek surat di depan mereka. Ia melawan hatinya sendiri untuk tetap percaya pada almarhum suaminya. Lagi pula ia akan pergi kemana dengan anak dan ibu mertuanya.
"Dua hari lagi kami akan kembali dan rumah ini sudah harus kosong" tak kalah tegas pria tambun itu mengatakannya lalu mereka pergi dari sana tanpa mau mendengar komentar Delima.
Tatapannya penuh kebencian pada mereka yang telah semakin membuat hancur hidupnya. Apa tak cukup ia kehilangan Azka?.
Delima menatap rumah yang menyimpan begitu banyak kenangannya bersama Azka. Kini rumah itu terancam diambil alih orang lain. Entah seperti apa hancur dan sakit hatinya Delima. Hanya perempuan itu yang tahu.
Suara dari kamar Ibu Yunita membuatnya berlari menuju kamar sambil menghapus air mata. Matanya terbelalak saat menemukan perempuan itu jatuh dari tempat tidur.
"Ibu!" panggil Delima sambil menghampiri ibu Yunita.
Perempuan sakit itu semakin tak berdaya, air matanya berlinang kala menatap lembut Delima. Dalam dekapan Delima, perempuan itu menutup mata tanpa mengatakan apapun karena memang keterbatasannya.
"Ibu! Jangan pergi! Bangun, Bu!." Teriak Delima histeris. Delima memeluk erat perempuan baik yang selalu menyayanginya semasa sehat dan sakit.
"Jangan tinggalkan aku! Aku mohon, Bu!." Ucapnya lagi lantang. Sehingga beberapa tetangga yang mendengar berdatangan ke rumah mereka.
Mereka menatap iba pada Delima yang terus ditempa kemalangan. Namun mereka juga dengan gesit membantu ibu Yunita. Memanggil dokter guna memastikan kematiannya. Dokter yang memeriksa pun menyatakan kalau ibu Yunita telah meninggal dan para tetangga membantu mengurus jenazahnya sampai selesai.
Delima hanya memeluk anaknya yang baru selesai menyusu. Rasanya ia tak sanggup meneruskan hidup kalau tidak ada malaikat kecil ini. Orang-orang tersayang meninggalnya begitu saja.
Pemakaman ibu Yunita telah selesai, perempuan itu sengaja dimakamkan di sebelah Azka. Ibu dan anak itu telah berada di tempat yang sama.
"Kamu harus kuat, Delima. Jangan pernah mikir yang aneh-aneh. Perbanyak istigfar" kata mbak Arti sambil memegang pundak Delima. Kepala Delima selalu tertunduk karena air matanya tak kunjung kering.
Ia tak cukup kuat untuk menerima cobaan ini secara bertubi-tubi.
"Bagaimana kalau aku enggak kuat, lebih aku menyusul Ibu dan Mas Azka juga. Bagus-bagus anak ini juga ikut denganku." Kata Delima ngasal.
"Hus...amit-amit. Istigfar! Jangan turutkan bisikan setan! Kamu dan anakmu pasti kuat tanpa Azka dan Ibu Yunita." Terus mbak Arti memberikan semangat.
Karena ia sangat tahu bagaimana kehilangan orang-orang terdekat yang sangat dicintainya.
"Aku menginap di sini, aku takut kamu berbuat aneh." Mbak Arti menawarkan diri menjaga Delima yang sedang labil apalagi ada anak kecil yang tak berdosa.
Delima hanya mengangguk.
Rumah Delima sudah sepi, tidak ada yang datang lagi melayat ibu Yunita. Saat ini waktu sudah menujukkan pukul sebelas malam. Delima yang menangis sejak tadi tidur lelap di samping anak yang sampai saat ini belum diberinya nama. Mbak Arti juga menyusul mereka. Masuk ke alam mimpi melalui ruang tengah.
Karena saking lelapnya tidur malam itu, baik Delima atau mbak Arti tidak menyadari ada bahaya yang sedang mengintai mereka. Mereka terlelap tanpa tahu ada beberapa orang di luar rumah yang sedang menyiramkan bensin ke sekeliling rumah.
Dan pada detik selanjutnya ada seseorang yang melemparkan korek api pada salah satu bagian dan seketika rumah Delima sudah dikelilingi api. Bukan api kecil namun kobaran api. Kalau dilihat mungkin akan menghanguskan semua yang ada di dalamnya.
Delima dan mbak Arti tersadar saat kepulan asap sudah memenuhi seisi rumah.
"Astagfirullah...Astagfirullah..." ucap Delima dan mbak Arti bersamaan. Keduanya sangat panik, mereka telah terjebak dalam kobaran api yang sudah siap menghanguskan mereka.
"Mbak Arti ini gimana?" Delima langsung menggendong anaknya. Mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah yang sudah dipenuhi api.
Mbak Arti berlari ke dalam kamar untuk mengambil kain dan selimut. Lalu membasahinya. Ia menutupi tubuh mereka dengan selimut itu untuk menerobos api. Tak lupa mereka menutup mulut hidung mereka supaya tidak menghirup asap terlalu banyak. Tidak lupa si kecil juga. Padahal sebenarnya dadanya mbak Arti sudah sesak karena asap. Begitu juga Delima. Mbak Arti berada paling depan. Memandu mereka keluar sebelum atap rumah ada yang roboh dan mengenai mereka.
Dari luar para tetangga pada teriak memanggil Delima dan mbak Arti sambil berusaha memadamkan api dengan alat seadanya. Menunggu bantuan sampai tiba dan menolong ketiga orang yang terjebak di dalam. Mereka juga dapat mendengarnya.
Brak
Atap sudah ada yang jatuh mengenai belakang tubuh Delima namun untungnya mengenai selimut yang basah. Saat tuna di pintu, mbak Arti dan Delima saling tatap karena apinya sudah sangat besar dan tentu saja mereka kesulitan untuk menembusnya.
"Kamu dan anak kamu harus selamat." Kata mbak Arti begitu tulus.
Delima menggeleng. "Kita harus selamat sama-sama."
Mbak Arti memegangi dadanya yang sangat sakit selain sesak. Namun ia coba tahan. Kemudian mbak Arti menarik tangan Delima untuk menerobos kobaran api.
"Arti! Delima!." Teriak pada tetangga panik.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!